Balapan ini bermula dari tujuan pemujaan terhadap dewa-dewi. Namun kemudian justru dilarang.
CALIGULA, Kaisar Romawi (37-47 M), pernah hampir menjadikan kudanya, Incitatus, sebagai konsul (salah satu pimpinan Kekaisaran Romawi). Caligula menyanjung kudanya lantaran beberapa kali menang balap chariot (kereta kuda). Balapan ini mulai diminati masyarakat Romawi dari semua kalangan sejak abad ke-6 SM. Beberapa Kaisar Romawi bahkan menggunakan ajang ini sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaan.
Pada 530 SM, Raja Lucius Tarquinis Superbus memerintahkan pembangunan Circus Maximus, arena khusus untuk balap chariot. Dia menginginkan kemegahan Kerajaan Romawi termanifestasi dalam salah satu amphiteater (arena) tertua dan terbesar di Roma ini. “Panjang bangunan ini 1800 kaki, lebarnya 600 kaki. Bentuknya seperti leter U panjang. Di tengah lapangan amphiteater ini terdapat semacam barikade panjang, disebut Spina,” tulis majalah Varia, 20 September 1961.
Di Spina, beberapa patung berukuran besar diletakkan di atas pilar-pilar raksasa. Patung-patung itu berwujud dewa-dewa masyarakat Romawi. Ini menunjukkan bahwa dalam perkembangan awalnya balap chariot ditujukan sebagai ajang pemujaan. Menurut Roland Auguet, penulis buku Cruelty and Civlization, pemujaan terhadap Dewi Consus menjadi bagian tak terpisahkan dari balapan ini. Sebab, pengaruh kepercayaan Yunani Kuno dan Etruska (bangsa pendiri Kerajaan Romawi) sangat kental dalam Kerajaan Romawi. Chariot sendiri merupakan olahraga warisan Yunani Kuno, sedangkan Kaisar Tarquinis adalah orang Etruska.
Beberapa obelisk (tugu batu persegi empat yang menjulang tinggi) yang diimpor dari Mesir juga menghiasi bagian tengah amphiteater. Bola emas ditaruh di atas tiap obelisk sehingga bercahaya saat ditimpa sinar matahari. Untuk menambah kemegahan, amphiteater ini dirancang mampu menampung ratusan ribu penonton. “Terletak di dua bukit (Aventine dan Palantine), kapasitasnya sekira 150-300 ribu orang, yang berarti seperempat dari penduduk kota,” tulis Nigel Crowther dalam Sport in Ancient Time.
Balap chariot pertama yang tercatat berlangsung di arena ini bertitimangsa 509 SM. Kala itu, kereta yang dinaiki seorang pelomba baru ditarik dengan dua ekor kuda (bigae). Tiga sampai empat chariot berlomba mengelilingi Circus Maximus sebanyak tujuh kali atau lebih. Tarquinis dan masyarakat Romawi sangat menikmati balapan ini. Perempuan dan laki-laki diperbolehkan duduk bercampur, tak seperti dalam amphiteater lainnya.
Pada masa itu, balap chariot disebut Ludi Romani atau Perlombaan Roma. Sayang, Tarquinis tak bisa lama menyaksikan kemegahan Circus dan balapan itu. Lantaran memerintah dengan kejam dan teror, pada 509 SM, rakyat memberontak dan menjatuhkan kerajaan yang telah berdiri selama dua abad itu. Tarquinis terbunuh. Romawi lalu berbentuk republik.
Perubahan politik segera berlangsung. Tapi itu sama sekali tak mempengaruhi kegiatan di Circus Maximus. Sebaliknya, arena itu justru diperbaiki dan balapan makin sekuler.
Pada abad ke-4 SM, garis lintas yang membatasi satu jalur dengan jalur lainnya dipisahkan dengan kayu sederhana, bukan lagi dengan tali. Kotak-kotak garasi chariot mulai diperkenalkan pada abad 2 SM, dilengkapi pintu yang terbuka saat balapan akan dimulai, persis seperti garasi pacuan kuda modern. Kuda penarik ditambah menjadi empat, bahkan hingga enam. Pada saat bersamaan, arena chariot menyebar di tiap kota meski yang terbesar tetap Circus Maximus.
Orang kaya Romawi mulai berani memutar uangnya dalam balap Chariot. Mereka mendirikan dan menyokong klub chariot. Taruhan seketika menjadi lazim. Unsur-unsur pemujaan dewa-dewi perlahan ditinggalkan.
Hingga memasuki tahun-tahun awal masehi, saat Romawi telah menjadi monarki (kekaisaran), hanya terdapat empat klub chariot yang dibedakan berdasarkan warna bendera: merah, putih, biru, dan hijau. Klub-klub memiliki ribuan pemegang saham. Perusahaan-perusahaan penting di Roma berkongsi dengan klub-klub tersebut. Mereka beraliansi dalam suatu klub untuk menghantam aliansi perusahaan lainnya yang memihak salah satu klub tertentu. Kucuran dana mengalir deras ke klub-klub itu.
Karena sokongan dana itu, klub-klub mampu menyediakan kebutuhan balapan seperti chariot, kuda, perlengkapan (helm bulu dan baju balap), dan pembalap. Mereka bisa membeli pembalap dari klub lain dan membuangnya jika prestasinya jelek.
Pembalap dibayar mahal sesuai dengan risiko balapan: tewas terlindas atau tertabrak chariot. Ini sering terjadi kala chariot benar-benar menjadi ajang bisnis di abad 1 M. “Fuscus terbunuh ketika berusia 24 tahun setelah hanya mencatat 57 kemenangan. Aurellius Mollicius terbunuh pada umur 20 tahun setelah menang 120 kali,” tulis Varia, 4 Oktober 1961.
Pembalap chariot yang beruntung dan menjadi kaya lantaran prestasinya adalah Diocles (abad 2 M), seorang budak dari Portugal. Dia mendapatkan 35 juta secerces, mata uang Romawi, saat mengundurkan diri pada usia 42 tahun. Diocles dipuja dan dihormati masyarakat Romawi. Pengalamannya sebagai budak tak terlihat lagi. Kedudukannya menjadi sangat penting. “Seorang senator Romawi bahkan menyatakan jika Diocles kalah, kekalahan itu akan mengakibatkan kekacauan lebih besar pada ekonomi negara daripada kekalahan besar dalam peperangan,” tulis Varia, 27 September 1961.
Kuda juga mendapat perhatian. Kuda pemenang balapan lebih berharga daripada budak-budak. Mereka dibuatkan patung. Di bawah patung itu seringkali terdapat inskripsi nama kuda, pembalap, klub, dan catatan kemenangannya. Kuda yang memenangi seratus balapan dinamakan Centenarius. Kelak, salah satu kuda ini dibeli oleh Caligula.
Masyarakat Romawi kadung gandrung dengan chariot. Saat hari balapan tiba, kota nyaris kosong sehingga tentara diturunkan untuk mengamankan kota dari pencuri. Ratusan ribu manusia tumpah-ruah di arena untuk mendukung klub favorit mereka. Kaisar Vitellius (69 M) pernah memerintahkan membunuh 50 orang yang mengejek klub biru. Sedangkan kaisar lainnya, Nero misalnya, mencoba merebut simpati masyarakat dengan mendukung salah satu klub yang terkuat demi mempertahankan kekuasaan.
Saking berpengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat, balap chariot tak luput dari kritik. Seneca, filsuf Romawi (4-65 M), menyatakan keberatannya terhadap balapan itu. “Tak dapatkah orang berbicara mengenai soal lain daripada keahlian berbagai pengendara kereta dan tentang mutu regu-regu kuda mereka?” tanyanya. Kritik lain datang dari Tertullian (160-225 M), penulis Kristen. Dia menganggap balapan itu sebagai aktivitas paganis dan amoral.
Balapan itu akhirnya dilarang saat agama Kristen berkembang pesat sementara Kekaisaran Romawi runtuh pada abad ke-6 M. Sepeninggal Romawi, Bizantium menjadi penadah balapan itu.
View the original article here
Tidak ada komentar:
Posting Komentar