Kamis, 30 Agustus 2012

Pengobatan Nusantara

Sumber: Sumatera Tempo Doeloe, dari Marco Polo sampai Tan Malaka karya Anthony Reid. Ilustrasi: Micha Rainer Pali.

KEBERLIMPAHAN flora Hindia Timur menarik minat VOC (Vereenigde Oostindische Campaignie) untuk melakukan kajian botani sejak abad ke-17. Kajian ini dimulai bersamaan penjelajahan mereka ke Hindia Timur. Kajian botani penting bagi VOC untuk menggerakkan roda ekonomi perusahaan.

Melalui kajian itu, mereka mengetahui tetanaman yang aman dikonsumsi dan laku di pasaran. Selain itu, mereka harus mengenal tetanaman oba sebagai obat penyakit khas di kepulauan Asia Tenggara, yang jelas berbeda dari penyakit di Eropa.    

Dalam “The Making and Unmaking of Tropical Science: Dutch Research on Indonesia 1600-2000” Journal KITLV, Vol. 162 No. 2 (2006), Peter Boomgard, peneliti senior di KITLV, menyebut Georg Everhard Rumpf, seorang naturalis Jerman, sebagai peneliti botani tersohor. Dia bertugas untuk VOC pada paruh kedua abad ke-17. VOC membiayai aktivitas kajian botaninya selama di Ambon. “Dia menjelaskan penggunaan tetanaman yang berguna bagi manusia, termasuk untuk pengobatan,” tulis Boomgard.

Rumpf dibantu Susanna, seorang penduduk lokal. Hanya sebatas itu keterangan mengenainya. Bantuan penduduk lokal dibutuhkan para peneliti botani Eropa, sebab mereka lebih mengenal tetanaman di Hindia Timur. Tapi keterangan mengenai mereka sangat sedikit. Padahal pengetahuan mereka terhadap tetanaman obat dikenal orang Eropa. Tetanaman obat itu mereka racik tanpa tambahan bahan kimia hingga menjadi ramuan pengobatan atau jamu. Ini menarik minat orang Eropa.

“Orang Eropa juga tertarik dengan pengobatan Timur, sebagai contohnya adalah Rumpf dengan karyanya Herbarium Amboinense,” tulis Peter Boomgard dalam “The Development of Colonial Health Care In Java”, Jurnal KITLV Vol. 149 No. 1 (1993). Catatan Christoforo Borii pada 1633 memperkuat argumentasi Boomgard. Borii menulis, “Obat-obatan mereka tidak mengubah alam, tapi membantunya dalam fungsi alamiahnya, mengeringkan cairan yang menyakitkan, tanpa menyusahkan orang yang sakit sama sekali,” demikian dikutip Anthony Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga. John Crawfurd, pelancong dari Skotlandia, menegaskannya dua abad kemudian. Dia mengakui obat-obatan di Hindia Timur tak berbahaya.

Kekaguman orang Eropa terhadap pengobatan Timur bukan tanpa cela. Mereka tetap menganggap pengobatan Timur tak masuk akal, lebih pada praktik perdukunan dengan penggunaan mantra dan jimat. Menurut mereka, penduduk lokal juga tak punya pengetahuan memadai tentang anatomi tubuh manusia, yang sudah berkembang di Eropa. Karenanya beberapa kerajaan lokal, Mataram misalnya, pernah mempekerjakan ahli bedah VOC pada 1677.

Penduduk lokal belum mengenal pembedahan yang datang dari Eropa sebagai salah satu metode pengobatan. Pengetahuan medis mereka merupakan campuran dari pengetahuan Ayuwerda (India), Tiongkok, dan Arab. Inilah alasan Boomgard tak menyebut pengobatan mereka sebagai pengobatan tradisional melainkan pengobatan Timur, lawan dari pengobatan Barat (Eropa).

Orang Eropa sendiri, meski ada yang kagum, tak cukup puas dengan pengobatan Timur. Ini karena beberapa wabah yang sempat melanda Jawa pada abad ke-17 tak bisa diatasi. Sebaliknya, Boomgard mencatat selama 1800-1940 tingkat kematian di Jawa menurun setelah pengobatan Barat makin dikenal masyarakat Hindia.

Kenyataan ini dipertegas dengan pendirian sekolah medis modern di Batavia pada 1851. Rumah-rumah sehat mulai berdiri. Obat pun segera dibuat secara kimiawi. Vaksinasi cacar diujicobakan dan sukses menanggulangi wabah cacar. Masyarakat perlahan menerima metode pengobatan asing. Sementara itu, kajian pengobatan Timur tak memiliki lembaga resmi meski pengetahuan Ayuwerda terus diturunkan.

Pengetahuan Ayuwerda dominan di Jawa. Awalnya, pengetahuan itu dialihgenerasikan secara lisan. Kemudian, tanpa diketahui pasti kapan mulanya, beberapa kitab obat-obatan India diterjemahkan dan ditulis kembali dalam bahasa Jawa. Dalam Penulisan Sejarah Jawa, C.C. Berg mencatat beberapa naskah Jawa Kuno yang dipercaya merupakan mantra yang dapat mengusir penyakit.

Konsep penyakit dalam masyarakat Jawa tak terbatas pada segi fisik, seperti masuknya kuman tak kasat mata ke dalam tubuh. Penyakit dapat juga berupa gangguan roh leluhur, makhluk gaib, atau tenung dari manusia. Ketidakseimbangan lalu terjadi. Tubuh menjadi panas, lalu seseorang jatuh sakit. Untuk menyembuhkannya tak cukup dengan ramuan tertentu. Upacara khusus (ruwatan) harus dilakukan seperti mengaliri tubuh dengan air yang dibacakan jampi-jampi.

Selain metode pengobatan supranatural, beberapa metode pengobatan Timur yang lebih teknis tersua dalam khazanah naskah kuno Nusantara. Dalam “Kajian Terhadap Naskah Kuna Nusantara Koleksi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia”, Jurnal Makara Sosial Humaniora Vol 8. No. 2 (2008), Dina Nawaningrum menyebut delapan naskah kuno berbahasa Sunda, Jawa, Bali, dan Melayu yang memuat pengobatan dan ramuan tradisional. Sayangnya, tahun terbit naskah tersebut tak diketahui secara pasti.

Gangguan sistem reproduksi seksual dan sistem pencernaan, cacar, asma, dan gangguan jantung teridentifikasi masyarakat Nusantara sejak lama. Bahan obat, kebanyakan dari tanaman, dan cara pengolahannya pun tersua dalam naskah. Di masa modern, pengetahuan itu tersimpan dalam kerapuhan naskah-naskah kuno, di tengah temuan-temuan modern dunia pengobatan. Meski tergerus, pengobatan tradisional masih bertahan.



View the original article here



Peliculas Online

Selasa, 28 Agustus 2012

Berlayar Sampai Madagaskar

Para penjelajah bahari Nusantari berlayar hingga Madagaskar. Para tokoh bangsa pun sempat membayangkan Republik Indonesia terbentang sampai ke sana.

ORANG Indonesia adalah nenek moyang penduduk Madagaskar, demikian penelitian teranyar yang dimuat dalam jurnal Proceedings of the Royal Society B, 21 Maret lalu. Ahli biologi molekuler Universitas Massey Selandia Baru, Murray Cox, memimpin penelitian untuk menganalisis DNA mitokondria yang diturunkan lewat ibu dari 2.745 orang Indonesia yang berasal dari 12 kepulauan dengan 266 orang dari tiga etnis Madagaskar (Malagasi): Mikea, Vezo, dan Andriana Merina.

Menurut Cox, seperti dikutip The Australian (21/3), hasil riset tersebut menyimpulkan bahwa sekira 30 orang perempuan Indonesia menjadi pendiri dari koloni Madagaskar 1.200 tahun silam. Mereka disertai beberapa lelaki yang jumlahnya lebih sedikit.

Penelitian DNA ini memperkuat penelitian-penelitian sebelumnya. Secara arkeologis dibuktikan dengan temuan perahu bercadik ganda, peralatan besi, alat musik xylophone atau gambang, dan makanan tropis seperti tanaman ubi jalar, pisang, dan talas.  

Dari sisi linguistik, kebanyakan leksikon penduduk Madagaskar berasal dari bahasa Ma’anyan yang digunakan di daerah lembah Sungai Barito di tenggara Kalimantan, dengan beberapa tambahan dari bahasa Jawa, Melayu, atau Sanskerta. Menurut Robert Dick-Read dalam Penjelajah Bahari, kemiripan ini kali pertama dikemukakan misionaris-cum-linguis Norwegia Otto Dahl pada 1929 setelah meneliti kamus Ma’anyan karya C. Den Homer (1889) dan karya Sidney H. Ray (1913). “Tapi, kita harus melihat lebih teliti lagi sebab asal-usul Ma’anyan masih diperdebatkan,” tulis Dick-Read.

Anehnya, Dahl sendiri menyebut kemiripan itu tak memecahkan semua misteri bahasa Malgache (Malagasi). Sebab, terdapat beberapa unsur dalam Malgache yang mengarah ke Celebes (Sulawesi), terutama suku Bajo dan Bugis yang dikenal sebagai pelaut ulung. “Nenek moyang dari suku-suku inilah yang kemungkinan besar adalah para pelaut Indonesia yang telah berhasil menjelajah lautan hingga ke Afrika,” tulis Dick-Read.

Bahkan, tak hanya ketiga suku tersebut. Menurut S. Tasrif dalam Pasang Surut Kerajaan Merina, “mereka kemungkinan campuran dari ras Sumatra, Jawa, Madura, Sulawesi, atau orang-orang Indonesia Timur. Di sana, mereka berbaur membangun kebudayaan Malagasi. Para pendatang itu kemudian dominan di Madagaskar, karena penduduk aslinya sangat sedikit. Di kemudian hari, datang pendatang baru dari Arab, Pakistan, India, dan orang-orang Prancis yang membawa buruh-buruh Afrika hitam. Jadilah Madagaskar sebuah negeri multiras,” demikian dikutip Tempo, 21 September 1991.

Senada dengan pendapat Tasrif, ahli sejarah Afrika, Raymond Kent, dalam Early Kingdoms in Madagascar 1500-1700, menyimpulkan, “... pasti telah terjadi pergerakan manusia dalam jumlah besar yang datang secara sukarela dan bertahap dari Indonesia pada abad-abad permulaan milenium pertama. Sebuah pergerakan yang dalam istilah Malagasi kuno disebut lakato (pelaut sejati) karena mereka tidak berasal dari satu etnis tertentu.”

Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa, intelektual pertama yang membahas hubungan Nusantara dan Madagaskar adalah Moh. Nazif yang menulis disertasi De Val van het Rijk Merina pada 1928 di Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Adanya hubungan Indonesia dengan Madagaskar kemudian digunakan sebagai “politik kesatuan” oleh beberapa tokoh bangsa sejak 1920-an.

Pada peresmian Lembaga Pertahanan Nasional di Istana Negara, Jakarta, 20 Mei 1965, Sukarno, merujuk karya Nazif, mengemukakan: “...bangsa Indonesia itu adalah sebenarnya qua ras inter related dengan bangsa-bangsa yang mendiami Kepulauan Pasifik, Indocina, sampai Madagaskar.” Dalam beberapa kesempatan Sukarno kerap menyebut andil Indonesia dalam terbentuknya Madagaskar.

Dalam sambutan Kongres Indonesia Muda pertama tahun 1930, dikutip R.E. Elson dalam The Idea of Indonesia, tokoh pergerakan Kuncoro Purbopranoto mengatakan, “Indonesia merupakan satu negeri, dengan satu bangsa, dari Madagaskar hingga Filipina, dengan satu sejarah, sejarah Sriwijaya dan Majapahit...”

Tan Malaka setali tiga uang. Dalam Madilog, keyakinan Tan akan para pelaut Nusantara yang menjelajah hingga Madagaskar membuatnya memimpikan Republik Indonesia Raya sampai Madagaskar. “Tan Malaka dulu membayangkan wilayah Republik Indonesia Raya merdeka itu akan terbentang dari Pulau Madagaskar melintasi seluruh semenanjung Melayu, kepulauan Filipina, seluruh Hindia Belanda, termasuk Timtim sampai ke ujung Timur Papua,” tulis Sultan Hamengku Buwono X dalam Merajut Kembali Keindonesiaan Kita.            

Saking penasaran, Mohammad Yamin sampai pergi ke Madagaskar pada 1957. “Di Pulau Madagaskar bangsa Indonesia berkuasa mendirikan kerajaan Merina, yang diruntuhkan oleh tentara Prancis dalam tahun 1896, dan sampai kepada kerajaan ini tidaklah terkenal Konstitusi yang dituliskan,” tulis Yamin dalam Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia.

Namun, menurut Dick-Read, Merina yang merupakan penduduk mayoritas di Madagaskar, berasal dari nenek moyang berdarah campuran yang bermigrasi pada permulaan abad ke-16, yakni kaum Anteimoro yang kemungkinan berasal dari dataran tinggi Ethiopia bagian selatan dan kaum Hova.

“Besar kemungkinan bahwa kaum Hova merepresentasikan satu-satunya unsur Indonesia murni di Madagaskar,” tulis Raymond Kent.

Hubungan Indonesia-Madagaskar lebih terang dilihat dari bahasa. Yamin, tulisan Lombard, senang mencari persamaan antara bahasa-bahasa di Indonesia dan Malagasi. Yamin menyontohkan, “kerajaan Indonesia di Madagaskar yang telah dijadikan museum namanya: Rua. Perkataan Indonesianya: ruang, balairung.”

Contoh lain, “sebutan untuk bilangan dua, tiga, empat, lima. Dalam bahasa Malagasi disebut rua, telu, efat, dan limi. Ini mirip ucapan bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, dan Bali,” tulis Tempo, 21 September 1991. “Lalu kata anak, mati, padi, dan tembok. Dalam bahasa Malagasi disebut anaka, maty, pary, dan tambuk.”

Atau “tenko dan baratang, bahasa Makassar untuk cadik dan tiang/galah cadik; dalam bahasa Malagasi disebut tengo dan baratengo,” tulis Dick-Read.

Marcopolo-lah yang menamai Madagaskar pada akhir abad ke-13. Dia menuliskannya Magaskar. Dia sendiri tak mengunjungi pulau itu. Gambaran pulau itu dia peroleh dari para pedagang Arab. Karena itu, menurut Dick-Read, dia keliru menyebut pulau itu subur, banyak gajah dan singa, dan makanan utama penduduknya daging unta.

Menurut Dick-Read, jika melihat kesejajaran kata Bajun (istilah setempat untuk orang di atas perahu) dengan Bajoo dan Manda (pulau yang dihuni oleh suku Bajun di Afrika Timur) dengan Mandar, “tidakkah cukup beralasan bila kita berpendapat bahwa kata Madagaskar memiliki hubungan dengan suku bangsa pelaut lain di Sulawesi, yang terkait dengan suku Bugis, Bajo, dan Manda –Makassar?”



View the original article here



Peliculas Online

Minggu, 26 Agustus 2012

Dari Pemujaan hingga Bisnis

Balapan ini bermula dari tujuan pemujaan terhadap dewa-dewi. Namun kemudian justru dilarang.

CALIGULA, Kaisar Romawi (37-47 M), pernah hampir menjadikan kudanya, Incitatus, sebagai konsul (salah satu pimpinan Kekaisaran Romawi). Caligula menyanjung kudanya lantaran beberapa kali menang balap chariot (kereta kuda). Balapan ini mulai diminati masyarakat Romawi dari semua kalangan sejak abad ke-6 SM. Beberapa Kaisar Romawi bahkan menggunakan ajang ini sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaan.

Pada 530 SM, Raja Lucius Tarquinis Superbus memerintahkan pembangunan Circus Maximus, arena khusus untuk balap chariot. Dia menginginkan kemegahan Kerajaan Romawi termanifestasi dalam salah satu amphiteater (arena) tertua dan terbesar di Roma ini. “Panjang bangunan ini 1800 kaki, lebarnya 600 kaki. Bentuknya seperti leter U panjang. Di tengah lapangan amphiteater ini terdapat semacam barikade panjang, disebut Spina,” tulis majalah Varia, 20 September 1961.

Di Spina, beberapa patung berukuran besar diletakkan di atas pilar-pilar raksasa. Patung-patung itu berwujud dewa-dewa masyarakat Romawi. Ini menunjukkan bahwa dalam perkembangan awalnya balap chariot ditujukan sebagai ajang pemujaan. Menurut Roland Auguet, penulis buku Cruelty and Civlization, pemujaan terhadap Dewi Consus menjadi bagian tak terpisahkan dari balapan ini. Sebab, pengaruh kepercayaan Yunani Kuno dan Etruska (bangsa pendiri Kerajaan Romawi) sangat kental dalam Kerajaan Romawi. Chariot sendiri merupakan olahraga warisan Yunani Kuno, sedangkan Kaisar Tarquinis adalah orang Etruska.

Beberapa obelisk (tugu batu persegi empat yang menjulang tinggi) yang diimpor dari Mesir juga menghiasi bagian tengah amphiteater. Bola emas ditaruh di atas tiap obelisk sehingga bercahaya saat ditimpa sinar matahari. Untuk menambah kemegahan, amphiteater ini dirancang mampu menampung ratusan ribu penonton. “Terletak di dua bukit (Aventine dan Palantine), kapasitasnya sekira 150-300 ribu orang, yang berarti seperempat dari penduduk kota,” tulis Nigel Crowther dalam Sport in Ancient Time.

Balap chariot pertama yang tercatat berlangsung di arena ini bertitimangsa 509 SM. Kala itu, kereta yang dinaiki seorang pelomba baru ditarik dengan dua ekor kuda (bigae). Tiga sampai empat chariot berlomba mengelilingi Circus Maximus sebanyak tujuh kali atau lebih. Tarquinis dan masyarakat Romawi sangat menikmati balapan ini. Perempuan dan laki-laki diperbolehkan duduk bercampur, tak seperti dalam amphiteater lainnya.

Pada masa itu, balap chariot disebut Ludi Romani atau Perlombaan Roma. Sayang, Tarquinis tak bisa lama menyaksikan kemegahan Circus dan balapan itu. Lantaran memerintah dengan kejam dan teror, pada 509 SM, rakyat memberontak dan menjatuhkan kerajaan yang telah berdiri selama dua abad itu. Tarquinis terbunuh. Romawi lalu berbentuk republik.

Perubahan politik segera berlangsung. Tapi itu sama sekali tak mempengaruhi kegiatan di Circus Maximus. Sebaliknya, arena itu justru diperbaiki dan balapan makin sekuler.

Pada abad ke-4 SM, garis lintas yang membatasi satu jalur dengan jalur lainnya dipisahkan dengan kayu sederhana, bukan lagi dengan tali. Kotak-kotak garasi chariot mulai diperkenalkan pada abad 2 SM, dilengkapi pintu yang terbuka saat balapan akan dimulai, persis seperti garasi pacuan kuda modern. Kuda penarik ditambah menjadi empat, bahkan hingga enam. Pada saat bersamaan, arena chariot menyebar di tiap kota meski yang terbesar tetap Circus Maximus.

Orang kaya Romawi mulai berani memutar uangnya dalam balap Chariot. Mereka mendirikan dan menyokong klub chariot. Taruhan seketika menjadi lazim. Unsur-unsur pemujaan dewa-dewi perlahan ditinggalkan.

Hingga memasuki tahun-tahun awal masehi, saat Romawi telah menjadi monarki (kekaisaran), hanya terdapat empat klub chariot yang dibedakan berdasarkan warna bendera: merah, putih, biru, dan hijau. Klub-klub memiliki ribuan pemegang saham. Perusahaan-perusahaan penting di Roma berkongsi dengan klub-klub tersebut. Mereka beraliansi dalam suatu klub untuk menghantam aliansi perusahaan lainnya yang memihak salah satu klub tertentu. Kucuran dana mengalir deras ke klub-klub itu.

Karena sokongan dana itu, klub-klub mampu menyediakan kebutuhan balapan seperti chariot, kuda, perlengkapan (helm bulu dan baju balap), dan pembalap. Mereka bisa membeli pembalap dari klub lain dan membuangnya jika prestasinya jelek.

Pembalap dibayar mahal sesuai dengan risiko balapan: tewas terlindas atau tertabrak chariot. Ini sering terjadi kala chariot benar-benar menjadi ajang bisnis di abad 1 M. “Fuscus terbunuh ketika berusia 24 tahun setelah hanya mencatat 57 kemenangan. Aurellius Mollicius terbunuh pada umur 20 tahun setelah menang 120 kali,” tulis Varia, 4 Oktober 1961.

Pembalap chariot yang beruntung dan menjadi kaya lantaran prestasinya adalah Diocles (abad 2 M), seorang budak dari Portugal. Dia mendapatkan 35 juta secerces, mata uang Romawi, saat mengundurkan diri pada usia 42 tahun. Diocles dipuja dan dihormati masyarakat Romawi. Pengalamannya sebagai budak tak terlihat lagi. Kedudukannya menjadi sangat penting. “Seorang senator Romawi bahkan menyatakan jika Diocles kalah, kekalahan itu akan mengakibatkan kekacauan lebih besar pada ekonomi negara daripada kekalahan besar dalam peperangan,” tulis Varia, 27 September 1961.   

Kuda juga mendapat perhatian. Kuda pemenang balapan lebih berharga daripada budak-budak. Mereka dibuatkan patung. Di bawah patung itu seringkali terdapat inskripsi nama kuda, pembalap, klub, dan catatan kemenangannya. Kuda yang memenangi seratus balapan dinamakan Centenarius. Kelak, salah satu kuda ini dibeli oleh Caligula.

Masyarakat Romawi kadung gandrung dengan chariot. Saat hari balapan tiba, kota nyaris kosong sehingga tentara diturunkan untuk mengamankan kota dari pencuri. Ratusan ribu manusia tumpah-ruah di arena untuk mendukung klub favorit mereka. Kaisar Vitellius (69 M) pernah memerintahkan membunuh 50 orang yang mengejek klub biru. Sedangkan kaisar lainnya, Nero misalnya, mencoba merebut simpati masyarakat dengan mendukung salah satu klub yang terkuat demi mempertahankan kekuasaan.

Saking berpengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat, balap chariot tak luput dari kritik. Seneca, filsuf Romawi (4-65 M), menyatakan keberatannya terhadap balapan itu. “Tak dapatkah orang berbicara mengenai soal lain daripada keahlian berbagai pengendara kereta dan tentang mutu regu-regu kuda mereka?” tanyanya. Kritik lain datang dari Tertullian (160-225 M), penulis Kristen. Dia menganggap balapan itu sebagai aktivitas paganis dan amoral.

Balapan itu akhirnya dilarang saat agama Kristen berkembang pesat sementara Kekaisaran Romawi runtuh pada abad ke-6 M. Sepeninggal Romawi, Bizantium menjadi penadah balapan itu.



View the original article here



Peliculas Online