Selasa, 30 Oktober 2012

Mitos asal muasal larangan menikah Sunda-Jawa

Pernahkah anda mendengar bahwa orang Sunda dilarang menikah dengan orang Jawa atau sebaliknya? Ternyata hal itu hingga ini masih dipercaya oleh sebagian masyarakat kita. Lalu apa sebabnya?

Mitos tersebut hingga kini masih dipegang teguh beberapa gelintir orang. Tidak bahagia, melarat, tidak langgeng dan hal yang tidak baik bakal menimpa orang yang melanggar mitos tersebut.

Lalu mengapa orang Sunda dan Jawa dilarang menikah dan membina rumah tangga. Tidak ada literatur yang menuliskan tentang asal muasal mitos larang perkawinan itu. Namun mitos itu diduga akibat dari tragedi perang Bubat.

Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit, yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.

Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit.

Maharaja Linggabuana lalu berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit.

Menurut Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai.

Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.

Versi lain menyebut bahwa Raja Hayam Wuruk ternyata sejak kecil sudah dijodohkan dengan adik sepupunya Putri Sekartaji atau Hindu Dewi. Sehingga Hayam Wuruk harus menikahi Hindu Dewi sedangkan Dyah Pitaloka hanya dianggap tanda takluk.

"Soal pernikahan itu, teori saya tentang Gajah Mada, Gajah Mada tidak bersalah. Gajah Mada hanya melaksanakan titah sang raja. Gajah Mada hendak menjodohkan Hayam Wuruk dengan Diah Pitaloka. Gajah mada Ingin sekali untuk menyatukan antara Raja Sunda dan Raja Jawa lalu bergabung. Indah sekali," tegas sejarawan sekaligus arkeolog Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar.

Hal ini dia sampaikan dalam seminar Borobudur Writers & Cultural Festival 2012 bertemakan; 'Kontroversi Gajah Mada Dalam Perspektif Fiksi dan Sejarah' di Manohara Hotel, Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, Magelang, Jateng, Selasa (30/10).

Pihak Pajajaran tidak terima bila kedatangannya ke Majapahit hanya menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai taklukan. Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada.

Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.

Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu.

Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat.

Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati atau bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatria, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.

Hayam Wuruk pun kemudian meratapi kematian Dyah Pitaloka. Akibat peristiwa Bubat ini, bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Mahapatih Gajah Mada dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri.

Tragedi perang Bubat juga merusak hubungan kenegaraan antar Majapahit dan Pajajaran atau Sunda dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian. Hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala.

Pangeran Niskalawastu Kancana, adik Putri Dyah Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil dan menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana.

Kebijakan Prabu Niskalawastu Kancana antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran (beristri dari luar), yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.

Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki 'Prabu Wangi' (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.

Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama 'Gajah Mada' atau 'Majapahit'. Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.
Sumber:
http://id.berita.yahoo.com/mitos-asal-muasal-larangan-menikah-sunda-jawa-050028273.html

Kamis, 25 Oktober 2012

Bukan Sekadar Onderdaan

Zaman kolonial, orang-orang Tionghoa dijadikan warga kelas dua. Mereka diandalkan dalam bidang ekonomi, tetapi dibatasi dalam urusan politik. Reformasi membawa berkah.
PEMERINTAH di Hindia Belanda “memecah belah” kalangan Tionghoa dengan menggunakan orang-orang Tionghoa untuk mengatur orang-orang etnisnya. Belanda memberi gelar tituler seperti Mayor atau Kapitan kepada orang-orang Tionghoa yang bisa mereka ajak kerjasama. Di Batavia, pembagian itu lebih jelas terlihat dengan adanya benteng sebagai pembatas wilayah kota-luar kota. Orang-orang Tionghoa yang tinggal di dalam benteng umumnya menurut kepada pemerintah.
Perlakuan diskriminatif seperti itulah yang turut berperan penting terhadap terjadinya Pembantaian Etnis Tionghoa 1740, di mana 10 ribua-an Tionghoa menjadi korban. Pasca-pembantaian, perlakuan diskriminatif yang Tionghoa terima malah kian menjadi-jadi. Kebijakan passenstelsel
dan wijkenstelsel dikeluarkan Belanda untuk memisahkan orang-orang Tionghoa dari penduduk lain. Kebijakan itu diperkuat lagi dengan keluarnya Regerings Reglement –stratifikasi sosial berdasarkan ras– pada 1854. Akibatnya, orang Tionghoa menanggung “biaya” sosial yang tidak murah, mereka dilabelkan ekslusif. Orang-orang non-Tionghoa kian cemburu.
Perlakuan diskriminatif selama bertahun-tahun telah membuat orang-orang Tionghoa “tidak tahu” lingkungan sekitar. Dalam beberapa hal mereka merasa tertinggal. Orang-orang Tionghoa yang sadar akan kekurangan itu akhirnya banyak berkumpul dan mendirikan perkumpulan. Tiong Hoa Hwee Koan
, Chung Hwa Hwee, Siang Hwee merupakan sedikit nama dari organisasi-organisasi Tionghoa itu. Pada masa ini kesadaran akan eksistensi mereka mulai tumbuh. Mereka banyak aktif di berbagai bidang, termasuk bidang sosial –bidang yang selama ini dianggap “jauh” dari mereka.
Pengaruh revolusi Dr Sun Yat Sen juga turut menumbuhkan rasa nasionalisme orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda. Loyalitas mereka kepada pemerintah Hindia Belanda menyurut. “Terbukti dengan adanya aksi boikot para pedagang Tionghoa Surabaya kepada perusahaan dagang Belanda tahun 1902 dan insiden pengibaran bendera nasionalis Tiongkok pada Imlek 1912,” tulis Benny.
Seorang penulis peranakan, Kwee Tek Hoai, pernah membagi warga Tionghoa menjadi tiga kelompok besar. Pertama
, Sin Po, kelompok yang berorientasi ke Tiongkok. Nama Sin Po diambil dari nama harian terkemuka di Indonesia, terbit tahun 1910 di Batavia. Sin Po berorientasi ke Tiongkok dan menganjurkan Hoa Kiao memertahankan identitas sebagai warga Tiongkok dan menolak menjadi Nederlands Onderdaan, kawula negara Belanda.
Kedua,
Chung Hua Hwee (CHH), didirikan 8 April 1928. Secara politik, CHH berorientasi kepada pemerintah Belanda dengan pemikiran menjadi Nederlands onderdaan adalah satu kenyataan. Ketiga, Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang didirikan tanggal 25 September 1932 oleh Liem Koen Hian, Ong Liang Kok. PTI berorientasi kepada gerakan nasionalisme Indonesia.
Masa kolonialisme Belanda telah mengangkat peran para peranakan –terutama orang Tionghoa yang “telah lepas” dari budaya asal. “Karena mereka Hollandsch spreeken
, otomatis mereka dekat dengan penguasa,” kata Eddie Lembong. Namun peran warga keturunan tak lagi dominan saat Jepang datang.
Pada periode Jepang (1942-1945), giliran orang-orang Tionghoa totok yang memegang peranan. Menurut Eddie Lembong, hal itu terjadi lantaran hanya orang totoklah yang bisa membaca huruf kanji. Jepang butuh mereka yang mengerti bahasa Kanji. Peranakan, yang Hollandsch
spreeken, pun tersisih dari pentas. “Pendulum kembali bergeser,” ujar mantan ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) itu.
Ketika Jepang hengkang dan proklamasi kemerdekaan dibacakan Bung Karno, kesadaran masyarakat akan kemerdekaan terus menguat. Saat yang bersamaan banyak juga orang Tionghoa yang menaruh simpati. Mereka ikut berjuang langsung di medan pertempuran untuk memertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebut saja salah satunya Laksamana John Lie.
Meskipun begitu, sentimen anti-Tionghoa belum benar-benar hilang. Bahkan Bung Tomo, tokoh pertempuran Surabaya yang baru-baru ini diangkat sebagai pahlawan nasional, pun pernah menyebarkan nada rasialis dalam pidatonya. Go Gien Tjwan, pemimpin Angkatan Muda Tionghoa di Malang yang waktu itu ditunjuk sebagai juru bicara, pun memerlukan diri untuk menjawab pidato itu. "Musuh rakyat Indonesia bukan etnis Tionghoa melainkan Belanda," kata Gien Tjwan seperti dikutip dari buku Benny G Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik
.
Kalangan Tionghoa memang tidak memiliki satu orientasi politik, seperti juga yang terjadi pada zaman kolonial. Sebagian dari mereka juga ada yang memihak Belanda/Sekutu. Pao An Tui, barisan keamanan orang Tionghoa semasa revolusi fisik, banyak yang mendukung NICA saat Pertempuran 10 Nopember berlangsung, sebagaimana kesaksian dari Soemarsono –pemimpin pemuda Republik– dalam Negara Madiun
. Organisasi dalam Pao An Tui begitu rapi sehingga organisasi ini, “dikenal kejam, sangar dan tergolong milisi paling kuat di Indonesia,” tulis sejarawan muda Universitas Negeri Medan Nasrul Hamdani dalam “Pao An Tui  Medan  1946-1948”.
Cepatnya perubahan yang terjadi pasca-Indonesia merdeka turut berpengaruh terhadap eksistensi etnis Tionghoa. Beragamnya asal daerah, orientasi politik dan lain sebagainya, membuat tidak ada kesatuan yang benar-benar padu di antara mereka. Periode revolusi fisik itu, satu hal penting yang menandai eksistensi etnis Tionghoa di sini adalah pembunuhan orang Tionghoa di Tangerang pada 11 Juni 1946 yang memakan korban 600-an jiwa.
Terlepas dari pro-kontra yang ada mengenai peran ekonominya, etnis Tionghoa tetap menjadi pemain utama dan “dibutuhkan” siapa pun. Cengekeraman mereka sudah tak diragukan lagi kekuatannya. Pemerintah melalui Kabinet Ali Sastroamidjojo mencoba menjinakkan etnis itu dengan membatasi perdagangan mereka. Tapi tetap tidak berhasil, kongkalikong antara pejabat dan pedagang etnis Tionghoa malah memopulerkan istilah “Ali-Baba”. Nasution yang ketika berkuasa melalui SOB –Staten van Oorlog en Beleg
, Keadaan Darurat Perang– mencoba mengeluarkan aturan pembatasan peran ekonomi etnis Tionghoa, dengan melarang mereka berdagang hingga ke wilayah pedesaan, tetap tidak berhasil.
Seberapa pun buruknya perlakuan tidak enak yang etnis Tionghoa terima pada masa Orde Lama, mungkin masih lebih baik ketimbang masa-masa pasca-G 30 S, ketika Orde Baru berkuasa. Etnis Tionghoa benar-benar dijadikan “mesin” penghasil uang. Mereka dijadikan ujung tombak perekonomian. Di satu sisi kebutuhan materiil mereka “dijamin”, tapi eksistensi mereka, kemanusiaan mereka tidak dihargai sedikit pun. Hak-hak seperti politik, agama, atau budaya mereka benar-benar dipapras penguasa. Suara mereka dibungkam bertahun-tahun. Orde Baru juga terus memberi stigma negatif terhadap mereka di samping mencitrakan mereka homogen dan PKI. Orde Baru juga menamakan mereka dengan Cina –tentu konotasinya negatif. Hanya sebagian kecil etnis itu, yang dekat dengan istana, yang benar-benar bisa menikmati “fasilitas”.
Sebagian kecil etnis Tionghoa yang dekat penguasa itu punya peran yang dominan di bidang ekonomi. Perekonomian negara “ditentukan” mereka. Kecemburuan sosial pun terus membesar bagai bola salju. Kecemburuan itu pula yang mendasari beberapa kali kerusuhan rasial yang menimpa etnis Tionghoa. Tak heran ketika krisis moneter 1997 melanda negeri ini, yang turut disebabkan ulah segelintir pengusaha Tionghoa, mereka kembali jadi bulan-bulanan rakyat yang bertahun-tahun menaruh dendam. Lagi-lagi, ulah sebagian kecil etnis Tionghoa harus dipikul rata akibat buruknya oleh mereka semua yang beretnis Tionghoa.
Ketika Orde Baru tumbang dan kebebasan datang, etnis Tionghoa belum benar-benar terbebas dari ketakutan. Rakyat masih banyak yang menaruh curiga. Sentimen rasial masih tetap ada. Tapi, kebebasan dan harga diri etnis Tionghoa berangsur-angsur membaik. Terlebih ketika Gus Dur naik memerintah, kemanusiaan dan harga diri mereka benar-benar “pulih”. Mereka dibebaskan menggelar pertunjukan-pertunjukan budaya di depan umum, Kong Hu Cu diakui sebagai salah satu agama resmi di negeri ini, dan seterusnya.
Kini, setelah lebih satu dasawarsa reformasi berlangsung, etnis Tiongha –sama seperti etnis-etnis lain– juga punya tanggung jawab untuk tetap menjaga keharmonisan hubungan antar-etnis.


View the original article here


Peliculas Online

Rabu, 24 Oktober 2012

Bom Pekik Merdeka

“Merdeka,” bukan sekadar kata. Ia adalah salam nasional.

PASCAPROKLAMASI kemerdekaan 17 Agustus 1945, setiap kali orang bertemu pasti akan mengucapkan salam “Merdeka”. Bahkan, pekik perjuangan “Merdeka” ditetapkan Maklumat Pemerintahan tanggal 31 Agustus 1945 sebagai salam nasional, yang berlaku mulai 1 September 1945. Caranya ialah dengan mengangkat tangan setinggi bahu, telapak tangan menghadap ke muka, dan bersamaan dengan itu memekikkan “Merdeka”.

Pekik “Merdeka” menggema dimana-mana kala itu. Semboyan seperti “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” atau “Merdeka atau Mati” juga kerapkan diucapkan para pemuda dan pejuang, yang menunjukkan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan.

Adalah Soekarno yang membumikan pekik “Merdeka”. Ia menjadikannya senjata untuk menggembleng rakyat Indonesia agar semangat perjuangan terus menyala. Dalam banyak kesempatan bertemu rakyat, Bung Karno tak pernah lupa pekik “Merdeka”. Tapi Bung Karno sempat terpeleset gara-gara pekik itu.

Menurut Roso Daras, penulis buku Bung Karno: The Other Stories, Serpihan Sejarah yang Tercecer (2009) ini, pada 1955, Bung Karno berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam kelima. Jika para jemaah haji Indonesia umumnya pergi ke Tanah Suci menggunakan moda transportasi laut, Bung Karno menggunakan pesawat terbang.

Pertama-tama, Bung Karno dan rombongannya singgah di Singapura. Dari Singapura, pesawat tidak langsung menuju Arab, melainkan singgah di Rangoon, New Delhi, Karachi, Baghdad, Mesir… barulah mendarat di Saudi Arabia.

“Ketika di Singapura, ribu rakyat Indonesia yang berada di sana antusias menyambut Bung Karno. Mereka meminta Bung Karno memberi wejangan. Bung Karno pun berpidato. Dalam pidatonya yang berapi-api, beberapa kali Bung Karno memekik kata Merdeka… Merdeka… Merdeka...,” kata Roso Daras.

Usai berpidato, Bung Karno melanjutkan perjalanannya. Belum lama pesawat take off dari bandara Singapura, para wartawan geger. Mereka menyoal pekik “Merdeka” yang berkali-kali Bung Karno teriakkan di hadapan rakyat Indonesia.

Keesokan harinya, pers Singapura menulis besar-besar: “Presiden Sukarno menjalankan ill-behaviour“. Bung Karno dituding tak tahu sopan-santun. Kata pers Singapura, Singapura bukan negeri merdeka (waktu itu). Bung Karno tahu itu. Tapi, mengapa ia memekikkan “Merdeka”?

Selama Bung Karno di Tanah Suci, pers Singapura terus saja geger menyoal Bung Karno yang dituding ngompori rakyat Singapura untuk merdeka. Mereka bersiap menunggu kepulangan Bung Karno, yang pasti transit di Singapura.

Setibanya di Singapura, wartawan langsung menodong Bung Karno dengan berbagai pertanyaan seputar “bom pekik merdeka”.

“Tahukah Paduka Yang Mulia Presiden, bahwa tatkala Paduka Presiden meninggalkan kota Singapura di dalam perjalanan ke Mesir dan Tanah Suci, Paduka dituduh kurang ajar, kurang sopan, ill behaviour, oleh karena Paduka Presiden memekikkan pekik merdeka dan mengajarkan kepada bangsa Indonesia di sini memekikkan ‘merdeka’! Apa jawab Paduka Presiden atas tuduhan itu?” tanya wartawan kepada Bung Karno.

Bung Karno tenang menjawab, “Jikalau orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia, warganegara Republik Indonesia berjumpa dengan warganegara Republik Indonesia, pendek kata jikalau orang Indonesia bertemu dengan orang Indonesia, selalu memekikkan ‘merdeka’! Jangankan di surga, di dalam neraka pun.”



View the original article here



Peliculas Online

Minggu, 21 Oktober 2012

Kesamaan Sukarno dan Diponegoro

Sama-sama besar namanya, sama-sama tragis pula nasibnya.

KISAH mengenai Sukarno selalu menarik dibicarakan, termasuk kisah kesehariannya. Salah satunya percekcokan Sukarno dengan Sjahrir saat mereka diasingkan ke Prapat, Sumatra Utara, semasa agresi militer II. Sjahrir mengumpat Sukarno dengan kata-kata kasar. Bagi sejarawan Asvi Warman Adam, hal itu sangat melecehkan Sukarno baik sebagai kepala negara maupun tokoh bangsa.

Asvi menjadi pembicara dalam bedah buku karyanya Menyingkap Tirai Sejarah: Bung Karno dan Kemeja Arrow dan Bung Karno Dibunuh Tiga Kali di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, 29 Mei lalu. Dia berbicara hanya fokus kepada sebagian kecil dari isi buku-bukunya yang merupakan bunga rampai itu. “Rasanya cukup sulit untuk membahas atau membedah sebuah buku yang merupakan bunga rampai,” ujarnya.

Kisah percekcokan itu dimuat dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Dengan bumbu imajinasi, Akmal Nasery Basral mengisahkannya lebih dramatis dalam novelnya, Presiden Prawiranegara. “Saya melihat buku itu sangat penting, novel sejarah sangat diperlukan,” ujarnya.

Namun, tak ada yang tahu persis bagaimana situasi sebenarnya percekcokan itu. Otobiografi Sukarno, menurut Asvi, terbit saat kekuasaan Sukarno terus dipereteli. “Jadi buku itu perlu diperiksa lagi.”

Selain kisah cekcok Sukarno-Sjahrir, banyak kisah menarik lainnya dalam buku itu. Selain Sukarno ataupun tokoh-tokoh bangsa lain yang populer, Menyingkap Tirai Sejarah: Bung Karno dan Kemeja Arrow juga berisi kisah tokoh-tokoh lain semisal AR Baswedan ataupun IJ Kasimo.

Pembicara lain adalah sejarawan Peter Carey, penulis biografi Pangeran Diponegoro. Carey, sebagaimana Asvi, menemukan banyak kesamaan antara Sukarno dan Pangeran Diponegoro. Selain diramalkan bakal jadi pemimpin dan dipengaruhi figur-figur perempuan dalam kehidupan mereka, kehidupan Sukarno dan Diponegoro sama-sama berakhir tragis. “Dua-duanya saya kira adalah sosok yang sangat penting dan menentukan dalam sejarah modern Indonesia,” ujar Carey.



View the original article here



Peliculas Online

Kamis, 18 Oktober 2012

Dari Isolasi hingga Industri

Jepang berhasil membangun dan mengejar ketertinggalan dari Barat setelah mengisolasi diri dan hancur karena perang. 

PADA 8 Juli 1853, empat kapal uap dan sebuah kapal Induk, USS Powhatan, tiba di Pelabuhan Edo, Tokyo. Armada kapal itu, yang kelak dikenal dengan nama armada Kapal Hitam (kurofune), dipimpin seorang perwira Angkatan Laut Amerika Komodor Matthew C. Perry. 

Orang-orang Jepang terkesima. Tak pernah mereka menyaksikan sesuatu seperti itu sebelumnya. Mereka mengira kapal-kapal itu adalah ular-ular naga berukuran maha besar yang mendenguskan asap karena marah. Mereka belum tahu kapal uap telah diciptakan. Mereka kian terkejut ketika tahu bahwa armada kapal itu diperlengkapi senjata berukuran besar. Sejak 1639, pemerintahan militer Tokugawa menerapkan politik isolasi (Sakoku) yang membatasi secara ketat pengaruh asing yang masuk ke dalam negeri.

Dengan kekuatan senjata, armada Kapal Hitam memaksa Jepang menerima kedatangannya. Tahun berikutnya Amerika dan Jepang menandatangani sebuah traktat kerjasama, yang mengakhiri 2,5 abad politik isolasi, juga meruntuhkan kekuasaan Dinasti Tokugawa pada 1868.

Jepang memasuki era baru, mulai membuka diri. Kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh pemerintahan militer dikembalikan kepada kaisar. Kaisar menjadi kepala negara, namun pemerintahan dan politik dijalankan sekelompok intelektual Jepang. Negeri Matahari Terbit mencanangkan program reformasi besar-besaran dengan semboyan “Negara yang Kaya dan Angkatan Bersenjata yang Kuat” (fukoku-kyohei). Tujuan utamanya menciptakan sebuah bangsa yang mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa Barat. Reformasi itu kemudian dikenal dengan nama Restorasi Meiji.

Restorasi ini merupakan sebuah perombakan besar-besaran terhadap nyaris setiap aspek kehidupan di Jepang. Sistem pembagian kerja berdasarkan kelas dihapuskan, wajib belajar diberlakukan, wajib militer menjadi satu keharusan, parlemen (Diet) dibentuk berdasarkan sebuah konstitusi baru yang diberlakukan pada 1889.

Untuk mengejar ketertinggalannya dari Barat, Jepang mendatangkan lebih dari 3.000 tenaga ahli dari Barat dengan beragam keahlian. Tenaga ahli itu bertugas mengajarkan sains modern, bahasa asing, dan teknologi. Pemerintah Meiji juga mengirimkan ribuan siswa untuk belajar di luar negeri.

Sistem perbankan modern dibentuk untuk merangsang berbagai jenis bisnis yang baru berkembang di Jepang. Roda perekonomian digerakkan dengan mengimpor bahan mentah dari luar negeri dan kemudian mengekspor produk yang sudah jadi. Restorasi Meiji berhasil menjadikan Jepang sebagai negara Asia pertama yang sukses mengusung industrialisasi. Kondisi ini tetap dipertahankan setelah masa Meiji berakhir pada 1912. Penekanan terhadap pertumbuhan ekonomi tetap menjadi fokus Jepang pada masa Taisho (1912-1926).

Militer Jepang juga ikut tumbuh dan mendorong Jepang melakukan ekspansi militer ke berbagai negara: China, Taiwan, Korea, dan kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ia juga menjadi salah satu alasan keikutsertaan Jepang dalam Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada 1945 menghentikan semuanya. Jepang luluh-lantak. Infrastruktur rusak parah.

Pemerintah Jepang harus membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran. Awalnya, mereka mendapat banyak bantuan dari Amerika. Namun tak ada yang mengira perbaikan ekonomi Jepang bisa dicapai dalam waktu relatif singkat. Pada 1960 saja kondisi ekonominya sudah menyamai keadaan sebelum perang. Ini membuat banyak orang terkejut dan menyebutnya sebagai keajaiban. Pertumbuhan cepat ini terus berlangsung hingga 1990-an.

Menurut R. Taggart dalam The Weight of The Yen, salah satu kunci kesuksesan Jepang terletak pada kemampuannya merencanakan secara detail langkah-langkah bisnis yang harus diambil dalam 20-50 tahun ke depan. Mereka merencanakan secara teliti cara-cara terbaik merebut pasar. Taktik yang biasa dipakai adalah membanjiri pasar dengan barang-barang yang sudah dikenal pasar tapi lebih berkualitas.

Jepang memulai kemajuan ekonominya dengan meniru barang-barang yang sudah ada. Mereka membuat imitasi kasar dari kamera-kamera Jerman seperti Leica dan Rolliflex. Tapi mereka terus meningkatkan kemampuan untuk memproduksi benda-benda tersebut, sehingga menghasilkan barang-barang dengan kualitas yang lebih tinggi. Pada akhirnya perusahaan Jepang malah mampu berinovasi dan mengalahkan barang produksi Barat. Perlahan tapi pasti Jepang mulai merebut pasar di banyak lini, terutama peralatan optik, elektronik, dan industri otomotif.

Salah satu contoh keberhasilannya, mobil-mobil Jepang menyerbu pasar Amerika pada 1970-an. Jepang yang semula hanya meniru, berhasil mengembangkan mobil-mobil hemat bahan bakar berukuran kecil dengan harga lebih murah. Saat itu pemerintah Amerika mulai sadar lingkungan dan menerapkan serangkaian kebijakan yang mewajibkan penghematan bahan bakar, pengendalian emisi, sekaligus menerapkan standar keselamatan yang lebih tinggi. Tapi produsen mobil Amerika tak siap menghadapi perubahan kebijakan itu.

Satu dekade kemudian, mobil-mobil Jepang mengambil-alih posisi pertama dalam industri mobil dunia. Di Amerika sendiri, satu dari empat mobil yang terjual adalah mobil Jepang. Detroit, pusat industri mobil Amerika, kalang-kabut. Bahkan Chrysler, salah satu perusahaan mobil terbesar Amerika, nyaris gulung tikar.



View the original article here



Peliculas Online

Selasa, 16 Oktober 2012

Genosida VOC

Pala menjadi berkah sekaligus bencana bagi orang Banda, yang dibunuh dan terusir dari tanah airnya.

PADA 8 April 1608, Laksmana Pieterszoon Verhoeven, bersama 13 kapal ekspedisi tiba di Banda Naira. Perintah Heeren Zeventien, para direktur VOC di Amsterdam, sebagaimana ditulis Frederik W.S., Geschiedenis van Nederlandsch Indie, kepada Laksamana Pieterszoon Verhoeven: "Kami mengarahkan perhatian Anda khususnya kepada pulau-pulau di mana tumbuh cengkeh dan pala, dan kami memerintahkan Anda untuk memenangi pulau-pulau itu untuk VOC, baik dengan cara perundingan maupun kekerasan."

Sejak lama Banda dikenal sebagai penghasil utama pala (Myristica fragrans). Bunganya yang dikeringkan disebut “fuli”.  Bunga ini membungkus daging buah pala. Sejak dulu pala dan fuli dimanfaatkan untuk rempah-rempah, yang mengundang bangsa Eropa untuk datang.

Sesampai di Banda, Verhoeven mendapati Inggris di bawah pimpinan Kapten William Keeling telah berdagang dengan rakyat Banda dan pedagang Belanda. Ia tak senang. Apalagi rakyat Banda tak mau berunding dengannya. Ia pun menuju ke Pulau Naira beserta sekitar 300 orang prajurit untuk membangun Benteng Nassau, di bekas benteng yang pernah dibangun Portugis. 

Melihat pembangunan benteng itu, para Orangkaya Banda–pemuka rakyat atau orang yang disegani– mau berunding tapi dengan syarat ada jaminan sandera. Verhoeven setuju, dan menunjuk dua pedagang bernama Jan de Molre dan Nicolaas de Visscher. Lalu Verhoeven berangkat ke tempat perundingan bersama dewan kapten, para pedagang, pasukan bersenjata lengkap, dan tawanan Inggris sebagai hadiah. Sesampainya di tempat perundingan, di bawah sebatang pohon di dekat pantai bagian Timur Pulau Naira, mereka tak menemukan para Orangkaya.

Verhoeven mengutus penerjemah Adriaan Ilsevier untuk mencari para Orangkaya. Di hutan kecil yang sekarang menjadi masjid Kampung Baru, Ilsevier menemukan para Orangkaya. Mereka ketakutan melihat pasukan bersenjata lengkap, sehingga meminta Verhoeven datang hanya ditemani beberapa orang. Verhoeven pun menemui para Orangkaya di tempat yang sekarang disebut Kampung Verhoeven. Ternyata ini jebakan. Verhoeven beserta saudagar tinggi Jacob van Groenwegen dan 26 orang Belanda lainnya dibunuh. Jan Pieterszoon Coen, juru tulis Verhoeven, menyaksikan kejadian tersebut. 

Sepeninggal Verhoeven, Laksamana Simon Janszoon Coen menjadi pemimpin baru. Ia menyelesaikan pembangunan Benteng Nassau.

Pada 1617 Heeren Zeventien menunjuk Jan Pieterzoon Coen sebagai Gubernur Jenderal. Setelah mendirikan markas besar VOC di Batavia, Coen ingin merealisasikan monopoli pembelian pala di Banda. Sebelumnya Belanda tak mampu melakukannya karena harga jual pala mereka lebih mahal ketimbang Inggris, bahkan penduduk lokal. Coen beranggapan monopoli pala baru bisa dilakukan hanya dengan mengusir dan melenyapkan penduduk asli Banda.

Pada 1621, Coen memimpin sendiri pendudukan Pulau Banda. Berangkatlah armada berkekuatan 13 kapal besar, sejumlah kapal pengintai, dan 40 jungku dan sekoci. Ia membawa 1.600 orang Belanda, 300 narapidana Jawa, 100 samurai Jepang, serta sejumlah bekas budak belian. Begitu sampai di Benteng Nassau, Coen dan pasukannya menyerang Pulau Lontor dan berhasil menguasai seluruh pulau. Desa Selamon dijadikan markas besar. Balai desanya jadi kantor Gubernur Banda Kapten Martin ‘t Sonck. Masjid di sebelah balai jadi penginapan pasukan, meski Orangkaya Jareng dari Selamon keberatan.

Pada suatu malam, lampu gantung dalam masjid terjatuh. Mengira akan ada serangan, t’Sonck menuduh penduduk Lontor. Malam itu juga, t’Sonck mengerahkan tentaranya untuk mengejar penduduk yang melarikan diri ke hutan dan puncak gunung. Penduduk yang ditemukan, dibunuh. Rumah dan perahu dibakar atau dihancurkan. Mereka yang berhasil lari, sekitar 300 orang, mencari perlindungan pada Inggris atau ke Pulau Kei dan Aru. Tak kurang dari 2.500 orang meninggal, karena ditembak, dianiaya, atau kelaparan. Dari 14.000 orang rakyat Banda, jumlah penduduk asli kepulauan Banda tinggal 480 orang setelah peristiwa pembantaian itu.

Mereka juga menangkap para Orangkaya dengan tuduhan sebagai pemicu kerusuhan. Delapan Orangkaya paling berpengaruh dimasukkan ke dalam kurungan bambu yang dibangun di luar Benteng Nassau. Enam algojo Jepang lalu masuk dan memotong tubuh mereka menjadi empat bagian. Setelah itu algojo memenggal kepala 36 Orangkaya lainnya dan memotong badan mereka. Potongan kepala dan badan ditancapkan pada ujung bambu untuk dipertontonkan kepada masyarakat.  Pembantaian 44 Orangkaya itu terjadi pada 8 Mei 1621.  

Setelah kepulauan Banda kosong dari penduduk asli, Coen mendatangkan orang dari berbagai bangsa untuk bekerja di pulau ini. Umumnya berasal dari Makassar, Bugis, Melayu, Jawa, Cina, sebagian Portugis, Maluku dan Buton. VOC memberikan hak pakai kebun-kebun pala kepada bekas tentara dan pegawai VOC. Buruh kebun adalah budak yang didatangkan dari berbagai penjuru tanah air. Hasilnya dijual kepada VOC.

Di lokasi pembantaian itu kini berdiri Monumen Parigi Rante. Nama 40 pejuang dan Orangkaya Banda terukir di sana bersama sederet tokoh pejuang Indonesia yang pernah dibuang ke Banda seperti Tjipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, Hatta, dan Sjahrir.



View the original article here



Peliculas Online

Minggu, 14 Oktober 2012

Dari Cincai sampai Siomay

Komunitas Tionghoa telah menancapkan pengaruhnya di negeri ini semenjak berabad lalu. Setitik nila tak semestinya merusak susu sebelanga.

SEJARAWAN Denys Lombard, melalui magnum opusnya Nusa Jawa Silang Budaya, memandang penting pengaruh komunitas Cina negeri ini. Pengaruh kebudayaan itu tersebar mulai gaya bangunan, pakaian, bahasa bahkan sampai makanan. Sebegitu dekatnya, sehingga tanpa disadari warisan budaya itu pun melekat erat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Seperti tak ada lagi batas.

Tahun ini boleh saja pemerintah Indonesia merayakan 60 tahun hubungan diplomatiknya dengan China, kendati usia itu tidak genap karena sempat terinterupsi selama kurang lebih 15 tahun di bawah zaman Orde Baru. Adalah fakta sejarah jika osmosis budaya Tionghoa ke dalam budaya Nusantara sudah terjadi semenjak ratusan tahun lalu.

Namun demikian selalu saja ada penilaian minor terhadap etnis minoritas ini, mulai dari soal penguasaan sumberdaya ekonomi sampai dengan gaya hidup ekslusif yang dilakoni mereka. Stereotipe tentang Tionghoa yang picik, culas, dan menghalalkan segala cara untuk mencari uang pun menyebar luas di kalangan warga pribumi. Padahal, sifat yang sama juga bisa jadi dimiliki oleh komunitas etnis lainnya di negeri ini, tak terkecuali pribumi sendiri. Stigma itu tentu tidak datang dengan sendirinya di dalam benak warga non-Tionghoa. Ada proses sejarah yang melatarinya.

Perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap warga Tionghoa dengan memisahkan mereka untuk tinggal di gheto-gheto tersendiri dipercaya menjadi sabab musababnya. Tapi bila merunut lebih jauh lagi, justru ada cerita tentang kebersamaan warga Tionghoa bahu-membahu dengan warga pribumi melawan Belanda, khususnya pascaperistiwa pembantaian 1740 di Batavia. Bahkan Sumanto Al-Qurtuby dalam bukunya Arus Cina-Islam Jawa mengajukan tesis kalau penyebaran Islam di Nusantara tak lain tak bukan berkat jasa para orang-orang Tionghoa.

Keharmonisan hubungan itu perlahan pudar seiring kebijakan pemerintah kolonial yang kemudian menempatkan warga Tionghoa, mengutip sejarawan Didi Kwartanada, sebagai minoritas perantara (Middleman Minority).“Golongan Tionghoa dimanfaatkan sebagai perantara ataupun “mesin pencetak uang”, baik oleh raja-raja maupun oleh penguasa kolonial,” tulis Didi dalam makalahnya, “Tionghoa dalam Dinamika Sejarah Indonesia Modern: Refleksi Seorang Sejarawan Peranakan.”

Dari sanalah peran warga Tionghoa dilembagakan; seakan ditakdirkan sebagai kelompok pedagang yang cuma bertugas menghasilkan uang dan bisa diperas sewaktu-waktu demi kepentingan ekonomi dan politik tertentu. Peran itu kembali dikukuhkan semasa Orde Baru. Hak-hak sipil warga Tionghoa dibatasi, namun sebagian kecil dari mereka, khususnya yang memiliki akses ke kekuasaan, mendapat peluang untuk menjalankan bisnis berbasis rente. Sungguh sebuah kebijakan yang ambigu.

Peran sejarah komunitas Tionghoa, seperti dalam bidang bahasa, sastra dan pers pun dilupakan. Komunitas Tionghoa yang identik dengan kegiatan dagang dan tuduhan komunis yang dilabelkan kepada mereka pascaperistiwa G.30.S menghapus sumbangsih mereka pada pembangunan bangsa ini. Salah satunya yang pernah dilakukan oleh Sin Po. Sebagai harian terkemuka yang direken berorientasi ke nasionalisme Tiongkok justru koran Tionghoa pertama yang berani menggunakan istilah Indonesia menggantikan istilah inlanders. Ang Jan Goan dalam memoarnya mengakui kalau tindakan itu bukannya tanpa akibat: Sin Po harus menanggung kerugian akibat pencabutan iklan pemerintah kolonial.

Pandangan miring lain yang juga dilabelkan kepada komunitas Tionghoa adalah cara mereka beradaptasi dengan situasi politik yang cepat berubah. “Pada zaman Belanda mereka bersikap pro-Belanda. Pada saat Jepang menjadi tuan, mereka berkawan dengan Jepang. Kemudian datanglah revolusi dan mereka bersikap baik kepada kita…Akhirnya yang bisa dikatakan hanyalah bahwa mereka ini adalah kaum oportunistis yang tidak bisa diperbaiki,” tulis Didi Kwartanada mengutip Abu Hanifah dalam Tales of a Revolution. Tak aneh jika istilah “cincai” kerapkali digunakan untuk menunjukkan sikap kompromi terhadap segala sesuatu yang bisa mendatangkan untung/keselamatan.

Seperti tak puas dengan stigmatisasi, penggunaan kata “Cina” pun kerapkali digunakan dengan tujuan insinuasi terhadap komunitas Tionghoa. “Padahal istilah itu bukan lahir dari warga keturunan Tionghoa sendiri,” ujar Eddie Lembong, mantan ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) yang kini mengelola Yayasan Nabil.

Eddie kemudian mengutip teks pidato pengukuhan guru besar Prof. Dr. A.M. Cecillia Hermina Sutami yang memberikan  penjelasan bahwa kata “Cina” (Inggris: China), (Belanda: China/Chinees), (Jerman: Chinesische), (Perancis: Chinois) berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “daerah yang sangat jauh”. Kata “China” sendiri sudah disebutkan di dalam buku Mahabharata sekitar 1400 tahun sebelum Masehi. Istilah itu baru dibawa oleh bangsa-bangsa Barat yang mulai datang ke Nusantara sejak awal Abad ke-17. Eddie lebih cenderung kepada istilah Tionghoa. “Istilah Tionghoa jauh lebih tepat untuk digunakan karena sebutan itu datang dari kalangan Tionghoa sendiri,” kata pendiri sebuah perusahaan farmasi terkemuka itu.

Pada era feformasi, terutama saat Gus Dur memimpin negeri ini, angin segar perubahan pun berhembus semilir. Hak-hak sipil warga Tionghoa untuk menjalankan kegiatan kesenian dan kebudayaannya kembali pulih. Bahkan hari raya Imlek dijadikan libur nasional. Gus Dur memang benar. Minoritas Tionghoa adalah bagian dari “kekitaan” sebagai sebuah bangsa. Mereka memperkaya khasanah keberagaman negeri ini.

Kekayaan budaya Tionghoa adalah juga kekayaan negeri ini, kuliner salah satunya. Ada beragam macam menu makanan yang datang dari negeri nun jauh di sana yang kemudian tanpa kita sadari seakan makanan itu adalah produk budaya bangsa tanpa harus khawatir dikenakan royalti oleh negeri asalnya. Dan komunitas Tionghoalah mengenalkan itu semua. Bayangkan jika Anda harus membayar royalti untuk sepiring siomay yang Anda santap di sore hari.

Enampuluh tahun perayaan hubungan diplomatik Indonesia-China seyogianya jadi momentum untuk hubungan yang lebih erat, bukan hanya bagi kedua negara, melainkan pula buat saudara kita warga keturunan Tionghoa dan seluruh rakyat Indonesia apa pun warna kulit, agama, dan sukunya.



View the original article here



Peliculas Online

Kamis, 11 Oktober 2012

Djojobojo Menentang Jepang

Jepang datang bukan hanya untuk memenuhi ramalan Jayabaya tapi juga mengingkarinya. Perlawanan pun muncul dari gerakan Djojobojo.

RAMALAN Jayabaya telah lama hidup di tengah masyarakat Jawa. Mereka yakin pemerintah kolonial Belanda akan berakhir karena ramalan Jayabaya menyebutkan, “ayam jantan berbulu kekuning-kuningan, yang datang dari sebelah timur laut akan mengusir kerbau bule bermata biru.” Masyarakat Jawa yakin, tulis Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional I, yang dimaksud ayam jantan berbulu kekuning-kuningan yang datang dari timur laut adalah Jepang.

Tak heran jika kedatangan Jepang disambut dengan suka-cita oleh rakyat. Dan untuk menarik dukungan rakyat demi kepentingan perang, “Jepang juga ternyata menyebarkan selebaran dengan pesawat-pesawat udara yang dengan pandai mempergunakan ramalan Djojobojo untuk memberi janji kepada rakyat Indonesia,” tulis Sidik Kertapati dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Selebaran itu berbunyi: “Raja Djojobojo di Kediri pernah berkata bahwa bangsa kulit kuning akan datang menolong bangsa Jawa dan sekarang kamilah yang datang menolong...”

Namun, Jepang tentu tak mengakui penggalan ramalan Jayabaya berikutnya yang menyebutkan, “bangsa kulit kuning akan memerintah tanah Jawa hanya selama seumur jagung.” Penggalan ini pula yang justru menjadi harapan bukan hanya rakyat kecil tapi juga cendekiawan dan kalangan militer, misalnya para pemuda yang masuk Pemuda Tanah Air (Peta). Mereka percaya Jepang akan pergi dan Indonesia akan merdeka.

Dengan menggunakan nama ramalan itu pula, kelompok komunis, yang menetapkan fasisme sebagai lawan sejak diputuskan dalam Kongres Komunis Internasional VII di Moskow pada 1935, melakukan perlawanan terhadap Jepang dengan membentuk gerakan Djojobojo. Gerakan ini dipimpin Mr Mohammad Joesoeph, berpusat di Bandung dan mencapai daerah sekitarnya, Indramayu dan Cirebon. Di antara kader-kadernya terdapat Bahri, Hidayat, K. Muhidin, Suminta, Mohammad Sain, O. Sugih, Parnawidjadja, dan Azis.

Menurut Soeranto Soetanto dalam Pemberontakan PKI Mr. Mohammad Joesoeph Tahun 1946 di Cirebon, Joesoeph lahir di Balongan, Indramayu, Jawa Barat, pada 17 Mei 1910. Dia anak seorang pegawai pemerintah kolonial Belanda, sehingga dapat mengenyam pendidikan ELS (Europeesch Lagere School), HBS V (Hogere Burger School), bahkan mendapatkan ijazah sarjana hukum dari Universitas Utrecht, Belanda, pada 1937 –selain sempat belajar ilmu ekonomi di Universitas Berlin. Sekembalinya ke Indonesia, dia menjadi pengacara pada 1938, dan mendapatkan simpati karena selalu membantu rakyat yang lemah di pengadilan. 

Joesoeph juga menceburkan diri ke dalam dunia politik dan berbagai organisasi. Pada 1939, dia mendirikan Persatuan Supir Indonesia (Persi) di Cirebon. Organisasi sopir yang didirikannya, tulis Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid I, tampaknya berhasil dengan program radikalnya, yang melihat adanya ikatan antara perjuangan serikat buruh dan aksi politik sebagai yang diharapkan dan mutlak diperlukan. “Sebagai kelanjutannya Joesoef juga ikut berperan dalam mendirikan Partai Buruh Indonesia tahun 1941,” tulis Poeze.

Pada 1942, Joesoeph menjadi anggota Gerindo di Bandung, karenanya menjalankan politik antifasis. Masih di Bandung, dia juga menjadi ketua Gabungan Perdagangan Indonesia (Gapindo) pada 1943. Sebagai kekuatan gerakan Djojobojo, “Joesoeph mengorganisasikan sopir-sopir taksi/kendaraan bermotor lainnya di wilayah Cirebon-Bandung-Tasikmalaya,” tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.

Menurut Soeranto, dalam pergaulan sehari-hari di mata masyarakat Cirebon, “Joesoeph mempunyai sifat sombong, angkuh, tetapi penuh dengan keterus-terangan pribadinya.” Di kalangan pemuda, dia dikenal sebagai “mister gendeng” karena berani melawan dan memaki-maki Jepang di muka umum. “Karena itu, banyak pemuda yang kagum dengan keberaniannya. Bahkan, sebagai revolusioner tua, pengaruhnya besar antara lain memengaruhi D.N. Aidit,” tulis Gie.

Dalam kegiatan revolusionernya, Djojobojo berhubungan dengan grup antifasis Mr Soeprapto. Lahir di Tuban pada 1905, Soeprapto aktif di Jong Java, Indonesia Muda, Suluh Pemuda Indonesia, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia, dan lulus fakultas hukum Recht Hogere School (Sekolah Tinggi Hukum) Jakarta pada 1940. “Sejak menjadi ketua Persi Cirebon, Joesoeph berkenalan dengan Soeprapto yang menjadi pimpinan Persi Semarang,” tulis Soeranto. Beberapa kader Soeprapto antara lain Abdullah, Sukirman, Abioso, Marlan, dan Rubia.

Menurut Sidik Kertapati, kegiatan Djojobojo dan kelompok Soeprapto terutama terdapat di kalangan kaum buruh bermotor, buruh minyak, perkebunan, dan sebagainya, di mana mereka melakukan taktik sabotase untuk menggagalkan jalannya produksi untuk tujuan perang. “Pada tahun 1943 gerakan Djojobojo membongkar rel kereta api antara Banjar dan Pangandaran yang membawa akibat tergulingnya kereta api militer Jepang dan putusnya hubungan antara kedua tempat itu untuk beberapa waktu lamanya,” tulis Sidik. “Juga di Nagrek, Garut, sabotase ini dilakukan lagi, tapi gagal.”

Seperti pada Gerakan Rakyat Anti Fasis (Geraf) yang dipimpin Amir Sjarifuddin, Gie menaruh keraguan pada kegiatan Djojobojo. “Kita tidak dapat menilai daya gerak dan aktivitas Joyoboyonya. Walaupun Sidik Kertapati menyatakan bahwa mereka pernah menyabot kereta api, sebagai grup bawah tanah hasil terbesarnya terbatas pada aksi-aksi propaganda,” tulis Gie. Soeranto mengemukakan pendapat senada: “Gerakan ini terbatas hanya pada aksi propaganda anti-Jepang.”

Meski begitu, Djojobojo masuk daftar hitam Jepang. Menurut Sidik, untuk menangkap anggota Dojobojo, Jepang mengadakan konferensi Joyoboyo palsu dengan menyiarkan undangannya di media massa. “Banyak di antara kader revolusioner yang tidak waspada terpancing karena tipu-muslihat itu kemudian tertangkap,” tulis Sidik. “Berpuluh kader dan anggota Djojobojo dimasukan ke penjara, dan di antara mereka yang menjadi korban dan dihukum mati adalah Parnawidjadja, Lukman, dan Tas’an.”

Joesoep sendiri tak tertangkap. Dia menyusup menjadi siswa atau penghuni Asrama Indonesia Merdeka di Kebon Sirih 80 Jakarta yang didirikan pada 1944 atas dukungan Angkatan Laut Jepang (Kaigun). Di asrama yang dikelola Mr Ahmad Subardjo dan Wikana ini, tulis Soeranto, Joesoeph membangun sel PKI bersama Soeprapto, yang kemudian sel ini menjelma menjadi PKI legal pada 21 Oktober 1945 dan diakui pemerintah pada 7 November 1945. Tak lama kemudian, PKI Joesoeph melakukan pemberontakan di Cirebon pada 12 Februari 1946. Joesoeph dan Soeprapto divonis empat tahun penjara.

Petualangan “mister gendeng” berakhir pada 1953. Dia meninggal dalam kecelakaan lalulintas.



View the original article here



Peliculas Online

Selasa, 09 Oktober 2012

Jimat Penguat

Para pemberontak Banten yakin dengan jimat dapat memenangi perang.

PADA 29 September 1887, para pemberontak berkumpul di rumah pimpinan mereka, Haji Wasid, untuk membahas pengumpulkan senjata. Namun para kiai berpendapat sebaiknya tak usah mencari senjata api. Alasannya, mayoritas pemberontak belum bisa menggunakannya. Untuk mendatangkannya dari luar Banten juga sulit. Mereka bisa mengandalkan kelewang dan yakin akan memenangi perang suci melawan Belanda dan antek-anteknya. 

Selama tiga bulan terakhir tahun 1887 hingga pertengahan tahun 1888, para pemberontak mempersiapkan diri dengan kegiatan pencak silat, pengumpulan dan pembuatan senjata, dan propaganda ke luar Banten. “Kegiatan lain terus dilakukan, seperti membakar semangat dengan khotbah-khotbah tentang ramalan-ramalan dan ajaran tentang Perang Sabil dan mendorong mereka untuk memakai jimat dan ikut dalam pertemuan-pertemuan keagamaan,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888.

Dalam lampiran laporan Kontrolir Serang tanggal 19 Mei 1889 No 16, Snouck Hurgronje menerjemahkan jimat Arab yang digunakan para pemberontak Banten itu. Menurutnya, sebagaimana dikutip E. Gobée dan C. Adriaansee dalam Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, jimat itu bertuliskan: “Inilah penyelamat yang diberkahi. Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ya Allah, ya Yang Hidup, ya Yang Berdiri Sendiri, Engkaulah kujadikan kekuatanku. Maka lindungilah aku dengan perlindungan selengkap-lengkapnya penjagaan...”

Di dalam jimat juga terdapat gambaran berkekuatan mistik, berupa sebuah lingkaran yang dikelilingi nama empat malaikat tertinggi dan nama-nama Allah; Muhammad; (empat khalifah) Abu Bakar, Umar, Usman, Ali; (putra-putra Ali) Hasan, Husain; (dua sahabat Nabi Muhammad) Sa’ad dan Sa’id; sementara di tengahnya terdapat surat Thaha ayat 39. Ada pula gambar pedang Ali bermata dua. Termaktub di situ: “Tidak ada orang [pahlawan] selain Ali, dan tidak ada pedang selain Du’l-faqar (maksudnya Zul faqar).”

Menurut Seyyed Hossein Nasr, ungkapan “tidak ada orang (pahlawan) selain ‘Alî, dan tidak ada pedang selain Du’l-faqar (maksudnya Zul faqar)” atau “la fata illa ali, la saifa illa dzu al-fiqar, (dzu al-fiqar adalah pedang bermata dua terkenal milik Ali)”, secara tradisional dinisbahkan kepada Malaikat Jibril, yang dia sampaikan kepada Nabi.

“Pribadi Ali yang bijak sekaligus ksatria, perenung sekaligus pelindung, sepanjang abad senantiasa mendominasi seluruh horizon futuwwah atau Keksatriaan Spiritual,” tulis Hossein Nasr, “Kekesatriaan Spiritual”, termuat dalam Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi. Tentu saja, futuwwah yang diinginkan para pemberontakan Banten dari jimat itu adalah “keksatriaan fisik”.

Hurgronje juga menulis, “Selebihnya... jimat ini hanya memuat doa-doa pengampunan dosa dan rahmatan ‘ind al-maut (rahmat dalam kematian).”

Naskah tersebut, lanjut Hurgronje, pasti dibuat dengan pertimbangan gerakan di Banten dan dapat dipakai sebagai jimat untuk Perang Sabil.

Jimat itu, tulis Martin van Bruinessen, diperoleh dari Mekah karena Mekah dianggap sebagai pusat kosmis utama dan sumber ngelmu atau kesaktian. Dalam kosmologi Jawa, seperti halnya kosmologi Asia Tenggara lainnya, pusat-pusat kosmis, titik temu antara dunia fana dan alam supranatural, memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung, gua dan hutan tertentu serta tempat angker lainnya bukan hanya diziarahi sebagai ibadah tapi juga dikunjungi untuk mencari ilmu (ngelmu) alias kesaktian dan legitimasi politik (wahyu –istilah yang dipinjam kerajaan Mataram dari Islam dengan mengubah artinya).

“Setelah orang Jawa mulai masuk Islam, Mekah-lah yang dianggap sebagai pusat kosmis utama. Karena Mekah merupakan kiblat bagi seluruh umat Islam dan tempat wahyu turun kepada Nabi, sehingga Mekah menjadi pusat keilmuan Islam,” tulis Van Bruinessen dalam “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji,” dimuat di Ulumul Qur’an, 1990.

Menurut Sartono, pemimpin-pemimpin pemberontak dan pengikutnya yang disilaukan oleh keyakinan tak dapat dikalahkan –salah satunya karena jimat– dalam Perang Sabil, tak menyadari bahwa organisasi dan strategi militer yang lebih efektif dari Belanda membawa mereka kepada bencana.  

Satu batalyon tentara dari Batavia memukul-mundur dan akhirnya melumpuhkan para pemberontak. Para pemimpinnya, termasuk Haji Wasid, tewas.

Pada akhirnya, tradisi jimat (ngelmu) lestari hingga kini dan menjadi sumber kekuatan jawara-jawara Banten. Baik “jawara putih” yang memperoleh kesaktiaan dari sumber-sumber agama Islam maupun “jawara hitam” dari tradisi pra-Islam, jangjawokan atau elmu Rawayan. “Meskipun demikian, kenyataannya sulit dibedakan secara tegas antara jawara putih dan jawara hitam karena umumnya mereka menggunakan kedua sumber tersebut. Sehingga dijumpai praktik-praktik magis yang diawali dengan pembacaan syahadat atau ayat-ayat Alquran kemudian disambung dengan membaca sejenis jangjawokan,” tulis Agus Fahri Husein dalam Tasbih dan Golok.



View the original article here



Peliculas Online

Senin, 08 Oktober 2012

DNA Tan Malaka “Menghilang”

Proses pemeriksaan DNA Tan Malaka masih berjalan. Akankah sisa-sisa kerangka Tan Malaka dimakamkan di Kalibata sebagai pengakuan dari pemerintah?

TAN MALAKA merupakan tokoh antikolonial yang mobilitasnya sangat tinggi. Selama 30 tahun dia melalang-buana, dari Pandan Gadang (Suliki) hingga Surabaya, dari Penang hingga Amsterdam. Dia selalu waspada karena bertahun-tahun jadi buronan intel. Polisi kolonial mengganjarnya dengan sebutan “jago menghilang”.

“Rupanya setelah meninggal pun kemampuan menghilang Tan Malaka tak berkurang sehingga DNA-nya sulit dicari,” canda sejarawan Asvi Warman Adam dalam konferensi pers laporan hasil pemeriksaan DNA atas kerangka yang diduga Tan Malaka di Wisma Shalom, Jakarta Pusat (9/1). “Dia tokoh yang mempunyai reputasi internasional, sehingga tampaknya DNA-nya pun harus diperlakukan secara internasional.”

Tim Identifikasi Tan Malaka, diwakili dokter spesialis forensik Djaja Surya Atmadja, menyatakan bahwa tim telah berkonsultasi dengan Dr Kim Soon Hee, pakar DNA dari National Institute of Scientific Investigation (NISI) Korea Selatan. Tim juga menghadiri dan membahas sampel DNA itu ke beberapa simposium seperti 3rd Asean Forensic Science (3rd AFSN) di Seoul, Korea Selatan, dan 19th World Meeting of the International Association of Forensic Sciences di Madeira, Funchal, Portugal.

Pada 17-21 Oktober 2011, salah seorang anggota tim mengikuti pelatihan New Frontiers in Forensic DNA dengan pengajar Prof Bruce Budowle dari University of North Texas, Amerika Serikat, dan Prof Angela van Daal dari Bond University, Gold Coast, Australia.

Pada kesempatan tersebut, dibahas metode baru ekstraksi sampel DNA yang dikenal sebagai LCN (Low Number Copy), yang cocok diterapkan pada kasus Tan Malaka. Dengan teknik LCN, sampel yang sulit diekstraksi seperti tulang, gigi dan jaringan yang sudah diformalin, akan dapat dilakukan secara efektif dengan hanya menggunakan bahan sampel yang sedikit saja (100-200 mg tulang atau gigi). Metode ini amat menjanjikan. Pemeriksaan DNA Tan Malaka dengan metode LCN kemungkinan akan dilakukan di Australia.

“Saat ini pemeriksaan bahan sisa sampel kerangka di Selopanggung sedang dalam proses analisis LCN,” kata Djaja. “Kami memperkirakan pemeriksaan tak akan berlangsung lama. Tapi untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan pemeriksaan ulang, kami perkirakan hasil akhirnya muncul awal November 2012.”

Pemeriksaan kemungkinan akan menghasilkan tiga kesimpulan akhir. Pertama, inkonklusif, yaitu tak ada DNA (body bog), atau ada DNA tapi profil Y-STR (DNA inti yang diturunkan secara total dari seorang ayah kepada semua anak laki-lakinya) tidak ada. Kedua, konklusif, yaitu ada DNA, seluruh profil Y-STR didapat dan sesuai dengan DNA Zulfikar Kamarudin, keponakan Tan Malaka. Dan ketiga, positif lemah, yaitu ada DNA, hanya ada sebagian profil Y-STR yang keluar dan sesuai dengan DNA Zulfikar.

“Proses pemeriksaan secara medis masih berjalan dan kita masih harus menunggu,” kata Asvi, “Tapi dari segi sejarah sudah selesai. Narasi sejarah sudah tuntas. Karena kalau bicara sejarah, kita bicara kisah seseorang dari lahir hingga meninggal, dan ini sudah jelas semua.”

Sejarawan Harry Poeze sudah meneliti selama 30 tahun dan berdasarkan temuan terbaru terbukti bahwa Tan Malaka ditembak mati. “Lokasi, tempat, waktu, dan pelaku eksekusinya jelas,” ujar Asvi. “Saya pribadi berpandangan agar keluarga memutuskan memindahkan makam Tan Malaka di Selopanggung ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.”

Penggalian Tokoh Nasional

Menurut Asvi, penggalian makam seorang tokoh nasional ini bukanlah yang pertama. Pada 1975, Sekretaris Jenderal Departemen Sosial Rusiah Sardjono memimpin langsung penggalian di pertambangan Bayah, Banten Selatan, untuk menemukan jenazah shodanco Supriyadi, komandan Pembela Tanah Air (PETA) Blitar yang berontak terhadap Jepang. Pada tempat yang ditunjukkan saksi tak ditemukan apa-apa.

Penggalian kemudian dilanjutkan ke situs sekitar dan menemukan kerangka seseorang yang kemudian dibawa ke Yogyakarta untuk pemeriksaan oleh tim forensik Fakultas Kedokteran UGM. Waktu itu belum dilakukan tes DNA, tapi berdasar pemeriksaan forensik tidak terdapat kecocokan antara kerangka tersebut dan ciri-ciri yang disebutkan pihak keluarga. Meski hasilnya nihil, pemerintah selanjutnya menetapkan Supriyadi sebagai Pahlawan Nasional pada 1975.

Lebih ironis lagi, lanjut Asvi, pemakaman Otto Iskandar Dinata. Menurut keterangan resmi pemerintah, Otto dibunuh oleh Laskar Hitam di Pantai Mauk, Tangerang, pada 20 Desember 1945. Saat itu Otto, yang dijuluki “Jalak Harupat” oleh Laskar Hitam, masih menjabat menteri negara yang membidangi keamanan. Peristiwa pembunuhan Otto baru diketahui pada 1949 dan jenazahnya tak pernah ditemukan.

“Pemerintah Jawa Barat lantas mengambil pasir di Pantai Mauk, membungkusnya dengan kain kafan, kemudian dimakamkan di Pasir Pahlawan, Lembang, Bandung Barat, sebagai simbol,” kata Asvi. Pemerintah Orde Baru mengangkat Otto sebagai pahlawan nasional pada November 1973.

“Ini memperlihatkan bahwa negara membutuhkan situs peringatan,” tegas Asvi.

Asvi berpandangan akan lebih baik jika sisa-sisa kerangka Tan Malaka dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Selama Orde Baru Tan Malaka tak dianggap sebagai pahlawan nasional, bahkan namanya dihilangkan. Jika dimakamkan di Kalibata, ini akan menjadi semacam pengakuan dari pemerintah bahwa dia adalah pahlawan nasional dan disemayamkan pada tempat yang layak.



View the original article here



Peliculas Online

Jumat, 05 Oktober 2012

Kipas Hitam

Meski kalah perang, Jepang tak mau menyerah begitu saja. Untuk menghadapi Sekutu, dibentuklah sejumlah perkumpulan rahasia.

SETELAH Jepang menyerah terhadap Sekutu pada 14 Agustus 1945, Departemen Propaganda (Sendenbu) di bawah pimpinan Hitoshi Shimizu berusaha melakukan perlawanan. Dia mendirikan perkumpulan rahasia Ular Hitam, berisi orang-orang Indo-Belanda bermarkas di Bogor; Chin Pan, menampung orang-orang Tionghoa; dan yang terpenting adalah Kipas Hitam.

“Kipas Hitam dibentuk untuk mempersiapkan orang-orang Indonesia melakukan perang kemerdekaan di bawah bimbingan Jepang,” tulis Joyce C. Lebra dalam Tentara Gemblengan Jepang.

Menurut Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol, Shimizu adalah seorang propagandis profesional yang memulai kariernya di China pada 1930-an. Dia kembali ke Jepang pada 1940 dan bergabung dengan Persatuan Pembantu Pemerintahan Kekaisaran (Taisei Yokusankai), organisasi massa bentukan pemerintah Jepang, yang kemudian menjadi model bagi Jawa Hokokai. Dia juga bergabung dengan Toa Remmei (Federasi Asia Timur). Shimizu, sebagai dikutip Lebra, ingat, “Saya berafiliasi dengan Toa Remmei di masa lalu, dan saya punya gagasan untuk mengembangkannya di Indonesia sebuah gerakan spiritual populer yang mencerahkan, yang bisa disebut sebagai gerakan Asia.”

Shimizu sempat berhenti dan bekerja di Biro Penerangan Kabinet (Naikaku Johokyoku), hingga ditarik oleh Angkatan Darat ke-16 sebagai atase sipil yang bertugas militer dan bertanggungjawab atas propaganda di Indonesia. Di sinilah ide-idenya direalisasikan, dengan membentuk organisasi-organisasi massa yang akan dimobilisasi untuk memberi dukungan politik bagi kepentingan perang Jepang.

Shimizu dekat dengan orang-orang Indonesia, dari kalangan pemuda maupun tokoh nasional seperti Sukarno-Hatta. Dia memberikan rumah di Pegangsaan Timur 56 dan mobil limusin Buick –kelak menjadi mobil kepresidenan– untuk Sukarno. Menjelang proklamasi, dia membantu mencarikan kain merah putih untuk bahan Fatmawati membuat bendera.

Dia berperan dalam pembentukan organisasi massa yang menggerakkan dukungan politik bagi Jepang: Gerakan Tiga-A (Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia), Pusat Tenaga Rakyat, Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Rakyat), dan Shuisintai (Barisan Pelopor). Dia juga mendirikan Asrama Angkatan Muda di Menteng 31, yang menyediakan tempat bagi para pemuda untuk mendapatkan pendidikan politik. Pembentukan sejumlah perkumpulan rahasia menjadi salah satu upaya terakhirnya di tengah kekalahan perang Jepang.

Kipas Hitam bukanlah khas Indonesia. Menurut R-H. Barnes dalam Fransiskus/Usman Buang Duran: Catholic, Muslim, Comunist, Kipas Hitam bersama Banteng Hitam dan Naga Hitam merupakan bagian dari Perkumpulan Naga Hitam (Kokuryukai). Perkumpulan Naga Hitam merupakan kelompok ultranasionalis paramiliter Jepang yang dibentuk pada 1901 oleh Ryohei Uchida. Perkumpulan ini menerbitkan jurnal dan menggelar sekolah pelatihan spionase, yang dikirim untuk mengumpulkan informasi dari Rusia, Manchuria, Korea, dan China. Selain itu, organisasi ini menekan para politisi Jepang agar mengadopsi kebijakan luar negeri yang kuat. Kokuryukai mendukung Pan-Asianisme.

“Para anggota Perkumpulan Naga Hitam melakukan aksi bersenjata, provokasi dan pembunuhan guna kepentingan rezim kekaisaran. Terutama saat penaklukan Manchuria (China), mereka melakukan pembunuhan dan propaganda yang aktif dan efektif,” tulis Peter Schumacher dalam Een Bende op Java.

Di Indonesia, suratkabar Persatoean mengindikasikan bahwa dana pembentukan Kipas Hitam berasal dari “fonds kemerdekaan” yang dikumpulkan Jepang selama pendudukan. Fonds ini dimaksudkan untuk kegiatan pemuda, pendidikan, dan bantuan bagi rakyat miskin. “Yang harus bertanggung jawab atas sebagian besar propaganda ini ialah Hitoshi Shimizu,” tulis Persatoean, 9 Mei 1946.

Tapi Shimizu tak bisa mengawal perkumpulan rahasianya. Dia keburu ditangkap Sekutu pada akhir 1945. Dia diinterogasi di Jakarta dan mengaku bertanggung jawab atas propaganda supaya penduduk membeci segala bangsa berkulit putih, terutama Belanda, “dan menyusun gerakan rahasia yang akan mampu bekerja atas kemauan sendiri, bila Jepang terpaksa menyerah sendiri, dia mendirikan Kipas Hitam,” tulis Soeloeh Ra’jat, 23 Agustus 1946.

Tanpa Shimizu, Kipas Hitam terus berjalan. Keberadaannya bahkan menarik perhatian banyak pemuda, dan juga Sutan Sjahrir. Dalam pamfletnya Perdjoengan Kita, Sjahrir menulis betapa perkumpulan rahasia Jepang, termasuk Kipas Hitam, mulai memberi pengaruh pada para pemuda. “Meskipun secara lahir para pemuda membenci Jepang, namun jiwa mereka telah terpengaruh oleh propaganda Jepang, sehingga tingkah laku dan cara berpikir mereka mencontoh Jepang. Ini terlihat dari kebencian mereka terhadap bangsa-bangsa asing, terutama Sekutu dan Belanda,” tulis Sjahrir.

Alih-alih melawan Sekutu, Kipas Hitam malah membuat kekacauan di sejumlah tempat. Di Bondowoso, misalnya, ditemukan selebaran dan pamflet, mengatasnamakan Kipas Hitam dan Pedang Samurai, yang berisi ancaman kepada polisi setempat. “Pedang Samurai yang selama perang hanya membuktikan kekejaman terhadap penduduk dan Kipas Hitam yang hanya mengacau dan merusak harus lenyap dari Indonesia,” tulis Pelita Rakjat, 2 Juli 1948.

Anggota Kipas Hitam pun harus berhadapan dengan para pemuda republiken. Soeara Rakjat, 1 Oktober 1945, memberitakan pemuda republiken menangkap 20 anggota Kipas Hitam di stasiun kereta api dan menyita sejumlah senjata. Penangkapan dilakukan oleh para pemuda kereta api, Barisan Pelopor, polisi, dan lain-lain. Pemuda kereta api juga menangkap empat anggota lainnya di sebuah terowongan kereta api dan menyita uang sebesar f.50.000.

Di Surabaya, dilakukan razia, terlebih tersiar kabar anggota Kipas Hitam membantu gerakan Dood alle Inlanders (bunuh semua bangsa Indonesia). Menurut Sutomo, para pemuda dan anak kampung sering memberhentikan mobil pembesar Jepang. Setelah berhenti, mereka memaksa penumpang turun, dan menginterogasi apakah kenal gerakan Kipas Hitam atau tidak. Jika tak kenal, mereka boleh melanjutkan perjalanan tapi dengan berjalan kaki. Mobil disita. “Alasan mencari kaki tangan Kipas Hitam terus digunakan oleh rakyat dan pemuda dalam usaha menambah jumlah kendaraan untuk Republik Indonesia,” kata Sutomo dalam Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan Pengalaman Seorang Aktor Sejarah.

Gerakan Kipas Hitam perlahan memudar.

Di kemudian hari, Shimizu tetap menjalin kontak dengan Indonesia. Dia membentuk Asosiasi Kebudayaan Jepang-Indonesia dan, setelah tahun 1964, berusaha menghubungkan perkumpulan kebudayaannya dengan Lembaga Persahabatan Indonesia-Jepang, yang diketuai Ratna Sari Dewi sejak Mei 1964. Dia kembali mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh yang pernah dia kenal di zaman Jepang pada 1977, termasuk menemui Fatmawati.



View the original article here



Peliculas Online

Rabu, 03 Oktober 2012

Liga Pemuda Pramuka

Terinspirasi organisasi kepemudaan komunis di Uni Soviet dan China, Sukarno bubarkan semua organisasi kepanduan, dan bikin Pramuka

PERINGATAN atau penghapusan hari bersejarah memang menjadi kebijakan politis suatu rezim. Pada zaman Orde Baru, semua yang berbau komunis diberangus. Sebut saja, Hari Buruh 1 Mei dan Hari Tani 24 September untuk memperingati lahirnya UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau Undang-Undang Pembaruan Agraria (UUPA) pada 24 September 1960. Hari Buruh dilarang sejak 1967 dan Hari Tani diganti menjadi Hari Ulang Tahun UUPA; karena gerakan buruh dan reforma agraria dianggap bermuatan komunis. Namun, ada peringatan yang latar belakang sejarahnya “beraroma komunis” tapi tetap diperingati pada masa Orde Baru dan berlangsung sampai sekarang, yaitu Hari Pramuka 14 Agustus.

“Terpengaruh oleh Komsomol di Uni Soviet dan organisasi pemuda komunis di RRT (Republik Rakyat Tiongkok) yang menyambut kedatangannya ketika berkunjung ke kedua negara tersebut, Presiden Sukarno pada 9 Maret 1961 membubarkan semua organisasi kepanduan. Terutama yang dianggapnya kebarat-baratan dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia,” tulis Benny G Setiono Tionghoa dalam Pusaran Politik.

Komsomol (Kommunisticheskii Soyuz Molodyozhi) atau All-Union Leninist Young Communist League dibentuk pada 1918 sebagai organisasi pemuda berusia 14-28. Organ partai ini menyebarkan ajaran Komunis dan kaderisasi anggota Partai Komunis. Untuk usia 9-14 ditampung dalam All-Union Lenin Pioneer Organization, dan untuk anak-anak usia 9 tahun ke bawah dalam Little Octobrist. Seperti halnya Komsomol, Liga Pemuda Komunis China, yang dideklarasikan pada 1920 dengan nama Liga Pemuda Sosialis merupakan organ penting Partai Komunis China. Anak-anak di atas tujuh tahun bergabung dengan Pionir Muda Komunis. Liga Pemuda Komunis China ini telah melahirkan pemimpin teras China, seperti Presiden China Hu Jintao.

Terinspirasi Komsomol dan Liga Pemuda Komunis China, Sukarno mengusulkan agar menyatukan seluruh organisasi kepanduan ke dalam sebuah organisasi nasional. Selain itu, karena kepanduan di Indonesia menjadi onderbow partai politik. “Sesudah tahun 1920 timbul banyak sekali kepanduan Indonesia sebagai cabang (onderbouw) perkumpulan-perkumpulan orang dewasa; unsur politik nasional terkandung di dalamnya,” tulis AG Pringgodigdo dalam Ensiklopedi Umum. Dan, salah satu partai politik saat ini yang memilik divisi kepanduan adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan Pandu Keadilan.

Gerakan kepanduan di Hindia Belanda, Nederlansche Padvinders Organisatie Vereeniging (NIPV) berdiri pada 1912. Empat tahun kemudian, Mangkunegara VII mendirikan Javaansche Padvinders Organisatie (JPO). “Maksudnya menjadi tempat pembibitan ketentaraan Mangkunegaran,” tulis Pringgodigdo. Setelah JPO, pada 1918 Muhammadiyah mendirikan Hizbul Wathon –nama semula Muhammadiyah Pandvinderij. Terutama di Semarang banyak kepanduan komunis berhubungan dengan PKI, yang anggotanya murid-murid sekolah Sarekat Islam (SI) Merah dan Sarekat Rakyat. Budi Utomo mendirikan Nationale Padvinderij pada 1921; Jong Java di Solo mendirikan Jong Java Padvinderij (1922), Jong Islamieten Bond di Jakarta mendirikan Nationaal Islamitische Padvinderij (1925), Jong Sumatranen Bond kemudian bernama Pemuda Sumatra membentuk Pandu Pemuda Sumatra (1926). SI Putih mendirikan Sarekat Islam Afdeeling Padvinderij (1927), dan Algemeene Studieclub di Bandung mendirikan Nationaal Padvinderij Organisatie.

Suburnya pertumbuhan organisasi kepanduan membuat pemerintah Hindia Belanda mendirikan cabang-cabang NIPV di setiap sekolah HIS, MULO, dan AMS. Pemerintah Hindia Belanda juga meminta semua organisasi kepanduan melebur ke dalam NIVP. Namun, ditolak, kecuali kepanduan milik kaum teosofi, Jong Indonesische Padvinders Organisatie (1927). Karena penolakan itu, pada 1928 NIPV melarang organisasi kepanduan Indonesia memakai istilah padvinders dan padvinderij. Dalam kongres kepanduan SI pertama (2-5 Februari 1928) di Banjarnegara, Jawa tengah, Haji Agus Salim mengusulkan, kata padvinders diganti dengan “pandu” (penunjuk jalan) dan padvinderij diganti “kepanduan”. Usul diterima, Sarikat Islam Afdeeling Padvinderij diganti menjadi Sarekat Islam Afdeling Pandu (SIAP).

Dalam perjalanannya, organisasi kepanduan membentuk federasi. Tapi, tak tahan lama, bahkan malah terpecah menjadi badan fusi kepanduan nasional dan kepanduan Islam. Pada zaman Jepang, semua organisasi kepanduan dibekukan. Diganti dengan gerakan semimiliter seperti Seinendan, Keibodan, dan lain-lain.

Sebelum penyerahan kedaulatan akhir tahun 1949 di daerah yang dikuasai Republik Indonesia hanya ada satu organisasi kepanduan. Tapi, waktu terbentuk Republik Indonesia Serikat, organisasi kepanduan mencapai 104 organisasi. Dan pada 1954 tercatat 71 organisasi kepanduan dengan jumlah anggota lebih kurang 194 ribu pandu putra dan 41 ribu pandu putri. Karena itu, pemerintah membentuk federasi yang terbagi dua: pandu putra dan putri. Sultan Hamengkubuwono IX memimpin ketua Ikatan Pandu Putra Indonesia (Ippindo). Walau demikian, kondisi kepanduan masih terpecah sehingga Menteri P&K Bahder Djohan sulit menentukan pembiayaannya. Jambore pertama yang diikuti 4 ribu pandu diadakan pada peringatan 17 Agustus 1955 di Pasar Minggu, Jakarta. Ippindo kemudian direorganisasi dan berganti nama menjadi Persatuan Kepanduan Indonesia (Perkindo) pada 1960.

Pada 1960, Sukarno memerintahkan Menteri P&K Prijono, yang beraliran kiri, untuk mempersatukan organisasi kepanduan Indonesia. Untuk itu, diadakan rapat di Ciloto. Rapat gagal mempersatukan kegiatan kepanduan. Menurut buku Sri Sultan, Hari-Hari Hamengku Buwono IX, Prijono dicurigai akan memberi nama Pionir Muda yang berbau komunis kepada kepanduan Indonesia. Dia juga mencoba mengubah warna kacu (dasi pandu) dengan warna merah. Rencanan Prijono ditentang. Dan, Sultan HB IX mengusulkan nama Pramuka.

Panitia terdiri dari Sultan Hamengkubuwono IX, Menteri P&K Prijono, Menteri Pertanian Dr Azis Saleh, dan Menteri Transmigrasi Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa Achmadi, berhasil membentuk organisasi Pramuka menggantikan organisasi-organisasi kepanduan. 

“Dalam anggaran dasar kepanduan yang ditandatangani Djuanda kata ‘Pandu’ diganti dengan ‘Pramuka’. Istilah Pramuka diambil Sultan dari istilah poromuko, semacam pasukan yang berdiri paling depan dalam peperangan. Jadi, tak benar anggapan bahwa kata itu dikenalkan oleh Menteri Prijono yang memperkenalkan istilah Pionir Muda,” demikian tertulis dalam Sri Sultan, Hari-Hari Hamengku Buwono IX. Sebagai kompromi, supaya kata Pramuka sama dengan Pionir Muda, sebutan itu diakali seolah-olah merupakan singkatan Praja Muda Karana, yang artinya warga negara muda yang bekerja.

Gerakan Pramuka disahkan dengan Keputusan Presiden No. 238 tanggal 20 Mei 1961, dan pelantikan Ketua Umum Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dilakukan pada 14 Agustus 1961, yang kemudian dijadikan Hari Gerakan Pramuka. Menariknya, dalam Keppres tersebut dinyatakan maksud dan tujuan Pramuka agar “pemuda Indonesia … ber-Panca-Sila, setia-patuh kepada NKRI, berpikir dan bertindak atas landasan-landasan Manusia-Sosialis-Indonesia…”



View the original article here



Peliculas Online