tag:blogger.com,1999:blog-16261889181073943122024-03-13T00:00:10.002-07:00Romantisme SEJARAHBlog yang memuat aneka tulisan tentang sejarah, khususnya sejarah Indonesia dan Melayu. Mudah-mudahan bermanfaat.Unknownnoreply@blogger.comBlogger137125tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-26553090335922624712012-10-30T12:28:00.000-07:002012-10-30T12:28:30.760-07:00Mitos asal muasal larangan menikah Sunda-Jawa<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8-tmHD_KKfIuv-l1Ghsqjc2PebeIgIWcnt3p8BE_vW0QZxEXa6a-PT9ubGzDBotT66TkSf3Hex5uLjJ6-1B1lGc1mXknpNW3_I0MGY-To7mbtXjQDlm-DwcwurqwN-6WJ276Xi5IsoSo/s1600/perang+bubat.jpeg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8-tmHD_KKfIuv-l1Ghsqjc2PebeIgIWcnt3p8BE_vW0QZxEXa6a-PT9ubGzDBotT66TkSf3Hex5uLjJ6-1B1lGc1mXknpNW3_I0MGY-To7mbtXjQDlm-DwcwurqwN-6WJ276Xi5IsoSo/s1600/perang+bubat.jpeg" /></a></div>
<div class="first">
Pernahkah anda mendengar bahwa orang Sunda dilarang
menikah dengan orang Jawa atau sebaliknya? Ternyata hal itu hingga ini
masih dipercaya oleh sebagian masyarakat kita. Lalu apa sebabnya?<br /><br />Mitos
tersebut hingga kini masih dipegang teguh beberapa gelintir orang.
Tidak bahagia, melarat, tidak langgeng dan hal yang tidak baik bakal
menimpa orang yang melanggar mitos tersebut. <br /><br />Lalu mengapa orang
Sunda dan Jawa dilarang menikah dan membina rumah tangga. Tidak ada
literatur yang menuliskan tentang asal muasal mitos larang perkawinan
itu. Namun mitos itu diduga akibat dari tragedi perang Bubat.<br /><br />Peristiwa
Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri
putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan
Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri
di Majapahit, yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada
masa itu, bernama Sungging Prabangkara.<br /><br />Hayam Wuruk memang
berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu
untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga
kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada
Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan
rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. <br /><br />Maharaja Linggabuana
lalu berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta
ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta
permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit. <br /><br />Menurut
Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai
Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya
pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan
di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah
yang belum dikuasai.<br /><br />Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat
alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di
Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada
Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka
bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan
pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk
sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah
Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.<br /><br />Versi
lain menyebut bahwa Raja Hayam Wuruk ternyata sejak kecil sudah
dijodohkan dengan adik sepupunya Putri Sekartaji atau Hindu Dewi.
Sehingga Hayam Wuruk harus menikahi Hindu Dewi sedangkan Dyah Pitaloka
hanya dianggap tanda takluk.<br /><br />"Soal pernikahan itu, teori saya
tentang Gajah Mada, Gajah Mada tidak bersalah. Gajah Mada hanya
melaksanakan titah sang raja. Gajah Mada hendak menjodohkan Hayam Wuruk
dengan Diah Pitaloka. Gajah mada Ingin sekali untuk menyatukan antara
Raja Sunda dan Raja Jawa lalu bergabung. Indah sekali," tegas sejarawan
sekaligus arkeolog Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar.<br /><br />Hal
ini dia sampaikan dalam seminar Borobudur Writers & Cultural
Festival 2012 bertemakan; 'Kontroversi Gajah Mada Dalam Perspektif Fiksi
dan Sejarah' di Manohara Hotel, Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur,
Magelang, Jateng, Selasa (30/10).<br /><br />Pihak Pajajaran tidak terima
bila kedatangannya ke Majapahit hanya menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai
taklukan. Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan
Linggabuana dengan Gajah Mada. <br /><br />Perselisihan ini diakhiri dengan
dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa
kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui
superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah
Mada tetap dalam posisi semula.<br /><br />Belum lagi Hayam Wuruk memberikan
putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukan Bhayangkara ke
Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas
Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda,
Linggabuana menolak tekanan itu. <br /><br />Terjadilah peperangan yang
tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar,
melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang
berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam
kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana,
para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda
di Pesanggrahan Bubat. <br /><br />Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah
Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati atau bunuh diri untuk
membela kehormatan bangsa dan negaranya. Menurut tata perilaku dan
nilai-nilai kasta ksatria, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh
para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur.
Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk
melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan
karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.<br /><br />Hayam Wuruk
pun kemudian meratapi kematian Dyah Pitaloka. Akibat peristiwa Bubat
ini, bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang.
Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari
pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap
ceroboh dan gegabah. Mahapatih Gajah Mada dianggap terlalu berani dan
lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota,
Raja Hayam Wuruk sendiri. <br /><br />Tragedi perang Bubat juga merusak
hubungan kenegaraan antar Majapahit dan Pajajaran atau Sunda dan terus
berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian. Hubungan Sunda-Majapahit
tidak pernah pulih seperti sedia kala.<br /><br />Pangeran Niskalawastu
Kancana, adik Putri Dyah Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali
dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih
terlalu kecil dan menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup
dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana. <br /><br />Kebijakan
Prabu Niskalawastu Kancana antara lain memutuskan hubungan diplomatik
dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan
kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan
kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran
(beristri dari luar), yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari
luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh
menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan
lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.<br /><br />Tindakan
keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk
melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh
rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki
'Prabu Wangi' (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena
kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja
Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi
yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.<br /><br />Beberapa
reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda
kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi
semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang
dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara lain, tidak seperti
kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat
sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama 'Gajah Mada'
atau 'Majapahit'. Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan
nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas
akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.</div>
Sumber:<br />
http://id.berita.yahoo.com/mitos-asal-muasal-larangan-menikah-sunda-jawa-050028273.html </div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-44203279015980866672012-10-25T02:46:00.000-07:002012-10-30T12:39:44.429-07:00Bukan Sekadar Onderdaan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhS1f0nMt6Rp_D8UXj8ZLucEgFYSqlgDQ22BwVD8kOBe1ILo5UzXFcc2fTR8moPtb4mYle3Q7YLChUvNCZJ7fgGcER-kP2CrQCZA1sQ6748bGN92dtfZ5UhWfiA4W4BGXhiOYNHWadixLg/s1600/Potret+Peranakan+cina.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="243" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhS1f0nMt6Rp_D8UXj8ZLucEgFYSqlgDQ22BwVD8kOBe1ILo5UzXFcc2fTR8moPtb4mYle3Q7YLChUvNCZJ7fgGcER-kP2CrQCZA1sQ6748bGN92dtfZ5UhWfiA4W4BGXhiOYNHWadixLg/s320/Potret+Peranakan+cina.jpg" width="320" /></a></div>
Zaman kolonial, orang-orang Tionghoa dijadikan warga kelas dua. Mereka diandalkan dalam bidang ekonomi, tetapi dibatasi dalam urusan politik. Reformasi membawa berkah.<br />
PEMERINTAH di Hindia Belanda “memecah belah” kalangan Tionghoa dengan menggunakan orang-orang Tionghoa untuk mengatur orang-orang etnisnya. Belanda memberi gelar tituler seperti Mayor atau Kapitan kepada orang-orang Tionghoa yang bisa mereka ajak kerjasama. Di Batavia, pembagian itu lebih jelas terlihat dengan adanya benteng sebagai pembatas wilayah kota-luar kota. Orang-orang Tionghoa yang tinggal di dalam benteng umumnya menurut kepada pemerintah.<br />
Perlakuan diskriminatif seperti itulah yang turut berperan penting terhadap terjadinya Pembantaian Etnis Tionghoa 1740, di mana 10 ribua-an Tionghoa menjadi korban. Pasca-pembantaian, perlakuan diskriminatif yang Tionghoa terima malah kian menjadi-jadi. Kebijakan passenstelsel<br />
dan wijkenstelsel dikeluarkan Belanda untuk memisahkan orang-orang Tionghoa dari penduduk lain. Kebijakan itu diperkuat lagi dengan keluarnya Regerings Reglement –stratifikasi sosial berdasarkan ras– pada 1854. Akibatnya, orang Tionghoa menanggung “biaya” sosial yang tidak murah, mereka dilabelkan ekslusif. Orang-orang non-Tionghoa kian cemburu.<br />
Perlakuan diskriminatif selama bertahun-tahun telah membuat orang-orang Tionghoa “tidak tahu” lingkungan sekitar. Dalam beberapa hal mereka merasa tertinggal. Orang-orang Tionghoa yang sadar akan kekurangan itu akhirnya banyak berkumpul dan mendirikan perkumpulan. Tiong Hoa Hwee Koan<br />
, Chung Hwa Hwee, Siang Hwee merupakan sedikit nama dari organisasi-organisasi Tionghoa itu. Pada masa ini kesadaran akan eksistensi mereka mulai tumbuh. Mereka banyak aktif di berbagai bidang, termasuk bidang sosial –bidang yang selama ini dianggap “jauh” dari mereka.<br />
Pengaruh revolusi Dr Sun Yat Sen juga turut menumbuhkan rasa nasionalisme orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda. Loyalitas mereka kepada pemerintah Hindia Belanda menyurut. “Terbukti dengan adanya aksi boikot para pedagang Tionghoa Surabaya kepada perusahaan dagang Belanda tahun 1902 dan insiden pengibaran bendera nasionalis Tiongkok pada Imlek 1912,” tulis Benny.<br />
Seorang penulis peranakan, Kwee Tek Hoai, pernah membagi warga Tionghoa menjadi tiga kelompok besar. Pertama<br />
, Sin Po, kelompok yang berorientasi ke Tiongkok. Nama Sin Po diambil dari nama harian terkemuka di Indonesia, terbit tahun 1910 di Batavia. Sin Po berorientasi ke Tiongkok dan menganjurkan Hoa Kiao memertahankan identitas sebagai warga Tiongkok dan menolak menjadi Nederlands Onderdaan, kawula negara Belanda.<br />
Kedua,<br />
Chung Hua Hwee (CHH), didirikan 8 April 1928. Secara politik, CHH berorientasi kepada pemerintah Belanda dengan pemikiran menjadi Nederlands onderdaan adalah satu kenyataan. Ketiga, Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang didirikan tanggal 25 September 1932 oleh Liem Koen Hian, Ong Liang Kok. PTI berorientasi kepada gerakan nasionalisme Indonesia.<br />
Masa kolonialisme Belanda telah mengangkat peran para peranakan –terutama orang Tionghoa yang “telah lepas” dari budaya asal. “Karena mereka Hollandsch spreeken<br />
, otomatis mereka dekat dengan penguasa,” kata Eddie Lembong. Namun peran warga keturunan tak lagi dominan saat Jepang datang.<br />
Pada periode Jepang (1942-1945), giliran orang-orang Tionghoa totok yang memegang peranan. Menurut Eddie Lembong, hal itu terjadi lantaran hanya orang totoklah yang bisa membaca huruf kanji. Jepang butuh mereka yang mengerti bahasa Kanji. Peranakan, yang Hollandsch<br />
spreeken, pun tersisih dari pentas. “Pendulum kembali bergeser,” ujar mantan ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) itu.<br />
Ketika Jepang hengkang dan proklamasi kemerdekaan dibacakan Bung Karno, kesadaran masyarakat akan kemerdekaan terus menguat. Saat yang bersamaan banyak juga orang Tionghoa yang menaruh simpati. Mereka ikut berjuang langsung di medan pertempuran untuk memertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebut saja salah satunya Laksamana John Lie.<br />
Meskipun begitu, sentimen anti-Tionghoa belum benar-benar hilang. Bahkan Bung Tomo, tokoh pertempuran Surabaya yang baru-baru ini diangkat sebagai pahlawan nasional, pun pernah menyebarkan nada rasialis dalam pidatonya. Go Gien Tjwan, pemimpin Angkatan Muda Tionghoa di Malang yang waktu itu ditunjuk sebagai juru bicara, pun memerlukan diri untuk menjawab pidato itu. "Musuh rakyat Indonesia bukan etnis Tionghoa melainkan Belanda," kata Gien Tjwan seperti dikutip dari buku Benny G Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik<br />
.<br />
Kalangan Tionghoa memang tidak memiliki satu orientasi politik, seperti juga yang terjadi pada zaman kolonial. Sebagian dari mereka juga ada yang memihak Belanda/Sekutu. Pao An Tui, barisan keamanan orang Tionghoa semasa revolusi fisik, banyak yang mendukung NICA saat Pertempuran 10 Nopember berlangsung, sebagaimana kesaksian dari Soemarsono –pemimpin pemuda Republik– dalam Negara Madiun<br />
. Organisasi dalam Pao An Tui begitu rapi sehingga organisasi ini, “dikenal kejam, sangar dan tergolong milisi paling kuat di Indonesia,” tulis sejarawan muda Universitas Negeri Medan Nasrul Hamdani dalam “Pao An Tui Medan 1946-1948”.<br />
Cepatnya perubahan yang terjadi pasca-Indonesia merdeka turut berpengaruh terhadap eksistensi etnis Tionghoa. Beragamnya asal daerah, orientasi politik dan lain sebagainya, membuat tidak ada kesatuan yang benar-benar padu di antara mereka. Periode revolusi fisik itu, satu hal penting yang menandai eksistensi etnis Tionghoa di sini adalah pembunuhan orang Tionghoa di Tangerang pada 11 Juni 1946 yang memakan korban 600-an jiwa.<br />
Terlepas dari pro-kontra yang ada mengenai peran ekonominya, etnis Tionghoa tetap menjadi pemain utama dan “dibutuhkan” siapa pun. Cengekeraman mereka sudah tak diragukan lagi kekuatannya. Pemerintah melalui Kabinet Ali Sastroamidjojo mencoba menjinakkan etnis itu dengan membatasi perdagangan mereka. Tapi tetap tidak berhasil, kongkalikong antara pejabat dan pedagang etnis Tionghoa malah memopulerkan istilah “Ali-Baba”. Nasution yang ketika berkuasa melalui SOB –Staten van Oorlog en Beleg<br />
, Keadaan Darurat Perang– mencoba mengeluarkan aturan pembatasan peran ekonomi etnis Tionghoa, dengan melarang mereka berdagang hingga ke wilayah pedesaan, tetap tidak berhasil.<br />
Seberapa pun buruknya perlakuan tidak enak yang etnis Tionghoa terima pada masa Orde Lama, mungkin masih lebih baik ketimbang masa-masa pasca-G 30 S, ketika Orde Baru berkuasa. Etnis Tionghoa benar-benar dijadikan “mesin” penghasil uang. Mereka dijadikan ujung tombak perekonomian. Di satu sisi kebutuhan materiil mereka “dijamin”, tapi eksistensi mereka, kemanusiaan mereka tidak dihargai sedikit pun. Hak-hak seperti politik, agama, atau budaya mereka benar-benar dipapras penguasa. Suara mereka dibungkam bertahun-tahun. Orde Baru juga terus memberi stigma negatif terhadap mereka di samping mencitrakan mereka homogen dan PKI. Orde Baru juga menamakan mereka dengan Cina –tentu konotasinya negatif. Hanya sebagian kecil etnis itu, yang dekat dengan istana, yang benar-benar bisa menikmati “fasilitas”.<br />
Sebagian kecil etnis Tionghoa yang dekat penguasa itu punya peran yang dominan di bidang ekonomi. Perekonomian negara “ditentukan” mereka. Kecemburuan sosial pun terus membesar bagai bola salju. Kecemburuan itu pula yang mendasari beberapa kali kerusuhan rasial yang menimpa etnis Tionghoa. Tak heran ketika krisis moneter 1997 melanda negeri ini, yang turut disebabkan ulah segelintir pengusaha Tionghoa, mereka kembali jadi bulan-bulanan rakyat yang bertahun-tahun menaruh dendam. Lagi-lagi, ulah sebagian kecil etnis Tionghoa harus dipikul rata akibat buruknya oleh mereka semua yang beretnis Tionghoa.<br />
Ketika Orde Baru tumbang dan kebebasan datang, etnis Tionghoa belum benar-benar terbebas dari ketakutan. Rakyat masih banyak yang menaruh curiga. Sentimen rasial masih tetap ada. Tapi, kebebasan dan harga diri etnis Tionghoa berangsur-angsur membaik. Terlebih ketika Gus Dur naik memerintah, kemanusiaan dan harga diri mereka benar-benar “pulih”. Mereka dibebaskan menggelar pertunjukan-pertunjukan budaya di depan umum, Kong Hu Cu diakui sebagai salah satu agama resmi di negeri ini, dan seterusnya.<br />
Kini, setelah lebih satu dasawarsa reformasi berlangsung, etnis Tiongha –sama seperti etnis-etnis lain– juga punya tanggung jawab untuk tetap menjaga keharmonisan hubungan antar-etnis.<b></b><br />
<br />
<br />
<a href="http://historia.co.id/?c=2&d=888" rel="nofollow" target="_blank">View the original article here</a><br />
<br />
<br />
<a href="http://www.elcinegratis.com.es/" rel="nofollow" target="_blank">Peliculas Online</a></div>
Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-44933440705392033462012-10-24T00:04:00.000-07:002012-10-24T00:04:00.094-07:00Bom Pekik Merdeka <P>“Merdeka,” bukan sekadar kata. Ia adalah salam nasional.</P><P>PASCAPROKLAMASI kemerdekaan 17 Agustus 1945, setiap kali orang bertemu pasti akan mengucapkan salam “Merdeka”. Bahkan, pekik perjuangan “Merdeka” ditetapkan Maklumat Pemerintahan tanggal 31 Agustus 1945 sebagai salam nasional, yang berlaku mulai 1 September 1945. Caranya ialah dengan mengangkat tangan setinggi bahu, telapak tangan menghadap ke muka, dan bersamaan dengan itu memekikkan “Merdeka”.</P><P>Pekik “Merdeka” menggema dimana-mana kala itu. Semboyan seperti “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” atau “Merdeka atau Mati” juga kerapkan diucapkan para pemuda dan pejuang, yang menunjukkan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan.</P><P>Adalah Soekarno yang membumikan pekik “Merdeka”. Ia menjadikannya senjata untuk menggembleng rakyat Indonesia agar semangat perjuangan terus menyala. Dalam banyak kesempatan bertemu rakyat, Bung Karno tak pernah lupa pekik “Merdeka”. Tapi Bung Karno sempat terpeleset gara-gara pekik itu.</P><P>Menurut Roso Daras, penulis buku Bung Karno: The Other Stories, Serpihan Sejarah yang Tercecer (2009) </EM>ini, pada 1955, Bung Karno berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam kelima. Jika para jemaah haji Indonesia umumnya pergi ke Tanah Suci menggunakan moda transportasi laut, Bung Karno menggunakan pesawat terbang.</P><P>Pertama-tama, Bung Karno dan rombongannya singgah di Singapura. Dari Singapura, pesawat tidak langsung menuju Arab, melainkan singgah di Rangoon, New Delhi, Karachi, Baghdad, Mesir… barulah mendarat di Saudi Arabia.</P><P>“Ketika di Singapura, ribu rakyat Indonesia yang berada di sana antusias menyambut Bung Karno. Mereka meminta Bung Karno memberi wejangan. Bung Karno pun berpidato. Dalam pidatonya yang berapi-api, beberapa kali Bung Karno memekik kata Merdeka… Merdeka… Merdeka...,” kata Roso Daras.</P><P>Usai berpidato, Bung Karno melanjutkan perjalanannya. Belum lama pesawat take off</EM> dari bandara Singapura, para wartawan geger. Mereka menyoal pekik “Merdeka” yang berkali-kali Bung Karno teriakkan di hadapan rakyat Indonesia.</P><P>Keesokan harinya, pers Singapura menulis besar-besar: “Presiden Sukarno menjalankan ill-behaviour</EM>“. Bung Karno dituding tak tahu sopan-santun. Kata pers Singapura, Singapura bukan negeri merdeka (waktu itu). Bung Karno tahu itu. Tapi, mengapa ia memekikkan “Merdeka”?</P><P>Selama Bung Karno di Tanah Suci, pers Singapura terus saja geger menyoal Bung Karno yang dituding ngompori rakyat Singapura untuk merdeka. Mereka bersiap menunggu kepulangan Bung Karno, yang pasti transit di Singapura.</P><P>Setibanya di Singapura, wartawan langsung menodong Bung Karno dengan berbagai pertanyaan seputar “bom pekik merdeka”.</P><P>“Tahukah Paduka Yang Mulia Presiden, bahwa tatkala Paduka Presiden meninggalkan kota Singapura di dalam perjalanan ke Mesir dan Tanah Suci, Paduka dituduh kurang ajar, kurang sopan, ill behaviour</EM>, oleh karena Paduka Presiden memekikkan pekik merdeka dan mengajarkan kepada bangsa Indonesia di sini memekikkan ‘merdeka’! Apa jawab Paduka Presiden atas tuduhan itu?” tanya wartawan kepada Bung Karno.</P><P>Bung Karno tenang menjawab, “Jikalau orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia, warganegara Republik Indonesia berjumpa dengan warganegara Republik Indonesia, pendek kata jikalau orang Indonesia bertemu dengan orang Indonesia, selalu memekikkan ‘merdeka’! Jangankan di surga, di dalam neraka pun.”<STRONG></STRONG></P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=2&d=922" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-10936841114294245722012-10-21T06:14:00.000-07:002012-10-21T06:14:00.160-07:00Kesamaan Sukarno dan Diponegoro <P>Sama-sama besar namanya, sama-sama tragis pula nasibnya.</P><P>KISAH mengenai Sukarno selalu menarik dibicarakan, termasuk kisah kesehariannya. Salah satunya percekcokan Sukarno dengan Sjahrir saat mereka diasingkan ke Prapat, Sumatra Utara, semasa agresi militer II. Sjahrir mengumpat Sukarno dengan kata-kata kasar. Bagi sejarawan Asvi Warman Adam, hal itu sangat melecehkan Sukarno baik sebagai kepala negara maupun tokoh bangsa.</P><P>Asvi menjadi pembicara dalam bedah buku karyanya Menyingkap Tirai Sejarah: Bung Karno dan Kemeja Arrow</EM> dan Bung Karno Dibunuh Tiga Kali </EM>di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, 29 Mei lalu. Dia berbicara hanya fokus kepada sebagian kecil dari isi buku-bukunya yang merupakan bunga rampai itu. “Rasanya cukup sulit untuk membahas atau membedah sebuah buku yang merupakan bunga rampai,” ujarnya.</P><P>Kisah percekcokan itu dimuat dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.</EM> Dengan bumbu imajinasi, Akmal Nasery Basral mengisahkannya lebih dramatis dalam novelnya, Presiden Prawiranegara</EM>. “Saya melihat buku itu sangat penting, novel sejarah sangat diperlukan,” ujarnya.</P><P>Namun, tak ada yang tahu persis bagaimana situasi sebenarnya percekcokan itu. Otobiografi Sukarno, menurut Asvi, terbit saat kekuasaan Sukarno terus dipereteli. “Jadi buku itu perlu diperiksa lagi.”</P><P>Selain kisah cekcok Sukarno-Sjahrir, banyak kisah menarik lainnya dalam buku itu. Selain Sukarno ataupun tokoh-tokoh bangsa lain yang populer, Menyingkap Tirai Sejarah: Bung Karno dan Kemeja Arrow</EM> juga berisi kisah tokoh-tokoh lain semisal AR Baswedan ataupun IJ Kasimo.</P><P>Pembicara lain adalah sejarawan Peter Carey, penulis biografi Pangeran Diponegoro. Carey, sebagaimana Asvi, menemukan banyak kesamaan antara Sukarno dan Pangeran Diponegoro. Selain diramalkan bakal jadi pemimpin dan dipengaruhi figur-figur perempuan dalam kehidupan mereka, kehidupan Sukarno dan Diponegoro sama-sama berakhir tragis. “Dua-duanya saya kira adalah sosok yang sangat penting dan menentukan dalam sejarah modern Indonesia,” ujar Carey. </P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=2&d=1022" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-54395848196920929902012-10-18T08:03:00.000-07:002012-10-18T08:03:00.344-07:00Dari Isolasi hingga Industri <P>Jepang berhasil membangun dan mengejar ketertinggalan dari Barat setelah mengisolasi diri dan hancur karena perang. </P><P>PADA 8 Juli 1853, empat kapal uap dan sebuah kapal Induk, USS Powhatan, tiba di Pelabuhan Edo, Tokyo. Armada kapal itu, yang kelak dikenal dengan nama armada Kapal Hitam (kurofune</EM>), dipimpin seorang perwira Angkatan Laut Amerika Komodor Matthew C. Perry. </P><P>Orang-orang Jepang terkesima. Tak pernah mereka menyaksikan sesuatu seperti itu sebelumnya. Mereka mengira kapal-kapal itu adalah ular-ular naga berukuran maha besar yang mendenguskan asap karena marah. Mereka belum tahu kapal uap telah diciptakan. Mereka kian terkejut ketika tahu bahwa armada kapal itu diperlengkapi senjata berukuran besar. Sejak 1639, pemerintahan militer Tokugawa menerapkan politik isolasi (Sakoku</EM>) yang membatasi secara ketat pengaruh asing yang masuk ke dalam negeri.</P><P>Dengan kekuatan senjata, armada Kapal Hitam memaksa Jepang menerima kedatangannya. Tahun berikutnya Amerika dan Jepang menandatangani sebuah traktat kerjasama, yang mengakhiri 2,5 abad politik isolasi, juga meruntuhkan kekuasaan Dinasti Tokugawa pada 1868.</P><P>Jepang memasuki era baru, mulai membuka diri. Kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh pemerintahan militer dikembalikan kepada kaisar. Kaisar menjadi kepala negara, namun pemerintahan dan politik dijalankan sekelompok intelektual Jepang. Negeri Matahari Terbit mencanangkan program reformasi besar-besaran dengan semboyan “Negara yang Kaya dan Angkatan Bersenjata yang Kuat” (fukoku-kyohei</EM>). Tujuan utamanya menciptakan sebuah bangsa yang mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa Barat. Reformasi itu kemudian dikenal dengan nama Restorasi Meiji.</P><P>Restorasi ini merupakan sebuah perombakan besar-besaran terhadap nyaris setiap aspek kehidupan di Jepang. Sistem pembagian kerja berdasarkan kelas dihapuskan, wajib belajar diberlakukan, wajib militer menjadi satu keharusan, parlemen (Diet</EM>) dibentuk berdasarkan sebuah konstitusi baru yang diberlakukan pada 1889.</P><P>Untuk mengejar ketertinggalannya dari Barat, Jepang mendatangkan lebih dari 3.000 tenaga ahli dari Barat dengan beragam keahlian. Tenaga ahli itu bertugas mengajarkan sains modern, bahasa asing, dan teknologi. Pemerintah Meiji juga mengirimkan ribuan siswa untuk belajar di luar negeri.</P><P>Sistem perbankan modern dibentuk untuk merangsang berbagai jenis bisnis yang baru berkembang di Jepang. Roda perekonomian digerakkan dengan mengimpor bahan mentah dari luar negeri dan kemudian mengekspor produk yang sudah jadi. Restorasi Meiji berhasil menjadikan Jepang sebagai negara Asia pertama yang sukses mengusung industrialisasi. Kondisi ini tetap dipertahankan setelah masa Meiji berakhir pada 1912. Penekanan terhadap pertumbuhan ekonomi tetap menjadi fokus Jepang pada masa Taisho (1912-1926).</P><P>Militer Jepang juga ikut tumbuh dan mendorong Jepang melakukan ekspansi militer ke berbagai negara: China, Taiwan, Korea, dan kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ia juga menjadi salah satu alasan keikutsertaan Jepang dalam Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada 1945 menghentikan semuanya. Jepang luluh-lantak. Infrastruktur rusak parah.</P><P>Pemerintah Jepang harus membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran. Awalnya, mereka mendapat banyak bantuan dari Amerika. Namun tak ada yang mengira perbaikan ekonomi Jepang bisa dicapai dalam waktu relatif singkat. Pada 1960 saja kondisi ekonominya sudah menyamai keadaan sebelum perang. Ini membuat banyak orang terkejut dan menyebutnya sebagai keajaiban. Pertumbuhan cepat ini terus berlangsung hingga 1990-an.</P><P>Menurut R. Taggart dalam The Weight of The Yen</EM>, salah satu kunci kesuksesan Jepang terletak pada kemampuannya merencanakan secara detail langkah-langkah bisnis yang harus diambil dalam 20-50 tahun ke depan. Mereka merencanakan secara teliti cara-cara terbaik merebut pasar. Taktik yang biasa dipakai adalah membanjiri pasar dengan barang-barang yang sudah dikenal pasar tapi lebih berkualitas.</P><P>Jepang memulai kemajuan ekonominya dengan meniru barang-barang yang sudah ada. Mereka membuat imitasi kasar dari kamera-kamera Jerman seperti Leica dan Rolliflex. Tapi mereka terus meningkatkan kemampuan untuk memproduksi benda-benda tersebut, sehingga menghasilkan barang-barang dengan kualitas yang lebih tinggi. Pada akhirnya perusahaan Jepang malah mampu berinovasi dan mengalahkan barang produksi Barat. Perlahan tapi pasti Jepang mulai merebut pasar di banyak lini, terutama peralatan optik, elektronik, dan industri otomotif.</P><P>Salah satu contoh keberhasilannya, mobil-mobil Jepang menyerbu pasar Amerika pada 1970-an. Jepang yang semula hanya meniru, berhasil mengembangkan mobil-mobil hemat bahan bakar berukuran kecil dengan harga lebih murah. Saat itu pemerintah Amerika mulai sadar lingkungan dan menerapkan serangkaian kebijakan yang mewajibkan penghematan bahan bakar, pengendalian emisi, sekaligus menerapkan standar keselamatan yang lebih tinggi. Tapi produsen mobil Amerika tak siap menghadapi perubahan kebijakan itu.</P><P>Satu dekade kemudian, mobil-mobil Jepang mengambil-alih posisi pertama dalam industri mobil dunia. Di Amerika sendiri, satu dari empat mobil yang terjual adalah mobil Jepang. Detroit, pusat industri mobil Amerika, kalang-kabut. Bahkan Chrysler, salah satu perusahaan mobil terbesar Amerika, nyaris gulung tikar.</P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=2&d=885" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-46250423791458246202012-10-16T14:07:00.000-07:002012-10-16T14:07:00.747-07:00Genosida VOC <P>Pala menjadi berkah sekaligus bencana bagi orang Banda, yang dibunuh dan terusir dari tanah airnya.</P><P>PADA 8 April 1608, Laksmana Pieterszoon Verhoeven, bersama 13 kapal ekspedisi tiba di Banda Naira. Perintah Heeren Zeventien, para direktur VOC di Amsterdam, sebagaimana ditulis Frederik W.S., Geschiedenis van Nederlandsch Indie</EM>, kepada Laksamana Pieterszoon Verhoeven: "Kami mengarahkan perhatian Anda khususnya kepada pulau-pulau di mana tumbuh cengkeh dan pala, dan kami memerintahkan Anda untuk memenangi pulau-pulau itu untuk VOC, baik dengan cara perundingan maupun kekerasan."</P><P>Sejak lama Banda dikenal sebagai penghasil utama pala (Myristica fragrans</EM>). Bunganya yang dikeringkan disebut “fuli”. Bunga ini membungkus daging buah pala. Sejak dulu pala dan fuli dimanfaatkan untuk rempah-rempah, yang mengundang bangsa Eropa untuk datang.</P><P>Sesampai di Banda, Verhoeven mendapati Inggris di bawah pimpinan Kapten William Keeling telah berdagang dengan rakyat Banda dan pedagang Belanda. Ia tak senang. Apalagi rakyat Banda tak mau berunding dengannya. Ia pun menuju ke Pulau Naira beserta sekitar 300 orang prajurit untuk membangun Benteng Nassau, di bekas benteng yang pernah dibangun Portugis. </P><P>Melihat pembangunan benteng itu, para Orangkaya</EM> Banda–pemuka rakyat atau orang yang disegani– mau berunding tapi dengan syarat ada jaminan sandera. Verhoeven setuju, dan menunjuk dua pedagang bernama Jan de Molre dan Nicolaas de Visscher. Lalu Verhoeven berangkat ke tempat perundingan bersama dewan kapten, para pedagang, pasukan bersenjata lengkap, dan tawanan Inggris sebagai hadiah. Sesampainya di tempat perundingan, di bawah sebatang pohon di dekat pantai bagian Timur Pulau Naira, mereka tak menemukan para Orangkaya</EM>.</P><P>Verhoeven mengutus penerjemah Adriaan Ilsevier untuk mencari para Orangkaya</EM>. Di hutan kecil yang sekarang menjadi masjid Kampung Baru, Ilsevier menemukan para Orangkaya</EM>. Mereka ketakutan melihat pasukan bersenjata lengkap, sehingga meminta Verhoeven datang hanya ditemani beberapa orang. Verhoeven pun menemui para Orangkaya </EM>di tempat yang sekarang disebut Kampung Verhoeven. Ternyata ini jebakan. Verhoeven beserta saudagar tinggi Jacob van Groenwegen dan 26 orang Belanda lainnya dibunuh. Jan Pieterszoon Coen, juru tulis Verhoeven, menyaksikan kejadian tersebut. </P><P>Sepeninggal Verhoeven, Laksamana Simon Janszoon Coen menjadi pemimpin baru. Ia menyelesaikan pembangunan Benteng Nassau.</P><P>Pada 1617 Heeren Zeventien menunjuk Jan Pieterzoon Coen sebagai Gubernur Jenderal. Setelah mendirikan markas besar VOC di Batavia, Coen ingin merealisasikan monopoli pembelian pala di Banda. Sebelumnya Belanda tak mampu melakukannya karena harga jual pala mereka lebih mahal ketimbang Inggris, bahkan penduduk lokal. Coen beranggapan monopoli pala baru bisa dilakukan hanya dengan mengusir dan melenyapkan penduduk asli Banda.</P><P>Pada 1621, Coen memimpin sendiri pendudukan Pulau Banda. Berangkatlah armada berkekuatan 13 kapal besar, sejumlah kapal pengintai, dan 40 jungku dan sekoci. Ia membawa 1.600 orang Belanda, 300 narapidana Jawa, 100 samurai Jepang, serta sejumlah bekas budak belian. Begitu sampai di Benteng Nassau, Coen dan pasukannya menyerang Pulau Lontor dan berhasil menguasai seluruh pulau. Desa Selamon dijadikan markas besar. Balai desanya jadi kantor Gubernur Banda Kapten Martin ‘t Sonck. Masjid di sebelah balai jadi penginapan pasukan, meski Orangkaya</EM> Jareng dari Selamon keberatan.</P><P>Pada suatu malam, lampu gantung dalam masjid terjatuh. Mengira akan ada serangan, t’Sonck menuduh penduduk Lontor. Malam itu juga, t’Sonck mengerahkan tentaranya untuk mengejar penduduk yang melarikan diri ke hutan dan puncak gunung. Penduduk yang ditemukan, dibunuh. Rumah dan perahu dibakar atau dihancurkan. Mereka yang berhasil lari, sekitar 300 orang, mencari perlindungan pada Inggris atau ke Pulau Kei dan Aru. Tak kurang dari 2.500 orang meninggal, karena ditembak, dianiaya, atau kelaparan. Dari 14.000 orang rakyat Banda, jumlah penduduk asli kepulauan Banda tinggal 480 orang setelah peristiwa pembantaian itu.</P><P>Mereka juga menangkap para Orangkaya </EM>dengan tuduhan sebagai pemicu kerusuhan. Delapan Orangkaya </EM>paling berpengaruh dimasukkan ke dalam kurungan bambu yang dibangun di luar Benteng Nassau. Enam algojo Jepang lalu masuk dan memotong tubuh mereka menjadi empat bagian. Setelah itu algojo memenggal kepala 36 Orangkaya</EM> lainnya dan memotong badan mereka. Potongan kepala dan badan ditancapkan pada ujung bambu untuk dipertontonkan kepada masyarakat. Pembantaian 44 Orangkaya</EM> itu terjadi pada 8 Mei 1621. </P><P>Setelah kepulauan Banda kosong dari penduduk asli, Coen mendatangkan orang dari berbagai bangsa untuk bekerja di pulau ini. Umumnya berasal dari Makassar, Bugis, Melayu, Jawa, Cina, sebagian Portugis, Maluku dan Buton. VOC memberikan hak pakai kebun-kebun pala kepada bekas tentara dan pegawai VOC. Buruh kebun adalah budak yang didatangkan dari berbagai penjuru tanah air. Hasilnya dijual kepada VOC.</P><P>Di lokasi pembantaian itu kini berdiri Monumen Parigi Rante. Nama 40 pejuang dan Orangkaya</EM> Banda terukir di sana bersama sederet tokoh pejuang Indonesia yang pernah dibuang ke Banda seperti Tjipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, Hatta, dan Sjahrir.<STRONG></STRONG></P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=2&d=924" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-79852434820939939972012-10-14T00:10:00.000-07:002012-10-14T00:10:00.606-07:00Dari Cincai sampai Siomay <P>Komunitas Tionghoa telah menancapkan pengaruhnya di negeri ini semenjak berabad lalu. Setitik nila tak semestinya merusak susu sebelanga.</P><P>SEJARAWAN Denys Lombard, melalui magnum opusnya Nusa Jawa Silang Budaya</EM>, memandang penting pengaruh komunitas Cina negeri ini. Pengaruh kebudayaan itu tersebar mulai gaya bangunan, pakaian, bahasa bahkan sampai makanan. Sebegitu dekatnya, sehingga tanpa disadari warisan budaya itu pun melekat erat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Seperti tak ada lagi batas.</P><P>Tahun ini boleh saja pemerintah Indonesia merayakan 60 tahun hubungan diplomatiknya dengan China, kendati usia itu tidak genap karena sempat terinterupsi selama kurang lebih 15 tahun di bawah zaman Orde Baru. Adalah fakta sejarah jika osmosis budaya Tionghoa ke dalam budaya Nusantara sudah terjadi semenjak ratusan tahun lalu.</P><P>Namun demikian selalu saja ada penilaian minor terhadap etnis minoritas ini, mulai dari soal penguasaan sumberdaya ekonomi sampai dengan gaya hidup ekslusif yang dilakoni mereka. Stereotipe tentang Tionghoa yang picik, culas, dan menghalalkan segala cara untuk mencari uang pun menyebar luas di kalangan warga pribumi. Padahal, sifat yang sama juga bisa jadi dimiliki oleh komunitas etnis lainnya di negeri ini, tak terkecuali pribumi sendiri. Stigma itu tentu tidak datang dengan sendirinya di dalam benak warga non-Tionghoa. Ada proses sejarah yang melatarinya.</P><P>Perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap warga Tionghoa dengan memisahkan mereka untuk tinggal di gheto-gheto</EM> tersendiri dipercaya menjadi sabab musababnya. Tapi bila merunut lebih jauh lagi, justru ada cerita tentang kebersamaan warga Tionghoa bahu-membahu dengan warga pribumi melawan Belanda, khususnya pascaperistiwa pembantaian 1740 di Batavia. Bahkan Sumanto Al-Qurtuby dalam bukunya Arus Cina-Islam Jawa</EM> mengajukan tesis kalau penyebaran Islam di Nusantara tak lain tak bukan berkat jasa para orang-orang Tionghoa.</P><P>Keharmonisan hubungan itu perlahan pudar seiring kebijakan pemerintah kolonial yang kemudian menempatkan warga Tionghoa, mengutip sejarawan Didi Kwartanada, sebagai minoritas perantara (Middleman Minority</EM>).“Golongan Tionghoa dimanfaatkan sebagai perantara ataupun “mesin pencetak uang”, baik oleh raja-raja maupun oleh penguasa kolonial,” tulis Didi dalam makalahnya, “Tionghoa dalam Dinamika Sejarah Indonesia Modern: Refleksi Seorang Sejarawan Peranakan.”</P><P>Dari sanalah peran warga Tionghoa dilembagakan; seakan ditakdirkan sebagai kelompok pedagang yang cuma bertugas menghasilkan uang dan bisa diperas sewaktu-waktu demi kepentingan ekonomi dan politik tertentu. Peran itu kembali dikukuhkan semasa Orde Baru. Hak-hak sipil warga Tionghoa dibatasi, namun sebagian kecil dari mereka, khususnya yang memiliki akses ke kekuasaan, mendapat peluang untuk menjalankan bisnis berbasis rente. Sungguh sebuah kebijakan yang ambigu.</P><P>Peran sejarah komunitas Tionghoa, seperti dalam bidang bahasa, sastra dan pers pun dilupakan. Komunitas Tionghoa yang identik dengan kegiatan dagang dan tuduhan komunis yang dilabelkan kepada mereka pascaperistiwa G.30.S menghapus sumbangsih mereka pada pembangunan bangsa ini. Salah satunya yang pernah dilakukan oleh Sin Po.</EM> Sebagai harian terkemuka yang direken berorientasi ke nasionalisme Tiongkok justru koran Tionghoa pertama yang berani menggunakan istilah Indonesia menggantikan istilah inlanders</EM>. Ang Jan Goan dalam memoarnya mengakui kalau tindakan itu bukannya tanpa akibat: Sin Po</EM> harus menanggung kerugian akibat pencabutan iklan pemerintah kolonial.</P><P>Pandangan miring lain yang juga dilabelkan kepada komunitas Tionghoa adalah cara mereka beradaptasi dengan situasi politik yang cepat berubah. “Pada zaman Belanda mereka bersikap pro-Belanda. Pada saat Jepang menjadi tuan, mereka berkawan dengan Jepang. Kemudian datanglah revolusi dan mereka bersikap baik kepada kita…Akhirnya yang bisa dikatakan hanyalah bahwa mereka ini adalah kaum oportunistis yang tidak bisa diperbaiki,” tulis Didi Kwartanada mengutip Abu Hanifah dalam Tales of a Revolution</EM>. Tak aneh jika istilah “cincai” kerapkali digunakan untuk menunjukkan sikap kompromi terhadap segala sesuatu yang bisa mendatangkan untung/keselamatan.</P><P>Seperti tak puas dengan stigmatisasi, penggunaan kata “Cina” pun kerapkali digunakan dengan tujuan insinuasi terhadap komunitas Tionghoa. “Padahal istilah itu bukan lahir dari warga keturunan Tionghoa sendiri,” ujar Eddie Lembong, mantan ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) yang kini mengelola Yayasan Nabil.</P><P>Eddie kemudian mengutip teks pidato pengukuhan guru besar Prof. Dr. A.M. Cecillia Hermina Sutami yang memberikan penjelasan bahwa kata “Cina” (Inggris: China</EM>), (Belanda: China/Chinees</EM>), (Jerman: Chinesische</EM>), (Perancis: Chinois</EM>) berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “daerah yang sangat jauh”. Kata “China” sendiri sudah disebutkan di dalam buku Mahabharata sekitar 1400 tahun sebelum Masehi. Istilah itu baru dibawa oleh bangsa-bangsa Barat yang mulai datang ke Nusantara sejak awal Abad ke-17. Eddie lebih cenderung kepada istilah Tionghoa. “Istilah Tionghoa jauh lebih tepat untuk digunakan karena sebutan itu datang dari kalangan Tionghoa sendiri,” kata pendiri sebuah perusahaan farmasi terkemuka itu.</P><P>Pada era feformasi, terutama saat Gus Dur memimpin negeri ini, angin segar perubahan pun berhembus semilir. Hak-hak sipil warga Tionghoa untuk menjalankan kegiatan kesenian dan kebudayaannya kembali pulih. Bahkan hari raya Imlek dijadikan libur nasional. Gus Dur memang benar. Minoritas Tionghoa adalah bagian dari “kekitaan” sebagai sebuah bangsa. Mereka memperkaya khasanah keberagaman negeri ini.</P><P>Kekayaan budaya Tionghoa adalah juga kekayaan negeri ini, kuliner salah satunya. Ada beragam macam menu makanan yang datang dari negeri nun jauh di sana yang kemudian tanpa kita sadari seakan makanan itu adalah produk budaya bangsa tanpa harus khawatir dikenakan royalti oleh negeri asalnya. Dan komunitas Tionghoalah mengenalkan itu semua. Bayangkan jika Anda harus membayar royalti untuk sepiring siomay yang Anda santap di sore hari.</P><P>Enampuluh tahun perayaan hubungan diplomatik Indonesia-China seyogianya jadi momentum untuk hubungan yang lebih erat, bukan hanya bagi kedua negara, melainkan pula buat saudara kita warga keturunan Tionghoa dan seluruh rakyat Indonesia apa pun warna kulit, agama, dan sukunya.<STRONG></STRONG></P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=2&d=892" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-84039491923663565972012-10-11T06:45:00.000-07:002012-10-11T06:45:00.369-07:00Djojobojo Menentang Jepang <P>Jepang datang bukan hanya untuk memenuhi ramalan Jayabaya tapi juga mengingkarinya. Perlawanan pun muncul dari gerakan Djojobojo.</P><P>RAMALAN Jayabaya telah lama hidup di tengah masyarakat Jawa. Mereka yakin pemerintah kolonial Belanda akan berakhir karena ramalan Jayabaya menyebutkan, “ayam jantan berbulu kekuning-kuningan, yang datang dari sebelah timur laut akan mengusir kerbau bule bermata biru.” Masyarakat Jawa yakin, tulis Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional I, </EM>yang dimaksud ayam jantan berbulu kekuning-kuningan yang datang dari timur laut adalah Jepang.</P><P>Tak heran jika kedatangan Jepang disambut dengan suka-cita oleh rakyat. Dan untuk menarik dukungan rakyat demi kepentingan perang, “Jepang juga ternyata menyebarkan selebaran dengan pesawat-pesawat udara yang dengan pandai mempergunakan ramalan Djojobojo untuk memberi janji kepada rakyat Indonesia,” tulis Sidik Kertapati dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. </EM>Selebaran itu berbunyi: “Raja Djojobojo di Kediri pernah berkata bahwa bangsa kulit kuning akan datang menolong bangsa Jawa dan sekarang kamilah yang datang menolong...”</P><P>Namun, Jepang tentu tak mengakui penggalan ramalan Jayabaya berikutnya yang menyebutkan, “bangsa kulit kuning akan memerintah tanah Jawa hanya selama seumur jagung.” Penggalan ini pula yang justru menjadi harapan bukan hanya rakyat kecil tapi juga cendekiawan dan kalangan militer, misalnya para pemuda yang masuk Pemuda Tanah Air (Peta). Mereka percaya Jepang akan pergi dan Indonesia akan merdeka.</P><P>Dengan menggunakan nama ramalan itu pula, kelompok komunis, yang menetapkan fasisme sebagai lawan sejak diputuskan dalam Kongres Komunis Internasional VII di Moskow pada 1935, melakukan perlawanan terhadap Jepang dengan membentuk gerakan Djojobojo. Gerakan ini dipimpin Mr Mohammad Joesoeph, berpusat di Bandung dan mencapai daerah sekitarnya, Indramayu dan Cirebon. Di antara kader-kadernya terdapat Bahri, Hidayat, K. Muhidin, Suminta, Mohammad Sain, O. Sugih, Parnawidjadja, dan Azis.</P><P>Menurut Soeranto Soetanto dalam Pemberontakan PKI Mr. Mohammad Joesoeph Tahun 1946 di Cirebon, </EM>Joesoeph lahir di Balongan, Indramayu, Jawa Barat, pada 17 Mei 1910. Dia anak seorang pegawai pemerintah kolonial Belanda, sehingga dapat mengenyam pendidikan ELS (Europeesch Lagere School), HBS V (Hogere Burger School), bahkan mendapatkan ijazah sarjana hukum dari Universitas Utrecht, Belanda, pada 1937 –selain sempat belajar ilmu ekonomi di Universitas Berlin. Sekembalinya ke Indonesia, dia menjadi pengacara pada 1938, dan mendapatkan simpati karena selalu membantu rakyat yang lemah di pengadilan. </P><P>Joesoeph juga menceburkan diri ke dalam dunia politik dan berbagai organisasi. Pada 1939, dia mendirikan Persatuan Supir Indonesia (Persi) di Cirebon. Organisasi sopir yang didirikannya, tulis Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid I</EM>, tampaknya berhasil dengan program radikalnya, yang melihat adanya ikatan antara perjuangan serikat buruh dan aksi politik sebagai yang diharapkan dan mutlak diperlukan. “Sebagai kelanjutannya Joesoef juga ikut berperan dalam mendirikan Partai Buruh Indonesia tahun 1941,” tulis Poeze.</P><P>Pada 1942, Joesoeph menjadi anggota Gerindo di Bandung, karenanya menjalankan politik antifasis. Masih di Bandung, dia juga menjadi ketua Gabungan Perdagangan Indonesia (Gapindo) pada 1943. Sebagai kekuatan gerakan Djojobojo, “Joesoeph mengorganisasikan sopir-sopir taksi/kendaraan bermotor lainnya di wilayah Cirebon-Bandung-Tasikmalaya,” tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.</EM></P><P>Menurut Soeranto, dalam pergaulan sehari-hari di mata masyarakat Cirebon, “Joesoeph mempunyai sifat sombong, angkuh, tetapi penuh dengan keterus-terangan pribadinya.” Di kalangan pemuda, dia dikenal sebagai “mister gendeng” karena berani melawan dan memaki-maki Jepang di muka umum. “Karena itu, banyak pemuda yang kagum dengan keberaniannya. Bahkan, sebagai revolusioner tua, pengaruhnya besar antara lain memengaruhi D.N. Aidit,” tulis Gie.</P><P>Dalam kegiatan revolusionernya, Djojobojo berhubungan dengan grup antifasis Mr Soeprapto. Lahir di Tuban pada 1905, Soeprapto aktif di Jong Java</EM>, Indonesia Muda, Suluh Pemuda Indonesia, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia, dan lulus fakultas hukum Recht Hogere School (Sekolah Tinggi Hukum) Jakarta pada 1940. “Sejak menjadi ketua Persi Cirebon, Joesoeph berkenalan dengan Soeprapto yang menjadi pimpinan Persi Semarang,” tulis Soeranto. Beberapa kader Soeprapto antara lain Abdullah, Sukirman, Abioso, Marlan, dan Rubia.</P><P>Menurut Sidik Kertapati, kegiatan Djojobojo dan kelompok Soeprapto terutama terdapat di kalangan kaum buruh bermotor, buruh minyak, perkebunan, dan sebagainya, di mana mereka melakukan taktik sabotase untuk menggagalkan jalannya produksi untuk tujuan perang. “Pada tahun 1943 gerakan Djojobojo membongkar rel kereta api antara Banjar dan Pangandaran yang membawa akibat tergulingnya kereta api militer Jepang dan putusnya hubungan antara kedua tempat itu untuk beberapa waktu lamanya,” tulis Sidik. “Juga di Nagrek, Garut, sabotase ini dilakukan lagi, tapi gagal.”</P><P>Seperti pada Gerakan Rakyat Anti Fasis (Geraf) yang dipimpin Amir Sjarifuddin, Gie menaruh keraguan pada kegiatan Djojobojo. “Kita tidak dapat menilai daya gerak dan aktivitas Joyoboyonya. Walaupun Sidik Kertapati menyatakan bahwa mereka pernah menyabot kereta api, sebagai grup bawah tanah hasil terbesarnya terbatas pada aksi-aksi propaganda,” tulis Gie. Soeranto mengemukakan pendapat senada: “Gerakan ini terbatas hanya pada aksi propaganda anti-Jepang.”</P><P>Meski begitu, Djojobojo masuk daftar hitam Jepang. Menurut Sidik, untuk menangkap anggota Dojobojo, Jepang mengadakan konferensi Joyoboyo palsu dengan menyiarkan undangannya di media massa. “Banyak di antara kader revolusioner yang tidak waspada terpancing karena tipu-muslihat itu kemudian tertangkap,” tulis Sidik. “Berpuluh kader dan anggota Djojobojo dimasukan ke penjara, dan di antara mereka yang menjadi korban dan dihukum mati adalah Parnawidjadja, Lukman, dan Tas’an.”</P><P>Joesoep sendiri tak tertangkap. Dia menyusup menjadi siswa atau penghuni Asrama Indonesia Merdeka di Kebon Sirih 80 Jakarta yang didirikan pada 1944 atas dukungan Angkatan Laut Jepang (Kaigun)</EM>. Di asrama yang dikelola Mr Ahmad Subardjo dan Wikana ini, tulis Soeranto, Joesoeph membangun sel PKI bersama Soeprapto, yang kemudian sel ini menjelma menjadi PKI legal pada 21 Oktober 1945 dan diakui pemerintah pada 7 November 1945. Tak lama kemudian, PKI Joesoeph melakukan pemberontakan di Cirebon pada 12 Februari 1946. Joesoeph dan Soeprapto divonis empat tahun penjara.</P><P>Petualangan “mister gendeng” berakhir pada 1953. Dia meninggal dalam kecelakaan lalulintas.<STRONG></STRONG></P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=2&d=598" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-3271863955525635782012-10-09T10:53:00.000-07:002012-10-09T10:53:00.155-07:00Jimat Penguat <P>Para pemberontak Banten yakin dengan jimat dapat memenangi perang.</P><P>PADA 29 September 1887, para pemberontak berkumpul di rumah pimpinan mereka, Haji Wasid, untuk membahas pengumpulkan senjata. Namun para kiai berpendapat sebaiknya tak usah mencari senjata api. Alasannya, mayoritas pemberontak belum bisa menggunakannya. Untuk mendatangkannya dari luar Banten juga sulit. Mereka bisa mengandalkan kelewang dan yakin akan memenangi perang suci melawan Belanda dan antek-anteknya. </P><P>Selama tiga bulan terakhir tahun 1887 hingga pertengahan tahun 1888, para pemberontak mempersiapkan diri dengan kegiatan pencak silat, pengumpulan dan pembuatan senjata, dan propaganda ke luar Banten. “Kegiatan lain terus dilakukan, seperti membakar semangat dengan khotbah-khotbah tentang ramalan-ramalan dan ajaran tentang Perang Sabil dan mendorong mereka untuk memakai jimat dan ikut dalam pertemuan-pertemuan keagamaan,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888. </EM></P><P>Dalam lampiran laporan Kontrolir Serang tanggal 19 Mei 1889 No 16, Snouck Hurgronje menerjemahkan jimat Arab yang digunakan para pemberontak Banten itu. Menurutnya, sebagaimana dikutip E. Gobée dan C. Adriaansee dalam Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936</EM>, </EM>jimat itu bertuliskan: “Inilah penyelamat yang diberkahi. Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ya Allah, ya Yang Hidup, ya Yang Berdiri Sendiri, Engkaulah kujadikan kekuatanku. Maka lindungilah aku dengan perlindungan selengkap-lengkapnya penjagaan...”</EM></P><P>Di dalam jimat juga terdapat gambaran berkekuatan mistik, berupa sebuah lingkaran yang dikelilingi nama empat malaikat tertinggi dan nama-nama Allah; Muhammad; (empat khalifah) Abu Bakar, Umar, Usman, Ali; (putra-putra Ali) Hasan, Husain; (dua sahabat Nabi Muhammad) Sa’ad dan Sa’id; sementara di tengahnya terdapat surat Thaha ayat 39. Ada pula gambar pedang Ali bermata </EM>dua. Termaktub di situ: “Tidak ada orang [pahlawan] selain Ali, dan tidak ada pedang selain Du’l-faqar (maksudnya Zul faqar).”</P><P>Menurut Seyyed Hossein Nasr, ungkapan “tidak ada orang (pahlawan) selain ‘Alî, dan tidak ada pedang selain Du’l-faqar (maksudnya Zul faqar)” atau “l</EM>a</EM> fat</EM>a</EM> ill</EM>a</EM> ali, l</EM>a</EM> saifa ill</EM>a</EM> dz</EM>u</EM> al-fiq</EM>a</EM>r, </EM>(dz</EM>u</EM> al-fiq</EM>a</EM>r </EM>adalah pedang bermata dua terkenal milik Ali)”, </EM>secara tradisional dinisbahkan kepada Malaikat Jibril, yang dia sampaikan kepada Nabi.</P><P>“Pribadi Ali yang bijak sekaligus ksatria, perenung sekaligus pelindung, sepanjang abad senantiasa mendominasi seluruh horizon futuwwah </EM>atau Keksatriaan Spiritual,” tulis Hossein Nasr, “Kekesatriaan Spiritual”, termuat dalam Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi.</EM> </EM>Tentu saja, futuwwah </EM>yang diinginkan para pemberontakan Banten dari jimat itu adalah “keksatriaan fisik”.</P><P>Hurgronje juga menulis, “Selebihnya...<STRONG> </STRONG>jimat ini hanya memuat doa-doa pengampunan dosa dan rahmatan ‘ind al-maut </EM>(rahmat dalam kematian).”</P><P>Naskah tersebut, lanjut Hurgronje, pasti dibuat dengan pertimbangan gerakan di Banten dan dapat dipakai sebagai jimat untuk Perang Sabil.</P><P>Jimat itu, tulis Martin van Bruinessen, diperoleh dari Mekah karena Mekah dianggap sebagai pusat kosmis utama dan sumber ngelmu </EM>atau kesaktian. Dalam kosmologi Jawa, seperti halnya kosmologi Asia Tenggara lainnya, pusat-pusat kosmis, titik temu antara dunia fana dan alam supranatural, memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung, gua dan hutan tertentu serta tempat angker lainnya bukan hanya diziarahi sebagai ibadah tapi juga dikunjungi untuk mencari ilmu (ngelmu)</EM> alias kesaktian dan legitimasi politik (wahyu –</EM>istilah yang dipinjam kerajaan Mataram dari Islam dengan mengubah artinya).</P><P>“Setelah orang Jawa mulai masuk Islam, Mekah-lah yang dianggap sebagai pusat kosmis utama. Karena Mekah merupakan kiblat bagi seluruh umat Islam dan tempat wahyu turun kepada Nabi, sehingga Mekah menjadi pusat keilmuan Islam,” tulis Van Bruinessen dalam “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji,” dimuat di Ulumul Qur’an</EM>, 1990.</P><P>Menurut Sartono, pemimpin-pemimpin pemberontak dan pengikutnya yang disilaukan oleh keyakinan tak dapat dikalahkan –salah satunya karena jimat– dalam Perang Sabil, tak menyadari bahwa organisasi dan strategi militer yang lebih efektif dari Belanda membawa mereka kepada bencana. </P><P>Satu batalyon tentara dari Batavia memukul-mundur dan akhirnya melumpuhkan para pemberontak. Para pemimpinnya, termasuk Haji Wasid, tewas.</P><P>Pada akhirnya, tradisi jimat (ngelmu)</EM> lestari hingga kini dan menjadi sumber kekuatan jawara-jawara Banten. Baik “jawara putih” yang memperoleh kesaktiaan dari sumber-sumber agama Islam maupun “jawara hitam” dari tradisi pra-Islam, jangjawokan</EM> atau elmu Rawayan</EM>. “Meskipun demikian, kenyataannya sulit dibedakan secara tegas antara jawara putih dan jawara hitam karena umumnya mereka menggunakan kedua sumber tersebut. Sehingga dijumpai praktik-praktik magis yang diawali dengan pembacaan syahadat atau ayat-ayat Alquran kemudian disambung dengan membaca sejenis jangjawokan</EM>,” tulis Agus Fahri Husein dalam Tasbih dan Golok</EM>.</EM></P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=2&d=1030" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-11171208388328864372012-10-08T08:43:00.000-07:002012-10-08T08:43:00.143-07:00DNA Tan Malaka “Menghilang” <P>Proses pemeriksaan DNA Tan Malaka masih berjalan. Akankah sisa-sisa kerangka Tan Malaka dimakamkan di Kalibata sebagai pengakuan dari pemerintah?</P><P>TAN MALAKA merupakan tokoh antikolonial yang mobilitasnya sangat tinggi. Selama 30 tahun dia melalang-buana, dari Pandan Gadang (Suliki) hingga Surabaya, dari Penang hingga Amsterdam. Dia selalu waspada karena bertahun-tahun jadi buronan intel. Polisi kolonial mengganjarnya dengan sebutan “jago menghilang”.</P><P>“Rupanya setelah meninggal pun kemampuan menghilang Tan Malaka tak berkurang sehingga DNA-nya sulit dicari,” canda sejarawan Asvi Warman Adam dalam konferensi pers laporan hasil pemeriksaan DNA atas kerangka yang diduga Tan Malaka di Wisma Shalom, Jakarta Pusat (9/1). “Dia tokoh yang mempunyai reputasi internasional, sehingga tampaknya DNA-nya pun harus diperlakukan secara internasional.”</P><P>Tim Identifikasi Tan Malaka, diwakili dokter spesialis forensik Djaja Surya Atmadja, menyatakan bahwa tim telah berkonsultasi dengan Dr Kim Soon Hee, pakar DNA dari National Institute of Scientific Investigation (NISI) Korea Selatan. Tim juga menghadiri dan membahas sampel DNA itu ke beberapa simposium seperti 3rd Asean Forensic Science (3rd AFSN) di Seoul, Korea Selatan, dan 19th World Meeting of the International Association of Forensic Sciences di Madeira, Funchal, Portugal.</P><P>Pada 17-21 Oktober 2011, salah seorang anggota tim mengikuti pelatihan New Frontiers in Forensic DNA dengan pengajar Prof Bruce Budowle dari University of North Texas, Amerika Serikat, dan Prof Angela van Daal dari Bond University, Gold Coast, Australia.</P><P>Pada kesempatan tersebut, dibahas metode baru ekstraksi sampel DNA yang dikenal sebagai LCN (Low Number Copy), yang cocok diterapkan pada kasus Tan Malaka. Dengan teknik LCN, sampel yang sulit diekstraksi seperti tulang, gigi dan jaringan yang sudah diformalin, akan dapat dilakukan secara efektif dengan hanya menggunakan bahan sampel yang sedikit saja (100-200 mg tulang atau gigi). Metode ini amat menjanjikan. Pemeriksaan DNA Tan Malaka dengan metode LCN kemungkinan akan dilakukan di Australia.</P><P>“Saat ini pemeriksaan bahan sisa sampel kerangka di Selopanggung sedang dalam proses analisis LCN,” kata Djaja. “Kami memperkirakan pemeriksaan tak akan berlangsung lama. Tapi untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan pemeriksaan ulang, kami perkirakan hasil akhirnya muncul awal November 2012.”</P><P>Pemeriksaan kemungkinan akan menghasilkan tiga kesimpulan akhir. Pertama, inkonklusif, yaitu tak ada DNA (body bog),</EM> atau ada DNA tapi profil Y-STR (DNA inti yang diturunkan secara total dari seorang ayah kepada semua anak laki-lakinya) tidak ada. Kedua, konklusif, yaitu ada DNA, seluruh profil Y-STR didapat dan sesuai dengan DNA Zulfikar Kamarudin, keponakan Tan Malaka. Dan ketiga, positif lemah, yaitu ada DNA, hanya ada sebagian profil Y-STR yang keluar dan sesuai dengan DNA Zulfikar.</P><P>“Proses pemeriksaan secara medis masih berjalan dan kita masih harus menunggu,” kata Asvi, “Tapi dari segi sejarah sudah selesai. Narasi sejarah sudah tuntas. Karena kalau bicara sejarah, kita bicara kisah seseorang dari lahir hingga meninggal, dan ini sudah jelas semua.”</P><P>Sejarawan Harry Poeze sudah meneliti selama 30 tahun dan berdasarkan temuan terbaru terbukti bahwa Tan Malaka ditembak mati. “Lokasi, tempat, waktu, dan pelaku eksekusinya jelas,” ujar Asvi. “Saya pribadi berpandangan agar keluarga memutuskan memindahkan makam Tan Malaka di Selopanggung ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.”</P><P><STRONG>Penggalian Tokoh Nasional</STRONG></P><P>Menurut Asvi, penggalian makam seorang tokoh nasional ini bukanlah yang pertama. Pada 1975, Sekretaris Jenderal Departemen Sosial Rusiah Sardjono memimpin langsung penggalian di pertambangan Bayah, Banten Selatan, untuk menemukan jenazah shodanco</EM> Supriyadi, komandan Pembela Tanah Air (PETA) Blitar yang berontak terhadap Jepang. Pada tempat yang ditunjukkan saksi tak ditemukan apa-apa.</P><P>Penggalian kemudian dilanjutkan ke situs sekitar dan menemukan kerangka seseorang yang kemudian dibawa ke Yogyakarta untuk pemeriksaan oleh tim forensik Fakultas Kedokteran UGM. Waktu itu belum dilakukan tes DNA, tapi berdasar pemeriksaan forensik tidak terdapat kecocokan antara kerangka tersebut dan ciri-ciri yang disebutkan pihak keluarga. Meski hasilnya nihil, pemerintah selanjutnya menetapkan Supriyadi sebagai Pahlawan Nasional pada 1975.</P><P>Lebih ironis lagi, lanjut Asvi, pemakaman Otto Iskandar Dinata. Menurut keterangan resmi pemerintah, Otto dibunuh oleh Laskar Hitam di Pantai Mauk, Tangerang, pada 20 Desember 1945. Saat itu Otto, yang dijuluki “Jalak Harupat” oleh Laskar Hitam, masih menjabat menteri negara yang membidangi keamanan. Peristiwa pembunuhan Otto baru diketahui pada 1949 dan jenazahnya tak pernah ditemukan.</P><P>“Pemerintah Jawa Barat lantas mengambil pasir di Pantai Mauk, membungkusnya dengan kain kafan, kemudian dimakamkan di Pasir Pahlawan, Lembang, Bandung Barat, sebagai simbol,” kata Asvi. Pemerintah Orde Baru mengangkat Otto sebagai pahlawan nasional pada November 1973.</P><P>“Ini memperlihatkan bahwa negara membutuhkan situs peringatan,” tegas Asvi.</P><P>Asvi berpandangan akan lebih baik jika sisa-sisa kerangka Tan Malaka dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Selama Orde Baru Tan Malaka tak dianggap sebagai pahlawan nasional, bahkan namanya dihilangkan. Jika dimakamkan di Kalibata, ini akan menjadi semacam pengakuan dari pemerintah bahwa dia adalah pahlawan nasional dan disemayamkan pada tempat yang layak<STRONG>.</STRONG></P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=2&d=612" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-16447105508457956142012-10-05T22:41:00.000-07:002012-10-05T22:41:00.230-07:00Kipas Hitam <P>Meski kalah perang, Jepang tak mau menyerah begitu saja. Untuk menghadapi Sekutu, dibentuklah sejumlah perkumpulan rahasia.</P><P>SETELAH Jepang menyerah terhadap Sekutu pada 14 Agustus 1945, Departemen Propaganda (Sendenbu)</EM> di bawah pimpinan Hitoshi Shimizu berusaha melakukan perlawanan. Dia mendirikan perkumpulan rahasia Ular Hitam, berisi orang-orang Indo-Belanda bermarkas di Bogor; Chin Pan, menampung orang-orang Tionghoa; dan yang terpenting adalah Kipas Hitam.</P><P>“Kipas Hitam dibentuk untuk mempersiapkan orang-orang Indonesia melakukan perang kemerdekaan di bawah bimbingan Jepang,” tulis Joyce C. Lebra dalam Tentara Gemblengan Jepang.</EM></P><P>Menurut Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol</EM>, Shimizu adalah seorang propagandis profesional yang memulai kariernya di China pada 1930-an. Dia kembali ke Jepang pada 1940 dan bergabung dengan Persatuan Pembantu Pemerintahan Kekaisaran (Taisei Yokusankai), </EM>organisasi massa bentukan pemerintah Jepang, yang kemudian menjadi model bagi Jawa Hokokai. </EM>Dia juga bergabung dengan Toa Remmei</EM> (Federasi Asia Timur). Shimizu, sebagai dikutip Lebra, ingat, “Saya berafiliasi dengan Toa Remmei </EM>di masa lalu, dan saya punya gagasan untuk mengembangkannya di Indonesia sebuah gerakan spiritual populer yang mencerahkan, yang bisa disebut sebagai gerakan Asia.”</P><P>Shimizu sempat berhenti dan bekerja di Biro Penerangan Kabinet (Naikaku Johokyoku),</EM> hingga ditarik oleh Angkatan Darat ke-16 sebagai atase sipil yang bertugas militer dan bertanggungjawab atas propaganda di Indonesia. Di sinilah ide-idenya direalisasikan, dengan membentuk organisasi-organisasi massa yang akan dimobilisasi untuk memberi dukungan politik bagi kepentingan perang Jepang.</P><P>Shimizu dekat dengan orang-orang Indonesia, dari kalangan pemuda maupun tokoh nasional seperti Sukarno-Hatta. Dia memberikan rumah di Pegangsaan Timur 56 dan mobil limusin Buick –kelak menjadi mobil kepresidenan– untuk Sukarno. Menjelang proklamasi, dia membantu mencarikan kain merah putih untuk bahan Fatmawati membuat bendera.</P><P>Dia berperan dalam pembentukan organisasi massa yang menggerakkan dukungan politik bagi Jepang: Gerakan Tiga-A (Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia), Pusat Tenaga Rakyat, Jawa</EM> Hokokai </EM>(Himpunan Kebaktian Rakyat), dan Shuisintai</EM> (Barisan Pelopor). Dia juga mendirikan Asrama Angkatan Muda di Menteng 31, yang menyediakan tempat bagi para pemuda untuk mendapatkan pendidikan politik. Pembentukan sejumlah perkumpulan rahasia menjadi salah satu upaya terakhirnya di tengah kekalahan perang Jepang.</P><P>Kipas Hitam bukanlah khas Indonesia. Menurut R-H. Barnes </EM>dalam Fransiskus/Usman Buang Duran: Catholic, Muslim, Comunist, </EM>Kipas Hitam bersama Banteng Hitam dan Naga Hitam merupakan bagian dari Perkumpulan Naga Hitam (Kokuryukai)</EM>. Perkumpulan Naga Hitam merupakan kelompok ultranasionalis paramiliter Jepang yang dibentuk pada 1901 oleh Ryohei Uchida. Perkumpulan ini menerbitkan jurnal dan menggelar sekolah pelatihan spionase, yang dikirim untuk mengumpulkan informasi dari Rusia, Manchuria, Korea, dan China. Selain itu, organisasi ini menekan para politisi Jepang agar mengadopsi kebijakan luar negeri yang kuat. Kokuryukai</EM> mendukung Pan-Asianisme.</P><P>“Para </EM>anggota Perkumpulan Naga Hitam melakukan aksi bersenjata, provokasi dan pembunuhan guna kepentingan rezim kekaisaran. Terutama saat penaklukan Manchuria (China), mereka melakukan pembunuhan dan propaganda yang aktif dan efektif,” tulis Peter Schumacher dalam Een Bende op Java. </EM></P><P>Di Indonesia, suratkabar Persatoean </EM>mengindikasikan bahwa dana pembentukan Kipas Hitam berasal dari “fonds kemerdekaan” yang dikumpulkan Jepang selama pendudukan. Fonds ini dimaksudkan untuk kegiatan pemuda, pendidikan, dan bantuan bagi rakyat miskin. “Yang harus bertanggung jawab atas sebagian besar propaganda ini ialah Hitoshi Shimizu,” tulis Persatoean, </EM>9 Mei 1946.</P><P>Tapi Shimizu tak bisa mengawal perkumpulan rahasianya. Dia keburu ditangkap Sekutu pada akhir 1945. Dia diinterogasi di Jakarta dan mengaku bertanggung jawab atas propaganda supaya penduduk membeci segala bangsa berkulit putih, terutama Belanda, “dan menyusun gerakan rahasia yang akan mampu bekerja atas kemauan sendiri, bila Jepang terpaksa menyerah sendiri, dia mendirikan Kipas Hitam,” tulis Soeloeh Ra’jat</EM>, 23 Agustus 1946.</P><P>Tanpa Shimizu, Kipas Hitam terus berjalan. Keberadaannya bahkan menarik perhatian banyak pemuda, dan juga Sutan Sjahrir. Dalam pamfletnya Perdjoengan Kita</EM>, Sjahrir menulis betapa perkumpulan rahasia Jepang, termasuk Kipas Hitam, mulai memberi pengaruh pada para pemuda. “Meskipun secara lahir para pemuda membenci Jepang, namun jiwa mereka telah terpengaruh oleh propaganda Jepang, sehingga tingkah laku dan cara berpikir mereka mencontoh Jepang. Ini terlihat dari kebencian mereka terhadap bangsa-bangsa asing, terutama Sekutu dan Belanda,” tulis Sjahrir.</P><P>Alih-alih melawan Sekutu, Kipas Hitam malah membuat kekacauan di sejumlah tempat. Di Bondowoso, misalnya, ditemukan selebaran dan pamflet, mengatasnamakan Kipas Hitam dan Pedang Samurai, yang berisi ancaman kepada polisi setempat. “Pedang Samurai yang selama perang hanya membuktikan kekejaman terhadap penduduk dan Kipas Hitam yang hanya mengacau dan merusak harus lenyap dari Indonesia,” tulis Pelita Rakjat,</EM> 2 Juli 1948.</P><P>Anggota Kipas Hitam pun harus berhadapan dengan para pemuda republiken. Soeara Rakjat</EM>, 1 Oktober 1945, memberitakan pemuda republiken menangkap 20 anggota Kipas Hitam di stasiun kereta api dan menyita sejumlah senjata. Penangkapan dilakukan oleh para pemuda kereta api, Barisan Pelopor, polisi, dan lain-lain. Pemuda kereta api juga menangkap empat anggota lainnya di sebuah terowongan kereta api dan menyita uang sebesar f.50.000.</P><P>Di Surabaya, dilakukan razia, terlebih tersiar kabar anggota Kipas Hitam membantu gerakan Dood alle Inlanders </EM>(bunuh semua bangsa Indonesia). Menurut Sutomo, para pemuda dan anak kampung sering memberhentikan mobil pembesar Jepang. Setelah berhenti, mereka memaksa penumpang turun, dan menginterogasi apakah kenal gerakan Kipas Hitam atau tidak. Jika tak kenal, mereka boleh melanjutkan perjalanan tapi dengan berjalan kaki. Mobil disita. “Alasan mencari kaki tangan Kipas Hitam terus digunakan oleh rakyat dan pemuda dalam usaha menambah jumlah kendaraan untuk Republik Indonesia,” kata Sutomo dalam Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian</EM> dan Pengalaman Seorang Aktor Sejarah.</EM></P><P>Gerakan Kipas Hitam perlahan memudar.</P><P>Di kemudian hari, Shimizu tetap menjalin kontak dengan Indonesia. Dia membentuk Asosiasi Kebudayaan Jepang-Indonesia dan, setelah tahun 1964, berusaha menghubungkan perkumpulan kebudayaannya dengan Lembaga Persahabatan Indonesia-Jepang, yang diketuai Ratna Sari Dewi sejak Mei 1964. Dia kembali mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh yang pernah dia kenal di zaman Jepang pada 1977, termasuk menemui Fatmawati.<STRONG><BR></STRONG></P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=2&d=746" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-33081110019196150502012-10-03T07:35:00.000-07:002012-10-03T07:35:00.150-07:00Liga Pemuda Pramuka <P>Terinspirasi organisasi kepemudaan komunis di Uni Soviet dan China, Sukarno bubarkan semua organisasi kepanduan, dan bikin Pramuka</P><P>PERINGATAN atau penghapusan hari bersejarah memang menjadi kebijakan politis suatu rezim. Pada zaman Orde Baru, semua yang berbau komunis diberangus. Sebut saja, Hari Buruh 1 Mei dan Hari Tani 24 September untuk memperingati lahirnya UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau Undang-Undang Pembaruan Agraria (UUPA) pada 24 September 1960. Hari Buruh dilarang sejak 1967 dan Hari Tani diganti menjadi Hari Ulang Tahun UUPA; karena gerakan buruh dan reforma agraria dianggap bermuatan komunis. Namun, ada peringatan yang latar belakang sejarahnya “beraroma komunis” tapi tetap diperingati pada masa Orde Baru dan berlangsung sampai sekarang, yaitu Hari Pramuka 14 Agustus.</P><P>“Terpengaruh oleh Komsomol di Uni Soviet dan organisasi pemuda komunis di RRT (Republik Rakyat Tiongkok) yang menyambut kedatangannya ketika berkunjung ke kedua negara tersebut, Presiden Sukarno pada 9 Maret 1961 membubarkan semua organisasi kepanduan. Terutama yang dianggapnya kebarat-baratan dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia,” tulis Benny G Setiono Tionghoa dalam Pusaran Politik.</EM></P><P>Komsomol (Kommunisticheskii Soyuz Molodyozhi) atau All-Union Leninist Young Communist League dibentuk pada 1918 sebagai organisasi pemuda berusia 14-28. Organ partai ini menyebarkan ajaran Komunis dan kaderisasi anggota Partai Komunis. Untuk usia 9-14 ditampung dalam All-Union Lenin Pioneer Organization, dan untuk anak-anak usia 9 tahun ke bawah dalam Little Octobrist. Seperti halnya Komsomol, Liga Pemuda Komunis China, yang dideklarasikan pada 1920 dengan nama Liga Pemuda Sosialis merupakan organ penting Partai Komunis China. Anak-anak di atas tujuh tahun bergabung dengan Pionir Muda Komunis. Liga Pemuda Komunis China ini telah melahirkan pemimpin teras China, seperti Presiden China Hu Jintao.</P><P>Terinspirasi Komsomol dan Liga Pemuda Komunis China, Sukarno mengusulkan agar menyatukan seluruh organisasi kepanduan ke dalam sebuah organisasi nasional. Selain itu, karena kepanduan di Indonesia menjadi onderbow</EM> partai politik. “Sesudah tahun 1920 timbul banyak sekali kepanduan Indonesia sebagai cabang (onderbouw) </EM>perkumpulan-perkumpulan orang dewasa; unsur politik nasional terkandung di dalamnya,” tulis AG Pringgodigdo dalam Ensiklopedi Umum</EM>. Dan, salah satu partai politik saat ini yang memilik divisi kepanduan adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan Pandu Keadilan.</P><P>Gerakan kepanduan di Hindia Belanda, Nederlansche Padvinders Organisatie Vereeniging </EM>(NIPV) berdiri pada 1912. Empat tahun kemudian, Mangkunegara VII mendirikan Javaansche Padvinders Organisatie </EM>(JPO). “Maksudnya menjadi tempat pembibitan ketentaraan Mangkunegaran,” tulis Pringgodigdo. Setelah JPO, pada 1918 Muhammadiyah mendirikan Hizbul Wathon –nama semula Muhammadiyah Pandvinderij. Terutama di Semarang banyak kepanduan komunis berhubungan dengan PKI, yang anggotanya murid-murid sekolah Sarekat Islam (SI) Merah dan Sarekat Rakyat. Budi Utomo mendirikan Nationale Padvinderij pada 1921; Jong Java di Solo mendirikan Jong Java Padvinderij (1922), Jong Islamieten Bond di Jakarta mendirikan Nationaal Islamitische Padvinderij (1925), Jong Sumatranen Bond kemudian bernama Pemuda Sumatra membentuk Pandu Pemuda Sumatra (1926). SI Putih mendirikan Sarekat Islam Afdeeling Padvinderij (1927), dan Algemeene Studieclub di Bandung mendirikan Nationaal Padvinderij Organisatie.</P><P>Suburnya pertumbuhan organisasi kepanduan membuat pemerintah Hindia Belanda mendirikan cabang-cabang NIPV di setiap sekolah HIS, MULO, dan AMS. Pemerintah Hindia Belanda juga meminta semua organisasi kepanduan melebur ke dalam NIVP. Namun, ditolak, kecuali kepanduan milik kaum teosofi, Jong Indonesische Padvinders Organisatie (1927). Karena penolakan itu, pada 1928 NIPV melarang organisasi kepanduan Indonesia memakai istilah padvinders</EM> dan padvinderij. </EM>Dalam kongres kepanduan SI pertama (2-5 Februari 1928) di Banjarnegara, Jawa tengah, Haji Agus Salim mengusulkan, kata padvinder</EM>s</EM> diganti dengan “pandu” (penunjuk jalan) dan padvinderij</EM> </EM>diganti “kepanduan”.</EM> </EM>Usul diterima, Sarikat Islam Afdeeling Padvinderij diganti menjadi Sarekat Islam Afdeling Pandu (SIAP).</P><P>Dalam perjalanannya, organisasi kepanduan membentuk federasi. Tapi, tak tahan lama, bahkan malah terpecah menjadi badan fusi kepanduan nasional dan kepanduan Islam. Pada zaman Jepang, semua organisasi kepanduan dibekukan. Diganti dengan gerakan semimiliter seperti Seinendan, Keibodan,</EM> dan lain-lain.</P><P>Sebelum penyerahan kedaulatan akhir tahun 1949 di daerah yang dikuasai Republik Indonesia hanya ada satu organisasi kepanduan. Tapi, waktu terbentuk Republik Indonesia Serikat, organisasi kepanduan mencapai 104 organisasi. Dan pada 1954 tercatat 71 organisasi kepanduan dengan jumlah anggota lebih kurang 194 ribu pandu putra dan 41 ribu pandu putri. Karena itu, pemerintah membentuk federasi yang terbagi dua: pandu putra dan putri. Sultan Hamengkubuwono IX memimpin ketua Ikatan Pandu Putra Indonesia (Ippindo). Walau demikian, kondisi kepanduan masih terpecah sehingga Menteri P&K Bahder Djohan sulit menentukan pembiayaannya. Jambore pertama yang diikuti 4 ribu pandu diadakan pada peringatan 17 Agustus 1955 di Pasar Minggu, Jakarta. Ippindo kemudian direorganisasi dan berganti nama menjadi Persatuan Kepanduan Indonesia (Perkindo) pada 1960.</P><P>Pada 1960, Sukarno memerintahkan Menteri P&K Prijono, yang beraliran kiri, untuk mempersatukan organisasi kepanduan Indonesia. Untuk itu, diadakan rapat di Ciloto. Rapat gagal mempersatukan kegiatan kepanduan. Menurut buku Sri Sultan, Hari-Hari Hamengku Buwono IX</EM>, Prijono dicurigai akan memberi nama Pionir Muda yang berbau komunis kepada kepanduan Indonesia. Dia juga mencoba mengubah warna kacu (dasi pandu) dengan warna merah. Rencanan Prijono ditentang. Dan, Sultan HB IX mengusulkan nama Pramuka.</P><P>Panitia terdiri dari Sultan Hamengkubuwono IX, Menteri P&K Prijono, Menteri Pertanian Dr Azis Saleh, dan Menteri Transmigrasi Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa Achmadi, berhasil membentuk organisasi Pramuka menggantikan organisasi-organisasi kepanduan. </P><P>“Dalam anggaran dasar kepanduan yang ditandatangani Djuanda kata ‘Pandu’ diganti dengan ‘Pramuka’. Istilah Pramuka diambil Sultan dari istilah poromuko</EM>, semacam pasukan yang berdiri paling depan dalam peperangan. Jadi, tak benar anggapan bahwa kata itu dikenalkan oleh Menteri Prijono yang memperkenalkan istilah Pionir Muda,” demikian tertulis dalam Sri Sultan, Hari-Hari Hamengku Buwono IX. </EM>Sebagai kompromi, supaya kata Pramuka sama dengan Pionir Muda, sebutan itu diakali seolah-olah merupakan singkatan Praja Muda Karana, yang artinya warga negara muda yang bekerja.</P><P>Gerakan Pramuka disahkan dengan Keputusan Presiden No. 238 tanggal 20 Mei 1961, dan pelantikan Ketua Umum Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dilakukan pada 14 Agustus 1961, yang kemudian dijadikan Hari Gerakan Pramuka. Menariknya, dalam Keppres tersebut dinyatakan maksud dan tujuan Pramuka agar “pemuda Indonesia … ber-Panca-Sila, setia-patuh kepada NKRI, berpikir dan bertindak atas landasan-landasan Manusia-Sosialis-Indonesia…”</P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=2&d=1056" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-47702326611619301022012-09-30T19:04:00.000-07:002012-09-30T19:04:00.900-07:00Dilema dan Isolasi <P>Dilema kalangan medis terhadap proses penularan membuat penderita lepra harus menghadapi isolasi berlapis: dari pemerintah hingga masyarakat. </P><P>KESIMPANGSIURAN tentang penularan lepra terus berlangsung memasuki abad ke-19. Walaupun ilmuwan Gerhard Henrik Armauer Hansen di Norwegia telah mengidentifikasi keberadaan bakteri M. leprae </EM>dalam setiap kasus lepra pada 1873, berbagai aspek penularan lepra masih belum terpecahkan.</P><P>Salah satu faktor yang menyulitkan penelitian adalah kesulitan pengembangan kultur jaringan M. leprae</EM> di laboratorium. Hal ini membuat berbagai tahapan ujicoba dalam penelitian klinis, termasuk terhadap binatang, hampir tak memungkinkan. Hansen sendiri gagal ketika mengujicoba bakteri M.leprae</EM> dengan kelinci. </P><P>Baru satu abad kemudian, binatang pembawa bakteri lepra, nine-banded armadillos</EM>, ditemukan. </EM>Walaupun jenis lepra yang diderita armadillos </EM>berbeda dengan lepra pada manusia, keberadaannya membantu pengembangan kultur jaringan bakteri dan bermanfaat bagi dunia penelitian.</P><P>Keterbatasan pemahaman medis pada akhir abad ke-19 memecah-belah sikap para dokter dan peneliti –antara mereka yang meyakini penularan terjadi secara cepat (termasuk melalui kontak fisik) dan mereka yang memperhitungkan faktor-faktor lain dalam penularan. Perbedaan pendapat medis mengenai infeksi dan penularan lepra meningkatkan kekhawatiran akan “bahaya” penularan lepra.</P><P>Artikel John Freeland dalam The British Medical Journal </EM>pada 5 Oktober 1889, misalnya, memaparkan perbedaan pandangan tentang penularan lepra. Sebagai seorang petugas kesehatan pemerintah Inggris di Hindia Barat, dia menyimpulkan aktivitas penduduk lokal bersama penderita lepra seperti makan (dengan tangan), tidur, bertukar pakaian, dan tinggal bersama dalam jangka waktu lama berpotensi meningkatkan penularan. Di sisi lain dia menyadari bahwa dugaan itu tak sepenuhnya terbukti. </P><P>Dia mencontohkan pandangan tokoh kesehatan Inggris Jonathan Hutchinson tentang pasien lepra dari berbagai negara yang mendapat perawatan di Inggris. Sebagian pasien kemudian tinggal bersama pasangan atau anggota keluarga lain yang sehat. Sebagian lain tidur di bangsal umum rumah sakit. Sepanjang pengamatan Hutchinson, tak pernah terjadi kasus penularan dalam interaksi-interaksi itu.</P><P>“Lepra dapat terjadi tanpa melalui faktor genetik dan tak terkait kemiskinan, lingkungan kotor, iklim atau kesulitan hidup; penularan lepra cukup sulit,” demikian Freeland mengutip Hutchinson.</P><P>Namun pandangan berbeda tentang bahaya penularan lepra justru datang dari G.H.A Hansen, penemu bakteri M. leprae</EM>. Sebelum penyelenggaraan Konferensi Lepra Pertama di Berlin, Jerman, pada Oktober 1897, sebagaimana ditulis Bombay Gazette</EM>, 8 November 1897, Hansen mengusulkan agar negara-negara lain mengadopsi strategi Norwegia yang memberlakukan undang-undang untuk memaksa pasien lepra hidup terpisah dari masyarakat. Menurutnya, keberhasilan Norwegia mengisolasi pasien lepra akan membawa Norwegia “bersih” dari lepra. Keberhasilan ini, jika diterapkan oleh negara-negara lain, akan menghapus penyakit lepra dari dunia, demikian Hansen menguraikan pendapatnya yang disambut tepuktangan peserta pertemuan.</P><P>“Mereka yang sakit memiliki kewajiban penting untuk tidak menulari yang sehat,” tegas Hansen ketika menghadapi kritik dari rekan-rekan sejawat yang menganggap pemaksaan isolasi pasien lepra sebagai tindakan yang berlebihan dan kejam. Dia berdalih bahwa pemaksaan isolasi merupakan bagian dari upaya menjaga kesehatan masyarakat, yang selayaknya menjadi prioritas di atas kepentingan individu.</P><P>Konferensi Lepra Pertama mengikuti arah sikap Hansen. Salah satu resolusinya menyatakan bahwa penyakit lepra menular antarmanusia. Banyak negara kemudian gencar mendirikan institusi untuk mengisolasi pasien lepra atau leprosarium.</P><P>Menurut Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia</EM>, pada 1865 pemerintah Belanda sempat menyatakan penyakit lepra tak menular dan membolehkan pasien meninggalkan leprosarium. Keputusan Konferensi Lepra tahun 1897 mendorong pemerintah Belanda menggencarkan kembali isolasi pasien, termasuk pembangunan leprosarium di beberapa wilayah di Hindia Belanda. Kebijakan ini kembali mengulang peraturan isolasi yang pernah VOC terapkan pada 1655 melalui pendirian leprosarium di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta. Baha Uddin dalam makalah “Pelayanan Kesehatan Masyarakat pada Masyarakat Kolonial” menyatakan bahwa langkah ini merupakan sebuah upaya pencegahan penularan ketimbang pengobatan. Kekurangan tenaga kesehatan dan keterbatasan pengetahuan medis pada masa itu membatasi kapasitas pengobatan untuk penderita lepra.</P><P>Sejak 1930-an, beberapa penemuan medis perlahan mengungkapkan karakteristik penyakit lepra. Penemuan-penemuan ini antara lain mengidentifikasi bahwa mayoritas populasi manusia sebetulnya memiliki kekebalan natural terhadap lepra. Penularan bakteri M. leprae</EM> pun tergolong lemah. Selain itu, ujicoba klinis obat-obatan dalam kelompok sulfone</EM> saat itu terbukti efektif dalam perawatan pasien lepra. Temuan-temuan itu perlahan mengubah sikap berbagai negara terhadap tindakan isolasi pasien lepra.</P><P>Di Hindia Belanda, sikap menentang isolasi pasien lepra mulai terjadi sejak 1932. Dr J.B. Sitanala, kepala Dinas Pemberantasan Kusta, memperkenalkan sistem tiga langkah penanganan pasien lepra, yaitu eksplorasi (surveilans</EM>), pengobatan, dan pemisahan (tanpa paksaan dan tetap dalam lingkungan keluarga). Walaupun tak serta-merta menggantikan fungsi leprosarium, sistem tiga langkah secara perlahan mengurangi tindakan pemaksaan isolasi pasien lepra.</P><P>Pada 1947, Public Health Service </EM>di Amerika mengeluarkan lepra dari daftar penyakit wajib karantina sehingga membebaskan pasien lepra bepergian tanpa izin khusus. Pada 1950-an, pasien lepra di Amerika memperoleh kembali hak mereka untuk menikah. Negara-negara lain berangsur mulai meninggalkan sistem isolasi.</P><P>Kini melalui pengobatan berbagai jenis obat atau Multiple Drug Therapy</EM> (MDT), lepra dapat disembuhkan. Deteksi dini dan fasilitas pemeriksaan yang memadai di berbagai lingkungan masyarakat adalah langkah efektif mengontrol penyebaran penyakit lepra.</P><P>Masalah lain muncul justru dari masyarakat. Stigma sosial menyulitkan kehidupan sebagian besar pasien lepra. Ketakutan terhadap bahaya “penularan” lepra bukan hanya karena berbagai mitos kutukan, namun juga keterbatasan penyebarluasan informasi medis mengenai lepra serta fasilitas identifikasi dan pengobatan di masyarakat. Perjuangan mengatasi berbagai bentuk penolakan masyarakat masih terus berjalan.</P><P>Bunda Theresa yang mendedikasikan waktunya merawat penderita lepra di India pernah berkata, “penyakit terbesar saat ini bukanlah lepra atau tuberkulosis, namun perasaan tidak diinginkan.”<STRONG></STRONG></P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=2&d=823" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-65620205622365699472012-09-29T18:24:00.000-07:002012-09-29T18:24:00.507-07:00DNA Tan Malaka Mendekati Kebenaran <P>Pria yang kuburannya digali di Selopanggung, Kediri memiliki DNA yang positif identik dengan keluarga Tan Malaka.</P><P>HASIL penyelidikan DNA (deoxyribose nucleic acid)</EM> di sebuah laboratorium di Korea Selatan menunjukkan bahwa kerangka tulang yang digali di sebuah makam di Desa Selopanggung, Kediri, pada 12 November 2009, adalah Tan Malaka “mendekati kebenaran”. Saat ini pemeriksaan sisa sampel kerangka di Selopanggung sedang dalam proses pemeriksaan analisis LCN (low number copy)</EM> sebuah metode baru ekstrasi sampel DNA. </P><P>Menurut Tim Identifikasi Tan Malaka, dokter spesialis forensik Jaya Surya Atmadja dari Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, untuk mendapatkan hasil seratus persen bahwa DNA tersebut adalah Tan Malaka masih harus mengikuti perkembangan teknologi DNA yang semakin maju.</P><P>Sebelumnya, pada pemeriksaan DNA pertama di Australia yang diumumkan pada 8 Maret 2010, menunjukkan hasil menggembirakan. Dari 14 unsur yang diuji, 9 di antaranya positif sesuai dengan DNA keluarga Tan. </P><P>Mengutip sejarawan dan penasihat Tim Penggalian Makam Tan Malaka, Asvi Warman Adam dalam tulisannya Memburu DNA Tan Malaka, </EM>pemeriksaan DNA dilakukan dengan mengidentifikasi Y-Short Tandem Repeats (YSTR) sebagai DNA inti (c-DNA) yang diturunkan secara total dari seorang ayah kepada semua anak laki-lakinya. Dalam kasus ini, Y-STR diturunkan oleh Rasad kepada Tan Malaka dan adik laki-lakinya, Kamarudin Rasad. Kamarudin kemudian menurunkan DNA yang sama kepada anak lelakinya, Zulfikar Kamarudin. Jika benar kerangka yang diperiksa adalah Tan Malaka, profil Y-STR dari kerangka tersebut akan sama dengan profil Y-STR dari Zulfikar.</P><P>Pemeriksaan terhadap sampel gigi maupun tulang atap tengkorak di beberapa lab DNA, baik di dalam maupun luar negeri, tidak berhasil mendapatkan DNA manusia sehingga tidak didapatkan profil Y-STR dari kerangka yang diduga Tan Malaka tersebut. Kerangka tanpa DNA (bog body), </EM>terjadi akibat pengaruh lingkungan yang lembab di sekitar kerangka. Tak menyerah, Tim Indentifikasi kemudian berusaha mengekstraksi dan mencari profil Y-STR kerangka di lab DNA di Korea Selatan. </P><P>Sejarawan Harry Poeze dalam kesempatan diskusi bukunya, Madiun 1948, PKI Bergerak, </EM>jilid keempat dari serial Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, </EM>menyatakan optimis hasil tes DNA di Korea positif Tan Malaka. Hasil tes DNA itu akan memastikan lokasi eksekusi Tan Malaka dan menjadi bukti kuat tesisnya yang menduga pengarang buku Madilog</EM> itu dikuburkan di pemakaman umum Desa Selopanggung, Kediri.</P><P>Petunjuk yang menguatkan optimisme Poeze adalah hasil pemeriksaan antropologi forensik bahwa kerangka yang ditemukan pada kedalaman dua meter itu, seorang laki-laki, ras Mongoloid, tinggi badan 163-165 cm, dikubur secara Islam, tanda patah tulang tidak jelas. Pemeriksaan odontologi forensik terhadap rahang dan gigi geligi menunjukkan kerangka adalah seorang laki-laki, ras Mongoloid, usia 40-60 tahun, atrisi berat pada semua permukaan gigi depan, dan ada riwayat pernah sakit gigi. </P><P>Bagi Poeze, yang menarik dari kesimpulan itu yakni kerangka kedua lengan bawah tersilang ke belakang yang menandakan bersangkutan meninggal dengan cara ditembak mati, sesuai hasil penelitian Poeze yakni Tan Malaka meninggal karena ditembak mati atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalion Sikatan bagian Divisi IV Jawa Timur pada 21 Februari 1949. Poeze berpendapat bahwa kekurangan hasil DNA bisa dipadukan dengan keterangan saksi-saksi sejarah yang telah diwawancarai olehnya ketika melakukan penelitian tentang jejak-jejak Tan Malaka. Ketika berita ini diturunkan, konferensi pers mengenai hasil penyelidikan DNA Tan Malaka masih berlangsung di Wisma Shalom, Senen, Jakarta Pusat.<STRONG></STRONG></P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=2&d=611" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-60525479986030333462012-09-27T05:12:00.000-07:002012-09-27T05:12:00.583-07:00Islam Arab atau Islam Cina? <P>Teori klasik menyebutkan pedagang keturunan Arab yang membawa Islam ke Nusantara. Versi lain menyebut justru pedagang Tionghoa yang menyebarkan Islam.</P><P>BEBERAPA teori menyangkut hadirnya Islam di Kepulauan Nusantara dikemukakan para pakar sejarah. Ada dua teori klasik yang utama ihwal penyebaran Islam di Nusantara. Pertama, dikemukakan oleh Niemann dan de Holander yang menyebutkan kalau Islam dibawa oleh pedagang Timur Tengah. Kedua, adalah teori pedagang Gujarat yang diusung oleh Pijnapel dan kemudian diteliti lanjut oleh Snouck Hurgronje, Vlekke, dan Schrieke.</P><P>Agaknya teori-teori klasik itu menyandarkan validitasnya pada lapoan perjalanan yang ditulis Marcopolo yang menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi, yang ketika singgah di Aceh tahun 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satunya adalah makam Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis tahun 475 H/1082 M, yaitu zaman Singasari. Diperkirakan makam ini bukan penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.</P><P>M.C. Ricklefs memiliki serangkaian intepretasi yang meragukan kesahihan teori klasik itu. Semisal dalam kasus batu nisan di Gresik ia menyebut tentang kemungkinan batu nisan itu hanya pemberat kapal atau mungkin batu nisan yang dipindahkan setelah muslimah itu meninggal. Dan batu itu tidak memberikan kejelasan apa-apa mengenai mapannya agama Islam di tengah-tengah penduduk Indonesia.</P><P>Sampai dengan awal abad ke-14 M, Islamisasi secara besar-besaran belum terjadi di Nusantara. Baru pada pertengahan abad ke-14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti.</P><P>Kekuatan politik itu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, dan Ternate. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu/Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya, dan Sunda.</P><P>Menarik juga mengamati kisah-kisah pengislaman Nusantara yang dapat ditemui dalam historiografi tradisional. Hikayat Raja-Raja Pasai</EM> menceritakan bagaimana Islam masuk ke Samudra dan juga tentang batu nisan Malik as-Salih bertarikh 1297 M. Dalam hikayat ini diceritakan tentang Khalifah Mekah yang mendengar adanya Samudra dan memutuskan mengirimkan sebuah kapal ke sana memenuhi ramalan Nabi Muhammad bahwa suatu saat akan ada sebuah kota besar di timur yang bernama Samudra, yang akan menghasilkan banyak orang suci. Hikayat itu dipenuhi cerita tentang proses penganutan Islam oleh raja Samudra: Marah Silau (atau Silu), bermimpi bahwa Nabi menampakkan diri padanya dan sekonyong meludah ke dalam mulutnya untuk mengalihkan pengetahuan Islam serta sekaligus menggelarinya Sultan Malik as-Salih.</P><P>Cerita yang kurang lebih sama juga ditemui dalam Sejarah Melayu</EM>. Historiografi ini mengisahkan tentang pengislaman Raja Malaka. Sebagaimana Malik as-Salih yang bertemu Nabi di dalam mimpinya, demikian pula dengan Raja Malaka. Dalam pada itu, Nabi mengajarkan kepadanya cara mengucapkan dua kalimat syahadat.</P><P>Hal yang unik justru terjadi pada kitab Babad Tanah Jawi</EM>. Jika dalam dua naskah Melayu di atas Islamisasi selalu ditandai dengan adanya simbol-simbol formal dari perubahan agama seperti mengucapkan dua kalimat syahadat dan penggunaan nama Arab maka cerita pengislaman Jawa yang dituturkan melalui Babad Tanah Jawi</EM> memberikan kesan suatu proses asimilasi yang sedang berlangsung di Jawa.</P><P>Naskah Babad Tanah Jawi</EM> menuturkan tentang Islamisasi tanah Jawa yang dilakukan oleh sembilan wali (wali sanga</EM>). Di sini pengislaman secara formal tak tampak, namun garis genealogis yang mengacu pada Arab (baca: Timur Tengah) tetap menjadi alur utama kisah di dalamnya.</P><P>Dari keseluruhan historiografi tradisional ada satu benang merah yang saling menghubungkan perihal penyebaran agama Islam di Nusantara: berasal dari Arab. Besar kemungkinan hal ini dilakukan agar ada semacam legitimasi ideologis bagi agama Islam untuk masuk ke Nusantara. Di lain pihak, hal ini juga menimbulkan bias bahwa seakan-akan Islam akan lebih sahih jika dibawa dari Arab, bukan dari wilayah lainnya.</P><P>Kembali kepada persoalan diskursus teori klasik kedatangan Islam, amat dimungkinkan jika teoritisi sejarah Islam juga melihat kenyataan yang dicatat di dalam naskah-naskah kuno itu sebagai dasar menjadikan pedagang Timur Tengah sebagai pembawa Islam ke Nusantara.</P><P>Juga perlu dicatat kiranya tentang dua dokumen lain yang bisa menghantarkan pada substansi Islamisasi di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa. Kedua naskah itu berisi tentang ajaran-ajaran Islam seperti yang diberikan di Jawa pada abad XVI. Salah satu naskah yang berisi tentang pertimbangan-pertimbangan terhadap hal-hal yang diperdebatkan, kemudian naskah dinisbahkan oleh G.W.J. Drewes kepada seorang ulama yang bernama Syekh Bari.</P><P>Naskah kedua berisi tentang primbon yang berisi tuntunan menjalankan agama Islam yang dibuat beberapa murid ulama terkenal. Kedua naskah itu bersifat ortodoks dan mistik, sekaligus mencerminkan mistisisme Islam dan tasawuf yang berkembang saat itu. Dan kelak Islam di Indonesia dipenuhi bid’ah dan khurafat yang pada masa selanjutnya mendorong munculnya gerakan pembaharuan sepanjang abad XIX dan XX.</P><P>Dalam historiografi Indonesia, teori klasik penyebaran Islam menjadi satu monoversi yang sulit dibantah. Hal itu bercampur aduk dengan bias politik kekuasaan Orde Baru yang mengintervensi penulisan sejarah. Semisal, kasus pelarangan buku Slamet Muljana yang pernah mengajukan versi bahwa Tionghoa adalah penyebar Islam. Menurut Muljana, Islam Nusantara, dan di Jawa khususnya, bukanlah Islam “murni” dari Arab, melainkan Islam campuran yang memiliki banyak varian. Dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara</EM> Muljana menyebutkan bahwa Sunan Kalijaga yang masa mudanya bernama Raden Said itu tak lain dari Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, menurut Muljana, adalah Toh A Bo, putra dari Tung Ka Lo, alias Sultan Trenggana.</P><P>Pelarangan versi Slamet Muljana oleh pemerintah Orde Baru didasari pengkaitan Cina dalam peristiwa Gestok 1965. Semua hal yang berbau Tionghoa dilarang saat itu, sehingga “haram” hukumnya mengaitkan Tionghoa ke dalam sejarah Islam Nusantara.</P><P>Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina Islam Jawa</EM> juga menggugat teori klasik penyebaran Islam. Sumanto menemukan fakta bahwa nama tokoh yang menjadi agen sejarah Islam merupakan transliterasi dari nama Cina ke nama Jawa. Semisal dalam nama Bong Ping Nang misalnya, kemudian terkenal dengan nama Bonang. Raden Fatah yang punya julukan pangeran Jin Bun, dalam bahasa Cina berarti “yang gagah”. Raden Sahid (nama lain Sunan Kalijaga) berasal dari kata “sa-it” (sa = 3, dan it = 1; maksudnya 31) sebagai peringatan waktu kelahirannya di masa ayahnya berusia 31 tahun. Tentu buku yang ditulis Sumanto tidak dilarang, karena buku ini terbit setelah Orde Baru tumbang. Namun sejauh mana masyarakat menerima versi ini, belum kelihatan secara jelas.<STRONG></STRONG></P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=2&d=845" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-50570636659285622262012-09-25T14:43:00.000-07:002012-09-25T14:43:00.172-07:00Ganti Rugi Penjajahan <P>Sebagai negara terjajah, Indonesia berhak meminta ganti rugi pada penjajah. Dari Jepang, dapat pampasan perang. Sedangkan dari Belanda hanya kata maaf.</P><P>PADA suatu waktu, ketika berada di Jepang, secara berkelakar Hermawan Kartajaya pernah bertanya kepada Kikuchi-San dari JVC: “Berapa kira-kira ‘sumbangan’ Indonesia pada masa pendudukan Jepang dahulu terhadap pembangunan jalan mengilat yang bertumpuk-tumpuk serta terowongan bawah tanah yang banyak terdapat di Tokyo itu?” </P><P>Sambil tersenyum, Kikuchi-San menjawab bahwa orang Jepang, terutama generasi muda, memang mempunyai kenangan pahit terhadap dampak “militerisme” negaranya pada masa lalu. “Karena itu, Jepang merasa mempunyai kewajiban ‘moral’ untuk membayar pampasan perang kepada seluruh negara yang pernah menjadi koloninya,” kata Kikuchi-San kepada Hermawan Kertajaya dalam Marketing Klasik Indonesia. </EM> </P><P>Pada pertengahan tahun 1951, Amerika Serikat memprakarsai suatu pertemuan di San Francisco untuk merundingkan Perjanjian Damai dan Pampasan Perang dengan Jepang –lebih dikenal dengan Perjanjian San Francisco, yang secara resmi mengakhiri Perang Dunia II. Beberapa negara, termasuk Indonesia, diundang.</P><P>Kabinet Sukiman-Suwirjo yang kala itu berkuasa terpecah, terutama antara kelompok Partai Nasional Indonesia (PNI), yang menganggap tak jelas manfaatnya, dan dan Masyumi yang melihat pertemuan itu bisa mengakhiri ganjalan dalam masalah Indonesia dan Jepang. “Akhirnya pemerintah mengambil jalan tengah, bersedia hadir jika ada manfaatnya bagi Indonesia,” tulis Hadi Soesastro dalam Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir (1945-1959)</EM>.</P><P>Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo berangkat ke San Francisco. Tapi, pada 7 September 1951, beberapa jam sebelum acara penandatanganan, kabinet belum mencapai kata sepakat. Kabinet pun mengambil suara. Hasilnya: sepuluh menteri menyetujui Perjanjian Damai dan enam menteri menentang.</P><P>Pada 20 Januari 1958, menindaklanjuti hasil Perjanjian San Francisco, pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian bilateral yang berisi kesepakatan ganti rugi. Antara lain pampasan perang senilai US$223,080 juta serta kesediaan Jepang menanamkan modal di Indonesia dan mengusahakan pinjaman jangka panjang sampai batas US$400 juta. Perjanjian Damai dan Pampasan Perang tersebut disahkan DPR RI tanggal 13 Maret 1958 dan diundangkan pada 27 Maret 1958.</P><P>“Perjanjian pampasan tahun 1958 terdiri atas satu daftar yang memuat enam kategori program dan proyek… transportasi dan komunikasi, pengembangan tenaga, pengembangan industri, pengembangan pertanian dan perikanan, pertambangan, dan jasa atau pelayanan,” tulis Masashi Nishihara dalam Sukarno, Ratna Sari Dewi, dan</EM> Pampasan Perang:</EM> Hubungan Indonesia-Jepang, 1951-1966.</EM></P><P>Secara keseluruhan, lanjut Nishihara, proyek-proyek pampasan mengandung lebih banyak aspek negatif ketimbang aspek positif. Banyak proyek tak menerima dana cukup untuk menyelesaikannya akibat inflasi di Indonesia. Pampasan juga jadi lahan korupsi.</P><P>Jika Jepang mau membayar ganti rugi atas penjajahan selama 3,5 tahun, bagaimana dengan Belanda yang menjajah jauh lebih lama? Ironis, justru Indonesia yang harus membayar ganti rugi, dan dananya untuk membantu pembangunan Negeri Belanda.</P><P>Ini terkait dengan persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, yang memutuskan sebagai imbalan atas penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia (saat itu Republik Indonesia Serikat) pada 27 Desember 1949, Indonesia harus membayar utang kepada Belanda sebesar 4,5 milyar gulden –awalnya Belanda meminta 6,5 milyar gulden.</P><P>Selain itu, untuk membangun kembali pascaperang, Belanda mendapatkan gelontoran dana, dalam bentuk hutang, dari program Marshall Plan AS antara tahun 1948-1951 sebesar US$1.128 juta. Sumbangan dari Marshall Plan dan Indonesia ini dikenal sebagai The Miracle of Holland</EM> (keajaiban Belanda).</P><P>“Indie verloren, betekende niet ramspoed geboren</EM> (Hindia hilang, bukan berarti tiba bencana). Belanda masih bisa menarik keuntungan dari bekas jajahannya meski tanah jajahan itu sudah lepas,” tulis sejarawan Lambert Giebels dalam “De Indonesische Injectie” (Sumbangan Indonesia), yang dimuat di De Groene Amsterdammer</EM>, Januari 2000.</P><P>Setelah membayar sekira 4 milyar gulden antara tahun 1950-1956, Indonesia secara sepihak membatalkan persetujuan KMB. Belakangan, pada awal Orde Baru, berdiri Inter Govenmental Group on Indonesia (IGGI), diketuai oleh Belanda, yang punya agenda tersembunyi berupa mencari penyelesaian utang Indonesia zaman Orde Lama, yang berkaitan dengan nasionalisasi perusahaan Belanda, sekira US$2,4 milyar.</P><P>Giebels tak habis pikir, mengapa Belanda tega melakukan itu kepada Indonesia. Padahal kepada Suriname, yang juga bekas jajahannya, Belanda membayar lunas ganti rugi atas perbudakan sebesar 1,5 milyar euro begitu Suriname merdeka pada 25 November 1975. Jumlah itu dianggap belum cukup. “Suriname berhak mendapat ganti rugi senilai 50 milyar euro,” kata ekonom Suriname Armand Zunder kepada<STRONG> </STRONG>Philip Smet dari Radio Nederland Wereldomroep, </EM>2 Juli 2010.</P><P>Zunder membandingkan kasus Suriname dengan kasus lainnya. Belanda minta ganti rugi dari Jerman setelah Perang Dunia II. Jerman membayar lebih dari 120 milyar euro untuk warga Yahudi. Organisasi Internasional DiversCités sudah berseru kepada Parlemen Prancis, juga negara-negara Eropa termasuk Belanda, untuk membayar ganti rugi kepada bekas jajahannya atas peran mereka dalam perbudakan. Pada 1999, di Afrika terbentuk The Africa World Reparations and Repatriation Truth Commission, sebuah komisi penyelidik internasional yang menuntut ganti rugi. Menurut hukum internasional, perbudakan dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.</P><P>Bagaimana dengan Belanda? Jangankan ganti rugi, permintaan maaf atas penjajahan dan aksi militer di masa lalu baru disampaikan pemerintah Belanda pada 2005. Mereka juga akhirnya mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari proklamasi kemerdekaan Indonesia, bukan lagi 27 Desember 1949.</P><P>Saat itu, pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda memutuskan tak akan minta ganti rugi. Alasannya diplomatis: banyak cara untuk memanfaatkan momentum penyesalan Belanda ke arah pembentukan hubungan RI-Belanda yang lebih menguntungkan Indonesia. Misalnya melalui kerjasama perdagangan, investasi, dan sosial-budaya. Cara tersebut dianggap lebih menjaga martabat bangsa Indonesia, negara yang tak mengeksploitasi penderitaan masa lalu untuk memperkaya diri.</P><P>Baik sekali ya Indonesia sama Belanda.<STRONG></STRONG></P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=2&d=844" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-53861303194560537502012-09-24T00:49:00.000-07:002012-09-24T00:49:00.354-07:00Haji Singapura <P>Berbagai cara ditempuh untuk menuju Mekkah. Selain ibadah, gengsi sosial naik peringkat.</P><P>Si Gapoeng, perempuan Melayu yang berganti nama Halimatusa’diyah setelah naik haji, juga menumpang kapal Samoa, kapal carteran J.G.M. Herklots saat pulang ke tanah air. Kala badai menghajar Samoa pada 14 Agustus 1893, dia selamat namun harus kehilangan suami dan harta bendanya, antara lain satu peti besar berisi pakaian, 21 karung goni berisi perbekalan, dan uang tunai sebesar f.150. Dalam kesaksian yang disimpan di Arsip Nasional RI sebagaimana dikutip Dien Majid, dia berkisah:</P><P>“...Kira-kira soedah 7 hari berlajar satoe malam dapat angin besar sampei hampir-hampir terbalik kapal itoe dan ajer masuk kadalam kapal sampai pagi-pagi di tjari saja poenja laki tiada lagi dan barang-barang saja itoe joega semoea soedah habis roepanja djatoeh masok laoet sama laki saja barang dan oewang saja jang habis itoe ada kira-kira f.150 bersama-sama pekirim orang djoega tjoema tertinggal badan saja sadja dengan sehelei badjoe jang soedah robek-robek begimana.”</EM></P><P>Untuk makan di sisa perjalanan 42 hari, setelah badai, dia mengandalkan belas kasihan dari penumpang lain, “Dari makanan selama dalam kapal djikaloe ada orang jang soedah dapat nasi jang ada kasihan dia beri sedikit-sedikit baharoe saja makan, kalo tiada kasihan orang-orang itoe tiadalah saja makan.”</EM></P><P>Kritik keras terhadap kapal-kapal carteran Herklots datang dari agen-agen haji pesaingnya seperti agen pelayaran Nederland, Borneo Company Limited, Rotterdam Lloyd dan Ocean, Firma Gellatly Henkey Sewell & Co, Firma Aliste, Jawa & Co. Agen-agen haji ini tergabung dalam wadah: Kongsi Tiga.</P><P>J.G.M. Herklots dan Kongsi Tiga adalah agen-agen haji generasi pertama yang dilibatkan pemerintah Hindia Belanda dalam pengurusan ibadah haji setelah melonjaknya jumlah jamaah haji tahun 1893. Di bagian dua Indisch Verslag</EM> dicatat jumlah jemaah haji tahun itu sebanyak 8092 jamaah, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 6841 jamaah.</P><P>Dalam surat protesnya kepada Menteri Luar Negeri Nederland, Rotterdam Lloyd and Ocean mengatasnamakan agen-agen haji yang tergabung dalam Kongsi Tiga menuduh Herklots tak paham undang-undang kapal penumpang pribumi yang termaktub dalam Native Passagers Ships Act 15 Febuari</EM> 1884.</P><P>Surat yang emosional ini menyindir dengan mengatakan: seluruh orang Belanda di mana pun dia berada pasti memahami Peraturan ini. Pokok utama yang dipersoalkan Lloyd adalah kapal Samoa, yang dicarter Herklots untuk pemulangan jamaah, adalah kapal pengangkut batubara dan tidak dirancang sebagai kapal penumpang.</P><P>Dua persyaratan dalam Passagers Ships Act yang dilanggar Herklots, pertama</EM>: Kapal yang memiliki berdek kayu yang dibolehkan mengangkut jamaah. Untuk tiang tiap dek harus terbuat dari besi. Seluruh dek harus ditutup kayu. Kedua</EM>: para jamaah yang berada di dalam kapal tujuan Hindia Belanda itu harus cukup mendapat kayu bakar dan tidak melebihi jumlah penumpang.</P><P>Parahnya lagi, Samoa tanpa dilengkapi kayu pembatas pada seluruh dek dan kuat dugaan bahwa kapal Samoa ini kelebihan muatan. Lloyd minta Menteri Luar Negeri segera mengambil tindakan terhadap Herklots atas pelanggaran-pelanggaran itu.</P><P>Tahun 1893 memang bukan tahun yang mujur bagi agen-agen haji dari Kongsi tiga. Kapal-kapal mereka hanya bisa mengangkut sedikit jamaah yang hendak pulang ke Hindia Belanda. Kapal api Drenta milik Rotterdamsche Lloyd yang bisa memuat 830 penumpang hanya mengangkut 115 jamaah. Sementara kapal Lyilops milik Ocean Line hanya mengangkut 22 jamaah. Kapal Sentor milik Ocean hanya memuat 268 penumpang. Bahkan kapal Sunda milik Nederlandsche Lloyd yang menggratiskan biaya angkut barang dan hanya bertarif f.14, hanya mampu menjaring 100 penumpang, padahal kapasitasnya 614 penumpang.</P><P>Martin van Bruinessen dalam tulisannya “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji” mencatat, orang Nusantara punya minat tinggi untuk pergi haji. Pada akhir abad ke-19 jumlah jamaah haji Nusantara berkisar antara 10-20 persen dari seluruh jamaah haji asing. Angka melonjak, sebagaimana data Indisch Verslag</EM>, hingga 50 persen, menjadi 28.427 jamaah dari total 56.855 jamaah pada musim haji 1913/14.</P><P>Perangsangnya adalah status sosial yang tinggi yang akan diperoleh sepulang haji ditopang hasil panen yang melimpah pada tahun-tahun tertentu. Ibadah yang butuh modal besar ini tak hanya merangsang golongan atas begitu pula golongan bawah. Mereka yang punya pertanian luas membayar dengan hasil panen, sementara yang pertaniannya sempit menabung berpuluh-puluh tahun.</P><P>Pangeran Aria Ahcmad Djajadiningrat, asisten wedana Cilegon dalam buku Herinneringen van Pangeran Achmad Djajadiningrat</EM> mencatat<STRONG> </STRONG>saat-saat wawancara calon haji yang mengajukan pas-haji. Ketika seorang calon haji diminta untuk menunjukkan uang sebesar f.500, sebagaimana disyaratkan untuk mendapat pas-haji, dia bilang perlu dua hari untuk bisa menunjukkan uang tersebut.</P><P>“Uang sejumlah itu semua terdiri dari sen yang ia tanam pada berbagai tempat dalam kebun dukunya. Ia harus menggali terlebih dahulu uang itu. Selanjutnya, ia harus mempunyai sebuah gerobak untuk mengangkut uang itu dari desanya ke tempat tinggal saya dan dari sana ke Cilegon untuk sedapat mungkin uang ditukar dengan uang perak atau uang kertas.”</EM></P><P>Belakangan diketahui, calon haji ini bekerja sejak muda sebagai penjual kayu bakar dan menabung 5-10 sen per hari dari penghasilannya yang hanya 15-20 sen. Setelah 25 tahun tabungannya mencapai 50.000 sen atau f.500.</P><P>Banyak pula yang menjual tanah dan sebagian lagi nekat berhutang untuk bisa berangkat haji.</P><P>Agen perjalanan haji menangkap fenomena tersebut sebagai peluang usaha yang menggiurkan. Agen-agen haji ini melakukan berbagai cara untuk merayu, dengan berbagai kemudahan, para jamaah. Salah satunya memberikan pinjaman pada jamaah yang tak berduit –sering disebut arme</EM> pelgrims</EM> alias haji miskin.</P><P>Pinjaman diberikan berdasarkan kontrak dengan jaminan dibayar dengan tanah atau bekerja. Dengan perjanjian ini agen-agen haji meraih keuntungan karena memperoleh banyak tanah subur di Banten dan pekerja yang bisa dibayar murah. </P><P>Tajuddin Brother, sebuah agen yang fokus pada peminjaman biaya haji dan juga adviseur</EM> Kongsi Tiga, contohnya. Setelah musim haji 1925/1926, agen ini memperoleh sejumlah tanah pertanian subur di Banten sebagai tebusan atas hutang biaya haji yang waktu pengembaliannya lewat. “Ini mengakibatkan pemiskinan para haji setelah dari Makkah karena kehilangan sumber kehidupan utama,” tulis Vredenbreght dalam bukunya The Haddj</EM>.</P><P>Agen-agen haji di Kongsi tiga, di berbagai referensi haji di masa kolonial, terkenal bagus pelayanan kapalnya. Namun mereka terlibat dalam penyediaan biaya haji yang tak punya duit ini. Agen-agen haji ini biasanya bekerjasama dengan para syekh.</P><P>Bagi mereka yang berhutang dengan calo haji dan tak punya tanah untuk menebus utang biasanya membayar dengan bekerja atau jadi onderneming </EM>di perkebunan sawit milik Fa.<STRONG> </STRONG>Assegaf, seorang syekh Arab di Singapura yang sering merekrut jemaah haji untuk disalurkan pada agen-agen haji tertentu, di Deli, Semenanjung Malaya, dan Singapura hingga utang mereka lunas. Mereka yang berangkat ke Mekkah atau kembali dari haji dengan terlebih dahulu bekerja di Singapura, sesampainya di tanah air biasa mendapatkan julukan “Haji Singapura.”</P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=2&d=794" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-57192493039967522212012-09-21T21:00:00.000-07:002012-09-21T21:00:08.016-07:00Aktivis PKS Ditangkap Polisi <P>Puluhan aktivis PKS berencana melakukan pemberontakan di Surakarta.</P><P>PADA medio Desember 1941 polisi pamong praja Mangkunegaraan menerima laporan intelijen tentang bangkitnya kembali PKS (Pakempalan Kawula Surakarta). Polisi menemukan bukti bahwa PKS sedang mempersiapkan pemberontakan setelah mereka menemukan ratusan bambu runcing di salah satu kantor ranting PKS di Sragen dekat Solo. Pengakuan beberapa anggota yang terungkap dalam interogasi polisi, menjadi bukti awal yang cukup bagi kepolisian untuk melakukan penangkapan.</P><P>Menurut Marieke Bloembergen, penulis buku Polisi Zaman Hindia Belanda, </EM>Kepolisian Solo menangkap 28 anggota PKS pada Januari 1942 atas tuduhan merencanakan pemberontakan. “Mereka berencana membunuh semua warga Eropa di Solo seketika Jepang masuk ke dalam kota,” tulis Marieke yang bekerja sebagai mitra peneliti senior di Lembaga Kajian Asia Tenggara dan Karibia (Royal Netherlands Institute of Southeast Asia and Caribbean Studies/</EM>KITLV) Leiden, Belanda.</P><P>Saat itu Jepang mengobarkan Perang Pasifik dengan terlebih dulu menyerang pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour. Jepang mulai melebarkan ekspansi militer ke berbagai belahan negara di Asia, termasuk Indonesia. Jepang baru masuk Indonesia pada Maret 1942 dan secara mudah membuat Belanda bertekuk lutut tanpa perlawanan.</P><P>Pada 2 Maret 1942, inspektur kepala (hoofdinspecteur) </EM>polisi B.H. Moltzer, berangkat dari kantornya di Solo untuk mengawal pengiriman 28 tahanan ke penjara Sukamiskin, Bandung. Dia turun tangan karena kurang yakin dua agen polisi dan dua reserse dapat mengawal tahanan aman sampai tujuan. Dengan bersenjata pistol dinas dan senapan berburu laras ganda, Moltzer membawa empat orang anggota pengurus PKS dengan mobilnya sementara itu sebuah bus jemputan sekolah membawa para tahanan lainnya.</P><P>“Pada Kamis, 5 Maret 1942, Batavia diserahkan kepada kekuasaan tentara Jepang, Moltzer menyerahkan semua tahanannya ke penjara Sukamiskin,” tulis Marieke.</P><P>Untuk apa PKS didirikan?</P><P>Menurut Wasino dalam Kapitalisme Bumi Putera: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, </EM>ide pendirian PKS berasal dari Mr Singgih dalam sebuah rapat organisasi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) cabang Surakarta pada 5 Mei 1932. Dalam rapat tersebut dia mengusulkan untuk membentuk komite PKS dengan tujuan memperluas perngaruh PBI di kalangan rakyat kecil sehingga organisasi ini dapat menjadi partai rakyat yang sebenarnya.</P><P>Pakempalan Kawula Surakarta didirikan akhir 1931 untuk melawan pengaruh Mangkunegaran. Selanjutnya, “PKS bermaksud menebalkan kerukunan massa rakyat Solo dari segala lapisan untuk diajak bekerja sama guna memperoleh perbaikan derajat penghidupan,” tulis AG Pringgodigdo dalam Ensiklopedi Umum.</EM></P><P>Tidak lama kemudian sebuah panitia dibentuk oleh anggota PBI dan Mr Singgih bertindak sebagai ketua. Di bawah kepemipinan pemuka Budi Utomo itu, PKS mendapat sambutan yang besar di pedesaan sehingga bermunculan cabang-cabangnya di wilayah Surakarta. Pada Desember 1932, PKS telah tersebar sedemikian luasnya sehingga panitia PKS diubah menjadi pengurus pusat dan pada 1933 kegiatannya makin meluas.</P><P>Marieke menambahkan, laporan Jaksa Agung mencatat bahwa pada 1935 keanggotaan PKS mencapai sekitar 22.000 orang. Menurut PKS sendiri, pada waktu itu cabang mereka berjumlah 240, dan hanya 11 yang di wilayah perkotaan, sisanya di pedesaan.</P><P>Setelah sukses di wilayah Kasunanan, PKS melebarkan sayapnya ke wilayah Mangkunegaran. Propaganda PKS dipusatkan pada masalah pajak, kerja paksa, dan keluhan lainnya. Banyak penduduk di pedesaan Mangkunegaran yang menjadi pengurus dan anggota PKS. Penduduk banyak yang datang berduyun-duyun dengan berjalan kaki dari tempat yang jauh untuk mendengarkan pidato Mr Singgih. Penduduk menyebut Mr Singgih sebagai Gusti</EM> atau Gusti Kanjeng</EM>, sebutan yang hanya pantas untuk Raja. Bahkan konon Mr Singgih dianggap oleh penduduk desa sebagai Ratu Adil.</P><P>Istana Mangkunegaran menanggapi perkembangan PKS dengan gelisah dan kemarahan. Untuk membendung laju perkembangan PKS di wilayahnya, penguasa Mangkunegaran membentuk organisasi tandingan dengan nama Pakempalan Kawula Mangkunegaran (PKM) pada Juli 1933. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan untuk memajukan kemakmuran Praja Mangkunegaran maupun kesejahteraan dan rasa setia kawan di kalangan penduduknya. Organisasi itu dipromosikan secara terbuka oleh Sri Mangkunegara VII sendiri, dengan cara menghadiri perayaan-perayaan.</P><P>Menurut Wasino, konflik antara Kasunanan dan Mangkunegaran yang melibatkan massa pedesaan merupakan akibat dari konflik yang terpendam antara pihak Keraton Kasunanan dan Istana Mangkunegaran. “PKS diidentikan dengan pendukung Kasunanan dan PKM sebagai tandingan PKS identik dengan pendukung Istana Mangkunegaran,” tulis guru besar Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Semarang itu<STRONG>.</STRONG></P><P>Edy S. Wirabhumi dalam disertasinya di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Pemberdayaan Hukum Otonomi Daerah dan Potensi Wilayah: Studi Tentang Kemungkinan Terbentuknya Provinsi Surakarta, </EM>menjelaskan bahwa pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus<STRONG> </STRONG>1945, keraton-keraton di seluruh Indonesia tidak lagi menjadi kerajaan yang otonom, tetapi di bawah kekuasaan Republik Indonesia. Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman memperoleh status Daerah Istimewa, kemudian menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Menteri Dalam Negeri dr. Sudarsono berencana membentuk Daerah Istimewa Surakarta, namun gagal karena ditentang oleh kelompok intelektual, pemuda dan pelajar yang dipimpin oleh kerabat keraton sendiri KPH Mr Sumodiningrat. Mereka melancarkan “gerakan anti Swapraja” atau gerakan anti kerajaan.</P><P>“Mereka menganggap Daerah Istimewa Surakarta akan membangkitkan kembali sistem feodalisme yang bertentangan dengan nilai-nilai demokratis di alam kemerdekaan. Ketika itu timbul pula peristiwa penculikan beberapa pembesar Kantor Kepatihan Keraton Surakarta,” tulis Edy.</P><P>Gerakan anti kerajaan sudah dimulai oleh Kolonial Belanda, setidaknya sudah dimulai pada abad ke-19 dengan menghapuskan kerajaan-kerajaan dalam usahanya untuk konsolidasi politik. “...Gerakan pemuda untuk meruntuhkan kerajaan, mendapat tantangan dari Pakasa (Pakempalan Kawula Surakarta atau PKS-Red</EM>) yang mendukung keberadaan keraton,” tulis sejarawan Kuntowijoyo dalam buku Pengantar Ilmu Sejarah.</EM></P><P>Arus revolusi tak dapat dibendung. Pada 1 Juni 1946 Surakarta di bawah Pemerintahan Rakyat dan Tentara Daerah Surakarta, yang beranggotakan wakil-wakil dari partai politik dan sejumlah intelektual. Dan, sejak 15 Juli Surakarta menjadi Karesidenan, dengan Residen Iskak Tjokroadisuryo dan wakilnya Sudiro. Keduanya diculik oleh sebuah kelompok politik pada 9 November 1946. Tetapi pemerintahan tetap berjalan di bawah Badan Eksekutif yang anggotanya berasal dari wakil partai-partai politik. Kemudian, berdasarkan UU No. 16/1947 bentuk daerah Surakarta menjadi Balaikota (Harminte).</EM></P><P>Pada 20 Desember 1948, Belanda mendarat di Surakarta. Selama pendudukan, Belanda membentuk Pemerintahan Swapraja. Terjadilah dualisme pemerintahan: Pemerintahan Balaikota dan Pemerintahan Swapraja. Munculnya Pemerintahan Swapraja memperkuat gerakan anti Swapraja, dan pada gilirannya juga memperkuat anti Daerah Istimewa Surakarta.</P><P>Setelah Belanda hengkang dari Surakarta pada akhir 1949, pemerintah Republik Indonesia melakukan penataan pemerintahan. Melalui surat keputusan Menteri Dalam Negeri No. F.X.3/1/13/1950 tanggal 3 Maret 1950, pemerintahan Kasunanan dan Mengkunegaran dibekukan, dan hanya terbatas pada pemerintahan di dalam keraton saja. Dengan terbitnya surat keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut, telah memantapkan keberadaan Karesidenan Surakarta, yang meliputi Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Boyolali, Wonogiri, Klaten, Karanganyar, dan Sragen. Upaya PKS mempertahankan Kasunanan sebagai wilayah berdiri sendiri sia-sia belaka. Mereka tak kuasa melawan arus revolusi yang mengalir sebegitu dahsyatnya.<STRONG><BR></STRONG></P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=2&d=718" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-75772534894850510442012-09-19T19:24:00.000-07:002012-09-19T19:24:00.649-07:00Calo-Calo Haji <P>Percaloan dan penelantaran jamaah haji juga terjadi di masa kolonial.</P><P>BERKOEMPOEL, kelompok warga Cilegon, melayangkan sebuah surat protes pada Gubernur Jenderal di Batavia. Isinya soal kongkolikong</EM> Johanes Gregorius Marinus Herklots alias J.G.M. Herklots, bos agen perjalanan haji The Java Agency, dengan Wedana Cilegon bernama Entol Goena Djaja. Untuk menjaring jamaah haji sebanyak-banyaknya, perusahaan haji itu menggunakan jasa pejabat lokal dan keluarga mereka sebagai tenaga pemasaran. Hadiahnya: pejabat itu plus keluarganya diberi tiket gratis ke Mekah.</P><P>Tergiur dengan tiket haji gratis, para pejabat ini memakai kekuasaannya: memaksa rakyat yang hendak pergi haji untuk menggunakan perusahaan Herklots. Yang tak menggunakan perusahan itu, ditahan pas</EM>-nya (izin jalan, semacam paspor). Karena takut terhadap penguasa, dengan terpaksa banyak orang naik kapal Herklots sesuai perintah.</P><P>Dengan kongkolikong macam ini, pada musim haji 1893, Herklots berhasil menjaring lebih dari 3.000 jamaah dari, menurut J. Vrendenbregt dalam The Haddj</EM> merujuk data Indisch Verslag</EM>, keseluruhan jamaah yang berjumlah 8.092 orang.</P><P>Gubernur Jenderal, yang sudah menerima banyak keluhan soal kebusukan agen haji milik J.G.M Herklots, menerima surat ini pada pertengahan Juni 1893. Isinya, sebagaimana dikutip dari buku Berhaji Di Masa Kolonial</EM> karya Dien Majid, antara lain: “...semoea toeroet Entol Goena Djaja soedah berdjanji sama itoe toean agen Herklots, dia poenya anak (Entol Hadji Moestafa) dan mertoea (Hadji Karis) pegi di Mekkah dengan pordeo tida bajar ongkos kapal, makan dan minoem djoega pordeo dan djoega misti dapat kamar, tapi banjak sekali orang-orang jang dari district Tjilegon tida seneng menoempang di itoe kapal/agen toean Herklots, melaenkan dia orang takoet sama Kapala District Tjilegon Wedana Entol Goena Djaja...</EM>”</P><P>Gubernur Jenderal juga menerima somasi dari Konsul Belanda di Jedah tentang pungutan liar yang dilakukan agen haji Herklots. Jamaah harus membayar tiket pulang yang telah ditetapkan f.95 plus f.500 sebagai jasa bagi Herklots. Konsul memohon Gubernur Jenderal supaya mendeportasi Herklots dan mengadili kejahatannya. Meski perbuatan Herklots dikategorikan melanggar hukum tapi Gubernur Jenderal tak punya wewenang untuk mendeportasi Herklots.</P><P>Menurut Dien Majid, Konsul Belanda di Jedah lantas melobi Gubernur Jedah Ismail Haki Pasha supaya mendeportasi Herklots. Pasha tak bisa mengabulkannya dan bilang, “Herklots di sini hanya sibuk bekerja untuk melaksanakan penanganan keagamaan.”</P><P>Usaha keras Konsul untuk mendeportasi dan mengadili Herklots tak mempengaruhi bisnis haji Herklots secara keseluruhan. Herklots masih leluasa menjaring calon haji dan menebarkan tipu-tipu yang lebih parah.</P><P>Pengalaman R. Adiningrat, residen Cirebon, bisa jadi contoh. Laporan Residen Cirebon tanggal 10 Juli 1893, sebagaimana dikutip Dien Majid, menyebutkan pengalaman buruknya menggunakan agen Herklots. Saat membeli tiket, Adiningrat dilayani oleh W.H. Herklots, adik J.G.M. Herklots. Adiningrat musti membayar f.150 plus premi f. 7,50 per kepala; lebih mahal dari tarif pemerintah sebesar f.110. Padahal di reklamenya, Herklots menawarkan harga lebih murah: “Harga menoempang f.95 satoe orang troes sampai di Djeddah dan anak-anak oemoer dibawah 10 taoen baijar separo harga, anak yang menetek tidak baijar</EM>.”</P><P>Sialnya lagi, menjelang tanggal keberangkatan haji, W.H. Herklots kabur duluan dari Cirebon dan dia berangkat ke Jedah menggunakan kapal De Taroba.</P><P>J.G.M. Herklots dan teman Arabnya, Syekh Abdul Karim, “penunggu Kabah”, juga menipu pihak berwenang Mekah dan memanfaatkan mereka untuk menjaring jamaah haji yang hendak pulang ke Hindia Belanda. Herklots memakai identitas palsu untuk bisa masuk Mekah, yakni Haji Abdul Hamid, pribumi Hindia Belanda beragama Islam. Identitas baru ini perlu karena orang-orang non-Muslim tak diperkenankan masuk Mekah.</P><P>Herklots menggunakan identitas palsu ini untuk mengajukan pinjaman pada Syarif<STRONG> </STRONG>Mekah. Syarif Mekah bersedia memberi pinjaman f.150.000 dengan dua catatan. Pertama, di kantor Herklots ditempatkan dua jurutulis Syarif Mekah, yang bertugas mengawasi kegiatan kongsi, terutama jumlah jamaah. Setiap sore mereka mengambil keuntungan sesuai perjanjian yang disepakati. Kedua, di pihak lain, para syeikh kepercayaan Syarif Mekah membantu Herklots mencari jamaah yang telah selesai menunaikan ibadah haji untuk pulang ke tanah air.</P><P>Dengan kesepakatan ini Herklots mendapat perlindungan. Dan dengan bantuan para syeikh, dia bisa leluasa menjaring para jamaah yang hendak pulang sementara agen-agen haji lain susah-payah mendapatkannya.</P><P>Di Mekah, para “Haji Jawa”, sebutan untuk jamaah haji Hindia Belanda, dipaksa naik kapal api dari agen Herklots. Supaya tak pindah ke kapal lain, mereka diwajibkan membayar tiket sejak di Mekah.</P><P>Jamaah haji yang telah membayar mahal ini dibuat terlantar saat menunggu tanpa kepastian kapan kapal carteran Herklots dari Batavia datang. Mereka menunggu di tenda-tenda di<STRONG> </STRONG>lapangan<STRONG> </STRONG>terbuka<STRONG> </STRONG>tanpa fasilitas memadai.</P><P>Para jamaah, yang kehabisan duit itu, mengadukan perlakuan buruk Herklot pada konsulat Belanda di Jedah dan bikin konsulat Belanda geram. Mereka memaksa Herklots mengembalikan uang tiket tanpa harus menunggu kapal carteran. Herklots bersedia mengembalikan separo dari harga tiket, 31 ringgit. Selain keluhan keterlambatan dan penelantaran, banyak jamaah haji mengeluhkan fasilitas kapal pengangkut jamaah. Majid menulis, kapal Samoa yang dipakai Herklots tak dirancang sebagai kapal penumpang. Akibatnya, dek atas dan bawah penuh penumpang dengan ventilasi yang buruk. Banyak penumpang jatuh sakit.</P><P>Majid juga mengutip kesaksian Sin Tang King, gelar raja muda Padang yang berganti nama menjadi Haji Musa, salah seorang penumpang kapal, “Sampai di Djeddah saja liat ada banjak kapal tetapi tiada kapal boleh kami naik di lain kapal hanja misti masok kapal Samoa, dan kapal lain sewanya tjoema 15 ringgit ada djoega jang 10 ringgit djikaloe orang maoe naik di lain kapal oewang jang telah dibajar di Mekkah itoe ilang sadja. Satoe doewa orang jang ada oewang dia tiada perdoeli ilang oewangnja 37 ringgit itoe dia sewa lain kapal, sebab di kapal Samoa tiada bisa tidoer dan tiada boleh sambahjang karena semoewa orang ada 3.300 (sepandjang chabar orang) djadi bersoesoen sadja kami jang tiada oewang boewat sewa lain kapal...</EM>”</P><P>Kapal Samoa berangkat menuju Batavia pada 7 Agustus 1893 dan transit semalam di Aden. Setelah berlayar dua hari dari Aden, menurut kesaksian Si Tang Kin, tepat hari Selasa sekira pukul 17.00 Samoa dihajar badai dahsyat. Kapten kapal tak memberi tahu akan datangnya badai sehingga pintu terbuka dan orang-orang di kapal riuh, berhimpit-himpitan dengan peti, hingga ada yang kepalanya pecah, putus kakinya, atau terhempas ke laut. Dalam satu malam, seratusan orang tewas. Mereka dibuang begitu saja ke laut tanpa disembahyangkan atau dikafani.<STRONG></STRONG></P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=2&d=797" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-14251094168633312072012-09-17T09:32:00.000-07:002012-09-17T09:32:00.267-07:00Siasat Buah Aren Kalahkan Surabaya <P>Pada akhirnya kecerdikan otaklah yang bisa mengalahkan Surabaya. Bukan otot dan pedang.</P><P>WINONGAN hanyalah sebuah kota kecamatan di wilayah kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, yang letaknya berada di sebelah tenggara Surabaya. Di kota kecil itulah pada 1614, pasukan Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Suratani, mendirikan pusat komandonya sekaligus mengordinasikan serangan Mataram ke daerah timur. Sejak 1614, mulai dari Winongan, balantentara Mataram terus merongrong kekuasaan Surabaya. Serangan demi serangan pun dilakukan ke berbagai wilayah kekuasaan Surabaya di pantai utara Jawa, mulai dari Tuban, Gresik dan terus merangsek ke jantung kekuasaan Surabaya. </P><P>Ada dua kerajaan yang menjadi musuh utama Mataram, yakni Surabaya di timur dan Banten di barat. Sejak kepemimpinan Panembahan Hanyakrawati (1601-1613), Kerajaan Mataram gigih memperluas pengaruhnya di Jawa. Beberapa tahun menjelang akhir kekuasaanya, Raja yang kemudian setelah meninggal digelari sebagai Panembahan Seda Ing Krapyak itu memang menjalankan politik luar negeri yang aktif. Bahkan, mengutip sejarawan HJ. De Graaf, Panembahan mempekerjakan Juan Pedro Italiano, seorang petualang Italia, yang telah masuk Islam, untuk melobi para pedagang Belanda. </P><P>Semasa hidupnya Panembahan Krapyak gencar memerangi Surabaya namun tak pernah berhasil menguasai kota yang terkenal memiliki pertahanan yang kuat itu. Ketika Sultan Agung menggantikan posisi Panembahan Krapyak pada 1613, raja baru itu meneruskan pekerjaan sang ayah yang tak sempat berlanjut karena keburu wafat pada 1 Oktober 1613. Pada saat Sultan Agung memerintah, sebuah taktik lain dijalankan. Alih-alih menyerang langsung ke Surabaya, sultan yang sebelum dinobatkan bernama Raden Mas Jatmika itu memilih untuk menyerang lebih dulu daerah-daerah taklukan Surabaya. </P><P>Beberapa bulan setelah penobatannya, Sultan Agung langsung memberikan titah kepada Tumenggung Suratani yang disertai ribuan balatentara Mataram untuk segera berangkat menyerang daerah timur. Sultan Agung memberikan perintah dengan acaman: bunuh siapa pun yang mundur dari gelanggang pertempuran. Target serangan pertama adalah Pasuruan. Namun serangan itu gagal karena tentara Pasuruan bertempur habis-habis mempertahankan kotanya. Walhasil balatentara Mataram mundur ke Winongan dan bertahan di daerah itu dengan membangun perintang yang sangat kuat untuk melindungi diri dari kemungkinan serangan balasan. </P><P>Sementara menyusun kekuatan untuk serangan ulang, Tumenggung Suratani memerintahkan Tumenggung Alap-Alap merebut Lumajang dan Renong. Namun kedua bupati daerah itu berhasil melarikan diri. Tumenggung Alap-Alap dan pasukannya yang berhasil menguasai kota, menjarah harta benda milik bupati, bahkan menculik para perempuan untuk dibawa pulang. Aksi penyerangan dilanjutkan sampai ke Malang di mana pasukan Tumenggung Alap-Alap berhasil menangkap Rangga Toh Jiwa, bupati Malang yang sempat melarikan diri dari kejaran pasukan. </P><P>Cara pasukan Mataram menebar aksi teror ini cukup berhasil menimbulkan ketakutan di kalangan penguasa daerah-daerah protektorat Surabaya. Dalam jangka waktu yang singkat, Mataram terus menggempur daerah-daerah di Jawa Timur. Ekspedisi demi ekspedisi dikirim, mengoyak rasa tenteram para penguasanya. Tak semua serangan Mataram berhasil. Dalam beberapa serangan balasan, pasukan Mataram kocar-kacir, seperti yang terjadi pada pertempuran di Sungai Andaka (kini disebut sungai Brantas), di mana dua pemimpin pasukan Mataram, Aria Suratani dan Ngabei Ketawangan tewas di tempat. </P><P>Menyerang terlebih dahulu kota-kota satelit di sekitar Surabaya agaknya bertujuan untuk memutus jalur logistik ke Surabaya. Sebagai kota pelabuhan, Surabaya menggantungkan dirinya kepada daerah-daerah pedalaman (hinterland</EM>) untuk suplai berbagai kebutuhan sehari-hari. Bahkan kebutuhan atas air pun diambil dari kali Mas, salah satu dari dua cabang kali pecahan aliran Sungai Brantas yang melintasi Mojokerto. Kelak lewat sungai Brantas Surabaya bisa dibuat bertekuklutut. </P><P>Taktik demikian ditempuh Mataram karena serangan langsung terhadap Surabaya tak pernah berhasil. Surabaya terlalu kuat, apalagi bala bantuan dari Madura selalu siap setiap saat mempertahankan Surabaya. Selama bertahun-tahun, semenjak naih takhta, Sultan Agung terus melancarkan penyerbuan ke Surabaya. Seringkali menemui kegagalan tapi dia tak pernah jera untuk melakukan serangan. </P><P>Apa yang sebenarnya mendorong sultan dari trah Ki Ageng Pemanahan itu begitu ngotot menaklukkan Surabaya? Sejarawan Universitas Gadjah Mada Dr. Sri Margana mengatakan perebutan legitimasi kekuasaan religius adalah alasan utama kenapa Mataram gigih melancarkan perang terhadap Surabaya. “Mataram membutuhkan legitimasi keislaman dan itu dimiliki oleh Surabaya karena mereka keturunan para wali, sementara Mataram keturunan petani,” kata doktor lulusan Leiden University itu. </P><P>Menurut Margana legitimasi kekuasaan berdasarkan tahkta suci agama menjadi penting karena dengan itulah Surabaya memiliki pengaruh yang sangat luas. Konsepsi kekuasaan yang demikian bersumbu pada kepercayaan di kalangan masyarakat Jawa bahwa raja adalah pusat kosmis yang memiliki pengaruh baik pada alam maupun masyarakat. Raja juga dipercaya sebagai keturunan nabi-nabi dan dewa-dewa. Anggapan itu dikaitkan dengan kepercayaan magis dari wahyu raja (pulung ratu</EM>) dan konsep pewaris keturunan darah raja (trahing kusuma rembesing madu wijining andhana tapa</EM>), hanya orang yang memiliki keturunan darah raja lah yang berhak menjadi raja (Poesponegoro:1992. 60). “Sementara trah Pemanahan itu kan trahnya petani, jadi mereka berada satu derajat di bawah trah wali seperti penguasa Surabaya, itu alasan Mataram menyerang Surabaya,” kata Margana. </P><P>Maka Mataram berani menempuh jalan mana pun untuk mengalahkan dan menguasai Surabaya. Cara Sultan Agung yang menggempur secara periodik wilayah kekuasaan setahap demi setahap menimbulkan korban yang cukup besar di pihak Mataram. Namun dia terus mencari cara agar Surabaya yang makin lama makin terdesak itu menyerah, terutama sejak kejatuhan Tuban pada 1619 menyusul kekalahan Madura pada 1624. </P><P>Setelah bertempur selama hampir satu dekade lebih, akhirnya Mataram berhasil memasuki pinggiran kota Surabaya yang pertahanannya tak terkalahkan itu. Pasukan Mataram di bawah pimpinan dua panglima perangnya, Tumenggung Ketawangan dan Tumenggung Alap-Alap menggempur Surabaya pada 1624. Dari sumber Belanda, sebagaimana dikutip dari De Graaf (2002), kendati sudah berhasil menembus barikade pertahanan Surabaya, pasukan Mataram masih mengalami kesulitan mematahkan pertahanan pasukan Surabaya yang gigih mempertahankan pusat kotanya. </P><P>Tentara Mataram pun kembali menebar teror kepada penduduk pinggiran Surabaya. Sawah dan ladang milik penduduk diporak-porandakan dengan maksud para penduduk yang tetap bertahan segera menyerah seperti juga yang dilakukan oleh penduduk Sampang, Madura ketika mereka diserang Mataram beberapa waktu sebelumnya. Pertempuran dengan pihak Surabaya, mengutip De Graaf, “sudah sampai tingkat kritis. Sebanyak 80 ribu orang mengepung kota ini.” Karena alotnya pertahanan pasukan Surabaya, Mataram memilih untuk bersikap defensif sambil mencari akal untuk menyusun serangan mematikan kepada pihak Surabaya. Mereka pun mendirikan perkemahan di sekitar Mojokerto sambil menunggu waktu tepat melancarkan serangan.</P><P>Tumenggung Mangun Oneng yang diberi mandat memimpin serangan ke Surabaya kali ini melancarkan taktik “bendungan Jepara” untuk menyumbat aliran sungai Brantas yang menjadi sumber air bagi penduduk Surabaya. Teknik pembendungan tersebut menggunakan berbatang pohon kelapa dan bambu yang diletakkan membentang di dasar sungai sampai dengan permukaannya. Setelah air tersumbat dan hanya mengalir sedikit saja, pasukan Mataram menceburkan bangkai binatang dan berkeranjang buah aren (latin: Arenga saccharifera</EM>). Bangkai menyebabkan air berbau busuk sementara buah aren menimbulkan gatal-gatal yang luar biasa hebatnya. </P><P>Air yang tercemar itu menyebabkan penduduk Surabaya terkena wabah penyakit batuk dan gatal-gatal. Taktik yang mendatangkan penderitaan bagi rakyat Surabaya itu sampai ke telinga raja. Sebuah pertemuan digelar oleh kalangan istana Surabaya tapi raja terlalu malu untuk memaklumkan kekalahannya pada Mataram. Maka diutuslah Pangeran Pekik, putra sang raja, beserta seribu tentara Surabaya untuk menemui Tumenggung Mangun Oneng. Melalui Demang Urawan, surat maklumat kekalahan Raja Surabaya disampaikan kepada Tumenggung Mangun Oneng. Menurut catatan VOC sebagai mana dikutip De Graaf, Surabaya dinyatakan kalah pada 27 Okotober 1625. Sejak saat itu Mataram mulai mencengkeramkan kuku kekuasannya di Jawa Timur<STRONG>.</STRONG></P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=1&d=645" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-37639742203745502672012-09-16T07:22:00.000-07:002012-09-16T07:22:00.531-07:00Hukuman Kejam dari Sultan Penjahat Aceh setelah tangan dan kakinya dipotong (Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 karya Anthony Reid); Kapten Melayu atau orang kaya (Sumatera Tempo Doeloe karya Anthony Reid). Ilustrasi: Micha Rainer Pali.<P>PADA 28 September 1571, kegaduhan terjadi di Kesultanan Aceh. Sultan Alau’ddin Ri’ayat Syah al-Kahar, yang berkuasa sejak 1539, baru saja wafat. Sultan ini sangat dihormati rakyatnya karena berhasil melindungi Aceh dari serangan Portugis dan menyusun Undang-Undang Dasar Negara, Dustur Negara</EM>.</P><P>Sepeninggalnya, tahta sultan dijabat oleh putranya, Ali Ri’ayat Syah. Pada masanya, timbul benih-benih perpecahan di kalangan keluarga kesultanan. Puncaknya terjadi setelah sultan ini wafat pada 1579. Konflik berdarah pun tak terhindarkan. Ini membawa Aceh ke dalam situasi tanpa hukum. Beberapa sultan kemudian mencoba mengembalikan hukum.</P><P>Sepanjang 1579, Aceh mengalami tiga kali pergantian sultan. Seorang anak berumur empat tahun, putra Ali Ri’ayat Syah, sempat memimpin Aceh meski tak lama. Dia terbunuh akibat konflik perebutan tahta. Penggantinya adalah Raja Seri Alam, putra Alau’ddin Ri’ayat Syah al-Kahar sekaligus adik Ali Ri’ayat Syah. Dia datang ke Aceh dari Pariaman (Sumatra Barat) menuntut penobatan dirinya sebagai sultan. Tuntutannya dipenuhi, tapi hanya bertahta dua bulan. Kekejaman dan perangainya yang jahat memicu pemberontakan rakyat yang digalang sebagian keluarga kesultanan. Dia tewas. Sultan penggantinya, Zainal ‘Abidin, memiliki riwayat yang sama: kejam dan kemudian tewas di tangan rakyat.</P><P>M. Djunus Djamil dalam Gadjah Putih Iskandar Muda</EM>, menyebut masa itu sebagai “zaman huruhara”. Wibawa kesultanan menurun, keamanan rakyat tak terjamin, para penjahat leluasa merampok harta rakyat, orangkaya</EM> (golongan bangsawan) memeras rakyat, dan hukum pun runtuh.</P><P>Situasi sedikit berubah ketika Alau’ddin Perak (dari Perak, Semenanjung Malaya) naik tahta pada 1580. Dia mengatasi kekacauan dan mengembalikan hukum di Aceh. “Beliau termasuk salah seorang yang sungguh-sungguh ikut memikirkan keselamatan Aceh dalam huru-hara itu,” tulis Djamil. “Dalam pimpinannya, keamanan telah pulih kembali.” Sayangnya, keadaan itu hanya bertahan enam tahun. Pada 1586, Alau’ddin Perak terbunuh akibat konflik dengan pembesar kesultanan.</P><P>Aceh kembali memasuki masa kekacauan hingga 1589. Setelah memasuki dasawarsa gelap itu, kesultanan secara perlahan kembali berwibawa, hukum mulai bertegak meski kesultanan cenderung absolut memasuki abad ke-17. “Aceh mengalami perkembangan baru,” tulis Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh Masa Iskandar Muda.</EM></P><P>Iskandar Muda, Sultan Aceh yang berkuasa sejak 1607, berusaha menegakkan hukum secara keras, terutama berkaitan dengan pidana demi mengembalikan keberadaan hukum dan wibawa kesultanan. Dia melanjutkan usaha sultan dua periode sebelumnya, Alau’ddin Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil (1589-1604).</P><P>Sultan sebelum Iskandar Muda, Ali Ri’ayat (1604-1607), sempat menyeret kesultanan Aceh ke dalam konflik internal. Akibatnya, menurut Rusdi Sufi dalam Pahlawan Nasional Sultan Iskandar Muda</EM>, “Aceh menjadi kancah perampokan, pembunuhan, dan ketidakteraturan yang menyedihkan.”</P><P>Sebelumnya, pada masa Al-Mukammil, upaya penegakan hukum dilakukan, dari pidana hingga menyangkut soal moral, terutama perzinahan. Seorang perempuan bersuami yang terbukti berzina dapat dihukum mati atau dipotong hidung, kemaluan (jika laki-laki), dan telinganya, bahkan dilemparkan ke gajah. Francois Martin, pedagang Prancis yang mengunjungi Aceh pada 1602, menyatakan, “Itu adalah hukuman yang lazim. Pasangan yang berzina akan dilemparkan ke hadapan seekor gajah yang akan menginjak mereka sampai mati.” Catatannya diterbitkan pada 1604, lalu termuat dalam Sumatera Tempo Doeloe </EM>karya Anthony Reid.</P><P>Selain itu, Martin menulis bahwa sultan juga dapat menghukum langsung laki-laki yang melihat perempuan dan gajah miliknya. Hukumannya tak main-main. Mata dicungkil atau kemaluan dipotong. Sedangkan hukuman bagi pencuri adalah potong tangan.</P><P>Sultan Iskandar Muda menegakkan hukum agak berbeda dengan Al-Mukammil. Dia membagi pengadilan dalam empat kategori: pidana, agama, perdata, dan niaga. Tiap pengadilan itu mempunyai ketua dari kelompok masyarakat yang berbeda. Dalam pengadilan pidana dan perdata, misalnya, orangkaya</EM> menjadi ketuanya. Sementara itu, kadi</EM> (hakim dari kalangan agamawan) menjadi ketua dalam peradilan perdata dan niaga.</P><P>Uniknya, pembagian pengadilan ini sama sekali tak menghilangkan hak-hak istimewa sultan menghukum orang-orang bersalah seperti hak menusuk dengan galah, mempertontonkan seseorang yang dihukum mati dengan dijepit di antara dua batang kayu yang dibelah; menyayat daging seseorang; dan menumbuk kepala seseorang dengan sebuah alu (sroh)</EM>.</P><P>Tak diperoleh keterangan yang cukup mengenai undang-undang khusus yang digunakan dalam pengadilan-pengadilan itu. Hanya keterangan mengenai hukuman dan pelaksanaannya yang banyak diketahui, terutama untuk pidana. Tapi, Anthony Reid dalam Dari Ekspansi Hingga Krisis</EM> menyatakan, “ada banyak bukti mengenai pelaksanaan syariah (Islam) atau hukum Allah.” Penerapan ini berlaku untuk kasus pencurian sesuatu yang berharga, paling tidak seperempat dinar, hukumannya potong tangan kanan dan kiri hingga kaki kanan dan kiri, tergantung berapa kali seseorang melakukan pencurian. Hingga 1688, hukuman ini masih diterapkan.</P><P>William Dampier, seorang penjelajah dan penulis asal Inggris, menyaksikan sendiri orang-orang yang tak punya tangan dan kaki karena kasus pencurian. Orang-orang ini menjadi pengemis dan banyak tersua di pasar-pasar Aceh pada 1688.</P><P>Dalam bukunya yang lain, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga</EM>, Anthony Reid menyebut praktik hukuman pemotongan tubuh untuk para penjahat ini melampaui ketentuan-ketentuan hukum Islam. Pemotongan tubuh ini terkadang meliputi hidung, bibir, dan telinga. Praktik ini kerap terjadi pada masa Iskandar Muda.</P><P>Tapi, menurut Rusdi Sufi, praktik ini berkembang sesuai situasi pada zamannya. Hal ini diperkuat oleh catatan Agustin De Beaulieu, pelaut Prancis yang mengunjungi Aceh pada 1621. Dalam catatannya, “Kekejaman Iskandar Muda” termuat dalam Sumatera Tempo Doeloe,</EM> dia mengutip pembelaan Iskandar Muda yang pernah menyaksikan Aceh menjadi surga untuk para pembunuh dan pembegal; tempat yang kuat menghancurkan yang lemah sehingga orang harus mempertahankan diri terhadap perampok bersenjata di tengah hari, dan orang harus membentengi rumahnya di malam hari.</P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=1&d=964" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-69149539033070521442012-09-13T21:20:00.000-07:002012-09-13T21:20:00.287-07:00Penyulingan Anggur Tertua <P>Sebuah tempat penyulingan anggur berusia ribuan tahun ditemukan di Armenia.</P><P>SEBUAH tim peneliti gabungan dari Amerika, Armenia, dan Irlandia menemukan sebuah tempat penyulingan anggur tertua di dunia di kompleks gua Areni-1 di desa Areni, di selatan Armenia. Penemuan itu diumumkan Journal of Archaeological Science, </EM>11 Januari.</P><P>Di dalam gua, tim peneliti menemukan sebuah tong fermentasi dalam ukuran besar (dengan kedalaman 60 cm) terkubur di sisi baskom tanah liat dengan diameter satu meter yang biasa digunakan untuk menginjak-injak anggur. Selain itu mereka juga menemukan gelas-gelas anggur, buah, kulit, dan biji anggur yang sudah layu. Di gua yang sama pada Juni 2010 ditemukan sepatu kulit pertama di dunia yang diperkirakan berusia 5500 tahun.</P><P>“Ini bukti paling awal dan paling bisa diandalkan tentang (proses) produksi anggur. Untuk kali pertama, kita memperoleh gambaran arkeologis lengkap tentang (proses) produksi anggur dari 6100 tahun lalu,” kata Gregory Areshian, wakil ketua penggalian yang juga Asisten Direktur Cotsen Institute of Archaeology UCLA.</P><P>Sebelumnya, pada 1963, para arkeolog menemukan sebuah tempat penyulingan anggur kuno di West Bank, Palestina. Tempat itu diperkirakan dibangun pada 1650 SM. Sementara pada 1996, tim arkeolog yang dipimpin Patrick E. McGovern, ahli kimia arkeologi dari Museum University of Pennsylvania, menemukan sisa-sisa anggur berusia 7400 tahun di desa Neolitik Hajji Firuz, di pegunungan Zagros bagian Utara Iran. “Namun saat itu, kami hanya mengetahui jumlah kendi anggurnya. Temuan terbaru ini adalah tempat penyulingan anggur tertua yang pernah ditemukan,” ujar McGovern.</P><P>Untuk menguji apakah tong dan kendi di gua Areni-1 digunakan untuk menampung anggur, anggota tim menganalisis pecahannya dan menemukan pigmen tumbuhan yang disebut malvidin. Maldivin biasanya menyebabkan warna merah pada anggur dan buah delima.</P><P>“Malvidin adalah indikator kimiawi terbaik dari keberadaan anggur yang kami ketahui. Karena tak ada sisa-sisa buah delima di area penggalian, kami yakin tong itu digunakan untuk menampung sesuatu yang dibuat dari sari buah anggur,” kata Areshian. <STRONG> </STRONG></P><P>Tempat penyulingan anggur itu diperkirakan memproduksi anggur untuk tujuan ritual. Di dekat gua ditemukan setidaknya 20 makam dengan delapan jenazah, termasuk seorang anak, seorang perempuan, dan tulang-belulang seorang laki-laki tua. Dalam sebuah bejana keramik ditemukan juga tengkorak tiga remaja. Di dalam dan di dekat kuburan ditemukan gelas-gelas minuman. Menurut Areshian, bisa jadi anggur diminum untuk menghormati atau menenangkan arwah, atau dipercikkan pada makam-makam itu.</P><P>Gua yang memiliki beberapa ruangan itu diperkirakan dipakai untuk ritual bagi orang-orang dengan status sosial tinggi. Para arkeolog menemukan kendi-kendi besar berisi buah-buahan yang dikeringkan seperti anggur, prune, kenari, dan almond.</P><P>Menurut Mitchell S. Rothman, antropolog dan ahli Chalcolithic di Widener University yang tak terlibat dalam tim itu, saat itu industri dan teknologi sedang berkembang. Ada kecendrungan orang untuk membuat perbedaan sosial. “Ritual, dalam hal ini, tak hanya menjadi cara untuk memuja para dewa. Orang-orang yang terlibat di dalamnya juga menjadi orang-orang istimewa,” ujar Rothman.</P><P>Menurut The New York Times</EM>, temuan tempat penyulingan anggur dan artefak lain dalam gua yang sama memberikan gambaran cukup lengkap tentang kehidupan manusia di Zaman Perunggu –disebut juga masa Calcolithic– ketika manusia mulai menciptakan roda, beternak kuda, serta membuat alat-alat dari logam dan batu.</P><P>Menurut Areshian, penemuan ini menjadi penting karena menunjukkan inovasi sosial dan teknologi yang amat berarti bagi kalangan masyarakat prasejarah. Bentuk pertanian baru, yang jauh lebih canggih dari sebelumnya, terlihat dalam proses penanaman anggur.</P><P>“Masyarakat saat itu harus mempelajari dan memahami siklus pertumbuhan tanaman anggur. Mereka juga harus memahami seberapa banyak air yang diperlukan bagi tanaman, bagaimana mencegah jamur yang dapat merusak panen, dan bagaimana menangani lalat yang biasanya hidup di buah anggur,” ujar Areshian.</P><P>Areshian menambahkan, penemuan ini memberi informasi berharga tentang fase paling awal holtikultura (seni berkebun) di dunia –tentang bagaimana masyarakat masa itu membuat kebun buah dan anggur untuk kali pertama. </P><P>“Dari perspektif ilmu gizi dan kuliner, proses pembuatan anggur menambah persediaan makanan, dengan memproses anggur liar yang asam dan sebelumnya tak bisa dimakan,” ujar Naomi Miller, arkeolog University of Pennsylvania.</P><P>“Dari perspektif sosial, baik atau buruk, minuman beralkohol mengubah cara kita berinteraksi di dalam masyarakat.” [National Geographic/NY Times/AFP]</P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=1&d=743" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-39513733691153597672012-09-11T06:14:00.000-07:002012-09-11T06:14:00.164-07:00Posisi Pandai Besi Sumber: Repro Buku Keris Antik Wangkingan Kebo Hijau. Ilustrasi: Micha Rainer Pali.<P>ANN Dunham, antropolog Amerika Serikat dan ibu Presiden Amerika Barack Obama, terpaku heran melihat dua pembesar desa menunjukan sikap takzim pada perajin keris, Pak Djeno. Mereka berbicara dengan nada yang direndahkan. Kepala mereka seringkali menunduk ketika mendengar Pak Djeno berbicara. Tak seperti yang Ann kenal, sikap mereka berbeda; tak ada kelakar dan tawa dari mereka sebagaimana biasa. Dua pembesar itu menemani Ann yang sedang menyusun disertasi mengenai pandai besi di Indonesia. Pada 1988, Ann menyambangi desa di Sleman, Yogyakarta, untuk menambah bahan-bahan penulisan.</P><P>Sebelumnya, Ann tak tahu bahwa pandai besi memiliki posisi yang tinggi meski secara kelas sosial wong cilik</EM>. Dia baru tahu saat menatap rajah silsilah di dinding rumah Pak Djeno. Rajah itu menunjukan Pak Djeno sebagai generasi keempatbelas keturunan pandai besi Kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Ann terkesiap. Di tengah rasa kejutnya, Ann disodorkan beberapa keris oleh Pak Djeno. Dia memutuskan membeli salah satunya. Sikap dua pembesar desa terhadap Ann pun berubah. Kejadian ini dia tuangkan dalam disertasinya yang telah dibukukan, Pendekar-Pendekar Besi Nusantara</EM>.</P><P>Pandai besi telah ada sejak berpuluh abad lampau. Menurut arkeolog Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna</EM>, cukup banyak prasasti yang menyebut keberadaan mereka. Kala itu, mereka dikenal sebagai pandai wsi</EM> (besi).</P><P>Beberapa desa di Jawa Tengah seperti Tanggung dan Kedok dikenal sebagai asal pandai besi sedari abad ke-8. Mereka mengolah bijih besi yang terdapat di dekat tempat tinggalnya, terutama wilayah perbukitan. Dari sini terbentuk jejala industri besi rumah tangga. Di pasar, mereka menjual karyanya berupa pisau, parut, loyang, cetakan kue, dan alat-alat pertanian. </P><P>Waktu itu, masyarakat Jawa menempatkan pandai besi pada posisi unik. Ada yang menganggap keahlian mereka tak lebih dari tukang sehingga status dan kelas sosialnya rendah. “Dalam beberapa naskah kesusastraan seperti Slokantara</EM> (abad ke-14) dan Agama Adigama</EM>, kelompok pandai dimasukkan ke dalam kelompok candala</EM>, yaitu kelompok masyarakat yang kedudukannya paling rendah,” tulis Titi. </P><P>Naskah Tantri Kamandaka,</EM> yang ceritanya diabadikan dalam relief Candi Jago (abad ke-13) di Malang Jawa Timur, memuat hal-ihwal musabab masuknya pandai besi ke kelompok candala</EM>. Mulanya, seorang pandai besi terlibat pencurian. Seorang brahmana lalu menolongnya. Namun pandai besi itu bukannya berterimakasih, malah menimpakan tuduhan pencurian ke brahmana. Raja marah dan menghukum brahmana ke penjara. Beberapa lama, barulah raja tahu kisah sebenarnya. Brahmana dibebaskan dan pandai besi dijatuhi hukuman mati.</P><P>Di sisi lain, menurut Titi, pandai besi memiliki kedudukan penting dalam masyarakat. Keterangan itu antara lain tersua dalam salah satu prasasti<STRONG> </STRONG>masa Sindok (abad ke-9). Termaktub pula di dalamnya sebutan bagi mereka, ‘mpu’. Gelar ini tak mungkin disematkan jika mereka hanya menjadi kelompok rendahan.</P><P>Indolog CF Winter mengemukakan, kedudukan pandai besi dapat terlihat dalam penamaan Candi Prambanan. Dia menduga kata Prambanan berasal dari Parambanan atau Poerambanan, yang berarti empu Rombo atau Rombo sang pandai besi. Karena itu, dia berpendapat pandai besi berkedudukan tinggi. “Namun Winter tidak membahas hubungan yang barangkali cuma kebetulan belaka antara seorang pandai besi semacam itu dan candi dimaksud,” tulis Roy Joordan, “Candi Prambanan Sebuah Pendahuluan Mutakhir,” termuat dalam Memuji Prambanan</EM>. </P><P>Sementara itu, menurut sejarawan Anthony Reid, keahlian mengolah besi dapat menjadi sarana penciptaan kekuasaan. “Pengerjaan barang-barang dari logam merupakan penciptaan kekuasaan, sebab alat-alat dari logam pertama-tama diperlukan untuk perang, baru sesudahnya untuk pertanian,” tulis Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga</EM>. Reid mencontohkan, cerita Ciung Wanara yang menyertakan pandai besi, dengan kekuatan magisnya, sebagai tokoh penting dalam perebutan tahta Kerajaan Galuh (abad ke-7-8).</P><P>Logam, khasnya besi, kerapkali dipandang sebagai simbol keteguhan dan kekuatan. Untuk mengolah besi, seseorang tak cukup hanya mempunyai keahlian kasar, tapi juga kehalusan batin agar besi tertempa sempurna. Tak heran, sebagian masyarakat kala itu menilai pandai besi menyimpan aura suci. Pada masa Majapahit, mereka dikumpulkan di ibukota untuk menjamin kekuatan perang balatentara Majapahit. Mereka dilindungi raja dan dijamin kesejahteraannya.</P><P>Ketika Majapahit perlahan runtuh, sebagian pandai besi memilih bertahan dan menurunkan keahliannya. Kelak, Kesultanan Demak dan Mataram menggunakan jasa mereka untuk memperkuat persenjataannya. Tak sedikit pula pandai besi yang menyebar ke wilayah pedesaan. Dua yang terkenal adalah kakak-adik, Empu Supo dan Empu Suro. Bersama pelarian lainnya, mereka menuju ke selatan lalu berhenti di sebuah hutan tak berpenghuni yang dirasa aman. Bangunan untuk tempat tinggal pun didirikan hingga tempat itu menjadi desa.</P><P>Empu Supo dan Empu Suro meneruskan usahanya membuat aneka pusaka besi seperti keris dan tombak. Pesanan mulai berdatangan. Penasaran, sejumlah orang segera mendatangi tempat itu yang kemudian disebut Kampung Pandean. Nama itu bertahan hingga sekarang untuk menyebut sebuah desa kecil di Umbulharjo, Yogyakarta. Keahlian mengolah besi pun lestari hingga kini pada segelintir penduduk. Beberapa di antaranya menisbatkan diri sebagai keturunan pandai besi zaman Majapahit. Status yang meninggikan mereka meski pekerjaannya dianggap kasar.<STRONG> </STRONG></P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=1&d=1034" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-72657367029597597182012-09-08T17:43:00.000-07:002012-09-08T17:43:00.112-07:00Perang Ayam Di Bali, mengadu ayam pernah menjadi ritual keagamaan, perjudian, hingga simbol maskulinitas.</P>CLIFFORD Geertz tiba di sebuah desa kecil di Bali awal April 1958 bersama istrinya, Hildred Geertz. Sebagai antropolog, mereka bermaksud meneliti budaya dan masyarakat di sana. Pada hari ke-10 kunjungan, mereka pergi ke sudut desa yang tersembunyi. Di sana, puluhan orang telah berkumpul. Adu ayam tengah dihelat. Geertz dan istrinya menyaksikan dengan seksama. Tiba-tiba seseorang berteriak: “Polisi, polisi!” Orang-orang berlarian. Tak terkecuali Geertz dan istrinya.</P>Geertz menuangkan pengalamannya dalam karyanya “Deep Play: Notes on the Balinese Cockfighting”, termuat dalam Intrepetation of Cultures</EM>. Karya itu mengupas aspek antropologis adu ayam (tajen</EM>) di Bali. Geertz mengungkapkan, bagi kebanyakan lelaki Bali, tajen</EM> menjadi simbol maskulinitas. “Pada arena adu ayam, yang terlihat bertarung memang ayam, tapi ayam-ayam tersebut merupakan perwakilan dari kaum pria di Bali,” tulis Geertz. Namun polisi beranggapan lain. Tajen adalah judi. Kriminal. Jauh dari tujuan awalnya.</P>Dalam rentang sejarah Bali, adu ayam tercatat dipraktikan masyarakat Bali sejak abad ke-10. Prasasti Sukawana memuat keterangan ritual keagamaan (yadnya</EM>) yang mendasari tajen</EM>. Selanjutnya, dalam Prasasti Batur Abang (1011) terjabar keterangan terkait tajen</EM>. Menurut Andrik Hendrianto dalam “Perjudian Sabung Ayam di Bali”, tesis pada Universitas Indonesia, adu ayam tak memerlukan izin dari pihak berwenang seperti raja. Namun ritual ini tak boleh dilakukan serampangan. </P>Kala itu, masyarakat memasang taji (tajen</EM>) atau benda tajam di kaki salah satu ayam jantan yang diadu. Untuk ayam lainnya hanya dipasangkan bambu atau kayu di kakinya. Pertarungan ayam dalam ritual itu disebut perang seta</EM>. Tujuannya agar ada ayam yang mati sehingga darahnya membasahi bumi.</P>Darah itu lalu dicampur dengan tiga macam cairan berwarna: putih (tuak), kuning (arak), dan hitam (berem). Percampuran ini sebagai simbol pengingat agar umat manusia menjaga keseimbangan bhuwana alit </EM>(manusia) dengan bhuwana agung </EM>(semesta). Ritual keagamaan ini disebut tabuh rah</EM>.</P>Adu ayam dalam Tabuh rah</EM> bukanlah tujuan utama. Adu ayam hanya menjadi salah satu cara menabuhkan (menuangkan) darah ayam. Dengan demikian, ayam sejatinya tak diadu sungguh-sungguh. Tabuh rah </EM>bisa dilaksanakan tanpa mengadu ayam. Sebagai gantinya, orang bisa langsung menyembelih ayamnya. Keterangan ini termuat dalam Prasasti Batuan (1022).</P>Meski di pedesaan adu ayam ditujukan sebagai ritual keagamaan, raja-raja di Bali memiliki hak istimewa menggelar adu ayam tanpa tujuan sakral. “Di pusat-pusat istana, hal itu merupakan hak istimewa raja sebagaimana acara-acara adu hewan lainnya,” tulis Anthony Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga</EM>. Mereka menghelat adu ayam untuk kesenangan pribadi –seringkali dengan bertaruh sesuatu– dan simbol kebesaran raja. Tak heran, ayam menjadi hewan kegemaran raja-raja di Bali. Keadaan seperti ini berlangsung pula di luar Bali, terutama di Jawa.</P>Di Jawa, adu ayam dapat dilacak melalui kisah-kisah sastra yang mengambil latar masa Kerajaan Jenggala (1042). Menurut Mariana Anggraeni dalam skripsinya pada Universitas Indonesia, “Hakikat dan Fungsi Permainan Sabung Ayam dalam Serat Jago”, kisah yang tersohor mengenai adu ayam dapat ditemukan dalam kisah Cindelaras.</P>Cerita Cindelaras menceritakan anak yang dibuang bersama ibunya ke dalam hutan. Ketika besar, dia ingin membuktikan bahwa dia anak raja terdahulu. Raja yang berkuasa, Raden Putra, tak lantas percaya. Raja mengajak Cindelaras mengadu ayam. Jika Cindelaras menang, barulah raja percaya. Sedangkan jika raja menang, Cindelaras harus dipancung.</P>Cindelaras tak keberatan. Keduanya mengadu ayam terbaiknya. Kala itu, tak sembarang orang bisa mempunyai ayam terbaik. Usai pertarungan, ayam Cindelaras keluar sebagai pemenang. Raja pun percaya. Kisah ini menggambarkan pertaruhan manusia. Ada yang dipertaruhkan dalam adu ayam di Jawa sejak berabad-abad silam. Lebih jauh, adu ayam masih menjadi permainan terbatas untuk kalangan raja dan orang tertentu.</P>Ketika kendali kerajaan-kerajaan di Bali dan Jawa mengendur akibat invasi Eropa, adu ayam mulai digemari masyarakat. Raja, bangsawan, dan kaum agamawan tak lagi memegang hak eksklusif atas adu ayam. “Pengawasan atas acara-acara demikian, oleh kerajaan, mungkin telah mengendur pada abad ke-18,” tulis Anthony Reid. Hingga seabad kemudian, adu ayam menjadi permainan rakyat dengan dibalut perjudian.</P>Catatan R. Friedrich, seorang cendekiawan Jerman yang mengunjungi Bali dalam 1846, agak berbeda. Dia menyatakan adu ayam masih merupakan bagian dari upacara keagamaan. “Selain perayaan-perayaan, ada juga adu ayam jantan yang tidak hanya dianggap sebagai hiburan oleh masyarakat, tetapi juga sebagai bagian dari upacara keagamaan,” tulis Friedrich dalam “Hindu Bali”, termuat dalam Bali Tempo Doeloe</EM>.</P>Memasuki 1900-an, unsur ritual keagamaan dalam adu ayam meluntur. Sebaliknya, sifat profannya menguat lantaran banyaknya masyarakat yang bertaruh. Acara ini tak lagi digelar di tempat umum atau sakral, melainkan di tempat-tempat tersembunyi. Pemerintah kolonial segera melarang adu ayam kecuali yang berizin dan ditujukan sebagai ritual keagamaan. Istilah sabung pun mulai muncul menggantikan perang seta</EM>. Sabung berarti pahlawan, jejaka, atau pemenang.</P>Louis Coperus, penulis novel terkenal De Stille Kracht</EM> (Kekuatan Tersembunyi), menggambarkan keadaan kacau tersebut pada 1921. “Pertarungan ini menjadi ajang perjudian yang melibatkan uang yang jumlahnya tentu saja tidak sedikit. Mata uang yang dipertaruhkan adalah ‘dollar’ alias koin yang umum dipakai di Bali pada masa itu.”</P><P>Setelah kemerdekaan, larangan terhadap sabung ayam dipertahankan. Polisi gencar melakukan razia para penjudi sabung ayam seperti diceritakan Geertz.</P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=1&d=1028" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1626188918107394312.post-41910333076382294852012-09-07T17:03:00.000-07:002012-09-07T17:03:00.434-07:00Masa Gemilang Pattimang Foto: Eko Rusdianto. Ilustrasi: Micha Rainer Pali<P>DESA Pattimang sedang bersolek. Gerbang utama kompleks situs pemakaman Datu Sulaiman dan Andi Patiware dicat ulang. Di kiri-kanan jalan dihiasi walasuji </EM>atau bambu yang dirajut dengan indah, hingga terlihat seperti pagar. Di depan gerbang utama itu, penduduk mendirikan bangunan dari atap daun sagu, seakan membungkus badan jalan, sebagai tempat melakukan manre sappera</EM> atau makan bersama sepanjang 1 kilometer.</P><P>Persiapan melakukan hajatan manre sappera</EM> itu berlangsung selama seminggu. Menghidangkan sekitar 110 jenis makanan tradisional dan dihadiri puluhan raja dari se-Nusantara.</P><P>Manre saperra</EM> merupakan ritual Datu Luwu untuk menunjukkan ikatan batin bersama rakyatnya. Makanan akan dihidangkan di atas kain putih panjang yang bersih sebagai wujud kebersihan hati dan kepudulian raja dan rakyat. Dan sebagai wujud tanggung jawab, Datu Luwu-lah yang kali pertama menyantap makanan namun paling terakhir disuguhi makanan.</P><P>Pemilihan lokasi di desa Pattimang, yang terletak 30 kilometer dari pusat kota kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan ini, bukanlah secara kebetulan. Ada pertimbangan sejarah dan budaya. Di Pattimang, ketika dipimpin Andi Patiware, Luwu mencapai puncak kejayaan.</P><P>Saat itu, Luwu memindahkan pusat kerajaan dari Ussu ke Pattimang pada abad ke-15. Pattimang merupakan daerah subur. Potensi pertaniannya berupa sagu sebagai makanan utama bisa menopang populasi besar. Sementara persediaan besi, emas, dan hasil alam dari hutan pedalaman mudah dikapalkan melalui Sungai Baebunta dan Sungai Rongkong. Bahkan di sana ada industri senjata besi dan alat-alat pertanian. Pelabuhan utama di Cappasolo dibangun begitu megah, sehingga bisa dilalui kapal-kapal dengan tonase besar. Pengaruh Luwu begitu luas hingga kerajaan Wajo dan bahkan Bantaeng. Kerajaan Gowa dan Bone bersusah-payah keluar dari pengaruhnya.</P><P>Laporan arkeologis dari proyek OXIS (Origin of Complex Society in South Sulawesi</EM>) yang dilakukan arkeolog Universitas Hasanuddin Iwan Sumantri bersama David F Bullbeck (Australian National University) dan Bagyo Prasetyo (Pusat Penelitian Arkelogi Nasional) tahun 1998, kemudian dirangkum dalam buku Kedatuan Luwu</EM>, menyatakan bila pusat kerajaan masa itu sangat gemilang. OXIS menggambarkannya dari rumah raja yang begitu mewah dan anggun. Ini diperkuat dari hasil penggalian di Pattimang yang menemukan sebuah lubang pancang (post hole</EM>s) untuk tiang rumah besar dengan panjang sekitar 5 meter.</P><P>“Saya kira itu sesuai dengan cerita dan tradisi lisan masyarakat Luwu kalau rumah itu sangat besar,” kata Iwan Sumantri. “Penggambaran mereka, kalau ada seekor anak ayam naik ke tangga rumah kerajaan, saat ayam itu turun tajinya sudah tumbuh panjang.”</P><P>Memasuki abad ke-16, muncul konflik di beberapa wilayah. Kerajaan-kerajaan yang berada dalam koloni dan bawahan Luwu mulai unjuk kekuatan. Christian Pelras dalam The Bugis</EM> menulis periode pertama kemunduran Luwu dimulai ketika memasuki 1500-1530. Wajo menyerang Luwu. Sebagai akibatnya, Luwu akhirnya mengakui Wajo sebagai “adik”, bukan lagi sebagai ata’</EM> atau bawahan.</P><P>Di sisi lain Bone dan Gowa tumbuh sebagai kekuatan baru. Luwu meminta bantuan kerajaan Wajo untuk menyerang Bone, yang berakhir kekalahan. Payung kebesaran sebagai panji-panji kerajaan Luwu dan kebanggaan kerajaan ditahan oleh Bone. Supremasi Luwu benar-benar meredup.</P><P>Pada 1535 Gowa-Tallo secara mengejutkan menundukkan Bone. Mereka kemudian menyerang Luwu tepat di jantungya, yang membuat Luwu bertekuk lutut dan terpaksa menandatangani perjanjian dan pengakuan kekalahan dari Gowa.</P><P>Pada abad ke-17 dermaga utama di Cappasolo menjadi sepi. Pusat kerajaan Luwu berpindah dari Pattimang ke Ware (sekarang Palopo). Saat itu Luwu dikenal sebagai daerah netral karena menghindari perselisihan dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Secara spiritual, selama beberapa abad, Luwu yang sudah kehilangan wilayah kekuasaan dan pengaruhnya di Sulawesi Selatan tetap dianggap sebagai kerajaan mulia. Posisinya sebagai kerajaan pertama dan pusat mitos yang dikisahkan dalam epik I La Galigo </EM>memberinya peruntungan.</P><P>Ketika Abdul Makmur (Dato ri’ Bandang</EM>), Sulaiman (Dato ri’ Pattimang</EM>), dan Abdul Jawad (Dato ri’ Ditiro</EM>) –ketiganya orang Minangkabau yang belajar agama di Aceh– menyebarkan Islam atas perintah Sultan Johor, dakwah mereka mengalami pertentangan di Makassar. Akhirnya mereka menuju Luwu dan mengislamkan Andi Patiware pada 5 Februari 1605. Salah satu kronik Wajo mencatat bila para penyebar agama Islam menuju Luwu karena mengetahui kemuliaan yang sebenarnya berada di Luwu, meski kekuasaan berada di Gowa. </P><P>Tapi kedamaian tersebut tak bertahan lama. Pada Oktober 1905 Belanda memasuki Palopo. Belanda akan membatalkan segala kebijakan istana yang merugikan mereka dan mewajibkan kerajaan memberikan hasil pajak. Sejak itu, Kerajaan Luwu seolah menghilang dari kancah politik di Sulawesi Selatan hingga menjelang 1930-an muncul seorang pemuda bernama Andi Djemma, Datu Luwu ke-29, yang melakukan perlawanan.</P><P>Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Andi Djemma membentuk Gerakan Sukarno Muda. Karena desakan Belanda, dia meninggalkan istana. Di Cappasolo, bersama Tentara Keamanan Rakyat yang hanya mengandalkan persenjataan minim, dia memimpin perang gerilya pada 23 Januari 1946, yang kemudian dikenang sebagai Hari Perlawanan Semesta Rakyat Luwu. Setelah sempat bersembunyi di Benteng Batu Putih, Sulawesi Tenggara, dia terpaksa menyerah dan diasingkan ke Ternate.</P><P>Budayawan Luwu, Anthon Andi Pangerang, mengatakan bila perayaan manre sappera</EM> untuk mengenang Andi Djemma sebagai wujud kecintaan dan pejuangannya kepada Indonesia. Nasar itu diucapkan di Cappasolo di masa revolusi bahwa jika Indonesia benar-benar merdeka, dia akan menggelar hajatan itu.</P><P>“Ini adalah cita-cita besar dan kami sebagai masyarakat Luwu, memiliki kewajiban untuk menunaikannya,” kata Anthon.</P><P>Setelah acara rampung Pattimang akan kembali sepi. Termpatnya memang terpencil. Akses kendaraan umum hanya sekali sehari. Kebesaran yang nyata dalam bentuk fisik di Pattimang hanya tersisa nisan makam Datu Sulaiman dan Andi Patiware yang terbungkus kain putih. Relif dan ukiran-ukirannya sudah tak tampak lagi. Ketika saya sedikit menyingkap kain itu, terlihat beberapa bekas pecahan.</P><br><br><p><a href="http://historia.co.id/?c=1&d=1010" target="_blank" rel="nofollow">View the original article here</a></p><br><br><p><a href="http://www.elcinegratis.com.es" target="_blank" rel="nofollow">Peliculas Online</a></p>Unknownnoreply@blogger.com0