Sejarah Jalan Braga tidak dapat dilepaskan dari sejarah pembentukan dan perkembangan Kota Bandung, terutama daerah pusat kotanya. Ada tiga peristiwa penting di Hindia Belanda yang erat hubungannya dengan Kota Bandung.Peristiwa Pertama adalah pembuatan Jalan Raya Pos yang membentang melintasi Pulau Jawa dari Anyer di ujung barat ke Panarukan di ujung timur. Jalan Raya Pos tersebut dibuat di masa pemerintahan Gubernur Jenderal H. W. Daendels yang berkuasa dari tahun 1808 - 1811. Di Bandung, Jalan Raya Pos tersebut menjadi cikal bakal dari Jalan Janderal Sudirman, Jalan Asia Afrika, dan Jalan Jenderal A. Yani. Akibat dari pembuatan jalan tersebut pada tanggal 25 Mei 1810, kedudukan Bupati Bandung dipindahkan dari tempatnya semula ke lokasi yang sekarang menjadi rumah kediaman resmi Walikotamadya Bandung, di sebelah selatan Alun-alun. Rumah kediaman Bupati berikut Alun-alun berserta pohon beringan, mesjid, dan penjara adalah elemen-elemen kota tradisional yang merupakan kelanjutan dari kebudayaan Hindu. Dari lokasi inilah perkembangan Kota Bandung dimulai. # Peristiwa Kedua adalah Politik Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda setelah Perang Diponegoro (1825 - 1830).
Perang ini dan peperangan lainnya di bumi nusantara benar-benar menguras kocek Belanda sehingga perlu dicari upaya untuk memulihkan keuangan Pemerintah Hindia Belanda. Tanam paksa ini berlangsung dari tahun 1831 sampai tahun 1870 dan primadona dari Bumi Priyangan yang subur ini adalah kopi, teh, dan kina. Di Kota Bandung tempat penampungan sekaligus tempat pengemasan hasil bumi ini (terutama kopi) berada lebih kurang 1 km. disebelah utara Jalan Raya Pos, yaitu di lokasi yang sekarang menjadi Gedung Balaikota. Gedung pengemasan kopi tersebut dikenal dengan nama Koffie Pakhuis.
Jarak dari gudang kopi dan Jalan Raya Pos tentu menjadi sangat penting untuk pengiriman hasil bumi. Jalur penghubung antara kedua tempat tersebut adalah jalan setapak berlumpur yang biasa dilalui oleh pedati kuda dan dikenal dengan nama Pedati Weg (Jalan Pedati). Jalan inilah yang kelak dikenal bernama Jalan Braga.
Dengan berakhirnya Tanam Paksa pada tahun 1870, terjadi perubahan-perubahan di bidang politik. Polik Tanam Paksa diganti dengan "Politik Balas Budi". Dua aspek penting dari Politik Balas budi ini adalah swastanisasi dan desentralisasi. Swasta diberikan peluang besar untuk berperan dalam perekonomian. Mengetahui keadaan Bumi Parahyangan yang subur ini, maka berduyun-duyunlah para pengusaha pertanian berusaha di seputar Bandung. Keadaan perekonomian pada saat itu rupanya sangat baik sehingga para pengusaha tersebut menjadi kaya-raya. Sebagian dari kekayaan tersebut telah didonasikan untuk perkembangan dan kemajuan Kota Bandung.
Keberadaan para pengusaha tersebut yang lebih dikenal sebagai Preanger Planters tentunya membutuhkan sarana-sarana untuk mereka bersosialisasi yang disebut Societeit. Tahun 1879, Societeit Concordia disahkan sebagai badan hukum dan setelah beberapa kali berpindah tempat akhirnya dipilihlah Gedung Concordia, yang sekarang menjadi Gedung Merdeka, sebagai pusat kegiatannya.
Desentralisasi pemerintahan membawa hasil sehingga beberapa puluh tahun kemudian tepatnya 1 April 1906 berdirilah Gemeente Bandoeng yang memperoleh otonomi untuk mengatur Kota Bandung sendiri.
Jalan Pedati (yang kemudian menjadi Jalan Braga) berkembang secara lambat dari hanya jalan pintas semata menjadi kawasan pemukiman.
Pada tahun 1874 barn ada enam atau tujuh rumah permanen diselingi beberapa warung beratap rumbia. Bila malam tiba, digunakan obor sebagai alat penerangan. Rumah-rumah batu tersebut menempati kapling-kapling yang luas sehingga antara bangunan yang satu dengan yang lain tidak berimpitan (renggang). Halaman depanpun luas dan bisa didapati adanya gudang-gudang atau paviliun di samping bangunan rumah-rumah tersebut.
Nama "Braga" sendiri menimbulkan beberapa kontroversi. Ada kalangan yang mengatakan, Braga berasal dari sebuah perkumpulan drama Bangsa Belanda yang didirikan pada tanggal 18 Juni 1882 oleh Peter Sijthot, seorang Asisten Residen, yang bermarkas di salah satu bangunan di Jalan Braga. Diduga sejak saat itulah nama Jalan Braga digunakan. Pemilihan nama "Braga" oleh perkumpulan drama ini diperkirakan berasal dari beberapa sumber yang erat kaitannya dengan kegiatan drama, antara lain nama Theotilo Braga (1834 -1924), seorang penulis naskah drama, dan Bragi, nama dewa puisi dalam mitologi Bangsa Jerman.
Sementara itu ada versi lain dari nama "Braga". Menurut ahli Sastra Sunda, Baraga adalah nama jalan di tepi sungai,
sehingga berjalan menyusuri sungai disebut ngabaraga. Sesuai dengan perkembangan Jalan Braga (terletak di tepi Sungai Cikapundung), yang kemudian menjadi tersohor ke seluruh Hindia Belanda bahkan ke manca negara, Jalan Braga menjadi ajang pertemuan dari orang-orang, dan ngabaraga tadi berubah menjadi ngabar raga, yang lebih kurang artinya adalah pamer tubuh atau pasang aksi.
Memang di masa-masa sebelum PD II, disaat Jalan Braga sedang jaya jayanya, jalan ini dijadikan ajang memasang aksi menjual tampang sehingga dikenal juga istilah khas Bragaderen. Perkataan deren dalam kamus Bahasa Belanda kurang menjelaskan arti kata penggabungan Braga dan deren sehingga disimpulkan, Bragaderen berasal dari kata paraderen yang artinya berparade, jadi Bragaderen lebih kurang berarti berparade di Jalan Braga.
Peristiwa Ketiga adalah tercetusnya ide untuk memindahkan ibukota Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda dari Batavia (Jakarta) ke Bandung. Rencana besar ini berdasarkan karena alasan pertahanan. Sebagian dari ide ini sempat terealisir, seperti dijadikannya Kota Cimahi sebagai kota garnisun dengan perwiranya yang tinggal di Bandung, juga dipindahkannya pabrik senjata dan mesiu dari Jawa Timur ke Bandung (PINDAD sekarang).
Gedung Sate yang sebenarnya akan menjadi salah satu bangunan di dalam kompleks pusat Pemerintahan Hindia Belanda juga merupakan bagian dari realisasi ide tersebut. Swastapun ikut berpartisipasi, sebagai pelopornya yaitu Pabrak Minyak Insulinde yang memindahkan kegiatannya ke Bandung. Gedung yang kemudian pernah menjadi Gedung Mapolwil di ujung Jalan Braga, dibangun sebagai kantor pabrik tersebut.
Ide besar untuk memindahkan ibukota dari Batavia ke Bandung ini dilanjutkan dengan ide besar lainnya, yaitu menjadikan Jalan Braga sebagai jalan perbelanjaan Bangsa Eropa nomor satu di seluruh Hindia Belanda atau de meest europeesche winkel straat van Indie. Pekerjaan besar yang melibatkan berbagai kalangan ini ternyata lebih terlihat realisasinya dan hingga kinipun masih dapat kita lihat sisa-sisa kejayaannya.
Penggolongan fisik bangunan di Kota Bandung seperti tertulis dalam Peraturan Bangunan Kabupaten Bandung tahun 1920-an (Bouwverordening Regentschap Bandoeng) adalah:
• Bandoengbouw
• Open Westerse Bow (Bangunan Barat Terbuka / Renggang)
• Gesloten Chineese Bow (Bangunan Cina Tertutup / Rapat)
Untuk menjadikan Jalan Braga menjadi de meest europeesche winkel straat van Indie perlu dilakukan perbaikan atau penyempurnaan peraturan pembangunan karena pada hakekatnya yang akan dibuat di Jalan Braga adalah Gesloten Westerse Zakenbouw (Bangunan Perdagangan Bergaya Barat Tertutup / Rapat).
Langkah-langkah yang dilakukan untuk merealisasikannya melibatkan para pakar dari beberapa disiplin ilmu, karena pada dasarnya Bangsa Belanda belum mempunyai pengalaman membangun Bangunan Barat Rapat di daerah beriklim tropis. Pemecahan teknis diberikan oleh seorang pakar DR. Ir. C. P. Mom, yang pada intinya dapat diuraikan sebagai berikut:
- Dinding tebal
- Lantai bangunan hares luas
- Atap tinggi
- Sebisanya menggunakan bahan-bahan alam
- Penghawaan dan penerangan siang hari secara alami, agar panas tidak langsung menyengat perlu diatur letak dan bentuk jendela serta jendela ventilasi. Karena itu penggunaan kaca patri untuk jendela sebagai elemen dekorasi, selain sebagai lubang cahaya dan lubang hawa, sangat digalakkan.
Selain hal-hal tersebut di atas, perlu juga diatur kembali tata letak bangunan. Bangunan-bangunan yang semula renggang dan mempunyai halaman depan ditata kembali sehingga tidak mempunyai halaman depan. Bangunan-bangunan berada tepat di tepi jalan, demikian juga keberadaan gudang-gudang dan paviliun tidak lagi diperkenankan.
Bangunan-bangunan di Jalan Braga diputuskan hares mempunyai jumlah lantai satu atau dua, dengan uraian:
- Bagi bangunan berlantai satu, bagian depan diperuntukkan bagi perdagangan / toko, dan bagian belakang diperuntukkan bagi fungsi-fungsi lain, seperti: rumah tinggal, gudang, kantor, dan sebagainya.
- Bagi bangunan berlantai dua, lantai bawah bagian depan diperuntukkan bagi perdagangan / toko, dan bagian belakang serta lantai atas diperuntukkan bagi fungsi-fungsi lain.
- Bagi semua bangunan, diharusklan mempunyai etalase.
Usaha menjadikan Jalan Braga sebagai pusat perbelanjaan nomor satu di seluruh Hindia Belanda ternyata disambut hangat oleh berbagai kalangan dan lapisan
masyarakat. Para pengusaha perbelanjaan yang eksklusif dan terkenal berbondongbondong memindahkan tempat usahanya atau membuka cabang di Jalan Braga, Walaupun perintisan Jalan Braga untuk menjadi pusat perbelanjaan sudah dilakukan sebelum dicetuskannya ide besar tadi, yaitu dengan dibukanya Tiserba Hellermann pada tahun 1894 dan disusul oleh beberapa toko lainnya, tetapi peningkatan kegiatan secara dramatis terjadi setelah tahun 1920-an yang secara kebetulan menjadi momentum gerakan modernisasi kota-kota besar di Hindia Belanda.
Beberapa bangunan dan perusahaan layak diketengahkan disini karena mempunyai kontribusi terhadap sejarah dalam arti luas, baik sejarah pergerakan kemerdekaan, maupun perkembangan kebudayaan serta sejarah perkembangan Kota Bandung.
N. V. Fuchs en Rens yang kemudian menjadi P.T. Permorin adalah perusahaan perakitan mobil pertama di Hindia Belanda. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1919. Pada tahun yang sama didirikan Kantor Gas Negara yang menandai dijalankannya sistem gas kota untuk seluruh Kota Bandung. Sampai beberapa yahun terakhir ini, gas kota masih berfungsi dan jaringan pipa gas di seluruh kotapun hingga kini masih berada dalam keadaan baik. Sebelum tahun 1931 telah berdsiri Gedung Ons Genoegen (YPK sekarang) tempat berlangsungnya rapat politik di masa pergerakan.
Di salah satu gedung di Jalan Braga pernah berkantor Perusahaan Asuransi "Indonesia" yang dimiliki oleh Dr. S.A.M. Ratulangi. Perkataan "Indonesia" di masa pergerakan adalah perkataan tabu, sehingga tentu diperlukan jiwa pejuang di dalam diri Dr. Ratulangi untuk berani memberikan nama "Indonesia" bagi perusahaannya. Toko buku dan percetakan Van Dorp & Co., yang menempati Gedung Landmark sekarang, merupakan tempat tersendiri sebagai sarana penunjang kehidupan intelektual. Sedangkan arloji dan jam buatan Swiss yang terkenal hanya dapat diperoleh di Toko Stocker yang hingga sekarang masih dapat kita lihat bangunannya.
Masa jaya Jalan Braga yang berlangsung dari tahun 1920-an sampai dengan masa dimulainya pendudukan Jepang (1942), selain masih meninggalkan bangunan-bangunan yang sebagian masih utuh, juga meninggalkan kenangan bagi mereka yang pernah mengalami masa jayanya ini.
Berbicara mengenai Jalan Braga adalah berbicara mengenai suasana di suatu kawasan dan bukan hanya membicarakan sepenggal jalan dengan bangunan-bangunan kuno di kiri-kanannya.
Suasana Braga ini diciptakan antara lain oleh:
- Perbandingan yang baik antara ketinggian bangunan-bangunan dengan lebar jalan
- Adanya tertib bentuk yang mengatur perbandingan dari elemen-elemen bangunan, baik secara mendatar maupun secara tegak. Bangunan-bangunan di Jalan Braga, terutama yang berlantai dua, secara mendatar terdiri dari bagian-bagian:secara tegak bangunan di Jalan Braga mempunyai tiang / kolom yang jaraknya diatur berirama secara tetap.
- Selain itu, bagian-bagian bangunanpun kaya akan ornamen-ornamen atau hiasan-hiasan.
Keberadaan tertib bangunan ini, tanpa menjadikan bangunan-bangunan di Jalan Braga hares sama, sangat membantu menciptakan suasana dinamis. Sayang, pada perkembangannya, ornamen-ornamen yang menghiasi bagian-bagian bangunan sebagian besar ditutupi oleh "topeng" yang menyembunyikan wajah asli bangunanbangunan ini. Irama-irama yang tercipta menjadi tertutup oleh bahan-bahan bangunan penutup yang umumnya terbuat dari logam.
- Penataan bangunan yang meliputi peralihan dari bentuk-bentuk yang satu ke bentuk-bentuk yang lain dikerjakan dengan sangat cermat sehingga kita tidak merasakan adanya kesemrawutan.
- Jika kita amati, bangunan-bangunan di Jalan Braga sebagian besar adalah bangunan ganda serf di bawah satu atap besar. Bangunan serf ini dapat terdiri dari dua, tiga, empat, bahkan lima. Dari bangunan serf yang satu ke bangunan seri yang lain yang tidak sama bentuknya, diberikan peralihan yang dinyatakan di dalam bentuk, misalnya perbedaan ketinggian atap, celah-celah peralihan, dan lain-lain.
- Apalagi di masa lampau kebersihan bangunan dan lingkungan sangat diperhatikan sehingga suasana Jalan Braga benar-benar segar dan menyenangkan.
Marilah kita lihat perbendaharaan karya arsitektur yang kita miliki di Jalan Braga. Beberapa bangunan bergaya Art Deco yang menjadi bahan diskusi para pakar dunia berada di Bandung, yaitu: Gedung IKIP, Hotel Savoy Homann, dan Gedung BPD. Satu dari tiga gedung-gedung tersebut berada di Jalan Braga, yaitu Gedung BPD, dan interaksi antara Gedung BPD dan Hotel Savoy Homann terasa begitu kuat karena Hotel Savoy Homannpun berada begitu dekat dengan Jalan Braga.
Pencarian jati diri arsitektur Indonesia yang juga dilakukan oleh beberapa arsitek bangsa Belanda menghasilkan gaya paduan antara gaya tradisional Indonesia dengan kemajuan teknik konstruksi barat. Gaya ini disebut Indo Europeeschen Arsitektuur Stij. Hasil dari pencarian jati diri ini berbeda pada setiap arsitek, sesuai dengan wawasan dari arsitek itu sendiri.
-------------------------------
Ir. David Bambang Soediono, Pengurus Bandung Society for Heritage Conservation, Bidang Lingkungan Alam dan Binaan. Staff Pengajar di Universitas Parahyangan jurusan Arsitektur.