Minggu, 26 Juni 2011

Sejarah Arsitektur Gaya Minimalis


Design arsitektur minimalis yang tengah marak saat ini sebenarnya bukan bentuk arsitektur baru. Sejak awal tahun 1920-an sampai bersinar kembali pada tahun 1990-an, telah hadir dengan faktor pemicu, interpretasi dan aplikasi ”simplicity” yang khas dari satu arsitek dengan arsitek lainnya.
Sebenarnya, Le Corbusier dan Ludwig Mies van der Rohe adalah dua dari sekian banyak arsitek yang memberi pengaruh warna kesederhanaan (simplicity) yang signifikan dalam dinamika arsitektur desain minimalis sejak dulu hingga kini.
Kritikus seni Juan Carlos Rego dalam buku Minimalism: Design Source (Page One, Singapore, 2004) mengungkapkan, design architecture minimalis merupakan pendekatan estetika yang mencerminkan kesederhanaan. Fenomena ini tumbuh di berbagai bidang, seperti seni lukis, patung, interior, arsitektur, mode, dan musik. Akan tetapi, awal pertumbuhan dan faktor pemicu tumbuhnya arsitektur desain minimalis di berbagai bidang bersifat khas dan tidak dapat digeneralisasi.
Minimalis dalam seni lukis dan patung dikenal dengan sebutan Minimal Art, ABC Art, atau Cool Art. Pancaran kesederhanaan Minimal Art dapat dirasakan dari ungkapan pelukis Frank Stella, ”What you see is what you see.”
Minimal Art berkembang di Amerika pada tahun 1960-an sebagai reaksi terhadap aliran abstrakt-ekspresionisme yang mendominasi dunia seni tahun 1950-an. Abstrakt-ekspresionisme mengekspos nilai emosi individual, sedangkan Minimal Art mengekspos nilai universal melalui bentuk abstrak dan geometris dalam komposisi matematis.


Pasang-surut

Minimalis dalam arsitektur menekankan hal-hal yang bersifat esensial dan fungsional. Bentuk-bentuk geometris elementer tanpa ornamen atau dekorasi menjadi karakternya. Mengacu pada pendapat Carlos Rego itu, dapat dikatakan arsitektur minimalis mulai tumbuh pada awal abad ke-20 yang dikenal sebagai abad Modern, abad yang diramaikan berbagai kemajuan sebagai dampak dari Revolusi Industri.
Inovasi berbagai material arsitektur bangunan seperti baja, beton, dan kaca, standardisasi dan efisiensi memberi tantangan baru dalam dunia rancang bangun. Beragam pemikiran dikemukakan para arsitek di daratan Eropa maupun Amerika. Pada saat itu pun mereka tengah berusaha mencari format arsitektur baru yang mencerminkan semangat zaman dengan mencoba meninggalkan pengaruh desain bangunan arsitektur klasik.
Ada kelompok arsitek yang memaknai kemajuan zaman itu dengan tetap mempertahankan spirit dekoratif desain arsitektur klasik, tetapi menggunakan motif nonklasik. Contohnya, arsitektur Art Deco tahun 1920-an.
Ada juga yang mengeksplorasi bentuk geometri murni dan antidekorasi, seperti terlihat pada karya Le Corbusier pada tahun 1920-an. Ada juga yang mengeksplorasi integrasi kemajuan industri, teknologi dalam arsitektur, dan antidekorasi, seperti terlihat pada karya Ludwig Mies van der Rohe. Dua kelompok terakhir yang menyiratkan bentuk elementer, fungsional, dan antidekorasi ini dapat disebut sebagai design arsitektur minimalis.
Seiring dengan perjalanan waktu, pengintegrasian kemajuan industri dan teknologi dalam arsitektur bangunan mendominasi arah perkembangan arsitektur. Kehadirannya yang terasa di berbagai belahan dunia membuatnya dijuluki sebagai International Style.
Sumber: www.isdaryanto.com

Mencari Tahu Sejarah Korupsi di Indonesia

Korupsi di Indonesia sudah 'membudaya' sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api.

Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam "budaya korupsi" yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan "perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain" dan banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.

Era Sebelum Indonesia Merdeka

Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh "budaya-tradisi korupsi" yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.

Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi - memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan - belum nampak di permukaan "Wajah Sejarah Indonesia".

Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.

Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.

Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah adayang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan "character building", mengabaikan hukum apalagi demokrasi Terlebih lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba.

Belanda memahami betul akar "budaya korup" yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik "Devide et Impera" mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta "berintegrasi' seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris "belum mengenal" atau belum memahaminya.

Perilaku "korup" bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar "mengkorup" harta-harta Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korup.

Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang "luar biasa" baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.

Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat "nrimo" atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.

Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan saran yang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter. Daiam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya "dibiarkan" miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak "penguasa".

Budaya yang sangat tertutup dan penuh "keculasan" itu turut menyuburkan "budaya korupsi" di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan "korup" dalam mengambil "upeti" (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.

Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan itulah yang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku "memaksa" rakyat kecil, di pihak lain menambah "beban" kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.

Kebiasaan mengambil "upeti" dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 - 1942) minus Zaman Inggris (1811 - 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 - 1837), Aceh (1873 - 1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem "Cuituur Stelsel (CS)" yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.

Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat "manusiawi" dan sangat "beradab", namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya "Sistem Pemaksaan". Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan "Sistem Pembudayaan" menjadi "Tanam Paksa".

Seperti apakah bentuk-bentuk pelang-garan CS tersebut? Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan tanaman yang laku dijual di pasar internasional (Kopi, Tembakau, Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga Padi, bukan seperti sebelumnya yang lebih suka ditanam penduduk yaitu pete, jengkol, sayur-sayuran, padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada yang dipaksa oleh "Belanda Item" (orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda) menjdi 2/5, 4/5 dan ada yang seluruh lahan ditanami dengan tanaman kesukaan Belanda.
2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu Belanda)
3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi).
4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh "Belanda Item" atau para pengumpul.
6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh "Belanda Item" yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak
mengenal kornpromi.

Era Pasca Kemerdekaan

Bagaimana sejarah "budaya korupsi" khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya "Budaya korupsi" yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.

Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.

Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi - Paran dan Operasi Budhi - namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.

Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan - istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.

Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).

Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.

Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah "Operasi Budhi". Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.

Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, "prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain".

Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.

Era Orde Baru

Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.

Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya "macan ompong" karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.

Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

Era Reformasi

Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya "korupsi" lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit "Virus Korupsi" yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara "konkesuen" alias "kelamaan".

Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).

Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.

Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.

Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.

Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.

Pelajaran apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk memberantas korupsi tidak semudah memba-likkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat.

Oleh Amin Rahayu, SS http://swaramuslim.net/SIYASAH/more.php?id=2222_0_6_0_M

Jumat, 17 Juni 2011

Orang Papua Menulis Sejarah Papua


Don Augusthinus Lamaech Flassy, cendekiawan asal Papua, berupaya mengungkap kebenaran baru tentang Papua. Melalui dua buah karyanya, Don ingin meluruskan sejarah bangsanya.

Dua buku itu akan terbit Mei 2009 ini di Jakarta. Fakta sejarah itu diungkapkan Don melalui buku yang masing-masing berjudul 1 MEI 1963 PAPUA MEMANG “YA”: Sebuah Fakta Pelurusan Sejarah Papua dalam Negara Republik Indonesia dan KONSTITUSI VIS A VIS KONSTITUSI INDONESIA 1945-PAPUA 1999: Sebuah Studi Korelasi.

Buku berjudul 1 MEI 1963 PAPUA MEMANG “YA”: Sebuah Fakta Pelurusan Sejarah Papua dalam Negara Republik Indonesia bertutur mengenai aspek pelurusan sejarah keberadaan Indonesia di Papua. Pemerintah Indonesia berkewajiban memenuhi Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA) untuk membebaskan rakyat dan Tanah Papua dari penjajahan Belanda.

Namun, dari pihak Papua sebagaimana proses integrasi yang berlangsung, justru menjadi tidak aman. Padahal, sebelum dan menjelang integrasi, Papua merupakan salah satu wilayah makmur.

Buku itu bercerita bahwa integrasi sudah berlangsung hampir 40 tahun. Namun, bagi Papua itu adalah sebuah bianglala yang diungkapkan dengan ringkasan dengan melihat 1 Mei 1963 sebagai langkah awal dimulainya penjajahan baru setelah Belanda.

Menurut penulis buku itu, dari bahan-bahan tercecer dapat dibuktikan bahwa kondisi 1 Mei memang sengaja diciptakan antara lain untuk segera mengakhir masa Pemerintahan Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nation Temporary Authority di Papua sebagaimana ditunjukkan melalui Naskah yang disusun Drs. The Liang Gie dan F. Soegeng Istanto, SH, dari Lembaga Administrasi Negara Universitas Cenderawasih yang berjudul “Pertumbuhan Pemerintahan Propinsi Irian Barat Dan Kemungkinan-Kemungkinan Perkembangan Otonominya Di Hari Kemudian” (1966).

Kenyataan itu didukung pula oleh bagian yang relevan pada ringkasan buku Pieter Drooglever “Een daad van vrije keuze: DePapoea’s van westelijk Nieuw-Guinea en de grenzen van het zelfbeschikkingsrecht” (terjemahan Agus Sumule).

Akan kebenaran kedua belah pihak, Pemerintah Provinsi Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua telah saling mendukung dengan berbagai pernyataan di media masa pada tahun 1 Mei 2008 dan selepas itu. Namun sampai dengan 1 Mei 2009, rupanya sama sekali tidak terwujud. Kenyataan ini dapat merupakan klaim pembenaran anggapan sepihak kalau tidak ditangani secara bijaksana.

Dengan melakukan studi korelasi, antara Undang-Undang Dasar 1945-Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1999-Papua, penulis munculkan dalam judul buku kedua dengan judul KONSTITUSI VIS A VIS KONSTITUSI INDONESIA 1945-PAPUA 1999: Sebuah Studi Korelasi.

Buku itu mengungkapkan bahwa dalam arti konstitusi Papua, meskipun Papua dibangun dari garis marginal Negara Republik Indonesia, namun memiliki nilai kebersamaan antara kedua bangsa. Bahkan dalam Pasal Tentang Warganegara, Konstitusi mendukung Kewarganegaraan Ganda.

Melalui buku itu penulis yang selama ini juga telah menulis puluhan buku tentang budaya, hendak mengatakan Indonesia sesungguhnya memiliki posisi yang tepat untuk mengatur Tanah Papua dan warganya berpeluang timbal-balik dalam rangka Indonesia-Era Baru dan Papua-Era Baru.
http://nasional.vivanews.com/news/read/54485-orang_papua_menulis_sejarah_papua

Kamis, 16 Juni 2011

Sejarah Pendirian Kerajaan Majapahit

Sesudah Singhasari mengusir Sriwijaya dari Jawa secara keseluruhan pada tahun 1290 Singhasari menjadi kerajaan paling kuat di wilayah tersebut. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yg bernama Meng Chi ke Singhasari yg menuntut upeti. Kertanagara penguasa kerajaan Singhasari yg terakhir menolak utk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dgn merusak wajah dan memotong telinganya. Kublai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293. Ketika itu Jayakatwang adipati Kediri sudah membunuh Kertanagara. Atas saran Aria Wiraraja Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya menantu Kertanegara yg datang menyerahkan diri. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit yg nama diambil dari buah maja dan rasa “pahit” dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongolia tiba Wijaya bersekutu dgn pasukan Mongolia utk bertempur melawan Jayakatwang. Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongol sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukan secara kalang-kabut krn mereka berada di teritori asing. Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka utk menangkap angin muson agar dapat pulang atau mereka harus terpaksa menunggu enam bulan lagi di pulau yg asing.

Tanggal pasti yg digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adl hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja yaitu pada tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dgn nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa termasuk Ranggalawe Sora dan Nambi memberontak melawan meskipun pemberontakan tersebut tak berhasil. Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yg melakukan konspirasi utk menjatuhkan semua orang terpercaya raja agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti) Halayudha ditangkap dan dipenjara dan lalu dihukum mati.Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.

Anak dan penerus Wijaya Jayanegara adl penguasa yg jahat dan amoral. Ia digelari Kala Gemet yg berarti “penjahat lemah”. Pada tahun 1328 Jayanegara dibunuh oleh tabib Tanca. Ibu tiri yaitu Gayatri Rajapatni seharus menggantikan akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi pendeta wanita. Rajapatni menunjuk anak perempuan Tribhuwana Wijayatunggadewi utk menjadi ratu Majapahit. Selama kekuasaan Tribhuwana kerajaan Majapahit berkembang menjadi lbh besar dan terkenal di daerah tersebut. Tribhuwana menguasai Majapahit sampai kematian ibu pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putra Hayam Wuruk.

Kejayaan Kerajaan Majapahit

Hayam Wuruk juga disebut Rajasanagara memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masa Majapahit mencapai puncak kejayaan dgn bantuan mahapatih Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364) Majapahit menguasai lbh banyak wilayah. Pada tahun 1377 beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada Majapahit melancarkan serangan laut ke Palembang menyebabkan runtuh sisa-sisa kerajaan Sriwijaya. Jenderal terkenal Majapahit lain adl Adityawarman yg terkenal krn penaklukan di Minangkabau.

Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra semenanjung Malaya Borneo Sulawesi kepulauan Nusa Tenggara Maluku Papua dan sebagian kepulauan Filipina. Namun demikian batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampak tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yg mungkin berupa monopoli oleh raja[14]. Majapahit juga memiliki hubungan dgn Campa Kamboja Siam Birma bagian selatan dan Vietnam dan bahkan mengirim duta-duta ke Tiongkok.

Keruntuhan Majapahit

Sesudah mencapai puncak pada abad ke-14 kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Tampak terjadi perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun 1405-1406 antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Demikian pula telah terjadi pergantian raja yg dipertengkarkan pada tahun 1450-an dan pemberontakan besar yg dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468.

Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yg berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adl tahun berakhir Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041 yaitu tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adl “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian yg sebenar digambarkan oleh candrasengkala tersebut adl gugur Bre Kertabumi raja ke-11 Majapahit oleh Girindrawardhana.

Ketika Majapahit didirikan pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15 pengaruh Majapahit di seluruh nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan sebuah kerajaan perdagangan baru yg berdasarkan agama Islam yaitu Kesultanan Malaka mulai muncul di bagian barat nusantara.

Catatan sejarah dari Tiongkok Portugis (Tome Pires) dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus penguasa dari Kesultanan Demak antara tahun 1518 dan 1521 M.

Sumber : http://forum.vivanews.com/showthread.php?t=100276

Kesultanan Majapahit, Fakta Sejarah Yang Tersembunyi


Seorang sejarawan pernah berujar bahwa sejarah itu adalah versi atau sudut pandang orang yang membuatnya. Versi ini sangat tergantung dengan niat atau motivasisi pembuatnya. Barangkali ini pula yang terjadi dengan Majapahit, sebuah kerajaan maha besar masa lampau yang pernah ada di negara yang kini disebut Indonesia. Kekuasaannya membentang luas hingga mencakup sebagian besar negara yang kini dikenal sebagai Asia Tenggara.

Namun demikian, ada sesuatu yang ‘terasa aneh’ menyangkut kerajaan yang puing-puing peninggalan kebesaran masa lalunya masih dapat ditemukan di kawasan Trowulan Mojokerto ini. Sejak memasuki Sekolah Dasar, kita sudah disuguhi pemahaman bahwa Majapahit adalah sebuah kerajaan Hindu terbesar yang pernah ada dalam sejarah masa lalu kepulauan Nusantra yang kini dkenal Indonesia. Inilah sesuatu yang terasa aneh tersebut. Pemahaman sejarah tersebut seakan melupakan beragam bukti arkeologis, sosiologis dan antropologis yang berkaitan dengan Majapahit yang jika dicerna dan dipahami secara ‘jujur’ akan mengungkapkan fakta yang mengejutkan sekaligus juga mematahkan pemahaman yang sudah berkembang selama ini dalam khazanah sejarah masyarakat Nusantara.

‘Kegelisahan’ semacam inilah yang mungkin memotivasi Tim Kajian Kesultanan Majapahit dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta untuk melakukan kajian ulang terhadap sejarah Majapahit. Setelah sekian lama berkutat dengan beragam fakta-data arkeologis, sosiologis dan antropolis, maka Tim kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku awal berjudul ‘Kesultanan Majapahit, Fakta Sejarah Yang Tersembunyi’.

Buku ini hingga saat ini masih diterbitkan terbatas, terutama menyongsong Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu. Sejarah Majapahit yang dikenal selama ini di kalangan masyarakat adalah sejarah yang disesuaikan untuk kepentingan penjajah (Belanda) yang ingin terus bercokol di kepulauan Nusantara.

Akibatnya, sejarah masa lampau yang berkaitan dengan kawasan ini dibuat untuk kepentingan tersebut. Hal ini dapat pula dianalogikan dengan sejarah mengenai PKI. Sejarah berkaitan dengan partai komunis ini yang dibuat dimasa Orde Baru tentu berbeda dengan sejarah PKI yang dibuat di era Orde Lama dan bahkan era reformasi saat ini. Hal ini karena berkaitan dengan kepentingan masing-masing dalam membuat sejarah tersebut.

Dalam konteks Majapahit, Belanda berkepentingan untuk menguasai Nusantara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Untuk itu, diciptakanlah pemahaman bahwa Majapahit yang menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia adalah kerajaan Hindu dan Islam masuk ke Nusantara belakangan dengan mendobrak tatanan yang sudah berkembang dan ada dalam masyarakat.

Apa yang diungkapkan oleh buku ini tentu memiliki bukti berupa fakta dan data yang selama ini tersembunyi atau sengaja disembunyikan. Beberapa fakta dan data yang menguatkan keyakinan bahwa kerajaan Majpahit sesungguhnya adalah kerajaan Islam atau Kesultanan Majapahit adalah sebagai berikut:

1. Ditemukan atau adanya koin-koin emas Majapahit yang bertuliskan kata-kata ‘La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah’. Koin semacam ini dapat ditemukan dalam Museum Majapahit di kawasan Trowulan Mojokerto Jawa Timur. Koin adalah alat pembayaran resmi yang berlaku di sebuah wilayah kerajaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sangat tidak mungkin sebuah kerajaan Hindu memiliki alat pembayaran resmi berupa koin emas bertuliskan kata-kata Tauhid.

2. Pada batu nisan Syeikh Maulana Malik Ibrahim yang selama ini dikenal sebagai Wali pertama dalam sistem Wali Songo yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa terdapat tulisan yang menyatakan bahwa beliau adalah Qadhi atau hakim agama Islam kerajaan Majapahit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Agama Islam adalah agama resmi yang dianut oleh Majapahit karena memiliki Qadhi yang dalam sebuah kerajaan berperan sebagai hakim agama dan penasehat bidang agama bagi sebuah kesultanan atau kerajaan Islam.

3. Pada lambang Majapahit yang berupa delapan sinar matahari terdapat beberapa tulisan Arab, yaitu shifat, asma, ma’rifat, Adam, Muhammad, Allah, tauhid dan dzat. Kata-kata yang beraksara Arab ini terdapat di antara sinar-sinar matahari yang ada pada lambang Majapahit ini.

Untuk lebih mendekatkan pemahaman mengenai lambang Majapahit ini, maka dapat dilihat pada logo Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, atau dapat pula dilihat pada logo yang digunakan Muhammadiyah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Majapahit sesungguhnya adalah Kerajaan Islam atau Kesultanan Islam karena menggunakan logo resmi yang memakai simbol-simbol Islam.

4. Pendiri Majapahit, Raden Wijaya, adalah seorang muslim. Hal ini karena Raden Wijaya merupakan cucu dari Raja Sunda, Prabu Guru Dharmasiksa yang sekaligus juga ulama Islam Pasundan yang mengajarkan hidup prihatin layaknya ajaran-ajaran sufi, sedangkan neneknya adalah seorang muslimah, keturunan dari penguasa Sriwijaya. Meskipun bergelar Kertarajasa Jayawardhana yang sangat bernuasa Hindu karena menggunakan bahasa Sanskerta, tetapi bukan lantas menjadi justifikasi bahwa beliau adalah seorang penganut Hindu.

Bahasa Sanskerta di masa lalu lazim digunakan untuk memberi penghormatan yang tinggi kepada seseorang, apalagi seorang raja. Gelar seperti inipun hingga saat ini masih digunakan oleh para raja muslim Jawa, seperti Hamengku Buwono dan Paku Alam Yogyakarta serta Paku Buwono di Solo.

Di samping itu, Gajah Mada yang menjadi Patih Majapahit yang sangat terkenal terutama karena Sumpah Palapanya ternyata adalah seorang muslim. Hal ini karena nama aslinya adalah Gaj Ahmada, seorang ulama Islam yang mengabdikan kemampuannya dengan menjadi Patih di Kerajaan Majapahit. Hanya saja, untuk lebih memudahkan penyebutan yang biasanya berlaku dalam masyarakat Jawa, maka digunakan Gajahmada saja. Dengan demikian, penulisanGajah Mada yang benar adalah Gajahmada dan bukan ‘Gajah Mada’.

Pada nisan makam Gajahmada di Mojokerto pun terdapat tulisan ‘LaIlaha Illallah Muhammad Rasulullah’ yang menunjukkan bahwa Patih yang biasa dikenal masyarakat sebagai Syeikh Mada setelah pengunduran dirinya sebagai Patih Majapatih ini adalah seorang muslim.

5. Jika fakta-fakta di atas masih berkaitan dengan internal Majapahit, maka fakta-fakta berikut berhubungan dengan sejarah dunia secara global. Sebagaimana diketahui bahwa 1253 M, tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan menyerbu Baghdad. Akibatnya, Timur Tengah berada dalam situasi yang berkecamuk dan terjebak dalam kondisi konflik yang tidak menentu.

Dampak selanjutnya adalah terjadinya eksodus besar-besaran kaum muslim dari TimurTengah, terutama para keturunan Nabi yang biasa dikenal dengan‘Allawiyah. Kelompok ini sebagian besar menuju kawasan Nuswantara (Nusantara) yang memang dikenal memiliki tempat-tempat yang eksotis dan kaya dengan sumberdaya alam dan kemudian menetap dan beranak pinak di tempat ini. Dari keturunan pada pendatang inilah sebagian besar penguasa beragam kerajaan Nusantara berasal, tanpa terkecuali Majapahit.

Inilah beberapa bukti dari fakta dan data yang mengungkapkan bahwa sesungguhnya Majapahit adalah Kesultanan Islam yang berkuasa di sebagian besar kawasan yang kini dikenal sebagai Asia Tenggara ini. Sekali lagi terbukti bahwa sejarah itu adalah versi, tergantung untuk apa sejarahitu dibuat dan tentunya terkandung di dalamnya beragam kepentingan.Wallahu A’lam Bishshawab.
http://www.roabaca.com/serba-serbi/kesultanan-majapahit-fakta-sejarah-yang-tersembunyi-8.html

Selasa, 14 Juni 2011

Wisata Sejarah Peninggalan Belanda di Sukabumi


Kawasan wisata di Sukabumi tidak hanya menyuguhkan pemandangan alam yang indah nan asri, tetapi juga membawa wisatawan ke wisata sejarah karena sebagian besar tempat wisata itu dibangun pada zaman Belanda.

Di Selabintana yang terletak 7 kilometer dari kota Sukabumi, misalnya, wisatawan akan mendapatkan jejak sejarah peninggalan Belanda yang dipadu dengan panorama Gunung Gede-Pangrango. Hotel yang dibuat pada tahun 1900-an oleh seorang berkebangsaan Belanda tetap bertahan hingga kini dan masih menjadi ikon Selabintana.

Kawasan wisata Danau Lido juga dibuat pada zaman Belanda. Ketika itu pada tahun 1898, saat Belanda membangun Jalan Raya Bogor-Sukabumi, mereka mencari tempat untuk peristirahatan para petinggi pengawas pembangunan jalan dan pemilik perkebunan.
Danau Lido sendiri adalah danau alam yang letaknya di lembah Cijeruk dan Cigombong. Jika dilihat dari atas, Danau Lido seperti mangkuk di kaki Gunung Gede-Pangrango. Di dekat danau ini juga terdapat air terjun Curug Cikaweni yang mengalirkan air yang sangat dingin.

Kawasan ini baru dibuka untuk umum pada tahun 1940 setelah Ratu Wilhelmina datang dan beristirahat di Lido pada tahun yang sama. Ketika itu, restoran pertama diresmikan sebagai pelengkap fasilitas kawasan wisata dan juga untuk menjamu Sang Ratu.

Berbeda dengan Danau Lido, Situ Gunung bukanlah danau alam. Dari berbagai cerita rakyat setempat dan data dari pengelola taman wisata, danau ini ternyata buatan manusia.

Konon, pada tahun 1800-an, danau ini dibuat oleh bangsawan Mataram Rangga Jagad Syahadana atau Mbah Jalun (1770-1841). Tokoh ini merupakan buronan penjajah yang akhirnya menetap di kawasan Kasultanan Banten, tepatnya di kaki Gunung Gede-Pangrango.

Mbah Jalun merasa begitu bahagia ketika istrinya yang berasal dari Kuningan-Cirebon melahirkan seorang anak laki-laki, Rangga Jaka Lulunta. Perasaan bangga, bahagia, dan penuh syukur itu diwujudkannya dengan membangun Situ Gunung.

Telaga Situ Gunung kemudian diambil alih oleh Belanda dan kemudian dibangunlah beberapa infrastruktur pada tahun 1850.

Di kawasan ini pernah dibangun hotel dengan nama Hotel Situ Gunung.

Kini di Situ Gunung tersedia penginapan yang cukup nyaman dengan fasilitas air panas. Apabila memilih berkemah, pelancong bisa membawa tenda sendiri atau menyewa tenda dari pengelola. Fasilitas mandi cuci kakus juga tersedia di areal perkemahan itu. (AHA/NEL/ARN) KOMPAS

sumber: http://blog.cicurug.com/wisata/wisata-sejarah-peninggalan-belanda-di-sukabumi/

Sejarah Kuningan


Diperkirakan ± 3.500 tahun sebelum masehi sudah terdapat kehidupan manusia, hal ini didasarkan kepada peninggalan yang ditemukan di Wilayah Kuningan, salah satu bukti peninggalan tersebut terdapat di Kampung Cipari Kelurahan Cigugur yaitu pada tahun 1972 ditemukan peninggalan dengan identifikasi sebuah peti kubur batu, pekakas dari batu dan keramik dan diperkirakan pada masa itu terdapat pemukiman manusia yang telah memiliki kebudayaan tinggi.
Suatu pemukiman masyarakat manusia tersebut baru terwujud dalam bentuk suatu kekuatan politik seperti halnya negara, sebagaimana dituturkan dalam cerita parahyangan dengan nama KUNINGAN.

Negara / Kerajaan Kuningan tersebut berdiri setelah dinobatkan SEUWEUKARMA sebagai Raja/Kepala pemerintahan yang kemudian bergelar RAHIYANG TANGKUKU atau SANG KUKU yang bersemayam di Arile atau Saunggalah.
SEUWEUKARMA menganut ajaran “DANGIANG KUNING’ dan berpegang kepada “SANGHIYANG DHARMA” (Ajaran Kitab Suci). Serta “SANGHIYANG RIKSA” (sepuluh pedoman hidup). Ekspansi kekuasaan kuningan pada jaman kekuasaan seuweukarma menyeberang sampai negeri melayu. Pada saat itu masyarakat kuningan merasa hidup aman dan tentram di bawah pi
mpinan Seuweukarma yang bertahta sampai berusia lama.
Perkembangan kerajaan kuningan selanjutnya seakan akan terputus, dan baru pada 1175 masehi muncul lagi. Kuningan pada waktu itu menganut agama Hindu di bawah pimpinan RAKEAN DARMARIKSA dan merupakan Daerah otonom yang masuk wilayah kerajaan Sunda yang terkenal dengan nama Pajajaran , dan termasuk cirebon pada tahun 1389 masehi masuk kekuasaan kerajaan pajajaran, namun pada abad ke-15 cirebon sebagai kerajaan islam menyatakan kemerdekaannya dari pakuan pajajaran.

Pada tahun 1470 masehi datang ke Cirebon seorang ulama besar agama Islam yaitu SYEH SYARIF HIDAYATULLAH putra SYARIF ABDULAH dan ibunya RARA SANTANG atau SYARIFAH MO’DAIM putra Prabu SYARIF HIDAYATULLAH adalah murid SAYID RAHMAT yang lebih dikenal dengan nama SUNAN NGAMPEL yang memimpin daerah ampeldenta.
Kemudian SYEH SYARIF HIDAYATULLAH ditugaskan oleh sunan ngampel untuk menyebarkan agama islam di daerah Jawa Barat, dan mula-mula tiba di Cirebon yang pada waktu Kepala Pemerintahan Cirebon dipegang oleh Haji DOEL IMAN.
Pada waktu 1479 masehi Haji Doel Iman berkenan menyerahkan kepada syarif hidayatullah setelah menikah dengan putrinya. Karena terdorong oleh hasrat ingin menyebarkan agama Islam, pada tahun 1481 Masehi Syeh Syarif Hidayatullah berangkat ke daerah Lurangung yang masuk wilayah Cirebon Selatan yang pada waktu itu dipimpin oleh KI GEDENG LURAGUNG yang bersaudara dengan KI GEDENG KASMAYA dari Cirebon, selanjutnya Ki Gedeng Luragung memeluk agama Islam.

Pada waktu Syeh Syarif Hidayatullah di Luragung, datanglah Ratu Ontin Nio istrinya dalam keadaan hamil dari negeri Cina (bergelar: Ratu Rara Sumanding) ke Luragung, dari Ratu Ontin Nio alias Ratu Lara Sumanding lahir seorang putra yang tampan dan gagah yang diberi nama Pangeran Kuningan. setelah dari Luragung, Syeh Syarif Hidayatullah dengan rombongan menuju tempat tinggal Ki Gendeng Kuningan di Windu Herang, dan menitipkan Pangeran Kuningan yang masih kecil kepada Ki Gendeng Kuningan agar disusui oleh istri Ki Gendeng Kuningan, karena waktu itu Ki Gendeng Kuningan mempunyai putera yang sebaya dengan Pangeran Kuningan nemanya Amung Gegetuning Ati yang oleh Syeh Syarif Hidayatullah diganti namanya menjadi Pangeran Arya Kamuning serta beliau memberikan amanat bahwa kelak dimana Pangeran Kuningan sudah dewasa akan dinobatkan menjadi Adipati Kuningan.

Setelah Pangeran Kuningan dan Pangeran Arya Kamuning tumbuh dewasa, diperkirakan tepatnya pada bulan Muharam tanggal 1 September 1498 Masehi, Pangeran Kuningan dilantik menjadi kepala pemerintahan dengan gelar Pangeran Arya Adipati Kuningan dan dibantu oleh Arya Kamuning. Maka sejak itulah dinyatakan sebagai titik tolak terbentuknya pemerintahan Kuningan yang selanjutnya ditetapkan menjadi tanggal hari jadi Kuningan.

http://kuningankab.go.id

Senin, 13 Juni 2011

Asal Usul Negeri Sembilan dan hubungannya dengan Minangkabau


NEGRI SEMBILAN termasuk salah satu negara bagian yg menjadi negara Federasi Malaysia. Luas negara bagian tersebut 2.580 mil persegi, dengan berbagai suku bangsa antara lain, Cina, Benggali, dan Melayu, dari sebahagian suku bangsa Melayu termasuk suku bangsa Minangkabau. Dan tatanan kehidupan Melayu tersebut masih memakai adat istiadat Minangkabau.

Negri Sembilan sebuah kerajaan yang pemerintahannya berdasarkan Konstitusi yang disebut : Perlembagaan Negri, dan Badan Legislatifnya bernama Dewan Perhimpunan / Perundingan Negri yang dipilih oleh rakyat dalam Pemilihan Umum atau dengan istilah PILIHAN RAYA. Pelaksanaan pemerintahan dilaksanaan oleh Menteri Besar yang didampingi oleh beberapa orang anggota yg bernama "Angota Majelis Musyawarat Kerajaan Negeri. Gelar raja ialah: Duli yang mulia yang dipertuan besar Negeri Sembilan.

Kedatangan bangsa Minangkabau

Sebelum Negri Sembilan bernama demikian di Malaka sudah berdiri sebuah kerajaan yg terkenal, dan pelabuhan Melaka menjadi pintu gerbang untuk masuk kedaerah pedalaman tanah semenanjung tersebut. Maka sebelum berdiri Negri Sembilan datang rombongan demi rombongan dari Minangkabau dan tinggal menetap disana.

ROMBONGAN PERTAMA.

Mula-mula datang serombongan yg dipimpin seorang datuk yg bergelar Datuk Raja dengan istrinya Tok Seri. Tetapi kurang jelas dari mana asal mereka di Minangkabau. Mereka dalam perjalanan ke Negri Sembilan singah di Siak dan kemudian meneruskan perjalanan menyeberang selat Malaka terus ke Johor. Dari Johor mereka pergi ke Naning terus ke Rembau. Dan akhirnya menetap disebuah tempat yg bernama Londar Naga. Sebab disebut demikian kerena disana ditemui kesan-kesan alur naga. Sekarang tempat itu bernama Kampung Galau.

ROMBONGAN KEDUA
.
Pemimpin rombongan ini bergelar Datuk Rajo kuga dan berasal dari keluarga Datuk Bandaro Penghulu Alam dari Sungai Tarok. Rombongan ini menetap disebuah tempat yg kemudian terkenal dengan kampung Sungai Layang.

ROMBONGAN KETIGA.

Rombongan ini berasal dari Batu Sangkar, keluarga Datuk Mangkudun Sati di Sumanik. Mereka dua orang orang bersaudara yaitu, Sutan Sumanik dan Johan Kebesaran. Rombongan ini dalam perjalannya singgah juga di Siak, Malaka dan Rembau. Kemudian membuat perkampungan yg bernama Tanjung Alam yg kemudian berganti dengan nama Gunung Pasir.

ROMBONGAN KEEMPAT.
Rombongan ini datang dari Sarilamak, Payakumbuh, diketuai oleh Datuk Putih dan mereka datang pada Sutan Sumanik yg duluan membuka perkampungan di Negri Sembilan ini. Datuk Putih terkenal sebagai seorang pawang atau bomoh yg ahli ilmu kebatinan. Beliaulah yg memberi nama Seri Menanti bagi tempat istana raja yg sekarang ini.

Kemudian berturut-turut datang lagi rombongan lain diantaranya yg tercatat oleh sejarah Negri Sembilan ialah :
Rombongan yg bermula mendiami Rembau datang dari Batu Hampar, Payakumbuh dengan pengiringnya dari Batu Hampar dan dari Mungka. Nama beliau Datuk Lelo Balang. Kemudian menyusul adik beliau yg bernama Datuk Laut Dalam dari kampung Tiga Nenek.

BERSUKU DUA BELAS

Walaupun penduduk Negri Sembilan mengakui ajaran-ajaran Datuk Parapatiah nan Sabatang, tetapi mereka tidak membagi persukuan atas empat bagian seperti di Minangkabau. Mungkin disebabkan situasi dan perkembangannya sebagai kata pepatah juga : Dekat mencari suku jauh mencari hindu, maka suku-suku di Negeri Sembilan berasal dari luhak dari tempat mereka datang atau negri asal mereka. Berdasarkan asal kedatangan mereka yang demikian terdapat 12 suku di Negri Sembilan yg masing-masing adalah sebagai berikut :

1. Tanah Datar
2. Batuhampar,
3. Sari Lamak Pahang,
4. Sari Lamak Minangkabau,
5. Mungka,
6. Payakumbuh,
7. Sari Malanggang,
8. Tigo Batu,
9. Biduanda,
10. Tigo Nenek,
11. Anak Aceh,
12. Batu Balang.

a. Sekalipun mereka yg datang itu dari berbagai negri di Luhak Tanah Datar seperti ; Sumanik, Sungai Tarab, Pagaruyung, tetapi disini mereka hanya berkaum dengan suku "Tanah Datar"

b. Batu Hampar, adalah anak kamanakan Datuk Lelo Batang dan yang datang kemudian.

c. Yang dimaksud dengan Sari Lamak disini ialah kedatangan mereka dari dua jurusan yg pertama dengan melalui Pahang, dan lainnya langsung dari Minangkabau.

d. Yang dimaksud dengan Sari Malanggang mungkin Simalanggang, Payakumbuh.

e. Yang dimaksud dengan Tiga Batu ialah Tiga Batur Padang Berangan, Lubuk Batingkap dan Gurun.

f. Kurang jelas mana yg dimaksud dengan Tigo Nenek ini

g. Dan ada pula suku Anak Aceh dan kemungkinan juga mereka berasal dari suku Aceh yg disingkirkan dari Siak oleh orang Johor atau dengan cara lain.

h. Suku Biduanda berasal dari penduduk asli seperti suku Semang, Sakai, Jakun.

Fakta-fakta dan problem sejarah

Pada suatu tempat yg bernama Sungai Udang kira-kira 23 mil dari Seremban menuju Port Dickson terdapat sebuah makam. Disana terdapat beberapa batu bersurat seperti tulisan batu bersurat yg terdapat di Batu Sangkar. Orang yg bermakam disana bernama Syekh Ahmad dan berasal dari Minangkabau. Ia meninggal di tahun 872H atau 1467Masehi.
Dan masih menjadi tanda tanya yg belum terjawab, mengapa kedatangan Syekh itu dahulu ke Negri Sembilan dan dari luhak mana asalnya.

Dalam naskah pengiriman raja-raja yg delapan seorang diantaranya dikirimkan ke Rembau, Negri Sembilan bernama Malenggang Alam tetapi bila mana ditinjau sejarah Negri Sembilan raja Minangkabau pertama dikirim yaitu Raja Mahmud yg kemudian bergelar Raja Malewar.

Raja Malewar memegang kekuasan antara tahun 1773-1795. Beliau mendapat dua orang anak Tengku Totok dan putri bernama Tengku Aisah, beliau ditabalkan di Penajis Rembau dan kemudian pindah ke istana Sari Menanti. Sehingga sekarang masih populer pepatah yang berbunyi : Ber raja ke Johor, Bertali ke Siak, Bertuan ke Minangkabau.

Kedatangan beliau ke Negri Sembilan membawa rambut sehelai jika dimasukan kedalam sebuah batil atau cerana akan memenuhi batil atau cerana itu. Benda pusaka itu masih tetap dipergunakan bila menobatkan seorang raja baru. Sesudah Raja Malewar wafat pada tahun 1795 tidak diangkat putranya menjadi raja melainkan sekali lagi diminta seorang raja dari Minangkabau. Dan dikirimlah Raja Hitam dan dinobatkan dalam tahun 1795. Raja Hitam kawin dengan putri Raja Malewar yg bernama Tengku Aisyah sayang beliau tadak dikaruniai putra. Raja Hitam kawin dengan seorang perempuan lain bernama Encek Jingka. Dari istrinya ini beliau medapat empat orang putra/putri bernama Tengku Alang Husin, Tengku Ngah, Tengku Ibrahim, dan Tengku Alwi. Dan ketika beliau wafat dalam tahun 1908, juga tidak diangkat salah seorang putranya sebagai pengganti raja. Tetapi dikirimkan perutusan ke Pagaruyung untuk meminta seorang raja baru. Dan dikirimlah Raja Lenggang dari Minangkabau.

Raja Lenggang memerintah antara tahun 1808-1824. Raja Lenggang kawin dengan putri Raja Hitam dan berputra dua orang bernama ; Tengku Radin dan Tengku Imam. Ketika Raja Lenggang meninggal dinobatkan Tengku Radin menggantikan ayah beliau. Dan inilah raja pertama Negri Sembilan yg diangkat oleh pemegang adat dan undang-undang yg lahir di Negri Sembilan. Dan keturunan beliaulah yg turun-temurun menjadi raja di Negri Sembilan. Raja Radin digantikan oleh adiknya Raja Imam, tahun 1861-1869.

Dan selanjutnya raja-raja yg memerintah di Negri Sembilan :

Tengku Ampuan Intan (Pemangku Pejabat) 1869-1872.
Yang Dipertuan Antah 1872-1888.
Tuanku Muhammad 1888-1933.
Tuanku Abdul Rahman 3 Agust 1933-1 April 1960.
Tuanku Munawir 5 April 1960-14 April 1967.
Tuanku Ja'far 18 April 1967-
Demikian olahan dari Dato' Idris. Dan dari "Tambo Alam Minangkabau"

TERBENTUKNYA NEGRI SEMBILAN

Semasa dahulu kerajaan Negri Sembilan mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Minangkabau. Yang menjadi raja dinegri ini berasal dari keturunan Raja Minangkabau. Istananya bernama Seri Menanti. Adatnya, peraturan sebahagian besar menurut undang-undang adat Minangkabau. Mereka mempunyai suku-suku seperti orang Minangkabau tetapi berbeda cara pemakaiannya.

Perpindahan penduduk terjadi bermula pada abad ke XIV yaitu ketika pemerintah menyarankan supaya rakyat memperkembang Minangkabau sampai jauh-jauh diluar negrinya. Mereka mencari tanah baru, daerah baru, dan menetap disana. Begitu jaga adat, undang-undang, kelaziman dinegri asalnya yang dipergunakan dinegri yang baru.

Pada abad ke XVI pemerintahan negri sudah mulai tersusun, mereka mendirikan kerajaan kecil sebanyak 9 kerajaan dan kesatuan kerajaan kecil itu mereka namakan NEGERI SEMBILAN. Negara kesatuan ini terjadi waktu Minangkabau mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil ini dan diperlindungkan dibawah kerajaan Johor. Sebabnya ialah kerajaan persatuan yg baru berdiri ini selalu diganggu oleh gerombolan anak raja Bugis yg dipimpin Daeng Kemboja. Setelah negara kesatuan ini terbentuk dengan mufakat bersama dengan kerajaan Johor dimintalah seorang anak raja Pagaruyung untuk dinobatkan menjadi raja Yang Dipertuan Seri Menanti.

Maka hubungan yg demikian rapat sejau berabad-abad itu menjadikan hubungan antara negara yang akrab : Minangkabau - Negeri Sembilan pada khususnya, Indonesia - Malaysia pada umumnya.

KETURUNAN MINANGKABAU di KALIMANTAN UTARA

Daerah Sabah dan Serawak adalah daerah bahagian timur Malaysia. Sejak berabad-abad yang lampau telah mengenal suku bangsa Minangkabau. Dalam tahun 1390 suku bangsa Minangkabau telah menjejakkan kakinya dipesisir Kalimantan Utara. Orang itu bernama Rajo Bagindo bersama dengan rombongannya. Ia menetap di negara bagian Serawak sekarang ini, dan sampai sekarang gelar datuk itu masih ada di Serawak.

Keturunan Rajo Bagindo tidak hanya di Serawak saja, tetapi mereka terdapat juga di Berunai dan dipulau Sulu Pilipina. Disana terdapat kuburan tua dibatu nisannya bertuliskan bahwa asalnya dari Minangkabau. Jaga menurut seorang anggota Senat Philipina yg bernama Olonto nenek moyangnya berasal dari Minangkabau yg bergelar Rajo Bagindo. Beliau raja di Sulu pada tahun 1410. Demikian keterangan yang diberikan Prof DR Hamka.

http://www.minangforum.com/archive/index.php/thread-4878.html

Minggu, 12 Juni 2011

Museum Timah Sepi Pengunjung


Museum memang selalu identik dengan suasana yang tenang. Para pengunjung biasanya berusaha untuk tidak membuat suara berisik di situ, karena ingin khusyuk melihat-lihat koleksi di museum. Begitu pula dengan Museum Timah Indonesia yang ada di Kota Pangkalpinang. Museum tersebut selalu terasa tenang dan damai, hanya saja ketenangan tersebut bukan dikarenakan pengunjung tidak membuat suara berisik, melainkan karena tidak ada seorang pengunjung pun yang datang.

Pelaksana harian Humas PT. Timah Tbk Rofian Tagore, kepada Metro Bangka Belitung menjelaskan Museum Timah bukanlah museum budaya melainkan museum teknik. Museum tersebut hanya menampilkan benda-benda sejarah pertimahan yang berhubungan dengan aktivitas pertimahan dan tidak untuk menampilkan benda-benda budaya. �Kalaupun ada benda budaya yang ditampilkan di sana, karena Museum Timah kan cuma satu-satunya, jadi ya disimpan saja disana,� ungkap Rofian.

Museum Timah sudah didirikan sejak zaman UPTB (Unit Penambangan Timah Bangka). Setelah terjadi restrukturisasi dalam tubuh PT Tambang Timah (Persero), maka museum tersebut langsung dikelola oleh PT. Timah. Lalu, diadakanlah renovasi terhadap bangunan museum pada tahun 1979.

Alasan PT. Timah memilih bangunan yang sekarang menjadi Museum Timah itu adalah karena bangunan tersebut memiliki nilai sejarah yang tinggi. Pada masa perjuangan, gedung tersebut sering dijadikan gedung pertemuan. Bahkan, Bung Karno dan Bung Hatta pun pernah menginap disana.

Seluruh biaya operasional dan perawatan museum tersebut sepenuhnya ditanggung oleh PT. Timah. Dalam satu tahun, PT. Timah mengeluarkan dana sebesar Rp. 24 juta. Uang tersebut digunakan untuk membayar dua karyawan yang bertugas untuk menjaga dan merawat museum, serta untuk membeli barang-barang kebutuhan perawatan museum.

Museum Timah dibuka dari pukul 08.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB setiap harinya. Bila pengunjung membutuhkan informasi yang lebih lengkap mengenai koleksi yang ada di museum, maka penjaga akan menghubungi pihak Humas PT. Timah untuk datang dan memberikan informasi yang dibutuhkan pengunjung.

Disinggung mengenai proses pengumpulan koleksi yang ada di museum, Rofian menjelaskan hampir semua koleksi yang ada di museum timah adalah bekas aktivitas penambangan timah. Ada juga yang merupakan titipan atau sumbangan dari kolektor yang memiliki benda-benda bersejarah yang berhubungan dengan pertimahan.

�Terkadang kita menghubungi kolektor dan mengajak mereka bekerja sama untuk menyumbangkan koleksinya ke museum dengan memberikan kompensasi berupa ganti rugi. Tapi, ada juga yang memang ingin menyumbangkan benda sejarah miliknya ke museum,� ungkap Rofian.

Ketika dikonfirmasi mengenai isu yang beredar bahwa museum Timah pernah mengalami kehilangan sebagian dari koleksinya, Rofian membantah keras. �Sampai sekarang, tidak ada koleksi museum yang hilang,� ungkapnya.

Sungguh sangat disayangkan, museum yang menyimpan saksi bisu perjalanan pertimahan di Bangka Belitung tersebut sangat jarang didatangi pengunjung. Menanggapi hal tersebut, Rofian mengatakan sebagian masyarakat Babel memang kurang tertarik pada benda-benda bersejarah.

�Mungkin kebutuhan masyarakat kita tidak tersalurkan pada benda-benda bersejarah,� ucapnya. Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap benda-benda bersejarah juga menjadi salah satu penyebab sepinya pengunjung yang datang ke museum.


Pintu Musuem Selalu Tertutup

Rika, Pelajar SMK Perikanan Pangkalpinang mengakui, bahwa ia belum pernah mengunjungi Museum Timah. Ia merasa enggan untuk datang karena melihat suasana museum yang sangat sepi dan terkesan tertutup untuk umum.

�Habisnya, setiap kali saya lewat depan museum, pintunya selalu tertutup, jadi saya kira museum itu bukan untuk umum dan tidak buka setiap hari,� ungkap siswi berusia 15 tahun ini.

Tak berbeda dengan Rika, Linda selaku Wakil Ketua OSIS SMK Perikanan Pangkalpinang mengungkapkan, bahwa sebenarnya dia sangat ingin mengunjungi Museum Timah. Hanya saja,keadaan museum yang selalu sepi membuat niatnya tersebut tertunda.

Ia merasa bingung mengenai cara mengunjungi Museum Timah, karena menurutnya museum seolah menutup diri. Pintu yang selalu tertutup membuat Linda mengurungkan niat untuk datang.

Linda menyarankan agar pihak museum menempelkan jadwal berkunjung di gerbang museum, agar masyarakat bisa tahu bahwa museum memang dibuka untuk umum.

http://metrobangkabelitung.wordpress.com/2008/04/29/museum-timah-sepi-pengunjung/

Kamis, 09 Juni 2011

Biografi Tan Malaka


Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 – wafat di Jawa Timur, 21 Februari 1949 pada umur 51 tahun[1]) adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia, seorang pemimpin komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris.

Dia kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpandangan komunis, ia juga sering terlibat konflik dengan kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan komunis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai "Pahlawan revolusi nasional" melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963.

Riwayat
Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda.
Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.
Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik
Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai.
Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.
Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda.
Perjuangan

Tan Malaka juga seorang pendiri partai Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat.

Tokoh ini diduga kuat sebagai orang di belakang peristiwa penculikan Sutan Sjahrir bulan Juni 1946 oleh "sekelompok orang tak dikenal" di Surakarta sebagai akibat perbedaan pandangan perjuangan dalam menghadapi Belanda.

Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.

Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.

Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.

Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.

Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.

Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.

Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.

Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…."

Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.

Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.

Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya[1].

Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949.

Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.

Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur berdasarkan serangkaian wawancara yang dilakukan pada periode 1986 sampai dengan 2005 dengan para pelaku sejarah yang berada bersama-sama dengan Tan Malaka tahun 1949. Dengan dukungan dari keluarga dan lembaga pendukung Tan Malaka, sedang dijajaki kerja sama dengan Departemen Sosial Republik Indonesia untuk memindahkan kuburannya ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tentu untuk ini perlu tes DNA, misalnya. Tetapi, Depsos dan Pemerintah Provinsi Jatim harus segera melakukannya sebelum masyarakat setempat secara sporadis menggali dan mungkin menemukan tulang belulang kambing yang bisa diklaim sebagai kerangka jenazah sang pahlawan nasional.

Tidak kurang dari 500 kilometer jarak ditempuh ribuan orang selama dua bulan dari Madiun ke arah Pacitan, lalu ke Utara, sebelum akhirnya mereka, antara lain Amir Sjarifuddin, ditangkap di wilayah perbatasan yang dikuasai tentara Belanda. Ia juga menemukan arsip menarik tentang Soeharto. Selama ini sudah diketahui bahwa Soeharto datang ke Madiun sebelum meletus pemberontakan. Soemarsono berpesan kepadanya bahwa kota itu aman dan agar pesan itu disampaikan kepada pemerintah. Poeze menemukan sebuah arsip menarik di Arsip Nasional RI bahwa Soeharto pernah menulis kepada ”Paduka Tuan” Kolonel Djokosoejono, komandan tentara kiri, agar beliau datang ke Yogya dan menyelesaikan persoalan ini. Soeharto menulis ”saya menjamin keselamatan Pak Djoko”. Dokumen ini menarik karena ternyata Soeharto mengambil inisiatif sendiri sebagai penengah dalam peristiwa Madiun. Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur. Lokasi tempat Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun Tunggul, Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis.


Madilog

Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.

Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.

Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya.

Ref : http://voiceofsubaltern.blogspot.com/2007/09/biografi-almarhum-tan-malaka-1894-1949.html
http://purwoko.staff.ugm.ac.id/web/?p=60
http://id.wikipedia.org/wiki/Tan_Malaka
http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/02/biografi-tan-malaka.html

Selasa, 07 Juni 2011

Sjahrir: Dalam Pergolakan Diplomasi

Sjahrir merupakan satu dari sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategis dalam kecamuk revolusi. Ada dua orang yang pemikirannya populer dan dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Sjahrir. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang. Sjahrir menuliskan pemikiran-pemikirannya dalam Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai
Perang Dunia II. Tulisan-tulisannya inilah yang membuatnya tampak berseberangan dengan Soekarno yang mengandalkan politik masa.

Pada bulan November 1945, Sjahrir yang didukung pemuda ditunjuk oleh Soekarno untuk menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, mulailah lakon Sjahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.

Karir Sjahrir tidak sepenuhnya mulus karena sikap Sjahrir yang cenderung mengedepankan diplomasi dalam upaya merebut kemerdekaan Indonesia. Puncaknya ketika kabinet Sjahrir hanya menuntut pengakuan atas kedaulatan Jawa dan Madura yang melawan arus besar pada saat itu yang menginginkan kedaulatan penuh atau angkat senjata. Pada tanggal 26 Juni 1946 terjadi penculikan atas Sjahrir oleh kelompok yang tidak puas, namun Mayjen Sudarsono dan pimpinan pemberontak berhasil ditangkap. Peristiwa ini dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal.

Setelah kejadian penculikan Sjahrir hanya bertugas sebagai Menteri Luar Negeri, tugas sebagai Perdana Menteri diambil alih Presiden Soekarno. Namun pada tanggal 2 Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Sjahrir sebagai Perdana Menteri agar dapat melanjutkan Perundingan Linggar Jati yang akhirnya ditandatangani pada 15 November 1946. Sjahrirpun terus melakukan siasat diplomasi. Dengan siasat-siasat tadi, Sjahrir menunjukkan kepada dunia internasional bahwa revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme pasca-Perang Dunia II. Pihak Belanda kerap melakukan propaganda bahwa orang-orang di Indonesia merupakan gerombolan yang brutal, suka membunuh, merampok, menculik, dll. Karena itu sah bagi Belanda, melalui NICA, menegakkan tertib sosial sebagaimana kondisi Hindia Belanda sebelum Perang Dunia II. Mematahkan propaganda itu, Sjahrir menginisiasi penyelenggaraan pameran kesenian yang kemudian diliput dan dipublikasikan oleh para wartawan luar negeri. Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda pada 21 Juli 1947.

Aksi Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada 14 Agustus 1947, Sjahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan PBB, berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia. Sjahrir menyatakan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, secara piawai Sjahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda, Van Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.

Setelah kasus PRRI tahun 1958, hubungan Sutan Sjahrir dan Presiden Soekarno memburuk. Tahun 1962 hingga 1965, Sjahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita stroke. Setelah itu Sjahrir diijinkan untuk berobat ke Zurich, Swiss, dan akhirnya meninggal di Swiss pada tanggal 9 April 1966.

Metro Files / Sabtu, 6 Februari 2010 23:06 WIB
http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/newsprograms/2010/02/06/4598/Sjahrir-Dalam-Pergolakan-Diplomasi

Linggardjati ~Antara Soekarno dan Syahrir~


Proklamasi kemerdekaan Indonesia disikapi di Negeri Belanda dengan rasa kurang percaya. Salah satu sebab, karena selama perang Belanda terputus informasi mengenai perkembangan di Nederlands-Indie.

Negeri jajahan yang telah berubah menjadi Indonesia merdeka itu mengalami perubahan situasi secara menyolok. Kekuatan pendudukan Jepang telah takluk, menyerah. Namun pada saat bersamaan tidak ada penguasa yang siap mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang.

Mulailah revolusi Indonesia yang dimulai dengan chaos, di mana kelompok-kelompok milisi perjuangan bermunculan dan penculikan-penculikan terhadap sasaran asing beserta antek-anteknya merebak di mana-mana.

Orang Belanda menyebut periode ini sebagai periode ‘Bersiap’, mengambil serapan dari bahasa Indonesia. Akibat situasi itu banyak orang Belanda memilih tetap berada di kamp-kamp tawanan Jepang, di mana mereka sekurangnya berada di bawah perlindungan tentara Jepang.

Sementara itu di Negeri Belanda kegelisahan dan kecemasan terus meningkat. Keadaan menjadi jelas ketika Perdana Menteri Schermerhorn menyampaikan pidato melalui Radio Herrijzend Nederland pada 2 Januari 1946:

“Ribuan dari rakyat kita menerima surat dari Nederlands-Indie. Mereka menguatkan kecemasan itu hari demi hari. Bukan, bukan kecemasan tapi kegemasan atas apa yang terjadi di sana.”


“Setiap diri kita menerima surat seperti itu. Malam ini saya membaca surat dari seorang teman lama, yang menulis bahwa dia tidak berani menceritakan kepada ibunya yang tewas dibunuh dengan cara pengecut.”

PROTOKOL HOGE VELUWE

Pada tanggal 29 April 1946, 65 tahun yang lalu telah diterbitkan sebuah Protokol (semacam draft awal dari negosiasi diplomatic atau draft dokumen perjanjian sebenarnya) perundingan Indonesia-Belanda yang berlangsung di Hoge Veluwe sebuah daerah wisata hutan lindung yang indah, yang terletak ditengah negeri Belanda. Ditengah hutan yang dahulu adalah tempat berburu itu, terdapat sebuah Istana kecil yang pernah dimiliki keluarga Kröller-Müller. Kini sebagai daerah wisata, tempat rekreasi alam ini dilengkapi dengan danau yang indah, jalan untuk bersepeda dan sebuah museum yang memamerkan banyak lukisan pelukis Belanda terkenal, termasuk dari Vincent van Gogh..

Pada istana kecil perburuan (Hunting lodge) yang disebut diatas mulai tanggal 14 April 1946 sampai dengan 24 April 1946 berlangsung perundingan yang sangat alot, antara utusan Indonesia yaitu Mr Soewandi (menteri kehakiman), Dr Soedarsono (ayah Men.HanKam Juwono Soedarsono yang saat itu menjabat menteri dalam negeri) dan Mr Abdul Karim Pringgodigdo. Dengan delegasi Pemerintah Belanda yang dimpimpin langsung Perdana menteri Schermerhorn. Dalam delegasi ini terdapat Dr Drees (menteri sosial), J.Logeman (menteri urusan seberang), J.H.van Roijen (menteri luar negeri) dan Dr van Mook (selaku letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda).

Konsep Protokol yang diterbitkan pada tanggal 29 April 1946 sebagai hasil perundingan berbunyi sebagai berikut :
1. Pemerintah Belanda akan berusaha dan mendorong melalui konstitusional agar didalam waktu yang secepat mungkin dibentuk suatu negara merdeka di Indonesia berdasarkan federasi sesuai pernyataan pemerintah tanggal 10 Februari 1946 yang mencakup semua wilayah Hindia Belanda dan merupakan mitra Nederland, Suriname dan Curacao dalam ruang lingkup Kerajaan Belanda.
2. Pemerintah Belanda mengakui bahwa yang mewakili Pulau jawa terkecuali wiilayah yang dikuasai Pemerintah Militer Sekutu adalah Pemerintah Republik Indonesia yang berkuasa secara defakto. Pemerintah Belanda mencatat dan memperhatikan tuntutan Republik Indonesia bahwa kekuasaannya termasuk Sumatera. Sumatera dan bagian lain Hindia belanda kemudian akan diberi kesempatan menyatakan secara bebas keinginannya mengenai status mereka dalam negara merdeka Indonesia.
3. Pemerintah Republik akan bekerja sama dengan Pemerintah Belanda dalam membangun negara merdeka Indonesia. Sambil menunggu terwujudnya negara merdeka Indonesia, Republik bertanggung jawab didaerah kekuasaan defaktonya untuk memulihkan kembali dan mempertahankan hukum dan keamanan, perlindungan terhadap orang dan hartanya, dan dengan segera membebaskan dan menjaga keamanan para interniran. Jika Republik tidak sanggup melaksanakan tugas itu, Badan-badan Pemerintah Belanda akan melaksanakan kewajiban tersebut.
4. Pemerintah Republik akan menerima baik pasukan sekutu dan Belanda yang tiba di Pulau Jawa berdasarkan keputusan Panglima tertinggi sekutu. Dan membantu mereka dalam melaksanakan tugas menawan dan melucuti senjata tentara Jepang, serta membebaskan para interniran dan tawanan perang. Cara melaksanakan tugas ini akan diatur oleh instansi yang bersangkutan.
5. Permusuhan akan segera dihentikan dengan syarat kedua belah pihak dengan memperhatikan pasal 4, akan mempertahankan kedudukan masing-masing termasuk hubungan antara kedudukan itu. Mereka secepatnya akan mengadakan pembicaraan mengenai kerja sama dalam pelaksanaan peraturan ini.
6. Untuk mempersiapkan konperensi kerajaan (Rijks Conferentie) Pemerintah Belanda dalam waktu dekat akan mengadakan pembicaraan dengan Republik dan dengan wakil-wakil, dari bagian lain dari Indonesia dan dengan kelompok penduduk yang tidak termasuk Warga negara Indonesia. Pembicaraan tersebut mengenai bentuk negara Indonesia merdeka, kedudukan dalam hubungan ketatanegaraan bersama, hubungan dengan kekuasaan asing, kerja sama dengan Nederland, dan hal memenuhi kepentingan materi dan kebudayaan warga Belanda dan asing di Indonesia. Pembicaraan itu akan diadakan di Indonesia atau Nederland.
7. Peraturan mengenai penunjukan wakil-wakil dari Sumatera, terkecuali wilayah yang diduduki pemerintahan militer sekutu, akan dilaksanakan oleh Pemerintah Belanda setelah diadakan pembicaraan dengan Pemerintah Republik. Mengenai penunjukan wakil-wakil bagian lain Indonesia dan wakil-wakil kelompok penduduk yang tidak termasuk warga negara Indonesia akan diberi tahukan kepada Pemerintahan Republik. Daerah-daerah dan kelompok-kelompok tersebut juga berhak untuk menyerahkan perwakilannya kepada Pemerintah Republik. Pemerintah Republik akan mengusahakan adanya perwakilan dari golongan minoritas Indonesia dalam kekuasaan defaktonya dan memberitahukan kepada Pemerintah Belanda peraturan yang dibuat untuk perwakilan-perwakilan tersebut.
8. Apabila suatu daerah melalui pernyataan perwakilannya masih mempunyai keberatan terhadap masuknya tak bersyarat kedalam negara merdeka itu untuk daerah yang bersangkutan, untuk sementara waktu akan diberikan kedudukan istimewa dalam negara Indoneasia merdeka yang akan dibentuk.
9. Sambil menunggu terwujudnya negara Indonesia merdeka berdasarkan federasi dan untuk menyesuaikan pemerintahan umum di Hindia Belanda dengan butir-butir persetujuan tersebut, dalam badan-badan pemerintahan Hindia Belanda segera akan dimasukkan wakil-wakil dari Republik Indonesia, wakil-wakil dari bagian Indonesia lain dan wakil-wakil kelompok penduduk yang tidak termasuk warga negara Indonesia.
10. Protokol ini disusun didalam bahasa Belanda dan Indonesia. Apabila terjadi perbedaan penafsiran naskah bahasa Belanda yang menentukan.

Setelah selesai perundingan pada prinsipnya perundingan ini dianggap kurang mencapai tujuannya. Bahkan Dr Soedarsono memberikan pendapat umum bahwa perundingan Hoge Veluwe gagal sama sekali.

Setelah proklamasi, sepanjang 1946 pasukan sekutu terutama Inggris, dengan susah payah ‘memulihkan ketertiban dan keamanan’. Pasukan militer Belanda dan pemerintah Nederlands-Indie (Hindia Belanda) di bawah pimpinan Luitenant Gouverneur-generaal Van Mook mulai bisa mengendalikan keadaan.

Hal sama juga berlaku bagi pemerintah Republik, di mana para pejuang mulai menguasai wilayah-wilayah di Jawa dan Sumatera.

Saatnya untuk duduk pada meja perundingan. Perdana Menteri Schermerhorn sebelumnya di April 1946 telah melakukan serangkaian pembicaraan dengan delegasi Indonesia di De Hooge Veluwe, Negeri Belanda.

Namun dia saat itu tidak berani mengambil keputusan. Soalnya, pemerintahannya tidak terbentuk secara demokratis. Baru kemudian setelah pemilu pertama usai perang dan terbentuk kabinet pemerintahan Beel, sikap baru (dalam menyikapi republik, res) di lingkup kerajaan bisa diambil.

Schermerhorn diangkat menjadi ketua tim beranggota tiga orang yang disebut Commissie-Generaal (Komisi Umum), sesuatu yang baru dalam tatanegara Kerajaan Belanda. Komisi ini mendapat mandat luas atas nama pemerintah Belanda untuk melakukan perundingan di Indonesia demi masa depan yang dapat diterima kedua pihak.

Linggardjati: Prinsip dan Fakta

Pada 11 November 1946, sebuah pesawat terbang Catalina, yang membawa anggota Badan Komisi Jenderal Belanda (delegasi Belanda), meninggalkan Jakarta. Di hari yang sama, dengan menggunakan mobil, delegasi Indonesia juga bergerak menuju tujuan yang sama. Kedua delegasi hendak menggelar perundingan lanjutan di Kuningan, Cirebon mengenai proses dekolonisasi Belanda di Indonesia.

Perundingan itu sebenarnya sudah berlangsung sejak 22 Oktober 1946 di Jakarta tapi belum mencapai titik temu, bahkan terancam gagal. Dalam kebuntuan, muncul gagasan dari delegasi Belanda untuk menghadirkan Sukarno-Hatta dalam proses perundingan selanjutnya. “(Willem) Schermerhorn berpendapat, sebuah pembicaraan dengan Sukarno di Yogyakarta atau di mana saja adalah hal yang amat penting agar semua menjadi final,” tulis Roesdhy Hoesein, dalam buku “Terobosan Soekarno dalam Perundingan Linggardjati”

Namun karena Sukarno-Hatta tak memungkinkan datang ke Jakarta dan pemerintah Belanda melarang delegasinya untuk pergi ke Yogya, dicarilah tempat netral. Atas saran Maria Ulfah, perundingan akhirnya diadakan di Linggarjati, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Lokasinya sangat indah, di kaki gunung Ciremai, Kuningan, Jawa Barat. Temperatur udaranya sepanjang tahun juga nyaman. Singkat kata, Linggardjati adalah sebuah tempat wisata ideal. Namun di November 1946, tempat itu dihantui ketegangan perundingan delegasi Belanda dan Republik Indonesia.

Perundingan dimulai pada hari kedua setelah kedatangan kedua delegasi di Kuningan. Meski pembahasan pasal demi pasal kembali berlangsung alot, secara umum, untuk pasal-pasal tertentu, kedua pihak menemukan kata sepakat. Tapi ada sejumlah pasal yang masih mengganjal.

“Saat itu jelas sekali bahwa delegasi Indonesia kami bawa berunding sampai kolaps. Kami juga nyaris terkapar,” ujar Prof.Dr.Ir. W. Schermerhorn dalam ‘laporan rahasia’.

Sebagai ketua apa yang disebut Commissie-Generaal (Komisi Umum, red), sebuah komisi beranggota tiga orang yang mewakili pemerintah Belanda berunding dengan Indonesia, Prof. Schermerhorn mencatat semua detil peristiwa.

12 November 1946, lewat tengah malam. Prof. Schermerhorn menyadari sepenuhnya makna sejarah dari misi yang dipimpinnya dan oleh sebab itu dia mencatat semuanya dalam buku harian dari 20/9/1946 hingga awal Oktober 1947.

Sekretarisnya, Piet Sanders, seorang ahli hukum muda, juga melakukan hal sama. Sanders mengirim temuan-temuannya langsung kepada istrinya dan menulis surat ke istrinya itu segera setelah tiba, bahwa berdialog dengan Soekarno, presiden Republik Indonesia yang tidak diakui oleh Belanda, tidak terhindarkan lagi.

Enampuluh tahun kemudian, Sanders mengatakan bahwa pernyataannya itu terutama ditujukan untuk situasi di Negeri Belanda. “Soekarno dianggap sebagai seorang pengkhianat negara, kami tidak akan berdialog dengan Soekarno.”

Begitu tiba di Indonesia, Sanders dan anggota Commissie-Generaal lainnya segera berubah pandangan. “Soekarno diakui secara internasional, dia satu-satunya figur berpengaruh. Jika ingin mencapai kesepakatan dengan Republik, maka tidak bisa lain kecuali berdialog dengannya.” Demikianlah. Perundingan akhirnya digelar di Linggardjati.

Kelak di kemudian hari, Minister van Overzeese Gebiedsdelen (Menteri Wilayah Seberang Lautan) yang sebelum kemerdekaan Indonesia bernama Menteri Koloni, menjelaskan kepada Tweede Kamer (parlemen): “Di sana berlaku fakta, di sini prinsip.”

Soekarno telah hadir di Linggardjati, untuk perkenalan dengan delegasi. Dengan kharismanya yang kuat dia begitu menarik perhatian setiap orang. Kemudian dimulailah perundingan Linggardjati di saat republik masih berusia beberapa bulan dan revolusi masih berkobar.

Perundingan antara delegasi Indonesia pimpinan Perdana Menteri Sjahrir dan delegasi De Comissie Generaal mewakili pemerintah Belanda pada hari pertama itu (Senin, 11/11/1946) berlangsung alot hingga larut malam.

Belanda mengajukan sejumlah 17 Pasal, yang langsung dipelajari delegasi Indonesia dengan seksama satu per satu. Dari pasal-pasal itu banyak termuat hal-hal sangat sensitif. Di antaranya Belanda tetap ingin memainkan peran di Nederlands-Indie. Sementara tuntutan republik jelas, yakni merdeka dan perwakilan yang sudah dirintis di India agar diakui.

Senin malam menjelang Selasa delegasi kedua pihak diundang oleh presiden Soekarno, yang menginap di vila Linggardjati beberapa kilometer dari lokasi perundingan. Ternyata Soekarno punya kejutan.

Malam itu Soekarno menyatakan bisa menerima sepenuhnya 17 Pasal yang disodorkan Belanda, dengan syarat kata ‘vrijheid’ (merdeka) diganti dengan ‘souvereiniteit’ (kedaulatan) saat pengakuan republik.

De Commissie-Generaal menyatakan setuju, meskipun anggota komisi Van Poll merasa keberatan. Tapi saat terjadi persetujuan itu Perdana Menteri Sjahrir tidak hadir. Karena kelelahan memimpin delegasi berunding dengan Belanda sepanjang hari, Sjahrir tak bisa menghadiri pertemuan malam itu di vila tempat Soekarno menginap.

Ternyata kemudian, Sjahrir murka besar begitu mendengar bahwa Soekarno terlalu gegabah menyetujui pasal-pasal yang diajukan Belanda, dengan perubahan kecil pada ‘vrijheid’ menjadi ‘souvereiniteit’. Menarik kembali persetujuan itu sudah tidak mungkin lagi.

“Soekarno betul-betul figur paling menentukan di Indonesia saat itu,” kenang Piet Sanders.

Soekarno meninggalkan Linggardjati keesokan harinya, Rabu (13/11/1946). Sementara kedua delegasi kembali ke Jakarta untuk mengurus beberapa detil perjanjian. Perjanjian ini akhirnya resmi ditandatangani oleh Schermerhormn dan Sjahrir pada pada 15/11/1946.

Isi Perjanjian Linggardjati:

Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia dengan wilayah Jawa, Sumatra dan Madura
Belanda-Indonesia setuju untuk membentuk federasi (Republik Indonesia Serikat)
RIS bersama wilayah-wilayah lain di bawah uni Belanda dengan Ratu Belanda sebagai Kepala Negara.

Posisi Sukarno dalam perundingan itu jelas: bukan anggota delegasi. Mereka hanya “mengawal” proses perundingan. Dan kedatangan mereka merupakan keinginan delegasi Belanda. Tapi apa mau dinyana. Kendati berat, delegasi Indonesia mau menerima keputusan tersebut. Namun tak berarti mereka menerima begitu saja persetujuan sepihak dari Sukarno. Sjahrir dan anggota delegasi lainnya lantas mengadakan rapat tertutup dengan Sukarno. Mereka minta Sukarno menjelaskan dasar keputusan yang diambilnya. Dengan tenang, Sukarno memberikan penjelasan. Mereka, termasuk Sjahrir, akhirnya tunduk pada keputusan Sukarno.

“Tampaknya, dibandingkan dengan delegasi Indonesia, delegasi Belanda sangat memperhatikan pengaruh Sukarno sebagai presiden. Bagi Schermerhorn dan (Lord Louis) Mountbatten, Sukarno-lah tokoh penentu dalam penetapan kebijakan pihak Indonesia soal perundingan Indonesia-Belanda. Walupun Sjahrir adalah pelaksananya,” tulis Roesdhy Hoesein, dalam bukunya “Terobosan Soekarno dalam Perundingan Linggardjati”

Referensi :
Terobosan Soekarno dalam Perundingan Linggardjati, Rushdy Hoesein, Kompas, Mei 2010.
Renville. Ide Anak Agung Gde Agung. Pustaka Sinar Harapan. 1991.
http://www.nederlandsindie.com
http://serbasejarah.wordpress.com/2011/04/21/linggardjati-antara-soekarno-dan-syahrir/#more-4910