Senin, 24 Oktober 2011

Mengapa NEDERLAND disebut BELANDA?


Jika kita bertanya…
Mengapa masyarakat di Nusantara, menyebut Nederland sebagai Belanda? Mungkin orang Nederland sendiri akan bingung menjawabnya…
Sebelum kita menjawab pertanyaan itu, mari kita kembali membuka lembaran sejarah, 360 tahun yang silam…
Mudzakarah Ulama se-rumpun Melayu
Tidak jauh dari kota Palembang, tepatnya di sekitar daerah Pagar Alam, pada tahun 1650 M (1072 H), pernah berkumpul sekitar 50 alim ulama dari berbagai daerah, seperti dari Kerajaan Mataram Islam, Pagaruyung, Malaka dan sebagainya.
Tokoh utama pertemuan itu, adalah Syech Nurqodim al Baharudin (Puyang Awak), salah seorang cucu dari Sunan Gunung Jati. Trahnya adalah melalui puterinya Panembahan Ratu, yang menikah dengan Danuresia (Ratu Agung Empu Eyang Dade Abang).
Hasil dari Mudzakarah Ulama abad ke-17, yang dipelopori oleh Syech Baharudin, antara lain:
1. Memunculkan perluasan dakwah Islam. Dengan demikian, paham animisme yang masih berkembang di masyarakat semakin berkurang dan terkikis.
2. Munculnya kader-kader mujahid, yang mengadakan perlawanan terhadap penjajah Eropa.
Sumber : “Sejarah Mudzakarah Ulama abad ke-17”, yang dimuat di http://al-ulama.net

Borobudur Terancam Dicabut Sebagai Warisan Dunia, Pengunjung Disalahkan

Magelang - Mendapat ancaman akan dicabut sebagai warisan dunia oleh UNESCO, pengeloa Candi Borobudur Kabupaten Magelang, Jateng menyatakan prilaku buruk pengunjunglah yang menyebabkan ancaman itu dilakukan UNESCO. Ancaman yang disampaikan oleh UNESCO juga sampai saat ini belum secara langsung dan tertulis disampaikan ke pengelola PT Taman Wisata Candi Borobudur Magelang.

"Kementerian Pariwisata belum memberikan informasi adanya ancaman dari UNESCO. Namun kami sudah mendengar hal itu dari media massa, tentu saja kami akan menyikapinya," tegas Kepala Unit PT Taman Wisata Candi Borobudur Magelang, Pujo Suwarno di Magelang, Jawa Tengah, Kamis (20/10/2011).

Pujo menjelaskan, UNESCO mempersoalkan masalah kelestarian candi terkait ketertiban dan perilaku pengunjung candi. Pasalnya, banyak prilaku buruk pengunjung seperti memanjat stupa, membuang sampah sembarangan di sekitar candi.


Maka, pengelola mengambil sikap dengan mengatur kembali manajemen pengunjung. Fokus pada menjaga kebersihan dan perilaku pengunjung. Borobudur berusia ribuan tahun bangunanya rentan rusak jika batu candi sering diduduki atau tempat bersandar pengunjung.

"Apalagi ditambah perilaku pengunjung yang membuang sampah sembarangan di area candi. Hal itu dapat menutup gorong-gorong yang ada di situs sejarah itu," tukas Pujo.

Pujo mengungkapkan, manajemen pengunjung akan diatur jumlah pengunjung candi ada pembatasan. Jumlah pengunjung maksimal hanya 82 orang dan hanya selama 15 menit yang berada di atas candi. Hal ini karena sebelumnya selalu ada penumpukan pengunjung di lantai delapan dan 10 atau lantai puncak.

"Nanti pengunjung juga tidak sembarang lagi berjalan-jalan di atas candi. Tapi dari lantai bawah menuju ke lantai puncak pengunjung harus berjalan pradaksina searah jarum jam," jelas Pujo.

Saat berada di candi pengunjung juga akan diawasi oleh petugas keamanan yang jumlahnya juga akan ditambah. Saat ini jumlah petugas keamanan di seputaran candi ada 20 orang dan nanti akan ditambah beberapa orang lagi. Penambahan petugas ini khususnya untuk di kawasan zona satu dan dua candi.

Jumlah tempat sampah di kawasan candi juga akan diperbanyak lagi untuk mempermudah pengunjung membuang sampah. Bahkan, pengunjung akan dilarang membawa makanan apapun ketika naik ke candi kecuali minuman kemasan dalam jumlah terbatas. Termasuk dilarang membawa permen sekali pun.

Selain itu, Pujo menambahkan, kegiatan wisata kawasan yaitu menawarkan dan mengajak wisatawan candi berkunjung ke desa-desa wisata di sekitar candi, akan semakin ditingkatkan. Hal ini akan mengurangi terjadinya konsentrasi atau penumpukan pengunjung di sekitar candi.

"Konsep ini sudah direspons baik oleh Kementerian Pariwisata, jadi akan kita lanjutkan. Sebab potensi-potensi desa wisata juga menarik untuk dikunjungi. Selain itu kami akan memperbanyak informasi tentang peraturan pengunjung mengunjungi Candi Borobudur," ungkap Pujo.

Semua rencana peraturan itu, akan diberikan toleransi kepada umat Budha yang ingin datang ke candi untuk keperluan ibadah. Sebab memang keberadaan candi selain untuk kepentingan pariwisata juga sebagai tempat suci untuk ibadah umat agama Budha.

Sedangkan Kepala Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, Marsis Sutopo, pernah mengatakan pengunjung dilarang memanjat dinding candi serta merogoh dan memanjat stupa. Aturan ini untuk melindungi kelestarian candi dan sekaligus keselamatan dan kenyamanan pengunjung.

"Aturan ditetapkan karena kita telah dituntut oleh UNESCO untuk memperbaiki sistem manajemen pengunjung, dan kita juga dituntut untuk menjaga kelestarian bangunan candi," ujarnya.

Seperti diketahui, sebelumnya Direktur Pemasaran PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko, Agus H Canny, mengungkapkan bahwa lembaga PBB, UNESCO, mengancam akan mencabut status candi Borobudur maupun Prambanan di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Ancaman pencabutan ini dipicu sikap pengunjung kedua candi yang tidak mau menjaga kelestarian, dan justru cenderung merusak, dan mengotori situs yang dibangun abad ke-7 dan ke-9 itu.

sumber: http://forum.detik.com/borobudur-terancam-dicabut-sebagai-warisan-dunia-pengunjung-disalahkan-t300542.html?df9911tpil

Sejarah Mata Uang di Banten

Menurut Willem Lodewyksz, pada tahun 1596 ada tiga buah pasar yang ada di Banten berfungsi sebagai pusat perdagangan lokal dan perdagangan internasional yang sangat pesat. Di antara para pedagang asing yang datang di Banten ialah orang-orang Cina, menyusul pedagang Portugis, Belanda, Inggris dan Prancis. Mereka membawa barang dagangan yang terdiri dari pakaian tenun yang biasa dibawa oleh pedagang Eropa lainnya (Tjandrasasmita, 1976:227).

Mata uang logam Cina yang pernah diketemukan de Houtman dan Kaizer adalah berupa uang tembaga yang disebut caixe, yang telah beredar di Banten (van Lischoten, 1910:78). Peranan mata uang picis, real dan uang chi’en yang terbuat dari tembaga, ternyata uang chi’en-lah yang lebih tinggi harganya di Banten, jika dibandingkan dengan mata uang lainnya (Rouffer, 1915:122).

Mata uang Cina sebagai mata uang asing masuk pertama kali di Banten yakni pada tahun 1590, saat mana raja Cina, Hammion, membuka kembali peredaran mata uang Cina di luar negeri setelah dua puluh tahun menutup kemungkinan karena khawatir akan adanya inflasi di negaranya.

Untuk memberikan gambaran nilai sebuah mata uang, kami uraikan sebagai berikut:
Harga uang picis dapat kita lihat dalam perbandingan:
  • 1 atak = 200 picis 1 bungkus = 10000 picis
  • 1 peku = 1000 picis 1 keti = 100000 picis.
Hal tersebut berarti bahwa saat itu uang picis adalah lebih rendah jika dibanding harga mata uang logam lainnya (van Ansooy, 1979:37). Sebagai contoh dalam menentukan harga dari seorang budak per hari dapat disewa dan harus setor pada majikannya sebesar 1000 picis (1 peku), berikut makan 200 picis. Harga makanan untuk orang Barat per hari menghabiskan rata-rata 1 atak (Fruin Mees, 1920:44).

Di Banten bagi seorang yang berani membunuh pencuri akan mendapat hadiah dari Sultan sebesar 8 peku (Keuning, 1938:888). Adapun harga seekor ayam di Mataram pada tahun 1625 rata-rata 1 peku (Macleod, 1927:289). Menurut orang Cina di Banten, dari hasil pembelian 8 karung lada dari pengunungan seharga 1 keti dan dijualnya ke pasar Karangantu seharga 4 keti, kejadian tersebut tercatat pada tahun 1596 (Commelin, 1646:76).

Harga pasaran tidak selalu stabil seperti yang diharapkan, permasalahannya ialah akibat nilai harga picis yang sulit untuk bertahan lama. Seperti terjadi pada tahun 1613, ada perubahan nilai pecco yang secara drastis terpaksa harus turun, tercatat 34 dan 35 peccoes = 1 real; ini berarti pula pengaruh uang asing yang masuk ke Banten dapat mempengaruhi stabilitas pasar di Karangantu saat itu.

Pada tahun 1618, J.P. Coen merasa tidak senang dengan turunnya nilai mata uang picis di Jawa, bahkan tercatat sejak tahun 1596 di Sumatra pun telah mengalami kemerosotan nilai tukar uang picis sampai dengan 1 : 8,500 (Mollema, 1935:211).

Rupanya percaturan politik ekonomi di Asia Tenggara, dari kehadiran beberapa mata uang di pasaran bebas, Banten memegang peranan penting dalam penentuan standar harga barang dan nilai mata uang pada saat itu, dengan bersandarnya beberapa perahu Cina yang bermuatan lada dari Jambi untuk di perjualbelikan di Banten (F. van Anrooy, 1979:40).

Variabilitas jenis mata uang yang beredar pada satu wilayah ekonomi, memperlihatkan sistem moneter dari administrasi politik yang bersangkutan. Nilai nominal yang terkandung pada mata uang (kertas, logam, atau lainnya), memberikan informasi mengenai satuan nilai mata uang sebagai alat pembayaran yang sah, sedangkan pada logam, nilai intriksiknya adalah pada nilai logamnya (tembaga, timah, perak, suasa atau emas).

Kegunaan penemuan mata uang pada berbagai situs, secara arkeologis dapat membantu (1) kronologi situs, (2) jenis mata uang yang berlaku, (3) batas-batas peredaran mata uang yang dimaksud, serta (4) satuan nilai yang ditetapkan.

Di Banten, ditemukan 4 jenis mata uang logam, yakni mata uang logam Banten, Belanda, Inggris dan Cina. Mata uang Banten terdiri dari dua tipe, yakni (1) bertera tulisan Jawa, berlubang segi enam, diameter antara 2,10-3,10 cm, tebal 0,05-0,20 cm, diameter lubang 0,40-0,60 cm, dan terbuat dari perunggu, (2) bertera tulisan Arab, berbentuk bulat berlubang bulat, diameter 1,90-2,40 cm, tebal 0,05-0,16 cm, diameter lubang 0,60-1,20 cm, terbuat dari timah. Dari lubang-lubang ekskavasi di Surosowan, dapat dikumpulkan 242 keping uang Banten.

Mata uang Belanda di Banten ditemukan lebih bervariasi jenisnya (8 jenis) yang dapat dibedakan dari tahun terbitnya yang terletak di bawah monogram. Salah satu sisi mata uang berlambang propinsi- propinsi Belanda yang mengeluarkan mata uang masing-masing, kecuali sebuah di antaranya bertuliskan Java 1807. Sisi lain dari tiap mata uang biasanya berlambang VOC atau Nederl. Indie.
Mata uang Belanda di Banten berpenanggalan 1731 – 1816. Dari lubang- lubang ekskavasi di Surosowan diperoleh 164 keping mata uang logam Belanda/VOC (Widiyono, 1986: 335). Bentuk mata uang logam Inggris (EIC) hampir sama dengan bentuk mata uang logam Belanda/VOC, terutama dari ukuran dan bahan. Mata uang Inggris di Banten hanya ditemukan satu tipe dengan dua variasi.

Pada satu sisi berlambang perisai berbentuk hati terbagi dalam 4 bagian oleh garis menyilang, yang masing-masing bagian tersusun satu huruf yang keseluruhannya berbunyi VEIC. Sebuah pada sisi lainnya bertera tulisan Arab dan sebuah lagi bertera gambar timbangan. Dari lubang ekskavasi Surasowan ditemukan 6 keping mata uang Inggris.
Pada salah satu sisi mata uang Cina terdapat tulisan Cina yaitu: YUNG CHENG T’UNG PAO = Coinage of Stable Peace, yang berarti pembuatan mata uang untuk kestabilan dan perdamaian. Sedang pada tulisan sebaliknya diketahui sebagai huruf Manchu yang belum dapat dikenali artinya. Mata uang Cina tersebut berbentuk bulat berlubang segi empat, diameter 2,25-2,80 cm, tebal 0,10-0,18 cm dan diameter lubang 0,45-0,60 cm. Jenis ini ditemukan di lubang ekskavasi Surosowan sebanyak 25 keping.

Penelitian sebaran mata uang logam di Banten diarahkan pada ruang-ruang di dalam dan di luar benteng. Dari 437 keping mata uang logam yang ditemukan di eksekavasi, 92 ditemukan di luar benteng dan 345 dari dalam benteng Surosowan. Homogenitas ruang penelitian (hanya di sekitar Surosowan), serta jumlah koleksi hasil penelitian yang sangat tidak seimbang dengan aktivitas ekonomi Banten sebagai pusat politik, ekonomi dan perdagangan, berdampak pada terbatasnya lingkup penafsiran dari kehadiran mata uang logam sebagai data arkeologi di Banten.

sumber: http://humaspdg.wordpress.com/2010/05/18/sejarah-mata-uang-di-banten/

Sabtu, 22 Oktober 2011

CANDI RATU BOKO

CANDI RATU BOKO adalah suatu bangunan yang menurut anggapan para ahli sejarah memiliki multi fungsi yang terdiri dari beberapa komponen, yakni benteng keraton (istana) dan gua. Lokasi Keraton Ratu Boko dapat dicapai dari Yogyakarta melalui jalan raya Yogyakarta-Solo, kurang lebih pada Km 17 atau pertigaan Prambanan berbelok ke kanan sejauh + 3 Km.

Bangunan utama Situs Ratu Boko adalah peninggalan purbakala yang ditemukan kali pertama oleh arkeolog Belanda, HJ De Graaf pada abad ke-17. Wujudnya berupa bangunan seperti gapura utama, candi, kolam seluas 20 meter x 50 meter dengan kedalaman dua meter, gua, pagar dan alun-alun, candi pembakaran, serta paseban. Petilasan bangunan pendopo, balai-balai, tiga candi kecil, kolam, dan keputren terdapat di sebelah tenggara. Sedangkan gua Wadon, gua Lanang, dan beberapa gua lainnya, serta kolam dan arca Budha berada di sebelah timur.

HJ De Graaf mencatat berdasarkan berita dari para musafir Eropa yang sedang mengadakan perjalanan, di sebelah selatan Candi Prambanan terdapat situs kepurbakalaan. Sementara cerita yang berkembang di masyarakat setempat, Situs itu dihubungkan dengan Prabu Boko yang berasal dari Bali .

Tahun 1790 Van Boeckholtz menemukan reruntuhan kepurbakalaan di atas bukit Situs Ratu Boko. Penemuan itu langsung dipublikasikan. Rupanya, itu menarik minat ilmuwan Makenzic, Junghun, dan Brumun. Tahun 1814 mereka mengadakan kunjungan dan pencatatan. Seratus tahun kemudian, FDK Bosch mengadakan penelitian, dan penelitiannya diberi judul Kraton van Ratoe Boko .

Dari Situs itu sendiri ditemukan bukti tertua yang berangka tahun 792 Masehi berupa Prasasti Abhayagiriwihara. Prasasti itu menyebutkan seorang tokoh bernama Tejahpurnpane Panamkorono. Diperkirakan, dia adalah Rakai Panangkaran yang disebut-sebut dalam Prasasti Kalasan tahun 779 Masehi, Prasati Mantyasih 907 Masehi, dan Prasasti Wanua Tengah III tahun 908 Masehi. Rakai Panangkaran lah yang membangun candi Borobudur, Candi Sewu, dan Candi Kalasan. Meski demikian Situs Ratu Boko masih diselimuti misteri. Belum diketahui kapan dibangun, oleh siapa, untuk apa, dan sebagainya. Orang hanya memperkirakan itu sebuah bangunan keraton.

Menurut Prof. Buchari, seorang ahli sejarah, bangunan Keraton Boko merupakan benteng pertahanan Balaputradewa atau Rakai Kayuwangi, putera bungsu Rakai Pikatan. Konon Rakai Kayuwangi diserang oleh Rakai Walaing Puhuyaboni, cicit laki-laki Sanjaya yang merasa lebih berhak atas tahta daripada Rakai Pikatan,
karena Rakai Pikatan hanyalah suami dari Pramodharwani, puteri mahkota Samarottungga yang beragama Budha. Dalam pertempuran tersbut Rakai Walaing berhasil dipukul mundur dan terpaksa mengungsi di atas perbukitan Ratu Boko dan membuat benteng pertahanan di sana. Namun pada akhirnya Keraton Boko dapat digempur dan diduduki Rakai Kayuwangi yang secara sengaja merusak prasasti yang memuat silsilah Rakai Walaing, dengan menghilangkan bagian yang memuat nama-nama ayah, kakek dan buyut Rakai Walaing.Pemugaran Situs Ratu Boko dimulai sejak zaman penjajahan Belanda tahun 1938. Usaha itu kemudian dilanjutkan pemerintah Indonesia sejak tahun 1952.
Keunikan Candi Boko

Berbeda dengan bangunan lain dari masa klasik Jawa Tengah, Situs Ratu Boko mempunyai karakter dan keistimewaan tersendiri. Tinggalan bangunan masa klasik Jawa Tengah pada umumnya berupa candi (bangunan suci/kuil), sedang peninggalan di Situs Ratu Boko menunjukkan tidak saja bangunan suci (candi), tetapi juga bangunan-bangunan lain yang bersifat profan. Sifat keprofanan tersebut ditunjukkan oleh adanya tinggalan yang dahulunya merupakan bangunan hunian dengan tiang dan atap yang dibuat dari bahan kayu , tetapi sekarang hanya tinggal bagian batur-baturnya saja yang terbuat dari bahan batu. Di samping bangunan-bangunan yang menunjukkan sifat sakral dan profan, di dalam Situs Ratu Boko ini juga ditemukan jenis-jenis bangunan lain, yaitu berupa kolam dan gua.
Ditinjau dari tata letaknya, bangunan-bangunan di Situs Ratu Boko dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) kelompok, yaitu: kelompok Gapura Utama, kelompok Paseban, kelompok Pendapa, kelompok Keputren, dan kelompok Gua. Kelompok Gapura Utama terletak di sebelah barat yang terdiri dari Gapura Utama I dan II, talud, pagar, candi Pembakaran dan sisa-sisa reruntuhan. Kelompok Paseban terdiri dari batur Paseban dua buah, talud dan pagar Paseban. Kelompok Pendapa terdiri dari batur Pendapa dan Pringgitan yang dikelilingi pagar batu dengan tiga gapura sebagai pintu masuk, candi miniatur, serta beberapa kolam penampung air berbentuk bulat yang dikelilingi pagar lengkap dengan gapuranya. Kelompok Keputren berada di sebelah tenggara, terletak pada halaman yang lebih rendah dan terdiri dari dua batur, kolam segi empat, pagar dan gapura. Adapun kelompok Gua terdiri dari Gua Lanang dan Gua Wadon.

Keindahan Ratu Boko terletak ketika terbit ataupun tenggelamnya matahari. Suasana yang tenang dan khusyuk tentu membangkitkan semangat anda seperti bangkitnya mentari di ujung timur!

sumber: http://afriantourism.wordpress.com/2011/05/25/terbitlah-semangat-di-boko/

Sejarah wangsa syailendra

Kerajaan Mataram Kuna diperintah oleh dua wangsa yaitu Wangsa Syailendra yang beragama Buddha dan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Syiwa. Pada awal era Mataram Kuna, Wangsa Syailendra cukup dominan di Jawa Tengah. Menurut para ahli sejarah, Wangsa Sanjaya awalnya berada di bawah pengaruh kekuasaan Wangsa Syailendra. Mengenai persaingan kekuasaan tersebut tidak diketahui secara pasti, akan tetapi kedua-duanya sama-sama berkuasa di Jawa Tengah.

Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Syailendra tertera dalam prasasti Ligor, prasasti Nalanda maupun prasasti Klurak, sedangkan raja-raja dari keluarga Sanjaya tertera dalam prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih. Berdasarkan candi-candi, peninggalan kerajaan Mataram Kuna dari abad ke-8 dan ke-9 yang bercorak Buddha (Syailendra) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan yang bercorak Hindu (Sanjaya) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian utara.

Wangsa Syailendra pada saat berkuasa, juga mengadakan hubungan yang erat dengan kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812), puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Prasasti yang ditemukan tidak jauh dari Candi Kalasan memberikan penjelasan bahwa candi tersebut dibangun untuk menghormati Tara sebagai Bodhisattva wanita. Pada tahun 790, Syailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun.
Candi Borobudur selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Smaratungga (812-833). Borobudur merupakan monumen Buddha terbesar di dunia, dan kini menjadi salah satu kebanggaan bangsa Indonesia. Smaratungga memiliki puteri bernama Pramodhawardhani dan dari hasil pernikahannya dengan Dewi Tara, putera bernama Balaputradewa.

Daftar raja-raja wangsa Syailendra
Bhanu (752-775), raja pertama dan pendiri Wangsa Syailendra
Wisnu (775-782), Candi Borobudur mulai dibangun
Indra (782-812), menyerang dan mengalahkan Kerajaan Chenla (Kamboja), serta mendudukinya selama 12 tahun
Samaratungga (812-833), Candi Borobudur selesai dibangun
Pramodhawardhani (833-856), menikah dengan Rakai Pikatan, pangeran Wangsa Sanjaya
Balaputradewa (833-850), melarikan diri ke Sriwijaya setelah dikalahkan Rakai Pikatan

Daftar raja-raja wangsa Sanjaya
Sanna
Sanjaya (732-760)
Rakai Panangkaran (760-780)
Rakai Panunggalan (780-800)
Rakai Warak (800-819)
Rakai Garung (819-838)
Rakai Pikatan (838-856)
Rakai Kayuwangi (856-886)
Rakai Watuhumalang (886-898)
Dyah Balitung (898-910)
Daksa (910-919)
Tulodong (919-924)
Dyah Wawa (924-928)
Mpu Sindok (928-929)

Runtuhnya Wangsa Syailendra
Pramodhawardhani, puteri raja Samaratungga menikah dengan Rakai Pikatan, yang waktu itu menjadi pangeran Wangsa Sanjaya. Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan menyerang Balaputradewa, yang merupakan saudara Pramodhawardhani. Sejarah Wangsa Syailendra berakhir pada tahun 850, yaitu ketika Balaputradewa melarikan diri ke Sriwijaya yang merupakan negeri asal ibunya.

Runtuhnya Wangsa Sanjaya
Pada tahun 910, Raja Tulodong (Wangsa Sanjaya)mendirikan Candi Prambanan. Prambanan merupakan kompleks candi Hindu terbesar di Asia Tenggara. Pada masa ini, ditulis karya sastra Ramayana dalam Bahasa Jawa Kuno. Pada tahun 928, Mpu Sindok memindahkan istana Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur (Medang). Alasan perpindahan ini diduga akibat letusan Gunung Merapi, atau mendapat serangan dari Sriwijaya. Sejak inilah berakhir era Wangsa Sanjaya, dan Mpu Sindok yang diperkirakan adalah keturunan atau menantu keturunan dari Wangsa Sanjaya, mendirikan dinasti baru yaitu Wangsa Isyana yang memerintah di Jawa Timur.

sumber: http://kalawarta.wordpress.com/2008/12/20/sejarah-wangsa-syailendra/

KOTAGEDE, Saksi Bisu Berdirinya Kerajaan Mataram Islam (Abad ke-16)

Pada abad ke-8, wilayah Mataram (sekarang disebut Yogyakarta) merupakan pusat Kerajaan Mataram Hindu yang menguasai seluruh Pulau Jawa. Kerajaan ini memiliki kemakmuran dan peradaban yang luar biasa sehingga mampu membangun candi-candi kuno dengan arsitektur yang megah, seperti Candi Prambanan dan Candi Borobudur. Namun pada abad ke-10, entah kenapa kerajaan tersebut memindahkan pusat pemerintahannya ke wilayah Jawa Timur. Rakyatnya berbondong-bondong meninggalkan Mataram dan lambat laun wilayah ini kembali menjadi hutan lebat.

Enam abad kemudian Pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Kesultanan Pajang yang berpusat di Jawa Tengah. Sultan Hadiwijaya yang berkuasa saat itu menghadiahkan Alas Mentaok (alas = hutan) yang luas kepada Ki Gede Pemanahan atas keberhasilannya menaklukkan musuh kerajaan. Ki Gede Pemanahan beserta keluarga dan pengikutnya lalu pindah ke Alas Mentaok, sebuah hutan yang sebenarnya merupakan bekas Kerajaan Mataram Hindu dahulu.

Desa kecil yang didirikan Ki Gede Pemanahan di hutan itu mulai makmur. Setelah Ki Gede Pemanahan wafat, beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Senapati Ingalaga. Di bawah kepemimpinan Senapati yang bijaksana desa itu tumbuh menjadi kota yang semakin ramai dan makmur, hingga disebut Kotagede (=kota besar). Senapati lalu membangun benteng dalam (cepuri) yang mengelilingi kraton dan benteng luar (baluwarti) yang mengelilingi wilayah kota seluas ± 200 ha. Sisi luar kedua benteng ini juga dilengkapi dengan parit pertahanan yang lebar seperti sungai.

Sementara itu, di Kesultanan Pajang terjadi perebutan takhta setelah Sultan Hadiwijaya wafat. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan oleh Arya Pangiri. Pangeran Benawa lalu meminta bantuan Senapati karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai tidak adil dan merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi. Arya Pangiri berhasil ditaklukkan namun nyawanya diampuni oleh Senapati. Pangeran Benawa lalu menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun ditolak dengan halus. Setahun kemudian Pangeran Benawa wafat namun ia sempat berpesan agar Pajang dipimpin oleh Senapati. Sejak itu Senapati menjadi raja pertama Mataram Islam bergelar Panembahan. Beliau tidak mau memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Istana pemerintahannya terletak di Kotagede.

Selanjutnya Panembahan Senapati memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam hingga ke Pati, Madiun, Kediri, dan Pasuruan. Panembahan Senapati wafat pada tahun 1601 dan dimakamkan di Kotagede berdekatan dengan makam ayahnya. Kerajaan Mataram Islam kemudian menguasai hampir seluruh Pulau Jawa (kecuali Banten dan Batavia) dan mencapai puncak kejayaannya di bawah pimpinan raja ke-3, yaitu Sultan Agung (cucu Panembahan Senapati). Pada tahun 1613, Sultan Agung memindahkan pusat kerajaan ke Karta (dekat Plered) dan berakhirlah era Kotagede sebagai pusat kerajaan Mataram Islam.
Peninggalan Sejarah

Dalam perkembangan selanjutnya Kotagede tetap ramai meskipun sudah tidak lagi menjadi ibukota kerajaan. Berbagai peninggalan sejarah seperti makam para pendiri kerajaan, Masjid Kotagede, rumah-rumah tradisional dengan arsitektur Jawa yang khas, toponim perkampungan yang masih menggunakan tata kota jaman dahulu, hingga reruntuhan benteng bisa ditemukan di Kotagede.

    Pasar Kotagede

    Tata kota kerajaan Jawa biasanya menempatkan kraton, alun-alun dan pasar dalam poros selatan - utara. Kitab Nagarakertagama yang ditulis pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke-14) menyebutkan bahwa pola ini sudah digunakan pada masa itu. Pasar tradisional yang sudah ada sejak jaman Panembahan Senopati masih aktif hingga kini. Setiap pagi legi dalam kalender Jawa, penjual, pembeli, dan barang dagangan tumpah ruah di pasar ini. Bangunannya memang sudah direhabilitasi, namun posisinya tidak berubah. Bila ingin berkelana di Kotagede, Anda bisa memulainya dari pasar ini lalu berjalan kaki ke arah selatan menuju makam, reruntuhan benteng dalam, dan beringin kurung.
    Kompleks Makam Pendiri Kerajaan

    Berjalan 100 meter ke arah selatan dari Pasar Kotagede, kita akan menemukan kompleks makam para pendiri kerajaan Mataram Islam yang dikelilingi tembok yang tinggi dan kokoh. Gapura ke kompleks makam ini memiliki ciri arsitektur Hindu. Setiap gapura memiliki pintu kayu yang tebal dan dihiasi ukiran yang indah. Beberapa abdi dalem berbusana adat Jawa menjaga kompleks ini 24 jam sehari.

    Kita akan melewati 3 gapura sebelum sampai ke gapura terakhir yang menuju bangunan makam. Untuk masuk ke dalam makam, kita harus mengenakan busana adat Jawa (bisa disewa di sana). Pengunjung hanya diperbolehkan masuk ke dalam makam pada Hari Minggu, Senin, Kamis, dan Jumat pukul 08.00 - 16.00. Untuk menjaga kehormatan para pendiri Kerajaan Mataram yang dimakamkan di sini, pengunjung dilarang memotret / membawa kamera dan mengenakan perhiasan emas di dalam bangunan makam. Tokoh-tokoh penting yang dimakamkan di sini meliputi: Sultan Hadiwiijaya, Ki Gede Pemanahan, Panembahan Senopati, dan keluarganya.
    Masjid Kotagede

    Berkelana ke Kotagede tidak akan lengkap jika tidak berkunjung ke Masjid Kotagede, masjid tertua di Yogyakarta yang masih berada di kompleks makam. Setelah itu tak ada salahnya untuk berjalan kaki menyusuri lorong sempit di balik tembok yang mengelilingi kompleks makam untuk melihat arsitekturnya secara utuh dan kehidupan sehari-hari masyarakat Kotagede.
    Rumah Tradisional

    Persis di seberang jalan dari depan kompleks makam, kita bisa melihat sebuah rumah tradisional Jawa. Namun bila mau berjalan 50 meter ke arah selatan, kita akan melihat sebuah gapura tembok dengan rongga yang rendah dan plakat yang yang bertuliskan "cagar budaya". Masuklah ke dalam, di sana Anda akan melihat rumah-rumah tradisional Kotagede yang masih terawat baik dan benar-benar berfungsi sebagai rumah tinggal.
    Kedhaton

    Berjalan ke selatan sedikit lagi, Anda akan melihat 3 Pohon Beringin berada tepat di tengah jalan. Di tengahnya ada bangunan kecil yang menyimpan "watu gilang", sebuah batu hitam berbentuk bujur sangkar yang permukaannya terdapat tulisan yang disusun membentuk lingkaran: ITA MOVENTUR MUNDU S - AINSI VA LE MONDE - Z00 GAAT DE WERELD - COSI VAN IL MONDO. Di luar lingkaran itu terdapat tulisan AD ATERN AM MEMORIAM INFELICS - IN FORTUNA CONSOERTES DIGNI VALETE QUIDSTPERIS INSANI VIDETE IGNARI ET RIDETE, CONTEMNITE VOS CONSTEMTU - IGM (In Glorium Maximam). Entah apa maksudnya, barangkali Anda bisa mengartikannya untuk kami?

    Dalam bangunan itu juga terdapat "watu cantheng", tiga bola yang terbuat dari batu berwarna kekuning-kuningan. Masyarakat setempat menduga bahwa "bola" batu itu adalah mainan putra Panembahan Senapati. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa benda itu sebenarnya merupakan peluru meriam kuno.
    Reruntuhan Benteng

    Panembahan Senopati membangun benteng dalam (cepuri) lengkap dengan parit pertahanan di sekeliling kraton, luasnya kira-kira 400 x 400 meter. Reruntuhan benteng yang asli masih bisa dilihat di pojok barat daya dan tenggara. Temboknya setebal 4 kaki terbuat dari balok batu berukuran besar. Sedangkan sisa parit pertahanan bisa dilihat di sisi timur, selatan, dan barat.

Berjalan-jalan menyusuri Kotagede akan memperkaya wawasan sejarah terkait Kerajaan Mataram Islam yang pernah berjaya di Pulau Jawa. Selain itu, Anda juga bisa melihat dari dekat kehidupan masyarakat yang ratusan tahun silam berada di dalam benteng kokoh.

Berbeda dengan kawasan wisata lain, penduduk setempat memiliki keramahan khas Jawa, santun, dan tidak terlalu komersil. Di Kotagede, Anda takkan diganggu pedagang asongan yang suka memaksa (hawkers). Ini memang sedikit mengejutkan, atau lebih tepatnya menyenangkan. Siapa juga yang butuh pedagang asongan yang suka memaksa?

sumber: http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/historic-and-heritage-sight/kotagede/

Selasa, 18 Oktober 2011

Ketika Belanda Mengingkari Perdagangan Budak

Belanda menikmati abad Golden Age dengan mengeruk keuntungan dari perdagangan budak, tapi fakta sejarah ini tidak diajarkan di sekolah-sekolah.

Setiap kali muncul kabar adanya tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dilecehkan, disiksa, atau menghadapi hukuman mati akibat membunuh untuk membela diri, pemerhati sejarah kerap mengaitkan ke masa 300 tahun lalu-ketika Hindia Belanda menjadi salah satu negara pemasok budak ke pasaran dunia dan Belanda menjadikan Batavia sebagai pasar budak trans-Atlantik.

Memang terlalu berlebihan, tapi juga tidak keliru. Cerita tentang kekerasan terhadap TKI di Arab Saudi, Malaysia, dan negara-negara lainnya tidak berbeda dengan kisah para budak asal Lombok, Bali, Makassar, dan Ambon pada abad ke-16. Nuryahman SS, peneliti dari Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali, NTT, dan NTB, mengatakan, bahkan nasib TKI saat ini terkadang lebih buruk dari para budak abad ke-17.

Nuryahman tidak memberikan cukup bukti untuk mendukung klaimnya karena tidak ada catatan kolonialis Belanda mengenai perilaku para majikan terhadap budak-budak abad ke-17. Sedangkan, Markus Vink dalam The World's Oldest Trade: Dutch Slavery and Slave Trade in the Indian Ocean in Seventeenth Century, mencatat terjadinya sejumlah pemberontakan budak di Batavia yang dipimpin Kapten Jonker tahun 1689 dan pembakaran kapal serta pembunuhan kulit putih oleh para budak di Banda Neira tahun 1710.

Vink tidak memasukkan Pembantaian Tionghoa 1740, padahal peristiwa ini dipicu pemberontakan buruh perkebunan tebu di Ommelanden-kawasan selatan Batavia. Saat itu, buruh menyerang kastil Batavia. Khawatir dibokong dari belakang oleh pemukim Tionghoa di dalam kota, VOC memprovokasi penduduk kulit putih dari berbagai bangsa untuk membunuh semua penduduk kulit kuning.

Suka atau tidak, sejarah menempatkan Indonesia sebagai salah satu kawasan pemasok budak ke pasar dunia. Bahkan, ketika perbudakan dilarang di hampir seluruh dunia-kecuali di Afrika Selatan-praktik perbudakan baru benar-benar lenyap dari Indonesia tahun 1910 yang ditandai penghentian penjualan dan pengapalan budak dari Sumbawa.

Diingkari, dilupakan
Selama lebih satu abad, peran Belanda dalam perdagangan budak dunia terabaikan. Sejarawan Belanda lebih banyak memuji kehebatan nenek moyang mereka dalam perdagangan maritim sepanjang periode Golden Age. Mereka melupakan praktik busuk perdagangan budak-yang dilakukan VOC dan direstui Pemerintah Belanda-yang membuat mereka kaya raya.

Dr Susan le Gene, kurator Troppen Museum Amsterdam, mengatakan, "Di sekolah-sekolah, ketika subjek perdagangan budak mengemuka, para guru mengalihkan perhatian para murid ke perbudakan di Amerika Utara dan pedagangnya digambarkan sebagai orang Eropa." Ia juga mengatakan, para guru hampir tidak pernah secara spesifik menyebut bahwa Belanda juga ikut dalam bisnis itu.

Tidak seperti di Inggris dan AS, di Belanda-masih menurut Dr Susan le Gene-tidak ada kurikulum nasional. Memang ada rekomendasi untuk mengajarkan topik perbudakan, tapi terbatas pada pengalaman AS. Bahkan, tidak jarang sejarawan membantah keterlibatan VOC dalam perdagangan budak dan penggunaan budak dalam kegiatan produksi.

Pengingkaran itu tampaknya tidak berlangsung lama. Pada 1 Juli 2002, Ratu Beatrix meresmikan monumen untuk para budak yang menjadi korban dalam perdagangan manusia pada masa lalu. Mindy Ran dalam laporannya di freerepublic.com, monumen itu adalah ungkapan penyesalan mendalam atas keterlibatan Belanda dalam perdagangan budak.

Ini merupakan langkah pertama yang penting, tapi pekerjaan Komite Nasional Perbudakan-yang mensponsori pembangunan monumen ini-telah selesai bekerja. Belanda juga bukan satu-satunya negara yang secara resmi menolak perbudakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Spanyol, Inggris, dan Portugal juga bersikap sama.

Komite Nasional Perbudakan mendesak Pemerintah Belanda meminta maaf, memberikan kompensasi kepada negara-negara yang rakyatnya pernah dijadikan budak, dan membangun museum kekejaman perbudakan. Le Gene mengatakan, permintaan maaf mungkin penting, tapi lebih penting adalah Belanda mensponsori debat publik mengenai apa yang terjadi pada masa lalu.

"Kami harus berbagi pengetahuan sejarah soal perbudakan. Ini amat penting dalam hubungan Belanda dengan Suriname dan Dutch Antillen," ujar Le Gene.
Le Gene tidak menyebut Indonesia. Padahal, sejumlah wilayah Hindia Belanda; Ambon, Makassar, Banda Neira, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT), adalah penyuplai budak ke Batavia dan kota-kota kolonial bentukan Belanda di seluruh dunia, dan Batavia menjadi poros perdagangan budak lintas benua.

VOC dan WIC
Verenigde Oostindische Compangie (VOC) mengubah Batavia dari pelabuhan kecil menjadi poros sentral jaringan perdagangan pada 1610. Sembilan tahun kemudian, tergiur oleh keuntungan dari perdagangan budak yang dilakukan Spanyol, VOC mulai aktif di pasar budak. Keterlibatan VOC relatif kebetulan. Dutch Man-of-War, kapal VOC, membajak sebuah kapal Spanyol yang sedang membawa budak dari India Barat. Para budak dipindahkan dan dibawa ke Jamestown, Virginia, AS. VOC menjual 20 budak itu ke gubernur setempat dan pedagang.

Dua tahun kemudian, sejumlah pengusaha Belanda membentuk West Indische Compagnie (WIC). Dalam waktu singkat, Belanda menjadi pemain penting dalam perdagangan budak antara sepanjang pantai barat Afrika, Amerika, dan India Barat. WIC membeli dari para pedagang, menjualnya ke pasar AS. Studi terbaru, sejumlah sejarawan memperkirakan, WIC menyuplai lebih 550 ribu budak ke pasar selama kurun waku dua tahun.

Tahun 1624, WIC mulai memasok budak ke New Amsterdam, koloni Belanda yang kini bernama New York, untuk mengatasi krisis tenaga kerja di pertanian Hudson Valley. Empat belas tahun kemudian, akibat ramainya permintaan akan budak, lelang budak diadakan kali pertama di Jamestown. Budak pertama yang terjual di pasar lelang berharga 27 dolar Amerika. Memasuki paruh kedua abad ke-17, New Amsterdam menjadi pintu masuk para budak ke Amerika Utara. Setiap tahun, lebih 2.500 budak berlayar dari Afrika ke AS untuk dipekerjakan di tanah-tanah pertanian.

Di Asia, VOC aktif dalam perdagangan budak sepanjang abad ke-17. Mereka memperoleh budak dari negara-negara kecil dari India Barat, Arakan-Bengal, negara-negara kecil, atau wilayah tak bernegara. VOC, untuk memenuhi pasar Malaka, Batavia, Sri Lanka, mengisi perkebunan-perkebunan di Makassar dan Ambon.

Namun, ketika Dinasti Mughal merebut Chittagong dan mengubahnya menjadi Islamabad, pasokan budak dari India Barat menurun. Kondisi ini memaksa VOC merebut Malabar dari tangan Portugis. VOC mendapat banyak budak untuk memenuhi pasar Batavia. Pada saat yang sama, budak-budak dari Chochin, saat ini bernama Vietnam Selatan, memasuki pasar meski jumlahnya masih sedikit.

Selepas 1660, pasokan budak dari lingkar pertama Lautan India menurun drastis. Kondisi ini memaksa Belanda memasuki daerah suplai budak lingkar kedua menyusul kejatuhan Kesultanan Makassar. Sejak saat itu, suplai budak melibatkan poros Makassar dan Bali. Makassar menjadi pelabuhan transit bagi budak dari Kalimantan, Sulawesi, Buton, Bima, Lombok, Manggarai, dan Solor. Sedangkan, kerajaan-kerajaan Bali menjadi penyuplai independen budak ke pasar dunia dan menjadi perantara perdagangan budak dari Papua.

Markus Vink mencatat, antara 1653 sampai 1682, lebih 10 ribu budak diangkut jung-jung Cina ke Batavia. Rincinya, 41,66 persen berasal dari Sulwesi Selatan, 23,98 persen dari Bali, 12,07 persen dari Buton, 6,92 persen dari Bima, Lombok, Manggarai, dan Solor, 6,79 persen dari Maluku dan Banda Neira.

Budak-budak Indonesia tidak hanya masuk ke pasar Batavia, tetapi juga sampai ke Tanjung Harapan. Studi UNESCO memperkirakan, 1.400 budak asal Bali diekspor ke Cape Town, Afrika Selatan. Ketika perang sipil di Bali meletus, budak asal Bali meramaikan pasar Batavia dan kota-kota kolonial Belanda lainnya.

Bisnis budak VOC mengalami pukulan hebat ketika terjadi perang berkepanjangan, epidemi malaria, dan berbagai bencana alam yang menghantam Ambon antara 1618 dan 1681. Antara 1643 dan 1671, populasi Ambon; Hitu, Larike, Hitu Tenggara, dan Leitimor, anjlok sekitar 30 persen.

Di Banda, budak-budak yang bekerja di perkebunan-yang sedianya bisa mengisi pasar budak dunia-menurun drastis akibat kelaparan atau dibunuh tuannya. Mereka digantikan oleh perkenier-pemukim Eropa non-Belanda yang bekerja di perkebunan sebagai budak Belanda. Mereka mengerjakan tanah-tanah perkebunan yang telah dibagi-bagi dan disebut perken.

Di Batavia, perang melawan Banten dan ancaman serbuan Mataram membuat perdagangan budak tak lagi ramai. Antara 1676 dan 1677, populasi budak di Batavia menurun drastis dari 17.279 menjadi 15.776. Epidemi berbagai penyakit yang menghantam Batavia antara 1688 dan 1690 membuat populasi budak turun dari 12 ribu menjadi 11 ribu.

VOC masih terlibat aktif di perdagangan budak sampai dekade kedua abad ke-18, dengan Lombok dan Bali sebagai pemasoknya. Para lelaki Bali dipekerjakan di pabrik-pabrik dan perkebunan, dan wanitanya menjadi gundik orang-orang kaya Tionghoa, Eropa, dan para burgher.

Namun, keuntungan luar biasa yang diperoleh dari perdagangan budak tidak bisa menyelamatkan VOC dari kebangkrutan pada 1799. Sembilan tahun sebelumnya, WIC juga menghentikan perdagangan budak akibat kian maraknya gerakan abolisionis dan pemberontakan budak. Namun, perlu waktu lebih 25 tahun bagi Pemerintah Belanda untuk secara resmi melarang perdagangan budak.Adalah aneh jika Belanda, yang pernah dimakmurkan oleh perdagangan budak, mengingkari keterlibatannya dalam bisnis ini.

http://koran.republika.co.id/koran/203/145687/Ketika_Belanda_Mengingkari_Perdagangan_Budak

Akhir Perbudakan di Hindia-Belanda

Belanda kali tearkhir menggunakan budak saat menginvasi Bali.

Belanda secara resmi melarang perdagangan budak pada tahun 1818, tapi Hindia-Belanda baru benar-benar bebas dari bisnis jual beli manusia pada 1910. Akhir dari perdagangan budak di Hindia-Belanda ditandai dengan tidak adanya manusia yang dibawa paksa dari Sumbawa untuk dijual di Batavia dalam kurun waktu satu tahun.
Namun, apa yang terjadi selama kurun waktu 90 tahun sejak larangan resmi itu dikeluarkan dan siapa yang paling diuntungkan?

VOC menikmati kemakmuran dari perdagangan budak, namun perusahaan multinasional pertama di dunia itu juga bangkrut akibat bisnis jual beli manusia. Hampir semua keuntungan dari perdagangan budak dikorup karyawannya.

Kisah Rangton van Bali memberi banyak contoh akan hal itu. Seorang nahkoda kapal VOC lebih banyak berlayar untuk kepentingan bisnis pribadi, tentunya dalam perdagangan budak, dibanding untuk perusahaan.

Setiap nahkoda terlibat dalam pengiriman budak ilegal. Artinya, yang tercatat dalam manifes lebih rendah dari yang diturunkan di pelabuhan dan dijual di pasar-pasar budak di Cape Town, Batavia, dan Suriname.

Setelah West Indische Compagnie (WIC) menghentikan perdagangan budak dari Afrika dan VOC gulung tikar, perdagangan budak di Asia dijalankan orang-orang Tionghoa. Pemerintah Belanda tak melarang, tapi ikut menikmati rezeki yang berupa pajak.

Ketika pada 1818 Pemerintah Belanda melarang perdagangan budak, Hindia-Belanda belum bisa melepaskan diri dari praktik ini. Yang terjadi adalah pemerintahan Gubernur Jenderal GAG Ph van der Capellen menerapkan standar ganda.

Di satu sisi, untuk memuaskan atasan di Belanda, ia memburu pedagang budak di Bali dan NTT. Di sisi lain, populasi budak di Batavia terus meningkat dan pasar budak masih tetap ramai.

Penerimaan pajak dari perdagangan budak relatif telah menghidupi pemerintahan Van der Capellen. Ia juga tahu kebutuhan akan budak masih sedemikian tinggi. Para lelaki Tionghoa, misalnya, memburu wanita-wanita budak asal Bali untuk dijadikan gundik.

Perkebunan-perkebunan di pinggir Batavia membutuhkan budak-budak. Nyonya kulit putih atau istri-istri pembesar Belanda tidak serta-merta bisa melepaskan diri dari ketergantungan akan budak.

Larangan perdagangan budak juga menghantam perekonomian sejumlah wilayah. Bali, pemasok terbesar pasar budak di Batavia, amat terpukuk oleh larangan ini. Kerajaan-kerajaan kecil di Nusa Tenggara (Barat dan Timur) juga mengalami hal serupa.

Di Bali, sembilan kerajaan: Klungkung, Buleleng, Gianyar, Tabanan, Jembrana, Mengwi, Badung, Bangli, dan Karangasem, rela berperang selama lebih satu abad hanya untuk mendapatkan tawanan perang yang akan dijual sebagai budak.

Di Lombok, sistem kemasyarakatan-pemisahan tajam antara kelas penguasa dan masyarakat yang dikuasai-menyebabkan terjadinya perbudakan. Nuryahman SS, dalam Perdagangan Budak di Nusa Tenggara Sampai Abad ke-19, menyebut beberapa istilah untuk menggambarkan pemisahan tajam di dalam masyarakat.

Di Bali dan Lombok ada istilah panjak. Masyarakat Sumbawa menggunakan istilah tau ulin untuk menyebut kelompok masyarakat yang bisa dijadikan budak. Sedangkan, masyarakat Sumba-Timor menyebut ata hao.

Ada lagi istilah di Lombok untuk budak, yaitu jalma adol-adolan. Mereka dipandang rendah oleh masyarakatnya dan harus siap dijual ke mana saja tuan mereka suka.

Awalnya, perbudakan hanya terjadi antarpenduduk yang berkuasa atas individu dan individu yang dikuasai. Penguasaan atas individu bisa terjadi secara sederhana. Misal, tidak mampu membayar utang sampai waktu yang ditentukan, atau satu desa merampok desa lain yang lebih lemah dan memperbudak masyarakat yang dirampok.

Di Bali, menurut Prof Robert CH Shell, perbudakan antara satu dan lain individu bisa terjadi hanya karena persoalan sepele, misal gelas-atau barang-barang tertentu milik individu berkuasa-tersenggol oleh individu lainnya.

Sebelum VOC menaklukkan Makassar pada 1667 untuk mendapatkan budak demi memenuhi pasar internasional, aktivitas perdagangan budak telah berlangsung di Nusa Tenggara. Ketika VOC secara aktif memasuki pasar Nusa Tenggara, akibat minimnya pasokan budak dari India Barat, situasi semakin ramai.

Sejarawan Hsing ch'a Sheng mencatat saat itu telah ada 12 pelabuhan dengan komoditas budak di Pulau Timor pada 1436. Sumber Cina lainnya menyebutkan, pada 1618, raja-raja lokal selalu membawa gundik dan budak-budaknya jika bepergian.

Setelah VOC menguasai Makassar, kebutuhan akan tenaga kerja di galangan kapal, rumah-rumah pejabat, dan ketentaraan sedemikian tinggi. Itu hanya bisa diisi dengan mendatangkan budak.

Maka, bermunculan kampung-kampung budak di luar Batavia. Setiap kampung diberi nama sesuai asal budak, misalnya Manggarai dan Kampung Bali. Setiba di Batavia, para budak diisolasi di permukiman. Setelah itu dijual ke pasar budak.

Abdul Kadim, sultan Bima, meminta upeti berupa budak dari Manggarai. Permintaan ini atas desakan Belanda. Upeti berupa budak disebut teki mendi.

Arsip Belanda menyebutkan sepanjang abad ke-17, setiap tahun 2.000 budak dari Manggarai dijual ke pasar. Sebanyak 300 sampai 400 adalah budak yang diperoleh sultan sebagai teki mendi. Namun, jumlah ini tidak bisa dikonfirmasikan dan diragukan kebenarannya.

Manggarai bukan wilayah besar dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan tingkat kalahiran luar biasa besar. Terdapat bukti lain, budak-budak itu tidak selamanya berasal dari Manggarai, tapi dari Sumba.

Bersama orang-orang Ende, orang-orang Manggarai melakukan perampokan manusia di Pulau Sumba. Jika permintaan besar, orang Ende dan Manggarai melakukan penyerangan besar-besaran untuk mendapatkan barang dagangannya. Ada pula yang melakukan penculikan diam-diam. Biasanya ini dilakukan terhadap budak anak-anak dan wanita.

Tidak ada data akurat mengenai jumlah budak dari Nusa Tenggara dan destinasi mereka. Yang pasti, almarhum Rosihan Anwar pernah menemukan keluarga keturunan Nusa Tenggara di Afrika Selatan. Jumlah mereka cukup banyak dan turun-temurun menyatu dengan masyarakat Makassar yang datang bersama Syech Yusuf.

Di Pulau Timor, yang pada abad ke-18 telah dikuasai Portugis, terdapat sejumlah pelabuhan dengan komoditas budak. Salah satunya Atapupu, kata dalam bahasa Tetun. Kota ini kemudian berubah menjadi Atambua. Atan atau ata artinya budak.

Kecuali para budak, semua orang diuntungkan oleh perdagangan manusia. Orang Cina terlibat aktif dalam bisnis ini sampai satu abad lebih. Bahkan ketika Belanda mulai menarik diri dari perdagangan budak di Bali akibat pengkhianatan seorang raja Bali terhadap burgher, orang Cina mengambil peran sentral dalam bisnis ini.

Bahkan ketika Belanda mulai aktif memberangus perdagangan budak di Bali dan Nusa Tenggara, yang membuat raja-raja di kedua kawasan itu kehilangan penghasilan, orang Cina melihatnya sebagai peluang mendapatkan keuntungan besar dalam perdagangan budak ilegal. Mereka bersahabat dengan raja-raja dalam mendapatkan budak.

Di Kupang, misalnya, perdagangan budak dikuasai Cina. Orang Eropa sangat sedikit dan tidak terlalu berani berspekulasi. Pedagang dari Surabaya mulai aktif mencari budak dari Nusa Tenggara di pertengahan abad ke-19.

Arsip Belanda tahun 1850 menyebutkan, sekitar 70 budak dibawa dari Kupang dan Rote ke Batavia. Kolonial Verslag pada 1881 melaporkan masih adanya perdagangan budak di Timor. Para raja menjual budak-budak itu untuk mendapatkan barang keperluannya berupa opium dan senjata.

Pada 1910 tidak ada lagi budak-budak Nusa Tenggara yang dibawa ke Batavia. Namun, sejumlah laporan menyebutkan masih ada kelas hamba sahaya yang diperbudak di Sumbawa. Budak-budak itu memang tidak lagi dijual, tapi digunakan sendiri oleh orang yang tuannya.

Sejak pertengahan abad ke-19, Belanda intensif melakukan penghapusan perbudakan. Caranya, dengan menekan raja-raja penjual budak. Jika perlu dengan kekuatan senjata. Namun, Belanda juga menarik pajak jika terjadi transaksi budak.

Ketika Jawa terbuka bagi penanam modal swasta di sektor perkebunan, perbudakan di perkebunan masih belum hilang sama sekali. Hanya saja, bentuknya lebih lunak. Misalnya, jam kerja dibatasi dan pekerja diberi upah. Upah itu berupa koin yang bisa ditukar dengan bahan makanan di warung-warung milik tuan tanah. Koin itu tidak berlaku untuk membeli kebutuhan di pasar bebas.

Pasukan budak

Belanda terakhir kali diuntungkan oleh perdagangan budak ketika melakukan invasi militer ke Bali. Perang ini cukup panjang dan melelahkan karena Belanda harus menaklukkan satu demi satu kerajaan di Bali.

Banyak sumber menyebutkan, Belanda menggunakan budak-budak asal Bali untuk menyerang kerajaan-kerajaan itu. Mereka dilatih, dipersenjatai, dan berdiri di garis depan. Perang penyatuan Bali ke dalam Hindia-Belanda menjadi perang antarorang Bali.

Belanda mengatakan, perang ini adalah kesempatan bagi para budak Bali, yang kali terakhir dijual para raja-raja mereka, untuk balas dendam. Namun, tidak ada data pasti berapa banyak budak asal Bali yang terlibat dalam perang ini.

Penggunaan budak asal Bali terjadi sampai perang terakhir melawan Bangli dan Klungkung. Bangli lebih dulu ditundukkan. Klungkung diberangus pada 1908. Setelah itu Bali secara keseluruhan menjadi bagian Hindia-Belanda.

Pada akhirnya, Belanda pula yang diuntungkan oleh perdagangan budak. Belanda melihat orang Bali sebagai sumber daya militer paling mengesankan. Orang Bali adalah prajurit-prajurit tangguh yang dibentuk oleh konflik lokal seratus tahun lebih.

Belanda mendapat pelajaran langsung ketika menyerang Bali pada 1846 dan 1848. Saat itu Belanda kalah total. Setahun kemudian, Belanda mengerahkan 15 ribu pasukan dan kapal perang untuk menyerang Bali, tapi hanya mendapat kemenangan kecil.

Setelah 1914, arsip Belanda tidak lagi mencatat adanya kabar penjualan budak dari Bali dan Nusa Tenggara. Sebagai gantinya, orang-orang Jawa mulai memasuki pasar tenaga kerja. Mereka dikirim ke perkebunan-perkebunan di Sumatra dan mengisi pasar kerja sektor properti di Batavia.

Di rumah-rumah para tuan kulit putih terjadi perjongosan. Status sosial orang-orang kaya Belanda ditentukan oleh banyaknya jongos atau pelayan rumah. Ketiadaan wanita-wanita Bali membuat para tuan Tionghoa menyasar wanita-wanita sekitar Batavia sebagai gundik.

Kini, Bali bukan lagi penghasil budak, tapi berpotensi menjadi penyuplai tenaga kerja ke pasar dunia. Situs devari.org menulis, pekerja Bali kini tersebar di banyak negara. Kebanyakan mengisi kapal-kapal pesiar dan hotel-hotel di pinggir pantai di AS dan Eropa, baik legal maupun ilegal.

Mereka disukai para tuannya karena banyak hal, yakni jujur, penurut, ulet, tidak punya budaya komplain, selalu bersyukur, menerima tanggung jawab apa saja, dan kerap mengatakan: "Ini sudah takdir kami, ramah kepada siapa pun." Bahkan, tulis situs itu, binatang pun disapa. Lebih penting lagi, mereka fleksibel dan bersedia bekerja lebih dari waktu yang ditentukan.

sumber: http://koran.republika.co.id/koran/203/145689/Akhir_Perbudakan_di_Hindia_Belanda

Sabtu, 15 Oktober 2011

Cuma Sedikit yang Tahu Tragedi Rawagede

DEN HAAG, KOMPAS.com - Pada 20 Juni 2011, sembilan janda korban pembantaian di desa Rawagede, Karawang, Jawa Barat, mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pemerintah Belanda. Rabu (14/09), Pengadilan Den Haag menerbitkan vonis atas perkara itu yang memenangkan tuntutan sembilan janda tersebut. Pengadilan memerintahkan Pemerintah Belada membayar sejumlah ganti rugi kepada mereka.

Rushdy Hoesein, sejarawan, pada tahun 1995 ikut membuat liputan televisi tentang kasus Rawagede itu. Kepada Radio Nederland, Rushdy mengemukakan, berbeda dengan situasi di Belanda, sejauh ini perhatian masyarakat, pers dan kalangan akademisi di Indonesia mengenai berbagai kasus kejahatan perang pada masa perang kemerdekaan sangat minimal. Menurut Rushdy, sebagaimana dilaporkan Radio Nederland, Rabu (14/9/2011), sebabnya pertama-tama masyarakat Indonesia tidak begitu menguasai pengetahuan sejarah. Bukan melupakan sejarah, tapi banyak informasi kesejarahan yang tidak akurat.

Akibatnya bukan saja mereka tidak tahu, tetapi juga tidak ingin memperdalam pengetahuan di bidang sejarah. Terutama mengenai sejarah kontemporer. Periode mengenai proklamasi sampai dengan perang kemerdekaan dan sebagainya. Hal itu, kata dia, mungkin ada pengaruh dari masa kekuasaan militer pada periode Orde Baru. Generasi muda justru lebih tertarik pada kejadian-kejadian sebelum perang. Terutama yang berkaitan dengan gedung-gedung bersejarah. Seperti Kota Tua itu justru malahan lebih menarik ketimbang upaya memahami peristiwa-peristiwa setelah proklamasi kemerdekaan.

Soeharto memang sudah lama meninggal dunia, namun dampak kekuasaan militer tampaknya masih terasa. Walau demikian sekarang sudah ada kemajuan. Cukup banyak orang yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai tokoh-tokoh pergerakan. Baik pada masa perintis kemerdekaan, mau pun pada masa mempertahankan proklamasi, periode perang kemerdekaan.

Jadi, kata Rusdhy, sudah ada perubahan, tapi belum begitu banyak. Belum begitu sempurna. Pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai kasus kejahatan perang, sebagaimana yang terjadi di Rawagede belum banyak. Faktanya demikian, kata Rushdy Hoesein.

Memang ada sekelompok orang yang mengusahakan. Terutama yang berkaitan dengan yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). Tapi kadang-kadang tidak melekat langsung dengan masalah kepahlawanan. Sebetulnya sebagian besar bangsa Indonesia kurang paham. Kita tahu ada buku yang namanya De Excessennota. Tapi hanya beberapa orang saja yang memiliki buku tersebut. Karena ditulis dalam bahasa Belanda. Dan tidak ada terjemahannya.

Dekat Jakarta
Radio Nederland melaporkan, perhatian terhadap peristiwa Rawagede berkaitan dengan tim wartawan Belanda yang membuat film mengenai kasus kejahatan perang di Indonesia, pada tahun 1995. Film itu dibuat sehubungan dengan rangkaian acara peringatan 50 tahun kemerdekaan Indonesia. Rushdy Hoesein ikut terlibat dalam kegiatan tim wartawan Belanda tersebut. Pilihan untuk meliput Rawagede semata-mata karena letaknya dekat Jakarta.

Para wartawan tersebut antara lain diantar oleh sejumlah veteran yang masih hidup. Kalau mereka misalnya pergi ke Pronojiwo di Jawa Timur, akan terlalu jauh. Padahal kejahatan perang yang terjadi di sana sebenarnya jauh lebih besar. Maka jadilah film tersebut, yang kemudian ditayangkan di televisi Belanda.
Menurut Rushdy minat di kalangan akademisi Indonesia terhadap berbagai kasus kejahatan perang antara tahun 1945 hingga 1949 juga nyaris tidak ada. Mungkin karena bahannya sangat berat. Karena ini menyangkut operasi militer. Selain itu juga berkaitan dengan serangkaian perundingan antara pihak Indonesia dan Belanda. Peristiwa pembantaian di Rawagede terjadi pada saat Indonesia dan Belanda bersiap-siap menyelenggarakan perundingan Renville.

Sejauh ini, pemerintah Indonesia tidak pernah mengangkat masalah kejahatan perang ini pada pemerintah Belanda. Menurut Rushdy Hoesein permasalahannya adalah Indonesia dan Belanda sepakat, tidak akan mempersoalkan berbagai kasus kejahatan perang yang terjadi sebelum saat pengakuan kedaulatan pada tahun 1949. Contohnya, kasus Kapten Raymond Westerling menjadi masalah, bukan karena kejahatan perang yang ia lakukan di Sulawesi Selatan. Tapi karena peristiwa APRA di Bandung. Itu terjadi pada tahun 1950. Jadi, dengan adanya kesepakatan Kesepakatan Meja Bundar (KMB), semua dianggap selesai. Karena, peristiwa pembantaian di Rawagede terjadi pada tahun 1947.

sumber:  http://internasional.kompas.com/read/2011/09/15/09005234/Cuma.Sedikit.yang.Tahu.Tragedi.Rawagede

Janda Rawagede Kalahkan Belanda Kemenangan Melawan Lupa dari Rawagede

Sejarah adalah perjuangan melawan lupa; dan Rawagede menjadi bukti kemenangan perjuangan itu. Bagi Belanda, pembantaian tentaranya yang menewaskan ratusan orang di Rawagede, Karawang, Jawa Barat itu hanyalah cerita yang sudah kadaluwarsa.

Pemerintah Indonesia juga kurang peduli dengan pembantaian biadab pada 9 Desember 1947 itu. Nama Rawagede pun sekarang sudah tidak ada dan diganti menjadi Balonsari. Saksi pembantaian itu hanya tersisa segelintir orang dan sudah sangat sepuh. Tapi mereka yang tersisa tidak mau menyerah untuk terus menggugat keadilan. Mereka tidak mau kejahatan HAM di Rawagede dilupakan. Akhirnya, setelah 64 tahun pembantaian berlalu, keadilan berpihak pada mereka.

Rabu, 14 September 2011, Pengadilan Den Haag menerbitkan vonis yang memenangkan tuntutan 9 janda dan korban pembantaian di Rawagede. Dilansir BBC, pengadilan di Den Haag menyatakan pemerintah Belanda bertanggung jawab atas pembantaian yang dilakukan tentaranya di Rawagede. "Alhamdulillah," kata Wasiah, salah satu janda dari korban pembantaian Rawagede yang ikut menggugat, menanggapi kemenangan gugatan itu. Gugatan para korban pembantaian Rawagede sejatinya bermula dari buku berjudul 'Riwayat Singkat Makam Pahlawan Rawagede'. Buku itu ditulis Sukarman, ahli waris korban, dan diterbitkan pada 1991.  Ayah Sukarman, Sukardi adalah pejuang Indonesia yang lolos dari pembantaian Rawagede.

Sementara ibunya, Cawi, adalah janda korban pembantaian itu. Sukarman menulis buku itu karena tidak ingin pengorbanan besar rakyat Rawagede demi kemerdekaan itu dilupakan begitu saja. Ia tidak mau peristiwa itu 'hanya' dikenang melalui bait puisi "Karawang-Bekasi" karya Chairil Anwar. "Peristiwa Rawagede itu sangat memilukan, saya ingin menceritakan secara gamblang apa yang sebenarnya terjadi di Rawagede pada 9 Desember 1947," ujar mantan Kepala Desa Rawagede itu, saat ditemui detik+ di rumahnya. 'Riwayat Makam Pahlawan Rawagede' berisi keterangan istri-istri para korban yang masih hidup. Saat itu, tahun 1991 waktu buku dibuat, jumlah janda korban Rawagede masih 50 orang. Kini mereka tinggal 6 orang yang masih hidup, salah satunya Cawi, ibunda Sukarman. Suami Cawi, Bendol, dibantai pasukan Belanda di Rawagede.

Tiga tahun setelah pembantaian itu, Cawi menikah dengan Sukardi, pejuang Indonesia yang lolos dari pembantaian sadis itu. Dari pernikahan itulah lahir Sukarman. "Saya tidak lagi dendam," kata Cawi mengenang pembantaian itu. Dari kedua orangtuanya itulah, Sukarman mendapatkan cerita yang utuh pembantaian Rawagede. Tanpa disangka buku Sukarman menyebar ke Belanda karena dibawa pengurus Badan Kontak Legium Veteran RI Alif Jumhur.

Di Belanda, buku itu menyedot perhatian akademisi, politisi dan wartawan hingga kemudian dicetak ulang. Orang-orang Belanda sangat kaget dengan kisah pembantaian di buku itu. Yang mereka tahu Indonesia adalah bagian dari Kerajaan Hindia Belanda sehingga tidak ada penjajahan apalagi pembantaian. Beberapa bulan setelah buku itu beredar, sejumlah akademisi dan wartawan Belanda datang ke Rawagede. Mereka berupaya menggali peristiwa yang sebenarnya di desa yang jaraknya 20 kilometer dari Kota Karawang tersebut. "Setiap bulan ada saja wartawan atau peneliti Belanda yang datang ke Rawagede sejak 1994," kata Sukarman.

Di Indonesia sendiri, tampaknya buku itu hanya menarik perhatian para veteran termasuk Pangdam Siliwangi saat itu, Mayjen TNI Tayo Tarmadi. Begitu membaca buku itu, Tayo langsung mendatangi Sukarman. Tayo meminta Sukarman untuk mengusulkan pendirian Yayasan Rawagede dan mengumpulkan kuburan para korban dalam satu lokasi berikut membangun monumen. Akhirnya, pada 1995, Bupati Karawang saat itu, Mangkuwijaya, menyetujui penyatuan makam jenazah korban Rawagede. Sang Bupati dan Pangdam Siliwangi mengumpulkan pengusaha sehingga terkumpul sumbangan Rp 400 juta untuk membangun pemakaman yang layak bagi 431 jenazah korban Rawagede.

Pembangunan Monumen Rawagede rampung pada Oktober 1996. Setelah itu setiap 9 Desember, Muspida Karawang mengadakan upacara di monument itu. Begitu monumen berdiri, sejumlah veteran dan LSM HAM Belanda menyarankan Sukarman dan ahli waris menggugat pemerintah Belanda untuk mendapatkan ganti rugi atas pembantaian itu. Pada 16 Agustus 2007, para janda korban dan ahli waris termasuk saksi mata pembantaian itu Sya'ih bin Sakam, melakukan demo di kedubes Belanda di Jakarta. Tapi aksi itu tidak direspons. Bukan hanya Belanda yang tidak merespon, pemerintah Indonesia juga tidak peduli.

Karena tidak direspons, para korban dan ahli waris lantas menggugat secara hukum. Gugatan yang dilakukan bersama Komite Utang dan Kehormatan Belanda, yang dipimpin Batara Hutagalung itu dilayangkan pada Oktober 2008 di Belanda. Sejauh itu, pemerintah Indonesia tidak juga menunjukan dukungan. "Pemerintah tidak berbuat apa-apa. Mungkin merasa tidak enak sama Belanda," kata Sukarman. Untungnya akademisi, wartawan, serta anggota parlemen Belanda dari partai oposisi mendukung gugatan itu. Bahkan 19 September 2008, dua anggota parlemen Belanda, Harry van Bommel dari Partai Sosialis dan Joel Voordewind dari Partai Uni Kristen (ChristenUnie) bertemu para korban termasuk Wasiah dan Sya'ih di Jakarta. Pada 2010, Sukarman dan Sya'ih datang ke Belanda untuk memberikan kesaksian.

Kemudian awal 2011, Sukarman datang lagi menghadap pengadilan Belanda. Melihat jalannya persidangan, awalnya Sukarman pesimistis gugatan bakal menang. Itu sebabnya Sukarman dan kuasa hukum penggugat mempersiapkan banding. Tapi berbarengan proses sidang, ternyata media massa di Belanda mengulas keterangan sejumlah veteran tentara Belanda (Veteran LMD). Media Belanda menulis keterangan 5 orang bekas tentara Belanda yang pernah bertugas di Jakarta. Mereka mengakui pernah melakukan penembakan di Rawagede. Bahkan kelima veteran ini siap memberikan ganti rugi melalui koceknya sendiri sebagai kompensasi dari kebrutalan mereka saat bertugas di Rawagede. "Awalnya pemerintah Belanda ngotot kalau kasus ini sudah kadaluwarsa. Tapi karena kesaksian 5 pelaku pembantaian itu, majelis hakim mungkin jadi berubah pikiran," duga Sukarman.

sumber: Deden Gunawan - detik News, http://sejarahkita.blogspot.com/2011/10/janda-rawagede-kalahkan-belanda.html

Kamis, 13 Oktober 2011

Prambanan, Candi Hindu Tercantik di Dunia

Candi Prambanan adalah bangunan luar biasa cantik yang dibangun di abad ke-10 pada masa pemerintahan dua raja, Rakai Pikatan dan Rakai Balitung. Menjulang setinggi 47 meter (5 meter lebih tinggi dari Candi Borobudur), berdirinya candi ini telah memenuhi keinginan pembuatnya, menunjukkan kejayaan Hindu di tanah Jawa. Candi ini terletak 17 kilometer dari pusat kota Yogyakarta, di tengah area yang kini dibangun taman indah.

Ada sebuah legenda yang selalu diceritakan masyarakat Jawa tentang candi ini. Alkisah, lelaki bernama Bandung Bondowoso mencintai Roro Jonggrang. Karena tak mencintai, Jonggrang meminta Bondowoso membuat candi dengan 1000 arca dalam semalam. Permintaan itu hampir terpenuhi sebelum Jonggrang meminta warga desa menumbuk padi dan membuat api besar agar terbentuk suasana seperti pagi hari. Bondowoso yang baru dapat membuat 999 arca kemudian mengutuk Jonggrang menjadi arca yang ke-1000 karena merasa dicurangi.

Candi Prambanan memiliki 3 candi utama di halaman utama, yaitu Candi Wisnu, Brahma, dan Siwa. Ketiga candi tersebut adalah lambang Trimurti dalam kepercayaan Hindu. Ketiga candi itu menghadap ke timur. Setiap candi utama memiliki satu candi pendamping yang menghadap ke barat, yaitu Nandini untuk Siwa, Angsa untuk Brahma, dan Garuda untuk Wisnu. Selain itu, masih terdapat 2 candi apit, 4 candi kelir, dan 4 candi sudut. Sementara, halaman kedua memiliki 224 candi.

Memasuki candi Siwa yang terletak di tengah dan bangunannya paling tinggi, anda akan menemui 4 buah ruangan. Satu ruangan utama berisi arca Siwa, sementara 3 ruangan yang lain masing-masing berisi arca Durga (istri Siwa), Agastya (guru Siwa), dan Ganesha (putra Siwa). Arca Durga itulah yang disebut-sebut sebagai arca Roro Jonggrang dalam legenda yang diceritakan di atas.

Di Candi Wisnu yang terletak di sebelah utara candi Siwa, anda hanya akan menjumpai satu ruangan yang berisi arca Wisnu. Demikian juga Candi Brahma yang terletak di sebelah selatan Candi Siwa, anda juga hanya akan menemukan satu ruangan berisi arca Brahma.

Candi pendamping yang cukup memikat adalah Candi Garuda yang terletak di dekat Candi Wisnu. Candi ini menyimpan kisah tentang sosok manusia setengah burung yang bernama Garuda. Garuda merupakan burung mistik dalam mitologi Hindu yang bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah, berparuh dan bersayap mirip elang. Diperkirakan, sosok itu adalah adaptasi Hindu atas sosok Bennu (berarti 'terbit' atau 'bersinar', biasa diasosiasikan dengan Dewa Re) dalam mitologi Mesir Kuno atau Phoenix dalam mitologi Yunani Kuno. Garuda bisa menyelamatkan ibunya dari kutukan Aruna (kakak Garuda yang terlahir cacat) dengan mencuri Tirta Amerta (air suci para dewa).

Kemampuan menyelamatkan itu yang dikagumi oleh banyak orang sampai sekarang dan digunakan untuk berbagai kepentingan. Indonesia menggunakannya untuk lambang negara. Konon, pencipta lambang Garuda Pancasila mencari inspirasi di candi ini. Negara lain yang juga menggunakannya untuk lambang negara adalah Thailand, dengan alasan sama tapi adaptasi bentuk dan kenampakan yang berbeda. Di Thailand, Garuda dikenal dengan istilah Krut atau Pha Krut.

Prambanan juga memiliki relief candi yang memuat kisah Ramayana. Menurut para ahli, relief itu mirip dengan cerita Ramayana yang diturunkan lewat tradisi lisan. Relief lain yang menarik adalah pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap sebagai pohon kehidupan, kelestarian dan keserasian lingkungan. Di Prambanan, relief pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 memiliki kearifan dalam mengelola lingkungannya.

Sama seperti sosok Garuda, Kalpataru kini juga digunakan untuk berbagai kepentingan. Di Indonesia, Kalpataru menjadi lambang Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Bahkan, beberapa ilmuwan di Bali mengembangkan konsep Tri Hita Karana untuk pelestarian lingkungan dengan melihat relief Kalpataru di candi ini. Pohon kehidupan itu juga dapat ditemukan pada gunungan yang digunakan untuk membuka kesenian wayang. Sebuah bukti bahwa relief yang ada di Prambanan telah mendunia.

Kalau cermat, anda juga bisa melihat berbagai relief burung, kali ini burung yang nyata. Relief-relief burung di Candi Prambanan begitu natural sehingga para biolog bahkan dapat mengidentifikasinya sampai tingkat genus. Salah satunya relief Kakatua Jambul Kuning (Cacatua sulphurea) yang mengundang pertanyaan. Sebabnya, burung itu sebenarnya hanya terdapat di Pulau Masakambing, sebuah pulau di tengah Laut Jawa. Lalu, apakah jenis itu dulu pernah banyak terdapat di Yogyakarta? Jawabannya silakan cari tahu sendiri. Sebab, hingga kini belum ada satu orang pun yang bisa memecahkan misteri itu.

Nah, masih banyak lagi yang bisa digali di Prambanan. Anda tak boleh jemu tentunya. Kalau pun akhirnya lelah, anda bisa beristirahat di taman sekitar candi. Tertarik? Datanglah segera. Sejak tanggal 18 September 2006, anda sudah bisa memasuki zona 1 Candi Prambanan meski belum bisa masuk ke dalam candi. Beberapa kerusakan akibat gempa 27 Mei 2006 lalu kini sedang diperbaiki.

Naskah: Yunanto Wiji Utomo, http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/candi/prambanan/photo-gallery/1/


Sejarah Persandian

Sejarah persandian Republik Indonesia dimulai dengan berdirinya Dinas Kode pada Kementerian Pertahanan Republik Indonesia pada tanggal 4 April 1946. Dalam perkembangannya, persandian Indonesa secara kelembagaan mengalami beberapa kali perubahan seiring dengan dinamika kehidupan pemerintahan Republik Indonesia.
Pada 2 September 1949 Dinas Kode Kementerian Pertahanan tersebut berubah menjadi Djawatan Sandi, dan akhirnya pada 22 Februari 1972 berubah menjadi Lembaga Sandi Negara. Dinas Kode yang dulu hanya melaksanakan persandian di lingkungan Angkatan Perang Republik Indonesia, saat ini telah menjadi Lembaga Sandi Negara yang menangani persandian secara nasional. Dari konteks sejarah itulah, 4 April kemudian dinyatakan dan diperingati sebagai Hari Persandian Republik Indonesia. Dalam hal kepemimpinan, sejak pembentukannya, Lembaga Sandi Negara telah mengalami empat periode kepemimpinan, mulai dari Mayjen TNI (Purn.) Dr Roebiono Kertopati (1946-1964), Laksda TNI (Purn.) Soebardo (1986-1998), Laksda TNI (Purn.) BO Hutagalung (1998-2002), dan Mayjen TNI Nachrowi Ramli terhitung mula 1 Mei 2002 sampai dengan sekarang.
Tentang peralatan persandian yang digunakan untuk mengamankan informasi rahasia negara, pada saat perang melawan penjajahan hingga perang kemerdekaan, peralatan sandi yang digunakan sebatas penggunaan sistem One Time Pad (OTP) dan sistem kode yang dibuat secara mandiri. Saat ini, dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, peralatan sandi yang digunakan semakin bervariasi. Peralatan sandi tersebut antara lain telepon bersandi (cryptophone), faks bersandi (cryptofax), sistem pengamanan data (data security), secure e-mail, encrypted mobile phone, dan lain-lain.
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan unsur penting dalam persandian. SDM persandian pada awal berdirinya direkrut secara ketat dan pribadi oleh Dr Roebiono Kertopati sendiri. Dalam hal memenuhi kebutuhan SDM persandian yang profesional Lemsaneg melaksanakan program Pendidikan dan Pelatihan Teknis Pembentukan Sandiman, yang dapat diikuti oleh personel dari berbagai instansi pemerintah, dan Akademi Sandi Negara. Dalam rangka meningkatkan kualitas personel sandi yang dikaitkan dengan teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang pesat, sesuai Keppres Nomor 22/2003, Akademi Sandi Negara ditingkatkan statusnya menjadi Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN).

Kondisi saat ini Selama 58 tahun, persandian RI telah berperan dalam mengamankan informasi rahasia negara, langkah-langkah strategis telah dilakukan untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya menjaga kerahasiaan informasi negara semakin hari semakin menghadapi tantangan, karena ada beberapa indikasi penyadapan informasi rahasia negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh negara lain.
Beberapa indikasi kasus penyadapan informasi yang telah terjadi antara lain: Pertama, pada 1980-an UKUSA yang dibentuk oleh Amerika, Inggris, Kanada, Selandia Baru, dan Jerman menggelar 'Echelon Operation' suatu operasi yang bertujuan melakukan penyadapan terhadap sarana telekomunikasi di seluruh dunia (www.himaay.net).
Kedua, pada 1991 Australia menggelar 'Jupiter Operation' dan 'Larswood Operation' untuk menyadap pemberitaan yang ditransmisikan melalui satelit Palapa (www.msnbc.com).
Ketiga, NBC News tanggal 12 September 1999 menyebutkan bahwa satelit mata-mata AS bekerja sama dengan Australia (Orion Spy Satelite) berada di atas wilayah Indonesia untuk menyadap sinyal komunikasi seluler Jakarta-Dili.
Keempat, terungkapnya penyadapan pembicaraan telepon antara Presiden BJ Habibie dan Jaksa Agung Andi Ghalib tahun 1999, seperti termuat pada majalah Panji Masyarakat tanggal 24 Februari 1999.
Kelima, pada 2001 FBI mengakui bahwa AS mengembangkan teknologi mata-mata lewat internet dengan nama 'Magic Lantern' untuk menyadap komunikasi komputer (www.msnbc.com).
Keenam, sinyalemen yang diekspose media Australia Sydney Morning Herald tanggal 14 Maret 2002 tentang operasi penyadapan oleh Defense Signal Directorate (DSD) terhadap komunikasi Jakarta-Dili antara pejabat militer RI periode pra-jajak pendapat Timtim.
Ketujuh, Februari 2004 Tim Lemsaneg mendapatkan indikasi ditemukannya alat menyadap yang dipasang di beberapa Kedutaan Besar RI di luar negeri. Dalam menghadapi tantangan terhadap upaya penyadapan informasi rahasia tersebut, Lemsaneg telah melaksanakan kebijakan strategis dalam pengabdian kepada negara dan dituangkan di dalam strategi kebijakan Sistem Persandian Nasional (Sisdina).
Sisdina adalah totalitas atau keterpaduan kegiatan pembinaan sumber daya manusia, perangkat lunak, dan perangkat keras persandian, yang saling terkait satu sama lain sebagai satu kesatuan yang utuh dalam rangka penyelenggaraan tugas persandian dan kegiatan pengamanan berita rahasia negara. Sisdina terdiri dari dua unsur utama yaitu pembinaan persandian dan operasional persandian. Pembinaan mencakup SDM, Jaring Komunikasi Sandi, dan Material Sandi yang digunakan dalam operasional persandian.
Sebagai penjabaran Sisdina, Lemsaneg telah melakukan langkah-langkah antara lain:
Pertama, menggelar Jaring Komunikasi Sandi bagi Pejabat Negara (VVIP), berupa telepon bersandi (cryptophone), yang digelar dalam jaring tertutup dan terbatas pada pejabat tertentu yang memiliki kewenangan strategis.
Kedua, menggelar Jaring Komunikasi Sandi bagi instansi-instansi pemerintah serta perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dengan perlengkapan sandi cryptophone, cryptofax, dan data security.
Ketiga, secara konsisten telah turut serta mendukung operasional penanggulangan daerah bergolak seperti Provinsi NAD, Papua, Maluku, Maluku Utara, dan Atambua. Kebijakan strategis Lemsaneg adalah menugaskan personel Lemsaneg yang dilengkapi peralatan sandi berupa cryptophone, cryptofax dan data security dalam tim pemerintah dalam kendali atau koordinasi Menko Polkam.
Keempat, pejabat Lemsaneg turut serta dalam setiap kunjungan Presiden ke luar negeri untuk memberi dukungan pengamanan komunikasi dan informasi bagi Presiden.
Kelima, Lemsaneg bekerja sama dengan Departemen Pertahanan sedang melakukan penelitian hukum dalam kerangka penyusunan Rancangan Undang-Undang Kerahasiaan Negara (RUU-KN).
Keenam, melakukan litbang peralatan sandi dengan melakukan rancang bangun dan penciptaan peralatan sandi dalam upaya kemandirian di bidang persandian.
Ketujuh, menyusun kebijakan dan standarisasi persandian nasional. Kedelapan, menyusun Rencana Strategis (Renstra) Jaring Komunikasi Sandi Nasional, dalam rangka mendukung pengamanan informasi bagi sektor pemerintah dan non pemerintah.

Masa datang Dengan meningkatnya kebutuhan dan semakin kompleks serta canggihnya ancaman, persandian masa depan diharapkan menjadi persandian yang antisipatif terhadap tantangan dan ancaman, fleksibel terhadap dinamika perubahan, dan responsif terhadap tuntutan pelayanan persandian dan pengamanan informasi.
Persandian masa mendatang bukanlah persandian yang terbatas pada lingkup instansi pemerintah dan BUMN, tetapi juga kebutuhan pengamanan informasi dalam lingkup kepentingan masyarakat, khususnya dalam kerangka pengembangan dan pendayagunaan telematika nasional, implementasi e-government, dan sistem pengamanan segala jenis transaksi elektronik. Namun demikian, seperti ungkapan populer: the man behind the gun, maka faktor manusia sebagai pengguna informasi dapat menjadi titik rawan terhadap bocornya suatu informasi. Jika pengguna informasi kurang mempunyai dedikasi dan loyalitas tinggi, dan jika security awareness di lingkungan pengguna informasi rahasia sangat rendah, maka segala upaya yang dilakukan Persandian RI akan sia-sia. Memang, kebocoran suatu informasi rahasia sulit dibuktikan secara fisik.
Namun beberapa kegagalan diplomasi, beberapa kasus penyadapan di KBRI merupakan pendorong untuk meningkatkan security awareness pada setiap warga negara Republik Indonesia.

Oleh : Dedy R Wicaksono
http://rixco.multiply.com/journal/item/186/MENGENAL_SEJARAH_SANDI_RAHASIA_DI_REPUBLIK_INDONESIA_?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem