Minggu, 19 Februari 2012

Dari Banda, Indonesia Bermula

Sebanyak 21 kapal layar dari sejumlah negara berlabuh di Banda, Maluku Tengah, Selasa (27/7), dalam rangka reli kapal layar Sail Banda. Sudah lama Banda menyita perhatian dunia. Sekadar bukti, Mick Jagger, vokalis Rolling Stones, serta Lady Diana dan Sarah Ferguson pernah datang untuk memuja panorama alam setempat. 

Pemandangan di depan dermaga Pelabuhan Banda Naira itu mengingatkan akan kejayaan Banda masa silam. Jauh sebelum republik ini berdiri, Banda telah menjadi surga bagi bangsa-bangsa Eropa. Kapal-kapal Portugis, Inggris, dan Belanda bergantian buang sauh di Banda Naira untuk mengenyam alam Banda yang subur dan elok itu.

Kehangatan dan aroma khas pala (Myristica fragrans) Banda yang tumbuh subur di tanah vulkanik sulit ditemukan di belahan dunia mana pun. Kala itu, biji dan fuli (bunga) pala sangat dibutuhkan sebagai bahan pengawet, penyedap, parfum, dan kosmetik.

Portugis, Inggris, dan Belanda berebut dan bergantian menguasai gugusan pulau yang terletak di tengah Laut Banda, Maluku- berjarak 116 mil (186 kilometer) dari Ambon, ibu kota Provinsi Maluku.

Des Alwi, tokoh masyarakat Banda, dalam buku Sejarah Banda Naira terbitan Pustaka Bayan (2010) mengisahkan, hasil monopoli pala yang harganya lebih mahal daripada emas kala itudigunakan Belanda untuk membangun kota Amsterdam dan Rotterdam. 
Kokohnya imperialisme Belanda di Banda ditandai dengan berdirinya benteng, gedung perkantoran, istana, dan rumah- rumah bergaya Eropa. Belanda bahkan memindahkan pengasingan Hatta dan Sjahrir dari Boven Digoel, Papua, ke Banda Naira tahun 1936-1942. Tokoh pergerakan nasional lain, Dr Tjipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusumasumantri juga diasingkan di sini.

Rumah tempat pengasingan Hatta dan Sjahrir itu kini menjadi museum. Ranjang besi dengan kelambu putih serta kursi kayu dan papan tulis tempat Hatta mengajar anak-anak tiap sore masih utuh tersimpan. Mesin tik Hatta dan gramofon milik Sjahrir masih tersimpan apik.
Di situlah Hatta dan Sjahrir menyemai nasionalisme dan rasa cinta Tanah Air kepada anak-anak Banda, termasuk kepada anak-anak warga pendatang  asal Jawa, Sumatera, Sulawesi, Ternate, Tidore, dan Kalimantan.
Des Alwi yang melewati masa kanak-kanak ketika Hatta danSjahrir diasingkan di Banda mengenang betapa kontrasnya materi pelajaran sekolah pagi yang diterima dari Belanda dengan yang dikenyam saat sore hari.

"Di sekolah pagi, para meneer mengajari kami bahwa Teuku Umar dari Aceh serta Diponegoro dari Jawa sebagai penjahat dan sejarah negeri Belanda disebut sebagai sejarah 'Tanah Air'. Sebaliknya, di sekolah sore, Hatta dan Sjahrir menyebut dua tokoh itu sebagai pemberontak atas penindasan Belanda."
Oleh Des Alwi dan anak-anak sebayanya kala itu, Hatta akrab disapa "Oom Kacamata". Adapun Sjahrir biasa disapa "Oom Rir". "Sosok Hatta itu serius, kutu buku, dan lengket dengan kacamata tebal. Kalau Sjahrir, suka gaul dan suka nyanyi," ujarnya.



Menurut Des Alwi, budaya setempat menegaskan bahwa semua anak yang lahir di Banda otomatis dianggap orang Banda. Tidak terkecuali anak-anak pendatang, termasuk yang berasal dari China dan Arab. "Hatta dan Sjahrir menularkan semangat kebangsaan kepada anak-anak di Banda dalam nuansa pluralisme. Wajar jika muncul ungkapan 'Dari Banda, Indonesia  bermula'. Benih Tanah Air berawal dari sini," kata Des Alwi. 
Oleh Bung Hatta, Banda disebut sebagai miniatur Indonesia. Sebanyak 25.000 warga Banda yang saat ini tinggal di tujuh kampung adat di Banda merupakan keturunan campuran dari etnis-etnis yang pernah bermukim di Banda: Portugis, Belanda, Inggris, China, Arab, Jawa, Bugis, Buton, dan Ternate. "Beberapa kali pula penjajah menjadikan Banda sebagai tempat pembuangan sejumlah etnis dari pulau lain untuk dipekerjakan di perkebunan pala," kata Awad Senen (73), Kepala Kampung Adat Ratu Naira.

Ragam etnis ini bisa terlihat dengan mudah dari nama mereka. Tahun 1990-an Mick Jagger, vokalis Rolling Stones, Lady Diana, dan Princess of York Sarah Ferguson pernah tetirah ke Banda. Rupanya, mereka ingin memuja keelokan Banda sambil menapaktilasi petualangan nenek moyang mereka.

Oleh: A Ponco Anggoro dan Nasrullah Nara
sumber:  http://tanahair.kompas.com/read/2010/09/02/19043634/Dari.Banda..Indonesia.Bermula

Selasa, 14 Februari 2012

Menyusuri Gedung-gedung “Baheula” di Parijs van Java

Salah satu faktor yang menjadikan Bandung dikenal dengan sebutan Parijs van Java karena di kota itu banyak berdiri gedung-gedung bersejarah bergaya Eropa. Hal yang menjadi pertanyaan, mengapa di Bandung banyak ditemui bangunan-bangunan tersebut. Bisa jadi sebagian besar orang belum mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut. Namun, yang pasti, ada latar belakang historis yang menyertai keberadaan berbagai bangunan tua peninggalan zaman Belanda tersebut.

Menurut Ketua Bandung Heritage Society, Harastoeti, di Bandung banyak terdapat gedung tua karena pusat pemerintahan Belanda sempat direncanakan dipindahkan dari Batavia (Jakarta) ke Bandung. Kejadian itu terjadi pada zaman kolonial, sekitar tahun 1800. Oleh sebab itu, tidak heran jika Pemerintah Belanda membangun sejumlah gedung secara besar-besaran di Kota Kembang. Saat itu, gaya bangunan yang sedang ngetren adalah gaya art deco.

“Sebenarnya ada sekitar 1.000 bangunan tua di Kota Bandung, tetapi di dalam peraturan daerah yang harus ditetapkan adalah 100 bangunan yang terbagi menjadi tiga kelas, yakni kelas A, B, dan C,” papar Harastoeti yang cukup rajin mendata bangunan-bangunan tua di Bandung. Menurut dia, dari sekian banyak gedung tua di Bandung, ada beberapa bangunan yang tergolong paling tua, salah satunya adalah Gedung Heritage yang kini difungsikan sebagai toko factory outlet (FO) Heritage di Jalan Riau.

Ada pula Gedung Hotel Surabaja di kawasan Kebon Jati yang kini sudah direnovasi dan sebuah rumah di Jalan Cibeureum, Cimindi. Rumah yang berada di daerah Cimindi, kata Harastoeti, termasuk bangunan paling tua dan menarik karena dibangun oleh orang Indonesia. Rumah itu dibangun pada 1800- an oleh Wangsa Diprama, lalu ditempati oleh keturunannya, Hanafi , Redmana, dan kini oleh Ibu Siswo.

Namun sayang, rumah tua yang diarsiteki Haji Bajuri itu seperti tidak terurus. Hal itu kemungkinan terkendala oleh persoalan biaya perawatan. Harastoeti khawatir rumah yang berdiri di lahan 2,5 hektare itu dijual oleh pemiliknya kepada investor untuk keperluan bisnis. Bangunan-bangunan tua lainnya banyak tersebar di beberapa wilayah Kota Bandung. Kawasan yang paling banyak terdapat gedung-gedung zaman baheula-nya adalah Jalan Braga, Jalan Naripan, dan Jalan Asia Afrika.

Selain itu, di kawasan Viaduct Kebon Jati, Jalan Oto Iskandardinata, Jalan Wastukencana, dan Jalan Diponegoro – lokasi berdirinya Gedung Sate – juga banyak ditemui gedung-gedung tua.

Masih Berfungsi

Di kawasan Jalan Braga-Naripan- Asia Afrika, gedung-gedung tua masih berfungsi dan dipergunakan sebagai toko atau kantor. Sebagai contoh, di Jalan Braga terdapat Gedung Majestic yang dibangun pada 1925. Gedung itu dirancang oleh arsitek CP Wolff Schoemaker. Masih di sekitar kawasan Braga, terdapat Bank Indonesia Cabang Bandung yang berdiri sejak 1917.

Bangunan tua yang tampak cukup megah dan masih berdiri kokoh tersebut diarsiteki oleh Edward Cuypers. Ada pula Gedung Gas Negara, berdiri pada 1930 dan dirancang oleh RLA Schoemaker. Lokasi lainnya, di persimpangan Jalan Braga-Naripan, terdapat Gedung Kantor Berita Antara Biro Jawa Barat. Bangunan tua yang dirancang oleh AF Aalbers itu didirikan pada 1936.

Tidak jauh dari Jalan Braga, wisatawan pencinta gedung-gedung tua biasanya akan berjalan ke arah selatan, tepatnya di kawasan persimpang an Jalan Braga-Jalan Asia Afrika. Di persimpangan kedua jalan itu terdapat Museum Konferensi Asia Afrika (KAA). Museum KAA menyatu dengan Gedung Merdeka, dulu dikenal sebagai Gedung Concordia, yang dibangun pada 1800-an. Pada masa lalu, gedung itu dijadikan tempat berkumpulnya Concordia Societeit yang dibentuk pada 1879.

Perkumpulan itu beranggotakan orang-orang dari kalangan bangsawan Be landa dan pribumi. Sejak dipakai untuk KAA pada 1955, Gedung Concordia dijadikan aset cagar budaya yang kini di bawah pengelolaan Kementrian Luar Negeri. Museum KAA belakangan ini sering kali dipakai sebagai objek wisata, tempat pemutaran fi lm, dan kursus bahasa asing. “Museum KAA boleh dibilang museum khusus karena tidak banyak menyimpan barang-barang bersejarah.

Tapi setiap hari ada saja pengunjung yang datang, ada yang datang ke perpustakaan, ke ruang pamer, atau ke ruang audio visual,” kata Dadi Nuryadi, staf Museum KAA. Di seberang Museum KAA terdapat gedung tua bernama de Vries. Gedung bergaya arsitektur Indis itu dibangun pada 1879, kemudian dipugar dan dibangun kembali pada 1909 dan 1920, berdasarkan karya arsitek Edward Cuypers Hulswit.

Lantas gedung itu dialihfungsikan menjadi toko serba ada de Vries (Warenhuis de Vries). Selain di kawasan Braga-Asia Afrika, gedung peninggalan zaman Belanda yang masih terawat dengan baik sampai saat ini adalah Gedung Driekleur. Lokasinya di persimpangan antara Jalan Sultan Agung dan Jalan Dago. Gedung yang kini dipakai sebagai Kantor BTPN itu, baru- baru ini, mendapat penghargaan dari Bandung Development Watch (BDW) sebagai gedung terbaik dalam renovasi cagar budaya.

“Gedung-gedung tua atau monumen di Bandung ada yang bertaraf internasional, nasional, dan lokal. Semuanya adalah aset yang sangat berharga,” kata Harastoeti. Oleh karena itu, dia mengharapkan, masyarakat bisa terus memelihara gedunggedung tua karena warisan budaya itu bisa mengurangi pemanasan global. “Lebih baik manfaatkan dulu gedung yang ada daripada menggali tanah, apalagi sampai merusak lingkungan,” tandas Harastoeti.
ygr/L-2
http://www.bandungheritage.org/index.php?option=com_content&view=article&id=96:menyusuri-gedung-gedung-baheula-di-parijs-van-java-&catid=13:kliping&Itemid=2

Bandung Lautan Api

Bandung Lautan Api
Suatu hari di Bulan Maret 1946, dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk mengukir sejarah dengan membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota Bandung menuju pegunungan di selatan. Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo-Halo Bandung" ditulis untuk melambangkan emosi mereka, seiring janji akan kembali ke kota tercinta, yang telah menjadi lautan api.


Insiden Perobekan Bendera

Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Kemerdekaan harus dicapai sedikit demi sedikit melalui perjuangan rakyat yang rela mengorbankan segalanya. Setelah Jepang kalah, tentara Inggris datang untuk melucuti tentara Jepang. Mereka berkomplot dengan Belanda (tentara NICA) dan memperalat Jepang untuk menjajah kembali Indonesia.

Berita pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan dari Jakarta diterima di Bandung melalui Kantor Berita DOMEI pada hari Jumat pagi, 17 Agustus 1945. Esoknya, 18 Agustus 1945, cetakan teks tersebut telah tersebar. Dicetak dengan tinta merah oleh Percetakan Siliwangi. Di Gedung DENIS, Jalan Braga (sekarang Gedung Bank Jabar), terjadi insiden perobekan warna biru bendera Belanda, sehingga warnanya tinggal merah dan putih menjadi bendera Indonesia. Perobekan dengan bayonet tersebut dilakukan oleh seorang pemuda Indonesia bernama Mohammad Endang Karmas, dibantu oleh Moeljono.

Tanggal 27 Agustus 1945, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), disusul oleh terbentuknya Laskar Wanita Indonesia (LASWI) pada tanggal 12 Oktober 1945. Jumlah anggotanya 300 orang, terdiri dari bagian pasukan tempur, Palang Merah, penyelidikan dan perbekalan.

Peristiwa yang memperburuk keadaan terjadi pada tanggal 25 November 1945. Selain menghadapi serangan musuh, rakyat menghadapi banjir besar meluapnya Sungai Cikapundung. Ratusan korban terbawa hanyut dan ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal. Keadaan ini dimanfaatkan musuh untuk menyerang rakyat yang tengah menghadapi musibah.

Berbagai tekanan dan serangan terus dilakukan oleh pihak Inggris dan Belanda. Tanggal 5 Desember 1945, beberapa pesawat terbang Inggris membom daerah Lengkong Besar. Pada tanggal 21 Desember 1945, pihak Inggris menjatuhkan bom dan rentetan tembakan membabi buta di Cicadas. Korban makin banyak berjatuhan.

Bandoeng Laoetan Api

Ultimatum agar Tentara Republik Indonesia (TRI) meninggalkan kota dan rakyat, melahirkan politik "bumihangus". Rakyat tidak rela Kota Bandung dimanfaatkan oleh musuh. Mereka mengungsi ke arah selatan bersama para pejuang. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan, pada tanggal 24 Maret 1946.

Kolonel Abdul Haris Nasution selaku Komandan Divisi III, mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan rakyat untuk meninggalkan Kota Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota.

Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakannya lagi. Di sana-sini asap hitam mengepul membubung tinggi di udara. Semua listrik mati. Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling seru terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat pabrik mesiu yang besar milik Sekutu. TRI bermaksud menghancurkan gudang mesiu tersebut. Untuk itu diutuslah pemuda Muhammad Toha dan Ramdan.

Kedua pemuda itu berhasil meledakkan gudang tersebut dengan granat tangan. Gudang besar itu meledak dan terbakar, tetapi kedua pemuda itu pun ikut terbakar di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan maka pada jam 21.00 itu juga ikut keluar kota. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota. Dan Bandung pun berubah menjadi lautan api.

Pembumihangusan Bandung tersebut merupakan tindakan yang tepat, karena kekuatan TRI dan rakyat tidak akan sanggup melawan pihak musuh yang berkekuatan besar. Selanjutnya TRI bersama rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini melahirkan lagu "Halo-Halo Bandung" yang bersemangat membakar daya juang rakyat Indonesia.

Bandung Lautan Api kemudian menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembakaran itu. Banyak yang bertanya-tanya darimana istilah ini berawal. Almarhum Jenderal Besar A.H Nasution teringat saat melakukan pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, untuk memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris.

Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, "Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api." Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air"
A.H Nasution, 1 Mei 1997
Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.

Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan memberi judul Bandoeng Djadi Laoetan Api. Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi Bandoeng Laoetan Api.

Sumber : Bandung Society For Herritage Conservation

Jalan Dago

Kawasan Dago adalah sebuah kawasan pemukiman elit di bagian utara Bandung. Pada awal perkembangan kota, kawasan ini hanyalah sebuah kampung kecil bernama Kampung Banong. Beberapa ahli menduga nama Bandung berasal dari nama Kampung ini. Kampung Banong ini mencuat namanya ketika Dr. Andrees de Wilde, seorang juragan perkebunan Kopi paling terkemuka pada tahun 1820-an mendirikan sebuah rumah peristirahatan di sana, lengkap dengan gudang kopi yang luas.
 
Meskipun demikian, baru pada tahun 1910 pemerintah Gemeente Bandung mulai memperluas wilayah administrasinya ke arah utara. Orang merambah kebun dan sawah, membangun jalan Dago dan Cipaganti di Bandung Utara. Pembangunan dan pengerasan jalan Dago sampai ke hutan Pakar bersamaan dengan usaha Gemeente (kotamadya) membangun reservoir air minum di Bukit Dago.

Jalan Ir. H. Juanda  (Jalan Dago) yang membelah kawasan ini kini menjadi jalur rekreasi paling utama bagi penduduk kota. Setiap Sabtu malam, ribuan orang tumpah-ruah memadati pinggir jalan Dago untuk menikmati makanan di cafe tenda pinggir jalan. Sementara puluhan klub pecinta kendaraan seperti VW Club atau Scooter Club memiliki tempat-tempat favoritnya sendiri. Bahkan kadang-kadang kita bisa menikmati life music gratis dari berbagai aliran musik mulai dari brass-band, pop, hingga musik 'underground' yang dimainkan di pinggir jalan.
Suasana Malam Minggu
Kawasan Dago kini menjadi kawasan paling 'hip' di Bandung. Setiap malam Minggu terutama pada awal-awal bulan orang berjubel memenuhi trotoar dan bahkan badan jalan untuk sekedar menghirup udara malam. Cafe-cafe dadakan pinggir jalan bermunculan; sementara di persimpangan-persimpangan jalan, anggota klub-klub motor dan mobil Vespa, Honda, Harley Davidson bahkan motor-motor yang  tidak diproduksi lagi seperti BSA berkumpul dan memamerkan kendaraan kesayangannya. Anda bahkan bisa menikmati musik brassband lengkap di pinggir jalan, gratis!
Karya Aalbers
Rumah Lokomotif
Pada tahun 1937, A.F. Aalbers  mendesain tiga villa kembar yang dijuluki sebagai de locomotiven (kereta api)  karena bentuknya. Selain ketiga villa ini,  AF Aalbers juga mendesain beberapa rumah tinggal lainnya di kawasan yang sama, sebagai upaya untuk mendorong pertumbuhan  Bandung Utara.

Perkembangan Jalan Dago
..1915   Pembangunan Jalan Dago (Dagostraat) dimulai pada awal abad 19, dan perkembangannya menjadi lebih pesat setelah Bandung mendapat status gemeente atau kotamadya pada tahun 1906. Rencana perluasan ke utara atau Uitbreidingsplan Bandoeng-Noord pada tahun 1915 yang berlangsung dalam beberapa gelombang perpindahan kegiatan administratif Hindia Belanda menyebabkan villa-villa berukuran besar dan sedang mendominasi Jalan Dago (S. Siregar, 1990).

1915-1945
Jalan Dago merupakan salah satu titik pelestarian alam yang  dilakukan oleh organisasi masyarakat Bandoeng Vooruit,   yang pada pertengahan 1930-an menghijaukan daerah aliran Sungai Cikapundung dengan pinus dan cemara gunung.

Sejak jaman pemerintahan Belanda hingga tahun 1950-an, kawasan Dago dikenal sebagai kawasan perumahan elite yang   dimiliki pemerintah Belanda. Dulu kawasan Dago dirancang sebagai kawasaan perumahan kapling besar dengan arsitektur Art Deco peninggalan zaman  Belanda.

1945-1970
Kekuasaan kemudian beralih dari pemerintahan Hindia Belanda ke pemerintahan Republik Indonesia. Pada awal kemerdekaan, jalan Dago tetap berfungsi sebagai hunian dan kondisi ini bertahan hingga akhir dekade 1960-an. Perubahan yang terjadi umumnya bersifat kepemilikan, dari orang-orang Belanda ke orang-orang Indonesia.

Thn 1950-an Dagostraat berubah nama menjadi jalan Dago

Pada tahun 1960an terjadi perubahan-perubahan. Jalan Dago diperlebar sebesar 2 meter kiri kanan jalan mengorbankan pohon-pohon besar, namun suasana masih sama, yaitu derah permukiman yang sangat ideal, dilengkapi dengan fasilitas pendidikan, rumah sakit, apotik, dan tempat perbelanjaan.

1970-1990

Pada tahun 1970-an jalan Dago berubah nama menjadi Jln. Ir.H. Djuanda

Pada dekade 70-an terjadi peningkatan kegiatan ekonomi di pusat kota, terutama di antara pengusaha kecil dan menengah, menyebabkan meluasnya pergeseran fungsi yang terus mendesak ke hunian-hunian terdekat sehingga Jalan Dago pun terkena imbasnya.

Perubahan Dago dari daerah hunian menjadi wilayah komersial dimulai tahun 1970-an

Kondisi kawasan yang semula merupakan perumahan elite sudah mulai mengalami perubahan pada tahun 1980-1990 dengan adanya supermarket Superindo (dahulu Gelael) pada tahun 1987. Adanya sarana komersial tersebut menjadi suatu daya tarik bagi masyarakat yang tinggal disekitar Dago untuk mengunjungi kawasan tersebut

1990-sekarang (2006)
Dikeluarkannya Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) wilayah Cibeunying thn 1995-2005 yg menetapkan jalan Dago sebagi kawasan penggunaan campuran perumahan, jasa, perdagangan, perkantoran, dan pendidikan dengan azas peruntukan lahan yang bersifat luwes.

Pada dekade '90-an juga bermunculan beberapa bangunan yang tingginya melampaui enam lantai. Transformasi fungsi dan bentuk yang drastis ini juga dipicu oleh penerapan kebijakan floating functional zone bagi area tersebut.

Factory outlet sudah ada di Kota Bandung sejak tahun 1990-an dan makin berkembang pada tahun 1999-an 
----------------
Sumber : http://www.bandungheritage.org/index.php?option=com_content&view=article&id=19:jalan-dago&catid=14:heritage&Itemid=2

Senin, 13 Februari 2012

Jalan Braga

Sejarah Jalan Braga tidak dapat dilepaskan dari sejarah pembentukan dan perkembangan Kota Bandung, terutama daerah pusat kotanya. Ada tiga peristiwa penting di Hindia Belanda yang erat hubungannya dengan Kota Bandung.Peristiwa Pertama adalah pembuatan Jalan Raya Pos yang membentang melintasi Pulau Jawa dari Anyer di ujung barat ke Panarukan di ujung timur. Jalan Raya Pos tersebut dibuat di masa pemerintahan Gubernur Jenderal H. W. Daendels yang berkuasa dari tahun 1808 - 1811. Di Bandung, Jalan Raya Pos tersebut menjadi cikal bakal dari Jalan Janderal Sudirman, Jalan Asia Afrika, dan Jalan Jenderal A. Yani. Akibat dari pembuatan jalan tersebut pada tanggal 25 Mei 1810, kedudukan Bupati Bandung dipindahkan dari tempatnya semula ke lokasi yang sekarang menjadi rumah kediaman resmi Walikotamadya Bandung, di sebelah selatan Alun-alun. Rumah kediaman Bupati berikut Alun-alun berserta pohon beringan, mesjid, dan penjara adalah elemen-elemen kota tradisional yang merupakan kelanjutan dari kebudayaan Hindu. Dari lokasi inilah perkembangan Kota Bandung dimulai. # Peristiwa Kedua adalah Politik Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda setelah Perang Diponegoro (1825 - 1830).
Perang ini dan peperangan lainnya di bumi nusantara benar-benar menguras kocek Belanda sehingga perlu dicari upaya untuk memulihkan keuangan Pemerintah Hindia Belanda. Tanam paksa ini berlangsung dari tahun 1831 sampai tahun 1870 dan primadona dari Bumi Priyangan yang subur ini adalah kopi, teh, dan kina. Di Kota Bandung tempat penampungan sekaligus tempat pengemasan hasil bumi ini (terutama kopi) berada lebih kurang 1 km. disebelah utara Jalan Raya Pos, yaitu di lokasi yang sekarang menjadi Gedung Balaikota. Gedung pengemasan kopi tersebut dikenal dengan nama Koffie Pakhuis.
Jarak dari gudang kopi dan Jalan Raya Pos tentu menjadi sangat penting untuk pengiriman hasil bumi. Jalur penghubung antara kedua tempat tersebut adalah jalan setapak berlumpur yang biasa dilalui oleh pedati kuda dan dikenal dengan nama Pedati Weg (Jalan Pedati). Jalan inilah yang kelak dikenal bernama Jalan Braga.
Dengan berakhirnya Tanam Paksa pada tahun 1870, terjadi perubahan-perubahan di bidang politik. Polik Tanam Paksa diganti dengan "Politik Balas Budi". Dua aspek penting dari Politik Balas budi ini adalah swastanisasi dan desentralisasi. Swasta diberikan peluang besar untuk berperan dalam perekonomian. Mengetahui keadaan Bumi Parahyangan yang subur ini, maka berduyun-duyunlah para pengusaha pertanian berusaha di seputar Bandung. Keadaan perekonomian pada saat itu rupanya sangat baik sehingga para pengusaha tersebut menjadi kaya-raya. Sebagian dari kekayaan tersebut telah didonasikan untuk perkembangan dan kemajuan Kota Bandung.

Keberadaan para pengusaha tersebut yang lebih dikenal sebagai Preanger Planters tentunya membutuhkan sarana-sarana untuk mereka bersosialisasi yang disebut Societeit. Tahun 1879, Societeit Concordia disahkan sebagai badan hukum dan setelah beberapa kali berpindah tempat akhirnya dipilihlah Gedung Concordia, yang sekarang menjadi Gedung Merdeka, sebagai pusat kegiatannya.

Desentralisasi pemerintahan membawa hasil sehingga beberapa puluh tahun kemudian tepatnya 1 April 1906 berdirilah Gemeente Bandoeng yang memperoleh otonomi untuk mengatur Kota Bandung sendiri.

Jalan Pedati (yang kemudian menjadi Jalan Braga) berkembang secara lambat dari hanya jalan pintas semata menjadi kawasan pemukiman.
Pada tahun 1874 barn ada enam atau tujuh rumah permanen diselingi beberapa warung beratap rumbia. Bila malam tiba, digunakan obor sebagai alat penerangan. Rumah-rumah batu tersebut menempati kapling-kapling yang luas sehingga antara bangunan yang satu dengan yang lain tidak berimpitan (renggang). Halaman depanpun luas dan bisa didapati adanya gudang-gudang atau paviliun di samping bangunan rumah-rumah tersebut.

Nama "Braga" sendiri menimbulkan beberapa kontroversi. Ada kalangan yang mengatakan, Braga berasal dari sebuah perkumpulan drama Bangsa Belanda yang didirikan pada tanggal 18 Juni 1882 oleh Peter Sijthot, seorang Asisten Residen, yang bermarkas di salah satu bangunan di Jalan Braga. Diduga sejak saat itulah nama Jalan Braga digunakan. Pemilihan nama "Braga" oleh perkumpulan drama ini diperkirakan berasal dari beberapa sumber yang erat kaitannya dengan kegiatan drama, antara lain nama Theotilo Braga (1834 -1924), seorang penulis naskah drama, dan Bragi, nama dewa puisi dalam mitologi Bangsa Jerman.

Sementara itu ada versi lain dari nama "Braga". Menurut ahli Sastra Sunda, Baraga adalah nama jalan di tepi sungai,Jalan Braga sehingga berjalan menyusuri sungai disebut ngabaraga. Sesuai dengan perkembangan Jalan Braga (terletak di tepi Sungai Cikapundung), yang kemudian menjadi tersohor ke seluruh Hindia Belanda bahkan ke manca negara, Jalan Braga menjadi ajang pertemuan dari orang-orang, dan ngabaraga tadi berubah menjadi ngabar raga, yang lebih kurang artinya adalah pamer tubuh atau pasang aksi.
Memang di masa-masa sebelum PD II, disaat Jalan Braga sedang jaya jayanya, jalan ini dijadikan ajang memasang aksi menjual tampang sehingga dikenal juga istilah khas Bragaderen. Perkataan deren dalam kamus Bahasa Belanda kurang menjelaskan arti kata penggabungan Braga dan deren sehingga disimpulkan, Bragaderen berasal dari kata paraderen yang artinya berparade, jadi Bragaderen lebih kurang berarti berparade di Jalan Braga.

Peristiwa Ketiga adalah tercetusnya ide untuk memindahkan ibukota Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda dari Batavia (Jakarta) ke Bandung. Rencana besar ini berdasarkan karena alasan pertahanan. Sebagian dari ide ini sempat terealisir, seperti dijadikannya Kota Cimahi sebagai kota garnisun dengan perwiranya yang tinggal di Bandung, juga dipindahkannya pabrik senjata dan mesiu dari Jawa Timur ke Bandung (PINDAD sekarang).

Gedung Sate yang sebenarnya akan menjadi salah satu bangunan di dalam kompleks pusat Pemerintahan Hindia Belanda juga merupakan bagian dari realisasi ide tersebut. Swastapun ikut berpartisipasi, sebagai pelopornya yaitu Pabrak Minyak Insulinde yang memindahkan kegiatannya ke Bandung. Gedung yang kemudian pernah menjadi Gedung Mapolwil di ujung Jalan Braga, dibangun sebagai kantor pabrik tersebut.

Ide besar untuk memindahkan ibukota dari Batavia ke Bandung ini dilanjutkan dengan ide besar lainnya, yaitu menjadikan Jalan Braga sebagai jalan perbelanjaan Bangsa Eropa nomor satu di seluruh Hindia Belanda atau de meest europeesche winkel straat van Indie. Pekerjaan besar yang melibatkan berbagai kalangan ini ternyata lebih terlihat realisasinya dan hingga kinipun masih dapat kita lihat sisa-sisa kejayaannya.

Penggolongan fisik bangunan di Kota Bandung seperti tertulis dalam Peraturan Bangunan Kabupaten Bandung tahun 1920-an (Bouwverordening Regentschap Bandoeng) adalah:
•    Bandoengbouw
•    Open Westerse Bow (Bangunan Barat Terbuka / Renggang)
•    Gesloten Chineese Bow (Bangunan Cina Tertutup / Rapat)

Untuk menjadikan Jalan Braga menjadi de meest europeesche winkel straat van Indie perlu dilakukan perbaikan atau penyempurnaan peraturan pembangunan karena pada hakekatnya yang akan dibuat di Jalan Braga adalah Gesloten Westerse Zakenbouw (Bangunan Perdagangan Bergaya Barat Tertutup / Rapat).

Langkah-langkah yang dilakukan untuk merealisasikannya melibatkan para pakar dari beberapa disiplin ilmu, karena pada dasarnya Bangsa Belanda belum mempunyai pengalaman membangun Bangunan Barat Rapat di daerah beriklim tropis. Pemecahan teknis diberikan oleh seorang pakar DR. Ir. C. P. Mom, yang pada intinya dapat diuraikan sebagai berikut:
-    Dinding tebal
-    Lantai bangunan hares luas
-    Atap tinggi
-    Sebisanya menggunakan bahan-bahan alam
-    Penghawaan dan penerangan siang hari secara alami, agar panas tidak langsung menyengat perlu diatur letak dan bentuk jendela serta jendela ventilasi. Karena itu penggunaan kaca patri untuk jendela sebagai elemen dekorasi, selain sebagai lubang cahaya dan lubang hawa, sangat digalakkan.

Selain hal-hal tersebut di atas, perlu juga diatur kembali tata letak bangunan. Bangunan-bangunan yang semula renggang dan mempunyai halaman depan ditata kembali sehingga tidak mempunyai halaman depan. Bangunan-bangunan berada tepat di tepi jalan, demikian juga keberadaan gudang-gudang dan paviliun tidak lagi diperkenankan.
Bangunan-bangunan di Jalan Braga diputuskan hares mempunyai jumlah lantai satu atau dua, dengan uraian:
-    Bagi bangunan berlantai satu, bagian depan diperuntukkan bagi perdagangan / toko, dan bagian belakang diperuntukkan bagi fungsi-fungsi lain, seperti: rumah tinggal, gudang, kantor, dan sebagainya.
-    Bagi bangunan berlantai dua, lantai bawah bagian depan diperuntukkan bagi perdagangan / toko, dan bagian belakang serta lantai atas diperuntukkan bagi fungsi-fungsi lain.
-    Bagi semua bangunan, diharusklan mempunyai etalase.

Usaha menjadikan Jalan Braga sebagai pusat perbelanjaan nomor satu di seluruh Hindia Belanda ternyata disambut hangat oleh berbagai kalangan dan lapisan

masyarakat. Para pengusaha perbelanjaan yang eksklusif dan terkenal berbondongbondong memindahkan tempat usahanya atau membuka cabang di Jalan Braga, Walaupun perintisan Jalan Braga untuk menjadi pusat perbelanjaan sudah dilakukan sebelum dicetuskannya ide besar tadi, yaitu dengan dibukanya Tiserba Hellermann pada tahun 1894 dan disusul oleh beberapa toko lainnya, tetapi peningkatan kegiatan secara dramatis terjadi setelah tahun 1920-an yang secara kebetulan menjadi momentum gerakan modernisasi kota-kota besar di Hindia Belanda.

Beberapa bangunan dan perusahaan layak diketengahkan disini karena mempunyai kontribusi terhadap sejarah dalam arti luas, baik sejarah pergerakan kemerdekaan, maupun perkembangan kebudayaan serta sejarah perkembangan Kota Bandung.
 
N. V. Fuchs en Rens yang kemudian menjadi P.T. Permorin adalah perusahaan perakitan mobil pertama di Hindia Belanda. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1919. Pada tahun yang sama didirikan Kantor Gas Negara yang menandai dijalankannya sistem gas kota untuk seluruh Kota Bandung. Sampai beberapa yahun terakhir ini, gas kota masih berfungsi dan jaringan pipa gas di seluruh kotapun hingga kini masih berada dalam keadaan baik. Sebelum tahun 1931 telah berdsiri Gedung Ons Genoegen (YPK sekarang) tempat berlangsungnya rapat politik di masa pergerakan.

Di salah satu gedung di Jalan Braga pernah berkantor Perusahaan Asuransi "Indonesia" yang dimiliki oleh Dr. S.A.M. Ratulangi. Perkataan "Indonesia" di masa pergerakan adalah perkataan tabu, sehingga tentu diperlukan jiwa pejuang di dalam diri Dr. Ratulangi untuk berani memberikan nama "Indonesia" bagi perusahaannya. Toko buku dan percetakan Van Dorp & Co., yang menempati Gedung Landmark sekarang, merupakan tempat tersendiri sebagai sarana penunjang kehidupan intelektual. Sedangkan arloji dan jam buatan Swiss yang terkenal hanya dapat diperoleh di Toko Stocker yang hingga sekarang masih dapat kita lihat bangunannya.

Masa jaya Jalan Braga yang berlangsung dari tahun 1920-an sampai dengan masa dimulainya pendudukan Jepang (1942), selain masih meninggalkan bangunan-bangunan yang sebagian masih utuh, juga meninggalkan kenangan bagi mereka yang pernah mengalami masa jayanya ini.

Berbicara mengenai Jalan Braga adalah berbicara mengenai suasana di suatu kawasan dan bukan hanya membicarakan sepenggal jalan dengan bangunan-bangunan kuno di kiri-kanannya.

Suasana Braga ini diciptakan antara lain oleh:
-    Perbandingan yang baik antara ketinggian bangunan-bangunan dengan lebar jalan
-    Adanya tertib bentuk yang mengatur perbandingan dari elemen-elemen bangunan, baik secara mendatar maupun secara tegak. Bangunan-bangunan di Jalan Braga, terutama yang berlantai dua, secara mendatar terdiri dari bagian-bagian:secara tegak bangunan di Jalan Braga mempunyai tiang / kolom yang jaraknya diatur berirama secara tetap.
-    Selain itu, bagian-bagian bangunanpun kaya akan ornamen-ornamen atau hiasan-hiasan.

Keberadaan tertib bangunan ini, tanpa menjadikan bangunan-bangunan di Jalan Braga hares sama, sangat membantu menciptakan suasana dinamis. Sayang, pada perkembangannya, ornamen-ornamen yang menghiasi bagian-bagian bangunan sebagian besar ditutupi oleh "topeng" yang menyembunyikan wajah asli bangunanbangunan ini. Irama-irama yang tercipta menjadi tertutup oleh bahan-bahan bangunan penutup yang umumnya terbuat dari logam.

-    Penataan bangunan yang meliputi peralihan dari bentuk-bentuk yang satu ke bentuk-bentuk yang lain dikerjakan dengan sangat cermat sehingga kita tidak merasakan adanya kesemrawutan.
-    Jika kita amati, bangunan-bangunan di Jalan Braga sebagian besar adalah bangunan ganda serf di bawah satu atap besar. Bangunan serf ini dapat terdiri dari dua, tiga, empat, bahkan lima. Dari bangunan serf yang satu ke bangunan seri yang lain yang tidak sama bentuknya, diberikan peralihan yang dinyatakan di dalam bentuk, misalnya perbedaan ketinggian atap, celah-celah peralihan, dan lain-lain.
-    Apalagi di masa lampau kebersihan bangunan dan lingkungan sangat diperhatikan sehingga suasana Jalan Braga benar-benar segar dan menyenangkan.

Marilah kita lihat perbendaharaan karya arsitektur yang kita miliki di Jalan Braga. Beberapa bangunan bergaya Art Deco yang menjadi bahan diskusi para pakar dunia berada di Bandung, yaitu: Gedung IKIP, Hotel Savoy Homann, dan Gedung BPD. Satu dari tiga gedung-gedung tersebut berada di Jalan Braga, yaitu Gedung BPD, dan interaksi antara Gedung BPD dan Hotel Savoy Homann terasa begitu kuat karena Hotel Savoy Homannpun berada begitu dekat dengan Jalan Braga.

Pencarian jati diri arsitektur Indonesia yang juga dilakukan oleh beberapa arsitek bangsa Belanda menghasilkan gaya paduan antara gaya tradisional Indonesia dengan kemajuan teknik konstruksi barat. Gaya ini disebut Indo Europeeschen Arsitektuur Stij. Hasil dari pencarian jati diri ini berbeda pada setiap arsitek, sesuai dengan wawasan dari arsitek itu sendiri.
-------------------------------
Ir. David Bambang Soediono, Pengurus Bandung Society for Heritage Conservation, Bidang Lingkungan Alam dan Binaan. Staff Pengajar di Universitas Parahyangan jurusan Arsitektur.

Arsitektur Bersejarah dan Citra Kota Bandung


Pembangunan Kota Bandung yang cepat dan intensif awal abad ke-20 terjadi karena Otonomi Pemerintahan Kota tahun 1906 dan rencana Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Kota Bandung sebagai ibu kota serta pusat komando militer.

Untuk maksud tersebut pemerintah memindahkan Departemen Peperangan (Departement van Oorlog) dari Weltevreeden (Jakarta Pusat) ke Bandung dengan membangun Pusat Komando Militer yang oleh masyarakat Sunda disebut Gedong Sabau, karya VL Slors tahun 1913.
Dalam kompleks baru ini dibangun pula Istana Panglima Pasukan yang kini menjadi Markas Kodam III Siliwangi, karya bersama kakak beradik Richard Schoemaker dan Wolff Schoemaker tahun 1918. Rencana pemindahan ibu kota juga didukung pemindahan kantor pusat Jawatan Kereta Api ke Bandung, di bekas gedung Grand National Hotel, Jalan Perintis Kemerdekaan, pada tahun 1916.

Untuk memindahkan departemen dan instansi pemerintah dari Batavia, disediakan tanah seluas 27.000 meter persegi untuk lokasi Gedung Sate dengan arsitek Gerber tahun 1920-1924. Sedangkan untuk menampung karyawan juga direncanakan dibangun sekitar 1.500 rumah.

Dalam rangka mengantisipasi kehidupan kota yang terus meningkat dan perluasan kota yang terus berkembang, pemerintah kota pada tahun 1930 menugaskan kepada Prof Ir Karsten membuat rencana pembangunan dan perluasan kota yang kemudian dikenal sebagai “Karsten Plan”.

Rencana tersebut dituangkan dalam konsep tata ruang kota dengan halte kereta api, pasar, kawasan industri, dan sarana lain, memperlihatkan keseimbangan antara pembangunan kawasan timur dan kawasan barat kota. Sedangkan kawasan utara kota direncanakan untuk perluasan perumahan masyarakat Eropa.

Dengan iklim Bandung yang nyaman seperti di daerah Perancis selatan serta rencana serta pelaksanaan pembangunan kota yang sangat sempurna dan modern, jumlah masyarakat Eropa yang ingin hidup di Bandung tahun 1941 mencapai 30.000 orang.

Pengaruh arsitektur modern

Awal arsitektur modern Kota Bandung banyak yang menampilkan perpaduan antara budaya Timur dan Barat yang oleh sejarawan disebut sebagai arsitektur Indo-Eropa.

Perpaduan tersebut juga terlihat pada karya kelompok arsitek Hindia Belanda NIAK (Nederlands Indie Arsitectuur Krink), seperti Maclaine Pont, CP Wolff Schoemaker, FJL Gheijsels, dan sebagainya.

Arsitektur modern sebelum Perang Dunia I dimulai dengan adanya pengaruh Art Nouveau yang banyak menampilkan keindahan plastisitas alam, dilanjutkan dengan pengaruh Art Deco yang lebih mengekspresikan kekaguman manusia terhadap kemajuan teknologi. Konsep tersebut kemudian dimanifestasikan ke dalam media arsitektur dan seni, serta gaya hidup. Dari hasil penelitian sejarah perkembangan arsitektur modern tersebut, Kota Bandung memperlihatkan kualitas dan kuantitas peninggalan arsitektur modern paling kaya dibandingkan dengan kota-kota besar lain di Indonesia.

Arsitektur Art Deco yang berkembang antara dua Perang Dunia memiliki ciri elemen dekoratif geometris yang tegas dan keras, sejalan dengan karya kelompok arsitek Amsterdam School dari Belanda. Karya Wolf Schoemaker yang memiliki pola dekoratif di antaranya adalah Hotel Preanger dengan pola dekoratif yang sering disebut sebagai Geometric Deco.

Dalam dasawarsa keempat, Kota Bandung juga masih banyak meninggalkan karya arsitektur yang semakin modern dan sangat unik. Gaya pertama adalah bangunan berbentuk kubistis dan plastis serta elemen dekoratif garis lurus yang tumbuh dari struktur horizontal dan vertikal beton yang dikenal sebagai Straightline Deco.

Dua karya Brinkman yang memperlihatkan konsep desain serupa adalah Singer Building di Jalan Asia Afrika yang telah dibongkar tahun 1992 dan Vila Han En Khan yang sekarang digunakan oleh kantor Psikologi Angkatan Darat di Jalan Sangkuriang.

Tiga Vila dan Vila Tiga Warna di Jalan H Juanda, serta Hotel Homann karya AF Aalbers tahun 1930-an adalah gaya bangunan yang semakin plastis dan sederhana (minimalis). Sharp Building dan Rumah Potong Hewan di Jalan Arjuna serta Rumentang Siang di Jalan Baranang Siang juga menampilkan gaya akhir modern yang unik.

Bangunan tersebut kini dalam situasi mengkhawatirkan karena ada yang sudah dijual kepada pengembang dan akan dijadikan mal. Masih sangat banyak bangunan dan lingkungan yang diperkirakan menjadi bahan lirikan pengembang, yaitu gudang kereta api, bekas Pabrik Gas Negara, dan sebagainya.

Menghilangnya bangunan bersejarah

Saat ini masih terdapat berbagai pihak yang kurang memperhatikan aset sejarah budaya dan terus membongkar berbagai bangunan bersejarah di Kota Bandung. Pembongkaran terjadi akibat keinginan menggebu pengembang membangun mal, supermal, supermarket, dan factory outlet, yang juga merupakan salah satu faktor penyebab semakin buruknya tata ruang kota dan menurunnya citra sejarah Kota Bandung.

Hampir seluruh gedung bioskop gaya Art Deco yang sangat unik di Bandung telah musnah, berubah menjadi ruko atau pusat perbelanjaan yang kurang bermutu sehingga menurunkan citra keindahan Kota Bandung. Beberapa contoh yang telah hilang di antaranya adalah Bioskop Oriental yang telah dibongkar tahun 1960-an dan gedung Bioskop Elita yang telah hilang pula pada tahun 1970-an. Begitu pula Preanger Theater, Braga Sky, dan sebagainya, juga sudah tidak tampak lagi. Padahal, seluruh bioskop tadi menjadi lambang keikutsertaan Indonesia dalam percaturan teknik perfilman dunia.

Pembongkaran tanpa izin bangunan bersejarah yang dilakukan pengembang akhir-akhir ini, seperti rumah keluarga Wiranata Kusuma dengan gaya Straightline Deco dan rumah milik Departemen Sosial di Jalan Ciumbuluit yang merupakan satu-satunya contoh Nautical-Deco (Art Deco Kapal) sisa-sisa sejarah pembangunan kawasan Bandung Utara, memperlihatkan contoh rendahnya pengetahuan budaya dan etika pengembang.

Contoh-contoh tersebut merupakan sebagian kecil dari sekian banyak aset sejarah kota yang menjadi bagian dari proses menghilangnya jejak sejarah Bandung. Menghilangnya kekayaan Art Deco di Bandung juga merupakan sebagian dari proses hilangnya benang merah yang menghubungkan sejarah pembangunan budaya masa lalu, masa kini, dengan masa depan yang bermanfaat dan menjadi kebanggaan generasi penerus. Menghilangnya begitu banyak bangunan bersejarah tersebut akan menghilangkan pula akar gaya minimalis yang sedang menjadi tren desain masa kini.

Kesimpulan

Bandung adalah benar-benar kota laboratorium arsitektur yang mulai memerlukan perhatian semua pihak agar citra sejarah pembangunan tetap tampil dengan baik.

Bangunan militer lama masih banyak yang terawat dengan baik, sangat memberi harapan bagi masa depan konservasi arsitektur kota. Revitalisasi yang terencana dengan baik, perlu bagi masa depan citra kota.

Citra Bandung sebagai kota Art Deco perlu dibanggakan dan dipertahankan semua pihak karena dunia banyak mengetahui dan tertarik untuk datang serta melihatnya.

Selain itu, aset negara adalah milik bangsa, menjual-belikan seharusnya tidak dibenarkan. Generasi muda membutuhkan lebih banyak sarana belajar, perpustakaan, pusat mengembangkan kreativitas, inovasi teknologi dan budaya yang lebih baik serta lebih banyak, bukan hanya perlu mal dan ruko. Para pengembang perlu lebih sadar tentang hal ini.

Penulis: Dibyo Hartono (Kepala Bidang Arsitek dan Lingkungan Bandung Heritage, Dosen di Institut Teknologi Bandung)

Sumber: Kompas, 16 April 2006

Kamis, 02 Februari 2012

Bandung Tempo Doeloe

1. Foto perempatan jalan A.Yani dan Jalan Riau (Martadinata) pada tahun 1920.

2. Jalan Riau pada tahun 1917.

3. Alun-alun Bandung pada tahun 1938.

4. Jalan Asia Afrika pada tahun 1920

5. Jalan Braga pada tahun 1911

6. Kampus ITB pada tahun 1920

7. Kologdom (markas militer) pada tahun 1923

8. Jalan antara Kopo dan Ciwidey pada tahun 1880

9. Masjid Agung dan alun-alun Bandung pada tahun 1890

10. Seputar GOR Saparua pada tahun 1930

11. Taman Balaikota pada tahun 1920