Blog yang memuat aneka tulisan tentang sejarah, khususnya sejarah Indonesia dan Melayu. Mudah-mudahan bermanfaat.
Kamis, 17 Maret 2011
KESULTANAN CIREBON
KESULTANAN Cirebon merupakan kesultanan di pantai utara Jawa Barat dan kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Cirebon pada saat sekarang merupakan nama satu wilayah administrasi, ibu kota, dan kota. Nama Cirebon juga melekat pada nama bekas sebuah keresidenan yang meliputi kabupaten-kabupaten Indramayu, Kuningan, Majalengka, dan Cirebon.
Sumber-sumber naskah tentang Cirebon yang disusun oleh para keturunan kesultanan dan para pujangga kraton umumnya berasal dari akhir abad ke-17 sampai awal abad ke-18. Dari sumber naskah setempat, yang dianggap tertua adalah naskah yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta. Selain sumber setempat, terdapat pula sumber-sumber asing. Yang dianggap tertua berasal dari catatan Tome Pires -mengunjungi Cirebon pada tahun 1513-yang berjudul Suma Oriental.
Mengenai nama Cirebon terdapat dua pendapat. Babad setempat, seperti Nagarakertabumi (ditulis oleh Pangeran Wangsakerta), Purwaka Caruban Nagari (ditulis oleh Pangeran Arya Cerbon pada tahun 1720), dan Babad Cirebon (ditulis oleh Ki Martasiah pada akhir abad ke-1 menyebutkan bahwa kota Cirebon berasal dari kata ci dan rebon (udang kecil). Nama tersebut berkaitan dengan kegiatan para nelayan di Muara Jati, Dukuh Pasambangan, yaitu membuat terasi dari udang kecil (rebon). Adapun versi lain yang diambil dari Nagarakertabhumi menyatakan bahwa kata cirebon adalah perkembangan kata caruban yang berasal dari istilah sarumban yang berarti pusat percampuran penduduk.
Di Pasambangan terdapat sebuah pesantren yang bernama Gunung Jati yang dipimpin oleh Syekh Datu Kahfi (Syekh Nurul Jati). Di pesantren inilah Pangeran Walangsungsang (putra raja Pajajaran, Prabu Siliwangi) dan adiknya, Nyai Rara Santang, pertama kali mendapat pendidikan agama Islam.
Pada awal abad ke-16, Cirebon masih di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Pangeran Walangsungsang ditempatkan oleh raja Pajajaran sebagai juru labuhan di Cirebon. Ia bergelar Cakrabumi. Setelah cukup kuat, Walangsungsang memproklamasikan kemerdekaan Cirebon dan bergelar Cakrabuana. Ketika pemerintahannya telah kuat, Walangsungsang dan Nyai Rara Santang melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Sepulang dari Mekah ia memindahkan pusat kerajaannya ke Lemahwungkuk. Di sanalah kemudian didirikan keraton baru yang dinamakannya Pakungwati.
Sumber-sumber setempat menganggap pendiri Cirebon adalah Walangsungsang, namun orang yang berhasil meningkatkan statusnya menjadi sebuah kesultanan adalah Syarif Hidayatullah yang oleh Babad Cirebon dikatakan identik dengan Sunan Gunung Jati (Wali Songo). Sumber ini juga mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah keponakan dan pengganti Pangeran Cakrabuana. Dialah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten.
Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan Islam, Sunan Gunung Jati berusaha mempengaruhi kerajaan Pajajaran yang belum menganut agama Islam. Ia mengembangkan agama ke daerah-daerah lain di Jawa Barat.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat (menurut Negarakertabhumi dan Purwaka Caruban Nagari tahun 1568), dia digantikan oleh cucunya yang terkenal dengan gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Pada masa pemerintahannya, Cirebon berada di bawah pengaruh Mataram. Kendati demikian, hubungan kedua kesultanan itu selalu berada dalam suasana perdamaian. Kesultanan Cirebon tidak pernah mengadakan perlawanan terhadap Mataram. Pada tahun 1590, raja Mataram, Panembahan Senapati, membantu para pemimpin agama dan raja Cirebon untuk memperkuat tembok yang mengelilingi kota Cirebon. Mataram menganggap raja-raja Cirebon sebagai keturunan orang suci karena Cirebon lebih dahulu menerima Islam. Pada tahun 1636 Panembahan Ratu berkunjung ke Mataram sebagai penghormatan kepada Sultan Agung yang telah menguasai sebagian pulau Jawa.
Panembahan Ratu wafat pada tahun 1650 dan digantikan oleh putranya yang bergelar Panembahan Girilaya. Keutuhan Cirebon sebagai satu kerajaan hanya sampai pada masa Pnembahan Girilaya (1650-1662). Sepeninggalnya, sesuai dengan kehendaknya sendiri, Cirebon diperintah oleh dua putranya, Martawijaya (Panembahan Sepuh) dan Kartawijaya (Panembahan Anom). Panembahan Sepuh memimpin kesultanan Kasepuhan dengan gelar Syamsuddin, sementara Panembahan Anom memimpin Kesultanan Kanoman dengan gelar Badruddin. Saudara mereka, Wangsakerta, mendapat tanah seribu cacah (ukuran tanah sesuai dengan jumlah rumah tangga yang merupakan sumber tenaga).
Perpecahan tersebut menyebabkan kedudukan Kesultanan Cirebon menjadi lemah sehingga pada tahun 1681 kedua kesultanan menjadi proteksi VOC. Bahkan pada waktu Panembahan Sepuh meninggal dunia (1697), terjadi perebutan kekuasaan di antara kedua putranya. Keadaan demikian mengakibatkan kedudukan VOC semakin kokoh. Dalam Perjanjian Kertasura 1705 antara Mataram dan VOC disebutkan bahwa Cirebon berada di bawah pengawasan langsung VOC.
Walaupun demikian kemunduran politik itu ternyata sama sekali tidak mengurangi wibawa Cirebon sebagai pusat keagamaan di Jawa Barat. Peranan historis keagamaan yang dijalankan Sunan Gunung Jati tak pernah hilang dalam kenangan masyarakat. Pendidikan keagamaan di Cirebon terus berkembang. Pada abad ke-17 dan ke-18 di keraton-keraton Cirebon berkembang kegiatan-kegiatan sastra yang sangat memikat perhatian. Hal ini antara lain terbukti dari kegiatan karang-mengarang suluk, nyanyian keagamaan Islam yang bercorak mistik. Di samping itu, pesantren-pesantren yang pada masa awal Islam berkembang di daerah pesisir pulau Jawa hanya bertahan di Cirebon; selebihnya mengalami kemunduran atau pindah ke pedalaman.
Keraton para keturunan Sunan Gunung Jati tetap dipertahankan di bawah kekuasaan dan pengaruh pemerintah Hindia Belanda. Kesultanan itu bahkan masih dipertahankan sampai sekarang. Meskipun tidak memiliki pemerintahan administratif, mereka tetap meneruskan tradisi Kesultanan Cirebon. Misalnya, melaksanakan Panjang Jimat (peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw) dan memelihara makam leluhurnya Sunan Gunung Jati.***
Rabu, 16 Maret 2011
Sunda Kelapa
Menyusuri Kota Tua Jakarta
KOTA Jakarta yang selalu bertambah usianya sebenarnya memiliki banyak kawasan historis, salah satunya adalah kawasan kota. Berada di kawasan ini memberikan nuansa lain dari kebanyakan kawasan ibu kota.Tur Kota Tua Jakarta dimulai dari Pelabuhan Sunda Kelapa dan berakhir di Taman Fatahillah.
Cikal bakal Pelabuhan Sunda Kelapa
Pelabuhan Sunda Kelapa kini merupakan pelabuhan bongkar muat barang, utamanya kayu dari Pulau Kalimantan. Di sepanjang pelabuhan berjajar kapal-kapal phinisi atau Bugis Schooner dengan bentuk khas, meruncing pada salah satu ujungnya dan berwarna-warni pada badan kapal. Setiap hari tampak pemandangan para pekerja yang sibuk naik turun kapal untuk bongkar muat.
Pelabuhan Sunda Kelapa sebetulnya telah terdengar sejak abad ke-12. Kala itu pelabuhan ini sudah dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk milik kerajaan Hindu terakhir di Jawa Barat, Pajajaran, terletak dekat Kota Bogor sekarang. Kapal-kapal asing yang berasal dari Cina, Jepang, India Selatan, dan Arab sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi kekayaan tanah air saat itu.
Bangsa Eropa pertama asal Portugis tiba pertama kali di Sunda Kelapa tahun 1512 untuk mencari peluang perdagangan rempah-rempah dengan dunia barat. Keberadaan mereka ternyata tidak berlangsung lama, setelah gabungan kekuatan Muslim Banten dan Demak, dipimpin Sunan Gunungjati (Fatahillah), menguasai Sunda Kelapa dan mengganti namanya menjadi Jayakarta ("kemenangan yang nyata") tanggal 22 Juni 1527.
Setelah Portugis hengkang , para pedagang asal Belanda tiba tahun 1596 dengan tujuan yang sama, mencari rempah-rempah. Rempah-rempah sangat dicari saat itu dan menjadi komoditas luks di Belanda karena berbagai khasiatnya seperti obat, penghangat badan, dan bahan wangi-wangian. Para pedagang Belanda (yang kemudian tergabung dalam VOC) awalnya mendapat sambutan hangat dari Pangeran Wijayakrama dan membuat perjanjian.
Namun, tergiur dengan potensi pendapatan yang tinggi dari penjualan rempah-rempah di negara asalnya, VOC mengingkari perjanjian dan mendirikan benteng di selatan Pelabuhan Sunda Kelapa. Benteng ini, selain berfungsi sebagai gudang penyimpanan barang, juga digunakan sebagai benteng perlawanan dari pasukan Inggris yang juga berniat untuk menguasai perdagangan di Nusantara.
Benteng tersebut dibangun tahun 1613, sekira 200 meter ke arah selatan Pelabuhan Sunda Kelapa. Pada tahun 1839 di lokasi ini didirikan Menara Syahbandar yang berfungsi sebagai kantor pabean, atau pengumpulan pajak dari barang-barang yang diturunkan di pelabuhan. Lokasi menara ini menempati salah satu bastion (sudut benteng) yang tersisa.
Sekira 50 meter ke arah barat menara terdapat Museum Bahari. Di dalam museum ini dapat disaksikan peralatan asli, replika, gambar-gambar dan foto-foto yang berhubungan dengan dunia bahari di Indonesia, mulai dari zaman kerajaan hingga ekspedisi modern. Museum ini sebetulnya menempati bangunan gudang tempat menyimpan barang-barang dagang VOC di abad 17 dan 18, dan tetap dipertahankan kondisi aslinya untuk kegiatan pariwisata. Bahkan sebagian bangunannya bisa disewa untuk acara-acara pribadi. Pada sisi utara museum masih terdapat benteng asli yang menjadi benteng bagian utara.
Memasuki Jln. Tongkol di selatan museum, kita akan tiba di lokasi bekas bengkel kapal VOC atau dikenal juga dengan VOC Shipyard . Di sini, pada masa lalu, kapal-kapal yang rusak diperbaiki. Saat ini, bangunan memanjang dengan jendela-jendela segi tiga di atapnya tersebut direvitalisasi sebagai restoran dengan tetap mempertahankan arsitektur aslinya.
Kawasan kota lama: Amsterdam di Timur
Ke arah selatan, melewati jembatan tol, kita akan tiba di lokasi asli kawasan Batavia yang dibangun antara 1634 hingga 1645. Batavia adalah hasil rancangan Gubernur Jenderal Coen, yang berniat membangun Amsterdam versi Timur dan menjadi pusat administrasi dan militer Hindia Belanda.
Objek pertama di kawasan ini adalah jembatan unik khas Belanda. Jembatan kayu berwarna coklat kemerahan ini dikenal sebagai Jembatan Pasar Ayam. Dibangun Belanda tahun 1628 sesuai dengan gaya aslinya di Amsterdam, yaitu bisa diangkat ketika kapal-kapal melintasinya.
Masih di kawasan ini, yaitu Jalan Kali Besar Barat dan Kali Besar Timur, berjajar bangunan-bangunan dari abad 18, beberpa dari awal abad 20. Kawasan ini merupakan pusat dari benteng Kota Batavia, yang mengalami masa jayanya pada abad 17 dan 18. Beberapa bangunan unik khas Eropa di kawasan ini adalah bangunan Asuransi Lloyd, Standard Chartered Bank, PT Samudra Indonesia, PT. Bhanda, Graha Raksa, dan Toko Merah.
Berjalan ke arah selatan sepanjang Sungai Kali Besar dan berbelok ke arah kiri di Jalan Pintu Besar Utara 3 kita akan tiba di lokasi di mana gedung pusat Bank Indonesia yang lama berdiri. Gaya arsitekturnya khas seperti umumnya bangunan BI di kota-kota di Indonesia, yaitu Neo-Classic, terlihat indah dengan ornamennya dan berwarna putih. Bangunan BI ini dibangun pada awal tahun 1990-an.
Dari BI kita berbelok di Jalan Pintu Besar Selatan dan berjalan ke arah utara, menuju kawasan Taman Fatahillah. Taman Fatahillah merupakan lapangan terbuka berbentuk persegi empat dengan bangunan-bangunan bersejarah di semua sisinya. Di sisi barat terdapat beberapa bangunan unik, salah satunya Museum Wayang (1912) yang di dalamnya dipamerkan koleksi wayang dari seluruh Indonesia dan beberapa negara di dunia. Museum ini dibangun di atas lahan gereja yang didirikan tahun 1640, namun rubuh akibat gempa bumi.
Di sisi utara terdapat sebuah restoran yang menempati bangunan dari awal tahun 1800-an. Di sampingnya, bangunan bergaya art deco yang berfungsi sebagai kantor pos. Di sisi timur berdiri bangunan bergaya Indische Empire Stiijl, bekas gedung pengadilan yang kini berfungsi sebagai Museum Seni Rupa. Di dalamnya dipamerkan koleksi keramik, lukisan, dan gambar-gambar yang menjelaskan perkembangan seni rupa di tanah air.
Di sisi selatan berdiri megah bangunan Museum Sejarah Jakarta. Bangunan unik yang terdiri dari dua lantai ini memamerkan barang-barang asli, replika, gambar-gambar dan foto-foto yang menunjukkan perkembangan sejarah Jakarta dari masa prasejarah hingga kini. Sebetulnya masih ada basement, yang digunakan sebagai ruang tahanan semasa pemerintahan VOC, lengkap dengan rantai-rantai besi asli yang digunakan untuk mengikat kaki para tahanan. Suasana muram, gelap dan pengap yang dirasakan ketika menengok lantai bawah tanah ini sanggup membuat bulu kuduk berdiri membayangkan kondisi sulit para tahanan saat itu.
Museum Sejarah (Stadhuis) dibangun tahun 1620 hingga 1707 atas inisiatif Gubernur Jenderal Coen dan awalnya digunakan sebagai bangunan balai kota semasa VOC berkuasa. Taman Fatahillah yang terletak di depannya menyimpan banyak sejarah, salah satunya pembantaian 5.000 keturunan etnis Cina pada tahun 1740. Penyebabnya karena VOC merasa terancam dengan keberadaan etnis Cina di Batavia yang jumlahnya membengkak, serta naluri bisnis mereka.
Kawasan Kota Tua Jakarta hanyalah salah satu dari beberapa kawasan historis di Jakarta. Masih ada yang lain seperti Glodok (Pecinan), kawasan sekitar Pasar Baru, Medan Merdeka, dan Menteng. Namun bila dilihat dari urutan sejarahnya, kawasan Kota Tua adalah cikal bakal perkembangan dan sejarah Kota Jakarta, sehingga terasa relatif lebih menarik untuk dijelajahi.
Diambil dari Harian Pikiran Rakyat, Minggu, 25 April 2004, photo-photo koleksi pribadi.
http://kotatua.blogspot.com/2006/08/sunda-kelapa.html
Label:
jakarta,
kota tua,
sunda kelapa
Sisa-sisa Bangunan Sejarah Banten Lama
Adalah suatu kepastian yang sudah tidak dapat disangkal lagi bahwa kehidupan manusia merupakan suatu proses sosial budaya yang setiap saat mengalami perubahan dan pergerakan. Hal tersebut tentu akan menyebabkan adaya unsur catatan hidup manusia itu sendiri, baik di masa lampau yaitu priode kurun ke kurun sejarah ataupun kejadian di masa sekarang yang mungkin suatu saat akan mengalami perobahan atas dasar keinginan manusia sesuai dengan kondisi dan perkembangan jaman.
Karena itu tugas kita sekarang adalah antara lain menyelamatkan dan memelihara hasil budaya manusia terdahulu. Sisa-sisa peninggalan orang-orang terdahulu itu penting dipelihara sebagai pelajaran hidup bagi generasi berikutnya.
Dari puing-puing reruntuhan bangunan sisa kota Banten Lama, yang sekarang terletak di desa Banten 9 km dari kota Serang, kita dapat mengamati beberapa peninggalan sebuah kota Islam terbesar yang pernah ada, yaitu:
1. Keraton Surosowan
Keraton Surosowan adalah tempat kediaman sultan Banten, yang oleh orang Belanda disebut Fort Diamant atau Kota Intan, yang dikelilingi oleh tembok perbentengan seluas ± 4 hektar. Keadaan keraton itu kini sudah hancur, yang nampak hanyalah sisa bangunan saja yang berupa pondasi-pondasi serta tembok-tembok dinding yang sudah rusak.
Menurut Babad Banten, keraton ini dibangun oleh raja Banten pertama yakni Maulana Hasanuddin (1526 – 1570). Pembangunan tembok benteng dibangun oleh raja Banten kedua, Maulana Yusuf (1570 – 1580), dengan bangunan benteng yang disusun dari batu bata dan batu karang. Benteng ini kemudian dirobah bentuknya menjadi bastion dan ditambah dengan tembok batu karang di bagian luar, hingga benteng tampak lebih kuat dan kekar oleh Hendrik Laurenzns Cardeel (1680 – 1681) pada masa pemerintahan Sultan Haji (1672 – 1687).
Keraton Surosowan ini telah mengalami penghancuran berkali-kali. Kehancuran total yang pertama kali terjadi ketika perang saudara antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan pihak VOC yang dibantu putra mahkota Sultan Haji pada tahun 1680. Akibat perang ini, keraton Surosowan dibumi-hanguskan oleh Sultan Ageng Tirtayasa sebelum melanjutkan perlawanan dari Tirtayasa.
Setelah Sultan Haji dinobatkan menjadi raja Banten pengganti ayahnya, ia meminta bantuan seorang arsitek Belanda, Hendrik Laurenzns Cardeel, untuk membangun kembali istananya. Cardeel meratakan dan kemudian membangunnya kembali keraton tersebut di atas puing-puing reruntuhan keraton.
Kehancuran keduakalinya dan ini yang terparah ialah terjadi pada tahun 1813, saat mana Gubernur Jendral Belanda waktu itu Herman Daendels memerintahkan penghancuran keraton. Hal ini disebabkan karena Sultan Banten yang terakhir, Sultan Rafiuddin, tidak mau tunduk kepada Belanda. Akibat penghancuran ini, maka tidak tersisa sedikit pun bangunan keraton yang masih dalam keadaan utuh. Keraton itu kemudian ditinggalkan penghuninya, dan terbengkalai tanpa ada yang memperhatikannya lagi.
Dari penelitian dan penggalian arkeologis, ternyata perubahan desain keraton Surosowan ini sering terjadi karena para sultan yang memerintah Banten, sering menambah, mengubah dan memperbaiki bentuk bangunan keraton. Perubahan desain ini mudah diamati dengan cara melihat perubahan struktur fondasi bangunan, pemotongan dinding dan penggantian bentuk serta susunan bangunan.
Pintu gerbang istana terletak di sisi benteng sebelah utara menghadap ke alun-alun. Berdasarkan peta lama, bahwa di sisi benteng sebelah timur pun ada terdapat pintu masuk, namun kini sudah tidak nampak lagi. Di setiap sudut benteng terdapat bagian tembok tebal yang menjorok ke luar, sedang pada setiap sisi sudut bagian dalamnya ditemui pintu-pintu masuk ke dalam ruangan yang tercapai pada tembok benteng itu.
Pada mulanya keraton dikelilingi pula oleh parit-parit, akan tetapi kini hanya sebelah barat dan selatannya saja yang masih ada. Di bagian tengah keraton itu terdapat bekas “pemandian sultan” dan beberapa kolam lainnya; yang dinamai rara denok dan pancuran mas, yang airnya dialirkan dari suatu tempat yang dinamai Tasikardi, danau buatan yang terdapat di sebelah selatan Keraton Surosowan. Beberapa saluran/irigasi dari Tasikardi sampai ke keraton Surosowan tampak teratur.
Dalam penyaluran air bersih digunakan pipa besar dan kecil (dari garis tengah 2 cm hingga 40 cm), terbuat dari terrakota, hingga langsung ke kran-kran logam pancuran mas. Untuk penjernihan air yang nanti digunakan sebagai air bersih bagi penduduk kota dan kraton, digunakan cara penyaringan dengan teknik pengendapan dan poriositas batuan, pasir dan ijuk di pangindelan abang, pangindelan putih, dan pangindelan mas, tiga buah bangunan semacam benteng kecil yang kokoh dan kuat, terdapat di pinggir jalan dari Surosowan ke Tasikardi.
2. Meriam Ki Amuk
Meriam yang dikeramatkan oleh sebagian penduduk, (dulu) ditempatkan di dekat kanal di bawah sebuah gubuk beratap tanpa tembok, yang diletakkan menghadap utara seperti disiapkan untuk menembak kapal musuh yang hendak merapat ke pantai Karangantu.
Di atas bagian moncongnya, terdapat suatu prasasti bertuliskan huruf Arab yang berbunyi “Aqikatul Khoirisala matul imani” dengan bagian pangkal berbentuk tangan yang mengepal dengan ibu jari ke luar mengarah ke atas.
Menurut K.C. Crucq yang telah mengadakan penelitian terhadap meriam-meriam yang berasal dari bekas kesultanan Banten, prasasti tersebut merupakan candra sengkala yang menunjuk angka tahun saka 1450 (1528 – 1529 M). Selanjutnya menurut Crucq bahwa meriam Ki Amuk ini ada hubungannya dengan meriam Ki Jimat, yaitu meriam yang dihadiahkan oleh Sultan Trenggono dari Demak kepada Sunan Gunung Jati.
Beberapa tahun setelah adanya pengerukan kanal Karangantu oleh KOP Bhakti Rem 064 Maulana Yusuf tahun 1967, meriam tersebut pernah hilang dari tempatnya. Dan setelah diadakan pemugaran Mesjid Agung Banten oleh Pertamina pada tahun 1974 meriam tersebut ditemukan kembali dan oleh Direktorat Sejarah dan Purbakala ditempatkan di sudut tenggara alun-alun, tidak jauh dari pintu gerbang bagian utara benteng Surosowan.
3. Watu Gilang
Watu Gilang adalah sebuah batu berbentuk segi empat dengan permukaannya yang datar dan terbuat dari batu andesit. Batu tersebut terletak di sebelah timur laut meriam Ki Amuk. Menurut Babad Banten, batu ini dipergunakan sebagai tempat pengambilan sumpah para sultan/penobatan raja.
4. Watu Singayaksa
Batu ini terletak di alun-alun kota Lama Banten. Di masa kesultanan, dipergunakan untuk mengumumkan semua titah/peraturan-peraturan sultan yang disampaikan oleh seorang ulama.
Menurut dongeng rakyat, batu ini pernah dipakai sebagai tempat bertapa Sang Batara Guru Jampang, yang karena lamanya ia bertapa, hingga burung-burung membuat sarang di atas tutup kepalanya.
5. Mesjid Pecinan Tinggi
Masjid ini terletak ± 100 meter di sebelah kiri jalan raya, dekat rel kereta api, di kampung Dermayon. Disebut Masjid Pacinan Tinggi karena dahulunya banyak orang-orang Cina berdagang dan bertempat tinggal di sana semasa Maulana Hasanuddin. Bangunan tersebut kini tinggal puing reruntuhan, dengan sisa menara, dan mihrab (peng-imaman mesjid), adapun lainnya hanya sisa pondasi bangunan induk yang terbuat dari batu karang dan bata tanah liat. Menurut catatan sejarah, mesjid ini adalah mesjid yang pertama dibangun oleh Syarif Hidatullah yang dilanjutkan oleh Maulana Hasanuddin.
Beberapa puluh meter dari Masjid Pecinan Tinggi, di daerah Pecinan (dulu), terdapat bangunan tua sebuah rumah kuno gaya Cina yang masih utuh (masih dihuni oleh seorang keturunan Cina) persis di persimpangan jalan menuju ke Mesjid Agung; yang mungkin sisa rumah di pecinan. Ke arah utaranya lagi dari rumah tua tersebut, terdapati pintu gerbang dan klenteng Cina.
Klenteng pertama dengan “Dewi Kwan Im”-nya yang pertama dibangun semasa raja pertama Banten, yang letaknya di daerah Pecinan ini. Sedangkan klenteng “Dewi Kwan Im” yang sekarang, belum diketahui kapan dibangunnya; yang di tempat itu sebenarnya, di muara sungai Cibanten dengan jembatan jaganya, tempat berdirinya bangunan pintu masuk pelabuhan pertama Banten ─ sewaktu kedatangan Cornelis de Houtman ke Banten (1596) ─ dengan gudang-gudang penimbunan barang untuk eksport kesultanan Banten. Di tempat ini pun didapati runtuhan bekas menara penjaga petugas pelabuhan, di sebelah kanan muara Cibanten.
6. Kompeks Mesjid Agung Banten
Komplek Mesjid Agung Banten ini terdiri dari :
Bangunan Mesjid Agung dengan serambi yang penuh dengan makam di kiri kanannya. Berdasarkan sejarah Banten, mesjid ini didirikan pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin. Seperti juga mesjid-mesjid lain, bangunan mesjid ini pun berdenah segi empat. Atapnya terbuat dari kayu bersusun berbentuk limas. Di dalam serambi kiri yang terletak di sebelah utara terdapat makam beberapa sultan Banten dan keluarganya. Di antaranya terdapat juga makam Maulana Hasanuddin dan istrinya, makam Sultan Ageng Tirtayasa, dan makam Sultan Abul Nasr’ Abdul Qahar (Sultan Haji). Sedang di dalam serambi kanan yang terletak di sebelah selatan terdapat makam Maulana Muhammad, makam Sultan Zainul Abidin dan lain-lain.
Bangunan Tiyamah, bangunan ini merupakan bangunan tambahan. Dibangun oleh Hendrik Lucasz Cardeel seorang arsitek bangunan Belanda, sebab itulah bangunan tersebut merupakan desain Eropa. Dahulu tempat ini dipakai untuk berdiskusi dan bermusyawarah soal-soal keagamaan.
Menara; Menara ini terletak di halaman depan Mesjid Agung Banten. Bangunan ini terbuat dari batu bata dan tingginya 30 meter, yang juga dibangun kembali oleh Lucasz Cardeel. Menurut Babad Banten, menara ini dibangun sejak Maulana Yusuf oleh arsitek asal Mongol, Cek Ban Cut.
Kapan bangunan ini didirikan tidak diketahui dengan pasti. Di dalam “Jaurnal van de Reyse” (De Eerte Schipvaart der Nederlanders naar Oost Indie onder Cornellis de Houtman, 1595 – 1597), terdapat sebuah peta Banten yang memperlihatkan adanya menara tersebut, sedangkan di dalam sejarah Banten antara lain disebutkan bahwa: “Kanjeng Maulana (Hasanuddin) adarbe putra satunggal lanang jeneng putra mangke nuli den wastanne Maulana Yusuf ingkang puniko jeneng Yusuf sampung gung ikeng putra pan sampan adarbe rayi nalika iku waktu ning wangun munare.”
Berdasarkan atas pemberitaan tersebut K.C. Crucq berpendapat bahwa menara Mesjid Agung Banten sudah ada sebelum 1596/1570, dan berdasarkan tinjauan seni bangunan dan hiasannya ia berkesimpulan bahwa menara tersebut didirikan pada pertengahan kedua abad XVI, yaitu antara tahun 1560 – 1570.
Komplek makam di halaman sisi sebelah utara. Di sini banyak terdapat kuburan keluarga serta kerabat sultan. Di antaranya terdapat kubur salah seorang panglima perang yang terkenal dengan julukan Pangeran Gula Gesen. Di dalam ruang makam terdapat 9 buah makam sultan dan para keluarganya, yakni Sultan Hasanuddin, Sultan Maulana Muhammad, Sultan Zainul Abidin, anak dan istrinya. Di luar ruang makam ini, masih di sebelah utara mesjid, terdapat pula makam-makam kuno bercampur dengan pemakaman umum, antara lain Sultan Ageng Tirtayasa dan istrinya, juga Sultan Abu Nasr Abdul Kahar (Sultan Haji).
7. Pasar dan Pelabuhan Karangantu
Karangantu menjadi pelabuhan utama dan pasar, difungsikan sebagai pelabuhan dagang bagi lingkup lokal maupun asing. Kunjungan Tome Pires ke Karangantu tahun 1513 belum melihat pentingnya tempat ini, karena pelabuhan Sunda Kelapa masih merupakan pelabuhan terpenting bagi Pajajaran. Pada abad berikutnya Karangantu menjadi pelabuhan utama, sejak Banten diislamkan dan aktivitas Banten Girang dipindahkan ke Banten Lama. Sejak akhir abad XVI Karangantu menjadi bandar internasional utama untuk Indonesia bagian barat, terutama akibat jatuhnya Malaka ke tangan Portugis.
Perkembangan dan pertumbuhan Karangantu, baik sebagai pelabuhan maupun pasar, antara lain dapat ditelusuri melalui kajian foto udara, peta-peta kuno maupun fakta-fakta arkeologis di lapangan, diduga keletakan berubah dari keadaan sekarang.
Dari peta kuna yang dibuat oleh de Houtman ketika mengunjungi Banten pada tahun 1598, memperlihatkan bahwa kota Banten dikelilingi tembok kota dan tampak pula pasar Karangantu dikelilingi oleh pagar kayu dan bambu. Pada saat itu perluasan kota Banten mengarah ke bagian timur.
Sementara itu berdasarkan peta yang dibuat oleh Valentijn pada tahun 1725, terlihat bahwa pasar Karangantu masih ditempatnya semula dan mulai dipenuhi dengan rumah-rumah pemukiman.
Pada abad-abad XVII-XIX M, seperti tampak pada peta Serrurier yang tersohor itu, Karangantu tidak lagi ditandai sebagai sebuah pasar, hanya diberi catatan sebagai sebuah pelabuhan yang dikelilingi tambak ikan. Dewasa ini situs ini menjadi tidak penting lagi, kecuali ditandai oleh daerah pertambakan dan rawa-rawa di kampung Bugis.
Pelabuhan Karangantu berkembang dan tumbuh menjadi pusat berbagai aktivitas komersial dan bisnis, toko-toko dan pasar utama, transaksi antara para pedagang Cina dan Arab (terutama). Di sini pula terdapat pemukiman para nelayan, dok kapal-kapal, tempat pembuatan garam. Sementara itu terus ke arah selatan sepanjang sungai Cibanten terdapat lahan-lahan pertanian (padi dan sayur mayur) untuk pasokan istana.
8. Tasikardi
Tasikardi, terletak ± 2 km di sebelah tenggara keraton Surosowan, adalah suatu danau buatan/situ (luasnya ± 5 ha) yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah pulau kecil. Semula pulau buatan ini dibangun khusus untuk ibunda Sultan Maulana Yusuf dalam bertafakkur mendekatkan diri kepada Allah. Selanjutnya, pulau buatan yang terdapat di tengah danau buatan itu digunakan sebagai tempat rekreasi bagi bangsawan kesultanan.
Pada tahun 1706 Sultan Banten menerima seorang tamu Belanda Cornelis de Bruin di Tasikardi dan ketika Daendells membuat jalan dari Merak ke Karangantu, danau kecil ini tidak diganggu. Situ ini berfungsi untuk penampung air dari sungai Cinbanten, yang kemudian di-salurkan ke sawah-sawah dan sebagian untuk kepentingan air minum rakyat serta untuk kebutuhan keluarga sultan di keraton Surosowan ─ dengan teknik penyaluran air khas buatan Lucasz Cardeel ─ melalui pengindelan (filter station) abang, kuning dan mas, air Tasik Ardi langsung masuk ke lingkungan keraton dengan teknik penyaringan yang sudah kompleks.
9. Jembatan Rante
Jembatan Rante didirikan di atas air sungai/kanak Kota Lama Banten yang terletak 300 meter di sebelah utara benteng Surosowan, berfungsi sebagai “tol-perpajakan” bagi setiap kapal kecil atau perahu pengangkut barang dagangan pedagang asing yang memasuki kota kerajaan. Dari data pictorial, jelas telah tergambar sesaat Cornelis de Houtman melukis kota Banten pada tahun 1596. Bahkan tertulis pada Babad Banten, bahwa Maulana Yusuf, tahun 1570, telah banyak membangun fasilitas kota dengan segala macam kebutuhan untuk politik perdagangan.
Jembatan Rante dibangun dari bata dan karang serta diduga memakai tiang besi dan papan untuk fungsi penyeberangan serta memakai “kerekan rantai” sebagai fungsi ganda bilamana lalu-lalang kapal kecil, jembatan bisa dibuka; dan bila tidak ada kapal masuk, jembatan ditutup berfungsi sebagai penyeberangan orang dan kendaraan darat.
Sebagai data visual yang masih berfungsi hingga sekarang kita dapat melihat dan meneliti Jembatan Rante yang ada di Pasar Ikan, Jakarta.
10. Mesjid Koja
Mesjid yang tinggal reruntuhan ini terletak di selatan jalan yang menghubungkan Speelwijk dengan Karangantu, dimana beberapa meter dari mesjid tersebut di sebelah selatannya kini terdapat jalan kereta api. Disebut Mesjid Koja karena dahulunya termasuk kompleks perkampungan orang-orang Koja, Persia. Menurut catatan orang Belanda, tempat tersebut pernah dihuni orang-orang yang datang dari India, Jepang, Cina dan lain-lain sebagai pedagang.
11. Mesjid Agung Kenari
Mesjid ini terletak di kampung Kenari ± 3 km ke arah selatan dari Mesjid Agung Banten. Mesjid ini adalah mesjid tua pening-galan Sultan Abul Mufachir Muchmud Abdul Kadir (1596 – 1651). Sultan pertama yang mendapat gelar “sultan” dari Mekah. Ia adalah putra Maulana Muhammad Pangeran ing Banten. Selain itu di tempat ini terdapat pula makam putranya, Sultan Abul Ma’ali Ahmad.
12. Benteng Speelwijk
Benteng Speelwijk terletak di tepi pantai ─ sebelum ada pendangkalan lautan di daerah ini ─ di kampung Pamarican tidak jauh dari Pabean. Lengkapnya bernama Fort Speelwijk, sebagai penghormatan kepada Cornelis Jansz Speelman, Gubernur Jendral VOC pada tahun 1681 – 1684. Benteng ini didirikan untuk kepentingan kompeni Belanda yang dibangun pada tahun 1685 – 1686 oleh Hendrik Lucasz Cardeel.
Walaupun belum diketahui pasti, apakah benteng ini berasal dari benteng Portugis, namun Graaft menyatakan bahwa benteng tersebut adalah sebagai bangunan lanjutan dari tembok dinding kota yang dibangun sepanjang pantai yang disebut Tembok Banten Tua.
Jika kita berdiri menghadap reruntuhan benteng dari tepi sungai menghadap ke timur, akan tampak bastion Speelwijk yang terletak di sebelah kiri. Di situ terdapat sebuah tangga terbuat dari batu dan sebuah menara pengintai. Tembok yang melintang Platform Bastion adalah bekas tembok tertua dari kota Banten, langsung menjulur ke sepanjang pantai dimana terdapat sebuah Bolwerk (kubu pertahanan). Di sebelah atas tembok benteng terdapat jendela penembak yang dulunya tersimpan meriam di setiap jendela tersebut.
Di bawah bastion Speelwijk terdapat ruangan tempat bubuk peledak dan tutup jalan masuknya melalui pintu gerbang di bagian tenggara. Ada sebuah lorong di bagian bawah yang menuju ke tempat bubuk peledak juga terdapat sebuah kamar sebagai tempat penyimpanan senjata. Lorong yang menyudut 90 derajat itu kini masih dalam keadaan utuh dan bersih.
Ruangan-ruangan, yang sekarang tinggal sisa pondasi, di belakang pintu gerbang dalam lingkungan puing bekas Speelwijk, adalah merupakan bangunan yang berada di bawah satu atap. Dahulu ada sebuah jembatan gantung yang menghubungkan kedua pintu gerbang dan rumah komandan, kamar senjata, kantor administrasi dan gereja.
Dengan berdirinya bangunan Fort Speelwijk tersebut, Belanda nampak memperlihatkan kekuasaannya di bagian kota Banten. Dan ini juga merupakan permulaan sejarah monopoli perdagangan kompeni Belanda. Dalam pemerintahan Gubernur Jendral Daendels keadaan menjadi berubah, dengan memburuknya situasi. Orang-orang Belanda mulai meninggalkan Fort Speelwijk pada tahun 1810.
Beberapa ratus meter dari Speelwijk ke arah timur, terdapat beberapa kuburan orang-orang Eropa. Pada tahun 1911 atas instruksi Gubernur Jendral A.W.F. Iden Borg reruntuhan Speelwijk dan kuburan tersebut di pugar.
Sebuah kuburan yang bagus, besar dan menarik perhatian orang adalah kuburan Komandan Hugo Pieter Faure (1717 – 1763), yang dihiasi oleh lambang keluarganya. Selanjutnya terdapat nama-nama: Jacob Wits, seorang pegawai fiscal/pajak dan pembelian (wafat 9 Maret 1769); Catharina Maria van Doorn, istri Jan van Doorn seorang letnan (30 April 1747 – 8 Desember 1769); Maria Susana Acher, istri Thomas Schipers, pegawai bagian pajak dan pembelian (wafat 6 Juli 1743).
13. Kelenteng Cina
Kelenteng ini terletak di sebelah barat Benteng Speelwijk. Semula kelenteng ini terletak di Pecinan, dibangun oleh masyarakat Cina yang ada di Banten. Kapan bangunan ini dibuat tidak dapat diketahui dengan pasti, tapi menurut tradisi, kelenteng ini dibangun pada masa awal kerajaan Banten.
Menurut catatan Cortemunde (1659), kelenteng Cina (yang sekarang ini) menempati lahan loji Inggris, sementara itu, kelenteng lama sesuai dengan catatan Valentijn (1725) berlokasi di sebelah selatan menara lama (Mesjid Pacinan Tinggi).
14. Keraton Kaibon
Kearaton Kaibon adalah nama sebuah keraton yang terletak di kampung Kroya, sebelah selatan sungai Cibanten, sebelum melewati sebuah jembatan jalan menuju ke kota Banten. Keraton Kaibon (Ka-ibu-an = tempat ibu) adalah bekas kediaman Sultan Syaifudin, salah seorang sultan yang pernah memerintah di Kesultanan Banten pada tahun 1809. Sultan ini meninggal pada tahun 1915. Secara resmi keraton ini masih dipakai sampai dengan masa pemerintahan bupati Banten pertama yang mendapat restu Belanda, yakni Aria Adi Santika sebagai ganti pemerintahan kesultanan yang dihapuskan mulai tahun 1816.
Bentuk arsitektuk kraton Kaibon, jika dibandingkan dengan keraton Surosowan justru Kaibon nampaknya lebih archais. Hal ini dapat kita lihat dari bentuk arsitektur pintu-pintu gerbang dan tembok keraton. Jika diurut dari bagian depan, keraton ini mempunyai empat buah pintu gerbang yang berbentuk bentar. Pintu gerbang utama yang merupakan jalan masuk menuju bagian dalam keraton terletak di tengah-tengah dinding tembok halaman depan, juga berbentuk bentar.
Dalam konsepsi kuno tentang bangunan-bangunan sakral dan sekuler pada arsitektur Jawa, kita melihat adanya fungsi-fungsi arsitektur tertentu yang memberikan indikasi ciri-ciri sebuah bangunan keagamaan atau bangunan sekuler. Dilihat dari bentuk pintu gerbangnya maka Kaibon menunjukkan ciri-ciri sebuah keraton dengan gaya tradisional.
Hal ini dapat dilihat dari susunan pintu gerbang dan halamannya. Pintu gerbang pertama yang merupakan jalan masuk berbentuk bentar, menunjukkan bahwa halaman yang akan dilalui masih bersifat profan. Pada halaman kedua, jalan masuk ditandai dengan pintu gerbang berbentuk paduraksa. Bentuk paduraksa ini, dalam tradisi bangunan kuno, menunjukkan bahwa halaman yang akan dilalui telah mempunyai nilai sakral.
Pada umumnya, letak sitinggil pada kraton tradisional di Jawa seperti keraton Kasepuhan, Kanoman, Demak, Panjang, Mataram terletak di halaman pertama bagian timur. Di Kaibon terlihat tata-letak yang berbeda. Justru bangunan yang seharusnya untuk sitinggil, di sini yang ada adalah bangunan sebuah masjid. Dengan demikian bangunan masjid pada keraton Kaibon diletakkan pada bagian utama keletakan keraton.
Masjid Kaibon ini berbentuk persegi panjang dengan sebuah mihrab yang terletak pada dinding barat masjid tersebut berbentuk sebuah ceruk persegi panjang. Pada halaman kedua ini pun terdapat beberapa bangunan yang telah hancur dan yang sebagian hanya tersisa pondasi-pondasinya saja. Biasanya, dalam tradisi bangunan di Jawa, di halaman kedua setelah paduraksa terdapat bangunan tempat tinggal sultan beserta kerabatnya; demikian juga bangunan-bangunan seperti bangsal, srimanganti, dan sebagainya. Di beberapa bangunan ini, terlihat pada beberapa sudut dinding adanya lubang bekas penempatan balok-balok kayu. Hal ini mungkin merupakan sisa lantai bangunan yang terbuat dari papan kayu dari struktur bangunan yang lebih mutakhir.
Di pintu gerbang sebelah barat menuju ke masjid keraton terdapat sebuah tembok besar yang terpayungi oleh pohon-pohon beringin yang tinggi. Pada tembok tersebut terdapat lima buah pintu yang dibuat dalam gaya Jawa atau Bali. Ukuran tembok itu panjang 80 meter dan tingginya 2 meter.
Di sisi timur, dekat aliran sungai, masih ada lagi sebuah pintu masuk ke dalem dengan bentuk yang sama, pintunya berbentuk seperti busur panah, juga hal ini mengingatkan kita pada bentuk bangunan Eropa. Di dekat pintu sebelah timur terdapat puing-puing bekas bangunan rumah-rumah yang dibangun pada permulaan abad XVI (?). Di muka keraton Kaibon, dekat jalan raya, terdapat puing-puing dari sebuah pintu terbuat dari batu yang mana pintu tersebut berhubungan dengan keraton Kaibon dan dinamai Pintu Gapura.
15. Makam-makam Kerabat Sultan
1) Makam Pangeran Mandalika
Makam ini terletak di seberang kampung Kroya; Pangeran Mandalika adalah putra Sultan Hasanuddin, dari ibu yang bukan permaisuri.
2) Makam Pangeran Mas
Terletak di kampung Pangkalan Nangka. Dia adalah seorang Pangeran dari Demak. Meninggal dan dimakamkan di Banten. Pintu gerbang menuju makam tersebut bergaya Holland Kuno. Di depan pintu gerbang terdapat makam Singajaya.
3) Makam Maulana Yusuf
Terletak di sebelah timur jalan melewati rel kereta api tidak jauh dari kampung Kesunyatan, tepatnya di tengah sawah, yang dikenal kuburan Pekalangan. Sehingga setelah meninggalnya ia disebut Penembahan Pekalangan Gede.
4) Makam Pangeran Astapati
Makam ini terletak di kampung Odel, yang dikelilingi oleh tembok berpagar besi. Pada pintu masuk sebelah selatan terlihat semacam bangunan ala Eropa yang sedikit ada perpaduan dengan motif Jawa kuno. Pangeran Astapati adalah salah seorang panglima perang Banten semasa pemerintahan Sultan Tirtayasa. Ia keturunan para pemimpin Baduy, di Kanekes, Banten Selatan, yang kemudian menikah dengan Ratu Dahlia, salah seorang putri sultan. Pangeran Astapati atau dikenal juga Pangeran Wirasuta ditugaskan untuk menggempur tentara kompeni Belanda di teluk Banten.
http://humaspdg.wordpress.com/2010/05/11/sisa-sisa-bangunan-sejarah-banten-lama/
Selasa, 15 Maret 2011
SEJARAH BANDUNG
Oleh: A. Sobana Hardjasaputra
Mengenai asal-usul nama "Bandung", dikemukakan berbagai pendapat. Sebagian mengatakan bahwa, kata "Bandung" dalam bahasa Sunda, identik dengan kata "banding" dalam Bahasa Indonesia, berarti berdampingan. Ngabanding (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan. Hal ini antara lain dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (1994) dan Kamus Sunda-Indonesia terbitan Pustaka Setia (1996), bahwa kata bandung berarti berpasangan dan berarti pula berdampingan.
Pendapat lain mengatakan, bahwa kata "bandung" mengandung arti besar atau luas. Kata itu berasal dari kata bandeng. Dalam bahasa Sunda, ngabandeng berarti genangan air yang luas dan tampak tenang, namun terkesan menyeramkan. Diduga kata bandeng itu kemudian berubah bunyi menjadi Bandung. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kata Bandung berasal dari kata bendung.
Pendapat-pendapat tentang asal dan arti kata Bandung, rupanya berkaitan dengan peristiwa terbendungnya aliran Sungai Citarum purba di daerah Padalarang oleh lahar Gunung Tangkuban Parahu yang meletus pada masa holosen (± 6000 tahun yang lalu).
Akibatnya, daerah antara Padalarang sampai Cicalengka (± 30 kilometer) dan daerah antara Gunung Tangkuban Parahu sampai Soreang (± 50 kilometer) terendam menjadi sebuah danau besar yang kemudian dikenal dengan sebutan Danau Bandung atau Danau Bandung Purba. Berdasarkan hasil penelitian geologi, air Danau Bandung diperkirakan mulai surut pada masa neolitikum (± 8000 - 7000 sebelum Masehi). Proses surutnya air danau itu berlangsung secara bertahap dalam waktu berabad-abad.
Secara historis, kata atau nama Bandung mulai dikenal sejak di daerah bekas danau tersebut berdiri pemerintah Kabupaten bandung (sekitar decade ketiga abad ke-17). Dengan demikian, sebutan Danau Bandung terhadap danau besar itu pun terjadi setelah berdirinya Kabupaten Bandung.
Berdirinya Kabupaten Bandung
Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sasanga".
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan Pasukan banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).
Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari rtu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun berubah dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian Barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan Kesultanan Banten.
Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Suradiwangsa menjadi Bupati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal dengan sebutan Rangga Gempol I.
Tahun 1624 Sultan agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan daerah Sampang (Madura). Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede. Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram. Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni.
Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi dari kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa Kerajaan Mataram.
Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan. Secara teoritis, bila daerah tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat bantuan beberapa Kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun 1632.
Setelah "pemberontakan" Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Selain itu juga dilakukan reorganisasi pemerintahan di Priangan untuk menstabilkan situasi dan kondisi daerah tersebut. Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sukapura dengan cara mengangkat tiga kepala daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur.
Ketiga orang kepala daerah dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi mantri agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang dan Ngabehi Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha. Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan berdasarkan "Piagem Sultan Agung", yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa). Dengan demikian, tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi Kabupagten Bandung tetapi sekaligus sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.
Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi perubahan terutama dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan Sunda-Pajararan kemudian Sumedanglarang) dengan status yang tidak jelas, berubah menjadi daerah dengan sttus administrative yang jelas, yaitu kabupaten.
Setelah ketiga bupati tersebut dilantik di pusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing. Sadjarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumeggung Wiraangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur. Pertama kali mereka dating ke Timbanganten. Di sana bupati Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenanggung Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungat Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan) sebagai ibukota kabupaten. Sebagai daerah pusat kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi kur Gede.
Wilayah administrative Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu tidak/belum ditemukan. Menurut sumber pribumi, data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kuripan, Sagaraherang, dan sebagian Tanahmedang.
Boleh jadi, daerah Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan wilayah administrative Kabupaten Bandung waktu itu. Bila dugaan ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Krapyak, wilayahnya mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanahmedang.
Kabupaten Bandung sebagai salah satu Kabupaten yang dibentuk Pemerintah Kerajaan Mataram, dan berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan tersebut, maka sistem pemerintahan Kabupaten Bandung memiliki sistem pemerintahan Mataram. Bupati memiliki berbagai jenis symbol kebesaran, pengawal khusus dan prajurit bersenjata. Simbol dan atribut itu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh Bupti atas rakyatnya.
Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dmiliki oleh raja. Hak-hak dimaksud adalah hak mewariskan jabatan, ha memungut pajak dalam bentuk uang dan barang, ha memperoleh tenaga kerja (ngawula), hak berburu dan menangkap ikan dan hak mengadili.
Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram, maka tidaklah heran apabila waktu itu Bupati Bandung khususnya dan Bupati Priangan umumnya berkuasa seperti raja. Ia berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem pemerinatahn dan gaya hidup bupati merupakan miniatur dari kehidupan keraton. Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya, seperti patih, jaksa, penghulu, demang atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala desa) dan lain-lain.
Kabupaten Bandung berada dibawah pengaruh Mataram sampai akhir tahun 1677. Kemudian Kabupaten Bandung jatuh ketangan Kompeni. Hal itu terjadi akibat perjanjian Mataram-Kompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober 1677. Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), Bupati Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.
Sistem pemerintahan kabupaten pada dasarnya tidak mengalami perubahan, karena Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni, dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal ini bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak lain. Satu hal yang berubah adalah jabatan bupati wedana dihilangkan. Sebagai gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai pengawas (opzigter) daerah Cirebon-Priangan (Cheribonsche Preangerlandan).
Salah satu kewajiban utama bupati terhadap kompeni adalah melaksanakan penanaman wajib tanaman tertentu, terutama kopi, dan menyerahkan hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebut Preangerstelsel. Sementara itu bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban daerah kekuasaannya. Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan Bupati Kompeni atau penguasa Kompeni di Cirebon. Agar bupati dapat melaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik, pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari bidang itu, seperti bagian zakar fitrah, tidak diganggu baik bupati maupun rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni.
Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni-VOC akhir tahun 1779, Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh enam orang bupati. Tumenggung Wiraangunangun (merupakan bupati pertama) ankatan Mataram yang memerintah sampai tahun 1681. Lima bupati lainnya adalah bupati angkatan Kompeni yakni Tumenggung Ardikusumah yang memerintah tahun 1681-1704, Tumenggung Anggadireja I (1704-1747), Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R. Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794) dan R.A. Wiranatakusumah II yang memerintah dari tahun 1794 hingga tahun 1829. Pada masa pemerintahan bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung.
Berdirinya Kota Bandung
Ketika Kabupaten Bandung dipimpin oleh Bupati RA Wiranatakusumah II, kekuasaan Kompeni di Nusantara berakhir akibat VOC bangkrut (Desember 1799). Kekuasaan di Nusantara selanjutnya diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan Gubernur Jenderal pertama Herman Willem Daendels (1808-1811).
Sejalan dengan perubahan kekuasaan di Hindia Belanda, situasi dan kondisi Kabupaten Bandung mengalami perubahan. Perubahan yang pertama kali terjadi adalah pemindahan ibukota kabupaten dari Krapyak di bagian Selatan daerah Bandung ke Kota Bandung yang ter;etak di bagian tengah wilayah kabupaten tersebut.
Antara Januari 1800 sampai akhir Desember 1807 di Nusantara umumnya dan di Pulau Jawa khususnya, terjadi vakum kekuasaan asing (penjajah), karena walaupun Gubernur Jenderal Kompeni masih ada, tetapi ia sudah tidak memiliki kekuasaan. Bagi para bupati, selama vakum kekuasaan itu berarti hilangnya beban berupa kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi bagi kepentingan penguasa asing (penjajah). Dengan demikian, mereka dapat mencurahkan perhatian bagi kepentingan pemerintahan daerah masing-masing. Hal ini kiranya terjadi pula di Kabupaten Bandung.
Menurut naskah Sadjarah Bandung, pada tahun 1809 Bupati Bandung Wiranatakusumah II beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Karapyak ke daerah sebelah Utara dari lahan bakal ibukota. Pada waktu itu lahan bakal Kota Bandung masih berupa hutan, tetapi di sebelah utaranya sudah ada pemukiman, yaitu Kampung Cikapundung Kolot, Kampung Cikalintu, dan Kampung Bogor. Menurut naskah tersebut, Bupati R.A. Wiranatakusumah II pindah ke Kota Bandung setelah ia menetap di tempat tinggal sementara selama dua setengah tahun.
Semula bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti) kemudian ia pindah Balubur Hilir. Ketika Deandels meresmikan pembangunan jembatan Cikapundung (jembatan di Jl. Asia Afrika dekat Gedung PLN sekarang), Bupati Bandung berada disana. Deandels bersama Bupati melewati jembatan itu kemudian mereka berjalan ke arah timur sampai disuatu tempat (depan Kantor Dinas PU Jl. Asia Afrika sekarang). Di tempat itu deandels menancapkan tongkat seraya berkata: "Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd!" (Usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah kota telah dibangun!". Rupanya Deandels menghendaki pusat kota Bandung dibangun di tempat itu.
Sebagai tindak lanjut dari ucapannya itu, Deandels meminta Bupati Bandung dan Parakanmuncang untuk memindahkan ibukota kabupaten masing-masing ke dekat Jalan Raya Pos. Permintaan Deandels itu disampaikan melalui surat tertanggal 25 Mei 1810.
Pindahnya Kabupaten Bandung ke Kota Bandung bersamaan dengan pengangkatan Raden Suria menjadi Patih Parakanmuncang. Kedua momentum tersebut dikukuhkan dengan besluit (surat keputusan) tanggal 25 September 1810. Tanggal ini juga merupakan tanggal Surat Keputusan (besluit), maka secara yuridis formal (dejure) ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Bandung.
Boleh jadi bupati mulai berkedudukan di Kota Bandung setelah di sana terlebih dahulu berdiri bangunan pendopo kabupaten. Dapat dipastikan pendopo kabupaten merupakan bangunan pertama yang dibangun untuk pusat kegiatan pemerintahan Kabupaten Bandung.
Berdasarkan data dari berbagai sumber, pembangunan Kota Bandung sepenuhnya dilakukan oleh sejumlah rakyat Bandung dibawah pimpinan Bupati R.A. Wiranatakusumah II. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa bupati R.A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (the founding father) kota Bandung.
Berkembangnya Kota Bandung dan letaknya yang strategis yang berada di bagian tengah Priangan, telah mendorong timbulnya gagasan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1856 untuk memindahkan Ibukota Keresiden priangan dari Cianjur ke Bandung. Gagasan tersebut karena berbagai hal baru direalisasikan pada tahun 1864. Berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal tanggal 7 Agustus 1864 No.18, Kota Bandung ditetapkan sebagai pusat pemerintahan Keresidenan Priangan. Dengan demikian, sejak saat itu Kota Bandung memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai Ibukota Kabupaten Bandung sekaligus sebagai ibukota Keresidenan Priangan. Pada waktu itu yang menjadi Bupati Bandung adalah R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1874).
Sejalan dengan perkembangan fungsinya, di Kota Bandung dibangun gedung keresidenan di daerah Cicendo (sekarang menjadi Rumah Dinas Gubernur Jawa Barat) dan sebuah hotel pemerintah. Gedung keresidenan selesai dibangun tahun 1867.
Perkembangan Kota Bandung terjadi setelah beroperasi transportasi kereta api dari dan ke kota Bandung sejak tahun 1884. Karena Kota Bandung berfungsi sebagai pusat kegiatan transportasi kereta api "Lin Barat", maka telah mendorong berkembangnya kehidupan di Kota Bandung dengan meningkatnya penduduk dari tahun ke tahun.
Di penghujung abad ke-19, penduduk golongan Eropa jumlahnya sudah mencapai ribuan orang dan menuntut adanya lembaga otonom yang dapat mengurus kepentingan mereka. Sementara itu pemerintah pusat menyadari kegagalan pelaksanaan sistem pemerintahan sentralistis berikut dampaknya. Karenanya, pemerintah sampai pada kebijakan untuk mengganti sistem pemerintahan dengan sistem desentralisasi, bukan hanya desentralisasi dalam bidang keuangan, tetapi juga desentralisasi dalam pemberian hak otonomi bidang pemerintahan (zelfbestuur)
Dalam hal ini, pemerintah Kabupaten Bandung di bawah pimpinan Bupati RAA Martanagara (1893-1918) menyambut baik gagasan pemerintah kolonial tersebut. Berlangsungnya pemerintahan otonomi di Kota Bandung, berarti pemerintah kabupaten mendapat dana budget khusus dari pemerintah kolonial yang sebelumnya tidak pernah ada.
Berdasarkan Undang-undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) yang dikeluarkan tahun 1903 dan Surat Keputusan tentang desentralisasi (Decentralisasi Besluit) serta Ordonansi Dewan Lokal (Locale Raden Ordonantie) sejak tanggal 1 April 1906 ditetapkan sebagai gemeente (kotapraja) yang berpemerintahan otonomom. Ketetapan itu semakin memperkuat fungsi Kota Bandung sebagai pusat pemerintahan, terutama pemerintahan Kolonial Belanda di Kota Bandung. Semula Gemeente Bandung
Dipimpin oleh Asisten Residen priangan selaku Ketua Dewan Kota (Gemeenteraad), tetapi sejak tahun 1913 gemeente dipimpin oleh burgemeester (walikota).
Sumber:
Kota-kota Lama di Jawa Barat, Alqaprint Jatinangor
http://iwan1772.blogspot.com/2009/08/sejarah-bandung.html
Label:
asal-usul,
sejarah bandung,
sobana hardjasaputra,
sunda
Senin, 14 Maret 2011
(HEBOH) Email A. Mallarangeng yg Bocor
—– Forwarded Message —-
From: Malik AnsoriTo: teguhw78@yahoo.com
Sent: Sunday, July 5, 2009 5:37:33 AM
Subject: Fw: Re: Kontrol media, mohon jadi pertimbangan
Baca bos!
—– Forwarded Message —-
From: Penegak Nkri
To: malik.ansori@yahoo.com
Sent: Sunday, July 5, 2009 5:23:37 AM
Subject: Fw: Re: Kontrol media, mohon jadi pertimbangan
Ada bocoran info menarik ni bos. Ga tau bener apa ga, coba dicek.
—– Forwarded Message —-
From: Ronggo Lawe
To: penegak.nkri@yahoo.com
Sent: Saturday, July 4, 2009 3:02:12 PM
Subject: Fw: Re: Kontrol media, mohon jadi pertimbangan
—– Forwarded Message —-
From: Muchlis Hasyim
To: ronggo..l4w3@yahoo.com
Sent: Saturday, July 4, 2009 3:57:39 PM
Subject: Fw: Re: Kontrol media, mohon jadi pertimbangan
Bos, emailnya sudah saya Fwd ke Daeng. Semoga penjelasan Daeng ini memupus kekhawatiran kita semua.
Salam
MH
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung
Teruuusss…!
From: Andi Mallarangeng
Date: Fri, 3 Jul 2009 18:59:14 -0700 (PDT)
To:
Subject: Re: Kontrol media, mohon jadi pertimbangan
Muchlis yang baik tapi sedang gundah,
Menurut saya, kita masih on the track. Isu yang menyudutkan saya di Makasar, masalah di Medan, DPT bermasalah, atau omongan ngaco PS tentang GBK tidak akan mempengaruhi pemilih. Apa dia punya bukti kita memanipulasi media. Masyarakat kan melihat media sendiri lah yang menentukan berita mana yang pantas mereka turunkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Ada beberapa argumen yang bisa memperkuat keyakinan saya bahwa beragam isu ini tidak akan mempengaruhi kita.
Pertama, bangsa kita berada pada tahap puncak konsumerisme yang menyebabkan kaburnya identitas Nasional. Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila itu tinggal jargon2 saja. Jadi orang akan memiih dari apa yang mereka lihat dan sukai dan itu jelas masalah pembawaan dan penampilan.
Masyarakat konsumen tidak akan peduli dengan apa yang dibawa oleh orang tersebut. Mau kapatalis, sosialis, atau neolib sekalipun, mereka tidak akan pedulikan. Yang penting mereka puas dengan penampilan si kandidat.. Dan kandidat itu adalah SBY-Boediono. Jadi, kejadian saya di Makassar kemarin itu tidak usah dipikir terlalu berat, itu hanya sebuah eksperimen kecil saya untuk melihat apakah isu berbau SARA masih mendapat tempat di masyarakat kita? dan saya sudah mendapatkan jawabannya, memang betul terjadi sedikit riak di Makassar sana dan mungkin elektabilitas JK langsung meningkat tajam.
Tetapi lihatlah pada hari pencontrengan nanti, masyarakat tetap tidak akan bergeming dari pilihan kita. Sebab bagi masyarakat konsumen, yang penting bukanlah isu, tetapi penampilan dari kandidat. Ibaratnya blackberry vs pancasila, jelas ketahuan mana yang laku dan tidak sekarang ini. Masyarakat kita mati2an berhutang kiri kanan buat beli blackberry makin lupa lah sama pancasila.
Ingat bung, Obama bisa jadi presiden hanya karena konsumerisme dan kapitalisme di AS sedang runtuh sehingga penduduknya kembali ke nilai-nilai kebangsaannya yaitu “all men are created equal”, makanya kulit hitam bisa jadi presiden. Kalau ndak ada keruntuhan ekonomi ndak mungkin kejadian tuh Obama boss.
Kedua, FZ cs tidak percaya bahwa politik aliran sudah mati di Indonesia. NU, Muhammadiyah apalah yang lain juga sudah tidak seperti dulu lagi. Kita kan juga liat sendiri, kyai kan UUD juga akhirnya toh, tinggal mana yang kantongnya paling dalam dan janjiny paling manis aja. Dan kita kan main cantik sekali seperti anda liat. Lalu, orang seperti ini ini juga tidak mau belajar dari sejarah kepemimpinan nasional di Indonesia.
Sejak negara ini berdiri, semua presiden yang naik itu karena kecelakaan sejarah. Bung Karno diangkat menjadi presiden, karena Jepang kalah dari sekutu dan terjadi vacuum of power pada masa itu. Soeharto naik juga akibat kecelakaan sejarah yaitu terjadinya peristiwa 65. Nah yang lucu, setelah itu kecelakaan sejarahnya semakin ngaco. Reformasi bergulir tahun 98, menghasilkan presiden yang buta. Presiden buta dijatuhkan, naik pula lah perempuan bisu. Kalau politik aliran memang belum mati, sudah pasti Mega atau Habibie jadi. Lagipula kalau memang ada politik aliran maka alirannya pasti jawa, laki-laki, militer dan islam. Non jawa seperti saya dan teman-teman ini kan sudah memang tempatnya jadi king maker saja, lebih enak ndak repot tapi kebagian serunya toh. Makanya SBY berbeda, dia muncul by design yang matang lewat pemilihan langsung.
Ketiga, ancaman tentang gerakan mahasiswa dan rakyat itu sudah tidak relevan lagi dengan iklim demokrasi sekarang. Hanya mimpi siang bolong yang bisa menghadirkan kekuatan mahasiswa. Bahkan tahun 98′ pun banyak orang salah meletakkan sejarah itu sebagai kebangkitan mahasiswa menggulingkan Soeharto. Padahal bukan begitu. Itu memang jatuhnya Soeharto dan mahasiswa
jadi alat saja, tapi memang jumlahnya besar sekali jadi secara visual kelihatan seperti sebuah fenomena gerakan mahasiswa yang digerakkan sebuah pemikiran kebangsaan. Buktinya tidak ada satu pun tokoh mahasiswa yang jadi legenda karena pemikirannya di tahun 98′. Rama yang jadi tokoh terpopuler pun ternyata Cuma onggokan omong kosong saja dan sebentar lagi berangkat pula ke bui. Jadi tidak perlu khawatir mahasiswa kita ndak ada yang berkualitas pemikirannya sampai bisa menggerakkan massa jadi selalu menunggu ditungangi. Dan yang menunggangi tidak pernah pintar sehingga selalu ketahuan sehingga masyarakat tidak pernah percaya lagi sama kredibilitas demo mahasiswa jadi tenang saja boss. Kita mengontrol pikiran dan sentiment public sekarang, ndak ada yang bisa kalahkan itu. Sudahlah, rakyat tidak percaya lagi pada mahasiswa. Kita datangin mereka ke tv saja mereka sudah senang sekarang. jadi Bos, gerakan mahasiswa itu bukan lagi suatu hal yang menakutkan sekarang.
Lagipula, taruhlah media tidak lagi “bersahabat”, itu hanya segelintir. Media itu bisnis bung, owner nya ndak mungkin ambil risiko untuk lima tahun ke depan. bisa ndak makan mereka kan. Yang penting anda kan sudah dijelaskan dan ditunjukkan. selama skenario utama tetap terjaga, Cuma hitungan hari kok dan jadilah kita berangkat ke Bermuda kan haha…… ingat saja, skenario ini sudah lima kali dites dan tidak pernah gagal.. Dengan persiapan sudah lebih lama dan panjang, skenario sekarang jauh lebih sempurna.Ndak usah paniklah dengan semua isu yang berkembang ini, mereka lupa musuh utama adalah waktu, bukan kita. betul kan? Kalau orang ini memang bisa berbuat sesuatu kan sudah lama dia lakukan.
Ok boss, nda usah kuatir dengan FZ cs, mereka itu cuma angin sepoi-sepoi. Tiga hari lagi dan lima tahun ke depan kita selesaikan urusan dengan mereka satu persatu.
Trims
AM
From: Muchlis Hasyim
To: mallarangeng@yahoo.com
Sent: Saturday, July 4, 2009 8:52:49 AM
Subject: Fw: Kontrol media, mohon jadi pertimbangan
Daeng,
Saya baru terima email dari kawan kita ini. Terus terang saya agak tidak nyaman. Mungkin ini kembali menjadi pengingat Daeng. Isu kemarahan masy sulsel, DPT, dan penggadaian GBK, Din Samsudin yang semakin rame, saya khawatir bisa bergulir diluar kontrol kita. Perlu dicermati baik-baik dan diantisipasi semaksimal mungkin boss. Saya harap Daeng bisa memberikan pencerahan.
Trims
MH
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung
Teruuusss….!
From: Ronggo Lawe
Date: Fri, 3 Jul 2009 18:50:45 -0700 (PDT)
To:
Subject: Kontrol media, mohon jadi pertimbangan
Kawan Muchlis,
Banyak yang mulai tidak suka dengan permainan kita di media. Mereka mulai mengerti cara kita mengontrol berita di media. Itu sebabnya mereka terus mempermasalahkan Kasus DPT bermasalah, isu SARA celi, penghinaan orang Bugis oleh Andi, penjualan Gelora Bung Karno, dll. Saya lihat Fadli Zon cs terus bergerak untuk menguji kekuatan kita di media.. Sebab mereka tahu untuk isu-isu yang sangat sensitif itu, akan sangat janggal sekali jika media tidak memberitakannya dan itu di luar kontrol kita boss. Saya lebih khawatir lagi orang-orang seperti Fadli Zon ini bisa menggerakkan mahasiswa dan masyarakat.
Jadi boss, permainan di media ini mulai berbahaya. Kayaknya kita harus mencari strategi baru..
Sumber: http://serbasejarah.wordpress.com/2009/07/06/heboh-email-a-mallarangeng-yg-bocor/
Label:
andi malarangeng,
email bocor,
kontrol media
Sabtu, 12 Maret 2011
Benteng Sekutu di Pasir Angin
oleh: Deden Wibawa
Benteng atau kubu pertahanan Sekutu di Pasir Angin ini memang belum diketahui kapan dibuatnya, tetapi diperkirakan dibangun sekitar tahun 1940-42 untuk menyongsong bala tentara Dai Nippon yang sudah bersiap untuk masuk ke wilayah Hindia Belanda pada waktu berkecamuknya Perang Dunia ke II.
Bukit Pasir Angin memang tempat yang ideal untuk membangun kubu pertahanan. Di atas bukit ini tentara Belanda membuat benteng-benteng kecil yang ukuran dan bentuknya disesuaikan dengan kontur tanahnya dan dapat melihat jelas ke sekelilingnya, terutama ke arah barat di mana sungai Cianten mengalir di bawah bukit tersebut.
Tidak kurang dari 15 benteng pertahanan yang dibangun pihak Sekutu, hanya di bukit Pasir Angin saja. Belum lagi beberapa benteng juga dibangun di kawasan yang sekarang masuk ke dalam Kampung Sinar Harapan, Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.
Kini benteng-benteng pertahanan sekutu tersebut satu persatu mengalami kerusakan, dan kini banyak yang sudah hilang sama sekali. Sisa-sisa bangunan benteng masih terlihat di tiga titik di Pasir Angin, dan satu tempat di Kampung Sinar Harapan.
Label:
benteng,
benteng sekutu,
bogor,
cibungbulang,
galuga,
kampung sinar harapan,
pasir angin,
sejarah,
sekutu
Kamis, 10 Maret 2011
API SEJARAH 2 Sungguh Luar Biasa
Pernah dinyatakan hilang dan terancam tidak jadi terbit ketika draft naskahnya “dicuri” oleh “peminjam tanpa permisi” saat seminar API SEJARAH di Gedung Juang ’45, Pemerintah Kotamadya Sukabumi. Salamadani sempat ketar- ketir dengan hilangnya draf buku itu, sebab dijadwalkan paling cepat terbit Februari 2010. Chief Editor Salamadani Pustaka Semesta Tasaro GK berharap naskah baru Api Sejarah Jilid II bisa diterbitkan. “Sekarang sedang disusun ulang sebagian, karena sampai sekarang draf yang dicuri itu tidak ada jejaknya.
Akhirnya berkat kegigihan dan kerja keras Kang Ahsa Cs di Salamadani Pustaka Semesta, dan tentunya spirit juang yang tak kenal lelah dari Bapak Ahmad Mansur Suryanegara untuk “Menuntaskan kepenasaran akan kebenaran sejarah Indonesia”, di bulan Maret 2010 “API SEJARAH 2” Alhamdulillah telah terbit dengan suguhan-suguhan yang sungguh luar biasa.
Bambang Trimansyah, Direktur PT Grafindo-Salamadani dalam kata pengantarnya di Buku API SEJARAH 2 mengungkapkan bahwa Api Sejarah 2 adalah kelanjutan bermakna dari buku Api Sejarah 1 yang telah mendapat respons luar biasa dari pembaca Indonesia. Buku yang tepat naik cetak menjelang peringatan Maulid Nabi Muhammad saw., 12 Rabi’ul Awwal 1431 H ini diharapkan menjadi salah satu buku yang merupakan sumbangsih seorang sejarawan Muslim modern dan penerbit Muslim yang moderat untuk mengawal arus perubahan besar bangsa dan dunia dengan “tidak sekali-kali melupakan sejarah”.
Sebagai “buku serial” Api Sejarah 2 melanjutkan kupasan sejarah Indonesia yang telah tersampaikan dalam Api Sejarah 1. Bila dalam Api Sejarah 1 muatan penjelasan sejarah Indonesia terbagi pada empat bab yang dimulai dengan “Pengaruh Kebangkitan Islam di Indonesia” yang dilanjutkan dengan “Masuk dan Perkembangan Agama Islam di Nusantara Indonesia” lalu memotret “Peran Kekuasaan Politik Islam Melawan Imperialisme Barat dan diakhiri dengan “Peran Ulama dalam Gerakan Kebangkitan Kesadaran Nasional (1900-1942)”, maka Api sejarah 2, rasa kepenasaran akan kebenaran sejarah Indonesia pasca 1942 sampai orde reformasi dikupas habis dengan membaginya pada 5 bab. Bab kelima sebagai kelanjutan Api sejarah 1 mengupas tentang “Peran Ulama Dalam Pembangunan Organisasi Militer Modern” dilanjutkan dengan “Peran Ulama Dalam Gerakan Protes Sosial dan Pemberontakan Tentara Pembela Tanah Air”, dua bab awal ini menunjukan peran ulama pada masa pendudukan Jepang. Bab Ketujuh dalam Api sejarah 2 Pak Mansur menyajikan kupasan tentang ” Peran Ulama Dalam Menegakan dan Mempertahankan Proklamasi” yang dilanjutkan dalam bab kedelapan “Peran Ulama Menegakan dan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia”, dua bab diatas berkenaan dengan pasang surut peran ulama dalam masa revolusi Indonesia dan masa orde lama. Bab kesembilan Api sejarah 2 menyajikan kupasan bernas tentang “Langkah Penyesuaian Ulama dan Santri Di Era Orde Baru dan Reformasi”.
Peristiwa, Tokoh dan Gagasan
Menyajikan rangkaian peristiwa, tokoh dan gagasan, yang kesemuanya berperan dalam menciptakan sejarah dalam sebuah buku sejarah bukan hal mudah. Dalam metode pembelajaran sejarah biasanya rangkaian peristiwa, tokoh dan gagasan diajarkan secara terpisah. Belajar sejarah pada tingkat awal biasanya didekati dengan mengenalkan peristiwa-peristiwa sejarah, selanjutnya belajar sejarah melalui tokoh-tokoh sejarah dan pada tingkat lanjut pembelajaran sejarah adalah dengan mendalami gagasan-gagasan yang tercipta dalam sejarah. “Api Sejarah” baik pada jilid pertama maupun kedua yang ditulis oleh Ahmad Mansur Suryanegara justru menyajikan ketiga hal yang berperan dan menciptakan sejarah yaitu peristiwa sejarah, tokoh sejarah dan gagasan-gagasan yang melatarbelakangi peristiwa dan tokoh sejarah itu.
Bagi yang belum terbiasa membaca tulisan sejarah yang menampilkan kompleksifitas ramuan antara peristiwa, tokoh dan gagasan biasanya rumit dan jelimet, ini yang saya rasakan dalam membaca Api Sejarah 1 dan 2 sehingga butuh waktu untuk terus bolak-balik, maju mundur dalam membacanya . Padahal sejarah naratif adalah sejarah deskriptif yang bukan sekedar menjejerkan fakta-fakta atau peristiwa, tetapi menurut Kuntowijoyo setidaknya kita temukan tiga hal dalam penulisan sejarah yaitu colligation yaitu inner connection atau hubungan dalam antar peristiwa sejarah, kedua plot yaitu cara mengorganisasi fakta-fakta menjadi satu keutuhan dan ketiga, struktur sejarah yaitu cara mengorganisasikannya sebagai “rekonstruksi yang akurat”.
Tema sentral yang ingin diungkap dalam Api Sejarah dari jilid 1 dan 2 adalah betapa Ulama memiliki peran penting dalam setiap masa sejarah di Indonesia sejak masuknya Islam di bumi Nusantara. Peran Ulama yang bukan sekedar pelengkap peristiwa tetapi yang menciptakan sejarah, yang membawa arah sejarah Indonesia sampai sekarang ini dan tentunya sebuah harapan dimana para Ulama zaman sekarang juga kudu punya peran penting dalam menciptakan sejarah selanjutnya.
Terjadinya depolitisasi Ulama, deislamisasi politik disetiap masa sejarah Indonesia baik masa penjajahan Belanda, masa pendudukan Jepang, masa orde lama, orde baru bahkan orde reformasi tidak menyurutkan langkah juang dari para Ulama untuk berperan aktif memajukan bangsa dan negara Indonesia.
Hijab Sejarah : Kepenasaran yang tak pernah tertuntaskan…
Entah ekspektasi yang berlebihan atau sebab ruang tulisan yang terbatas, apa yang termuat dalam Api Sejarah 2 dengan judul kecilnya “Buku yang akan Menuntaskan Kepenasaran Anda akan Kebenaran Sejarah Indonesia”, sebuah judul yang dramatis, bombastis, fantastis ternyata masih belum menuntaskan rasa penasaran itu. Masih banyak hijab sejarah yang belum terungkap secara jelas dan gamblang, banyak peristiwa yang dikupas secara singkat, gagasan-gagasan yang masih tersembunyi berkenaan latar belakang peristiwa itu. Sekali lagi mungkin ini dikarenakan ruang tulisan yang terbatas. Dari cakupan penulisan yang luas baik dari rentang masa peristiwa maupun dari kedalaman setiap peristiwa sejarah Indonesia saya yakin sebetulnya pak AMS bisa menulis Api Sejarah ini dengan membagi minimal sampai 5 jilid atau setidaknya pihak penerbit bisa membagi-bagi Api Sejarah secara tematik.
Tema yang loncat-loncat, peristiwa yang dikupas secara singkat, tokoh-tokoh sejarah yang diselipkan diantara tulisan dalam bentuk foto dan penjelasan singkat menandakan rasa kepenasaran ini belum tertuntaskan secara tas … tas… tas… Seolah pembaca hanya digiring pada satu tema “rekonstruksi sejarah” dengan satu gagasan yaitu peran Ulama dalam menegakan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada dua tema yang tadinya saya berharap dalam Api Sejarah 2 ini memiliki space ruang yang lebih luas untuk dibahas yaitu berkenaan dengan Gerakan NII dan Peristiwa PRRI-Permesta. Dalam Api Sejarah 2 AMS mengupas tentang NII dalam judul kecil “Problema TII dan NII” di halaman 328 dan “Proklamasi Darul Islam di Aceh” di halaman 342-346. Sementara peristiwa PRRI-Permesta secara singkat dibahas di halaman 377-381.
Yang menarik AMS mengungkapkan tentang TII bahwa “Problema Tentara Islam Indonesia- adalah sebagai tindakan kontra politik terhadap hasil peroendingan Renville yang dipimpin oleh Amir Sjarifoeddin, 1948 M. Selain itu pembentukan Tentara Islam Indonesia, menurut AMS bertujuan untuk menggagalkan Negara Pasoendan bikinan van Mook.
Adapun munculnya Proklamasi Negara Islam Indonesia- NII yang diproklamasikan oleh S.M. Kartosoewirjo, AMS berpendapat itu sebagai reaksi terhadap Roem-Royen Statements yang akan melahirkan Republik Indonesia Serikat dibawah Ratu Belanda. Dalam pandangan S.M. Kartosoewirjo pembentukan RIS itu statusnya sangat bertentangan dengan Republik Proklamasi 17 Agustus 1945. Sayangnya apa yang diungkapkan oleh AMS kurang di dukung oleh data-data primer yang menguatkan argumentasi beliau.
Dan masih banyak hal-hal yang lain yang sekali lagi masih ada pada ruang “hijab sejarah” yang belum menuntaskan rasa kepenasaran akan kebenaran sejarah Indonesia.
Walau bagaimanapun kurang lebihnya Api Sejarah jilid satu dan dua, saya harus sampaikan saluuuuuuut dengan empat jempol pada pak AMS yang secara lugas, cerdas dan berkualitas telah menyajikan sejarah Islam Indonesia sebagai khasanah historiografi Islam yang lahir dari buah karya sejarawan Muslim yang membangkitkan API Sejarah sebagai pelita ummat Islam untuk menjadi “Pelaku sejarah di abad 21″.
http://serbasejarah.wordpress.com/2010/04/09/api-sejarah-2-sungguh-luar-biasa/
Label:
ahmad mansur suryanegara,
api sejarah,
buku,
himse,
sejarah
Rabu, 09 Maret 2011
API SEJARAH ; Buku yang akan mengubah drastis pandangan anda tentang Sejarah Indonesia
Bila Sejarawan mulai membisu, hilanglah kebesaran masa depan generasi bangsa ..(Ahmad Mansur Suryanegara)
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah swt.. rasa kerinduanku kepada salah seorang yang telah membawaku “tenggelam dalam sejarah”, yang secara sadar menyebabkan diri ini “murtad” dari pendidikan secara akademik yang seharusnya menggeluti senyawa bahan alam atawa bergelut di rumus2 kimiawi tapi malah terdampar di belantara sejarah.. rasa kerinduan terhadap sang pemilik suara ngeBass plus serak-serak, kini sedikit terobati dengan sebuah kado bagi Umat Islam Bangsa Indonesia umumnya, khususnya bagi saya yang tak pernah usai belajar sejarah. Saat jelang hari raya Idhul Fitri dengan perantara penerbit Salamadani tempat kang Ahsa bekerja, dan beliau ini juga yang jadi jajaran editor (selamat n sukses kang kapan ada diskusi di Bandung?) telah terbit buku “API SEJARAH” Buku yang akan mengubah drastis pandangan anda tentang Sejarah Indonesia. Beliau adalah Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, terakhir saya ketemu beliau saat “temen-temen” mengadakan sebuah seminar tentang “Seabad Kebangkitan Islam” memperingati lahirnya Syarikat Dagang Islam bulan September 2005 tepat 4 tahun yang lalu. (wuiiih dah lama skalie.. padahal rumahnya deket )
Setelah buku Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di Indonesia yang terbit tahun 1995 dan Pemberontakan Tentara Pembela Tanah Air- Peta di Cileunca Pangalengan Bandung Selatan yang terbit tahun 1996, maka ini adalah buku ketiga yang saya miliki dari karya beliau. Sebetulnya ada tiga buku lagi yang beliau terbitkan tapi sayang saya tidak memilikinya . Spirit yang sama yang saya temui dari ketiga buku tersebut bahwa sejarah Indonesia adalah maha karya Umat Islam Bangsa Indonesia.
Dari “Menemukan Sejarah” ke “API Sejarah” sepertinya Prof. Mansur sedang menyampaikan pesan secara “simbol” bahwa yang ditemukan dalam sejarah adalah API … Menemukan API Sejarah .., API adalah cahaya … API adalah spirit ..API adalah pembakar … API adalah Amanat Pejuang Islam yang musti menjadi obor penerang bagi setiap orang generasi sekarang yang masih memiliki API Perjuangan untuk terus miKIR — dziKIR — dan nguKIR menjadi penentu arah masa depan bangsa Indonesia (maaf pak Mansur klo salah he he ).
Sepertinya saya membutuhkan waktu cukup lama untuk membaca buku “API SEJARAH” ini, maklum buku setebal 584 halaman ini seperti sebuah ensiklopedi perjalanan panjang sejarah Islam di Indonesia sejak jaman Nabi Muhammad sampai tahun 1942 jelang kedatangan Jepang ke Indonesia. Dan ternyata beberapa tulisannya mengingatkan saya pada pelajaran yang beliau ajarkan saat saya mengikuti “Kuliah Tafsir” di Masjid Istiqomah (entah tahun berapa ), Tema yang menjadi pelajaran dari Prof. Mansur adalah “Tafsir Qishoshul Qur’an”. Diantara yang saya ingat diantaranya adalah Nabi dan Para Rasul Pembawa Ajaran Islam yang dalam buku ini ada di halaman 20 – 22.
Inilah “Tafsir Sejarah Mansuriyah” teringat saya akan candanya manakala membeberkan pemaknaan sejarah ‘yang lain dari yang lain’, sejarawan yang menikmati “beda” dan ” nyeleneh”, dan memang kalo dengar pemaparan beliau, otak ini seperti “melompat-lompat” dan tak berhenti miKIR. Moeflich Hasbullah, Asisten dan murid Prof.Mansur SN di Jurusan SPI UIN Bandung menyatakan : “Prof. Mansur Suryanegaraa adalah seorang sejarawan simbolis. Ia seorang pembaca fakta simbol yang handal yang tak ada duanya di kalangan sejarawan, bahkan di seluruh dunia. Fakta sejarah di tangannya menjadi berwarna, unik, hidup, menunjukkan sisi-sisi yang tak terbaca dari sebuah fakta dan oleh karenanya sering mengejutkan. Ini yang tidak dimiliki para sejarawan lain. Sebagai pembaca simbol, ia sangat peka dengan fakat-fakta historis dan menangkapnya secara simbolik. Tapi, ini menghadirkan resiko. Bacaannya menjadi sering tak dimengerti oleh kalangan sejarawan konvensional. Buku dahsyat ini, tentu sangat historis dan berbasis tradisi ilmiah. Tapi, oleh Pak Mansur, dilengkapi dan dihidupkan dengan tatapan simbolik tersebut, menjadikannya menjadi enak dibaca, perlu bahkan wajib bagi yang ingin sejarah Indonesia sesungguhnya. Ala kulli hal, saya tahu, buku ini disuguhkan dengan penuh takzim oleh beliau kepada segmentasi masyarakat yang sangat dihormatinya; Ulama. Untuk merekalah mahakarya ini didedikasikan. Generasi pembawa risalah nubuwah yang membawa pencerahan masyarakat melalui kebenaran dan spiritual enlightenment!“.
btw … ada beberapa hal yang saya sesalkan dari terbitnya buku “API SEJARAH” ini
Pertamax : Saya harus mengurungkan niat untuk menulis buku sejarah karena “Sang maha guru” telah mendahului menerbitkan buku ini atawa mungkin suatu saat saya meneruskannya dengan judul buku “Biar Sejarah Yang Bicara ..”
Keduaaax : Untuk sementara saya dengan terpaksa mengurangi waktu ngeNet karena harus membaca buku ini .. dan itu membutuhkan waktu ini sesuai dengan himbauan Prof. Dr.H. Miftah Faridl yang menyampaikan ” buku ini baik sekali untuk dibaca dan sejarah para pejuang didalamnya sangat bermanfaat untuk diteladani oleh mereka yang masih memiliki “API” Perjuangan”
Kecugaaax : Tunggu resensi selanjutnya tentang “API SEJARAH” di Serbasejarah he he he he
Akhir kata salam penuh takzim pada guruku Prof. Mansur yang tak pernah berhenti miKIR — dziKIR — nguKIR dan hatur tararengkyu buat mas Nusantaraku yang telah memberi info tentang rumah buku .. lumayan beli buku “API SEJARAH” dapet diskon 35 %.
Sumber: http://serbasejarah.wordpress.com/2009/09/12/api-sejarah-buku-yang-akan-mengubah-drastis-pandangan-anda-tentang-sejarah-indonesia/
Sejarah nama Indonesia
Pada zaman purba, kepulauan tanah air disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa Indoa menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab juga dikenal Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai kulluh Jawi (semuanya Jawa).
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah “Hindia“. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Pada jaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).
Eduard Douwes Dekker ( 1820 – 1887 ), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” ( Bahasa Latin insula berarti pulau). Nama Insulinde ini kurang populer.
Nusantara
Pada tahun 1920, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker ( 1879 – 1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh JLA. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam Bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).
Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.
Sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan wilayah tanah air dari Sabang sampai Merauke.
Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan ( 1819 – 1869 ), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Ingris, George Samuel Windsor Earl ( 1813 – 1865 ), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis:
“… the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians“.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon ( Srilanka ) dan Maladewa. Earl berpendapat juga bahwa nahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:
“Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago“.
Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826 – 1905 ) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat ( Ki Hajar Dewantara ). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Nama indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof. Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiƫr (orang Indonesia).
Identitas Politik
Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,:
“Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924). Pada tahun 1925, Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Tetapi Belanda menolak mosi ini.
Dengan jatuhnya tanah air ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda”. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, lahirlah Republik Indonesia.
sumber:
http//id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_nama_Indonesia#Nama_Indonesia
http://www.forumsains.com/sastra-dan-budaya/asal-usul-nama-indonesia
http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/03/asal-usul-kata-indonesia.html
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/16/0802.htm
http://serbasejarah.wordpress.com/2009/03/03/sejarah-nama-indonesia/
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab juga dikenal Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai kulluh Jawi (semuanya Jawa).
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah “Hindia“. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Pada jaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).
Eduard Douwes Dekker ( 1820 – 1887 ), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” ( Bahasa Latin insula berarti pulau). Nama Insulinde ini kurang populer.
Nusantara
Pada tahun 1920, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker ( 1879 – 1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh JLA. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam Bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).
Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.
Sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan wilayah tanah air dari Sabang sampai Merauke.
Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan ( 1819 – 1869 ), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Ingris, George Samuel Windsor Earl ( 1813 – 1865 ), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis:
“… the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians“.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon ( Srilanka ) dan Maladewa. Earl berpendapat juga bahwa nahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:
“Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago“.
Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826 – 1905 ) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat ( Ki Hajar Dewantara ). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Nama indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof. Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiƫr (orang Indonesia).
Identitas Politik
Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,:
“Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924). Pada tahun 1925, Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Tetapi Belanda menolak mosi ini.
Dengan jatuhnya tanah air ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda”. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, lahirlah Republik Indonesia.
sumber:
http//id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_nama_Indonesia#Nama_Indonesia
http://www.forumsains.com/sastra-dan-budaya/asal-usul-nama-indonesia
http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/03/asal-usul-kata-indonesia.html
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/16/0802.htm
http://serbasejarah.wordpress.com/2009/03/03/sejarah-nama-indonesia/
Langganan:
Postingan (Atom)