Selasa, 30 Oktober 2012

Mitos asal muasal larangan menikah Sunda-Jawa

Pernahkah anda mendengar bahwa orang Sunda dilarang menikah dengan orang Jawa atau sebaliknya? Ternyata hal itu hingga ini masih dipercaya oleh sebagian masyarakat kita. Lalu apa sebabnya?

Mitos tersebut hingga kini masih dipegang teguh beberapa gelintir orang. Tidak bahagia, melarat, tidak langgeng dan hal yang tidak baik bakal menimpa orang yang melanggar mitos tersebut.

Lalu mengapa orang Sunda dan Jawa dilarang menikah dan membina rumah tangga. Tidak ada literatur yang menuliskan tentang asal muasal mitos larang perkawinan itu. Namun mitos itu diduga akibat dari tragedi perang Bubat.

Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit, yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.

Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit.

Maharaja Linggabuana lalu berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit.

Menurut Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai.

Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.

Versi lain menyebut bahwa Raja Hayam Wuruk ternyata sejak kecil sudah dijodohkan dengan adik sepupunya Putri Sekartaji atau Hindu Dewi. Sehingga Hayam Wuruk harus menikahi Hindu Dewi sedangkan Dyah Pitaloka hanya dianggap tanda takluk.

"Soal pernikahan itu, teori saya tentang Gajah Mada, Gajah Mada tidak bersalah. Gajah Mada hanya melaksanakan titah sang raja. Gajah Mada hendak menjodohkan Hayam Wuruk dengan Diah Pitaloka. Gajah mada Ingin sekali untuk menyatukan antara Raja Sunda dan Raja Jawa lalu bergabung. Indah sekali," tegas sejarawan sekaligus arkeolog Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar.

Hal ini dia sampaikan dalam seminar Borobudur Writers & Cultural Festival 2012 bertemakan; 'Kontroversi Gajah Mada Dalam Perspektif Fiksi dan Sejarah' di Manohara Hotel, Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, Magelang, Jateng, Selasa (30/10).

Pihak Pajajaran tidak terima bila kedatangannya ke Majapahit hanya menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai taklukan. Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada.

Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.

Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu.

Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat.

Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati atau bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatria, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.

Hayam Wuruk pun kemudian meratapi kematian Dyah Pitaloka. Akibat peristiwa Bubat ini, bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Mahapatih Gajah Mada dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri.

Tragedi perang Bubat juga merusak hubungan kenegaraan antar Majapahit dan Pajajaran atau Sunda dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian. Hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala.

Pangeran Niskalawastu Kancana, adik Putri Dyah Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil dan menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana.

Kebijakan Prabu Niskalawastu Kancana antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran (beristri dari luar), yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.

Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki 'Prabu Wangi' (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.

Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama 'Gajah Mada' atau 'Majapahit'. Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.
Sumber:
http://id.berita.yahoo.com/mitos-asal-muasal-larangan-menikah-sunda-jawa-050028273.html

Kamis, 25 Oktober 2012

Bukan Sekadar Onderdaan

Zaman kolonial, orang-orang Tionghoa dijadikan warga kelas dua. Mereka diandalkan dalam bidang ekonomi, tetapi dibatasi dalam urusan politik. Reformasi membawa berkah.
PEMERINTAH di Hindia Belanda “memecah belah” kalangan Tionghoa dengan menggunakan orang-orang Tionghoa untuk mengatur orang-orang etnisnya. Belanda memberi gelar tituler seperti Mayor atau Kapitan kepada orang-orang Tionghoa yang bisa mereka ajak kerjasama. Di Batavia, pembagian itu lebih jelas terlihat dengan adanya benteng sebagai pembatas wilayah kota-luar kota. Orang-orang Tionghoa yang tinggal di dalam benteng umumnya menurut kepada pemerintah.
Perlakuan diskriminatif seperti itulah yang turut berperan penting terhadap terjadinya Pembantaian Etnis Tionghoa 1740, di mana 10 ribua-an Tionghoa menjadi korban. Pasca-pembantaian, perlakuan diskriminatif yang Tionghoa terima malah kian menjadi-jadi. Kebijakan passenstelsel
dan wijkenstelsel dikeluarkan Belanda untuk memisahkan orang-orang Tionghoa dari penduduk lain. Kebijakan itu diperkuat lagi dengan keluarnya Regerings Reglement –stratifikasi sosial berdasarkan ras– pada 1854. Akibatnya, orang Tionghoa menanggung “biaya” sosial yang tidak murah, mereka dilabelkan ekslusif. Orang-orang non-Tionghoa kian cemburu.
Perlakuan diskriminatif selama bertahun-tahun telah membuat orang-orang Tionghoa “tidak tahu” lingkungan sekitar. Dalam beberapa hal mereka merasa tertinggal. Orang-orang Tionghoa yang sadar akan kekurangan itu akhirnya banyak berkumpul dan mendirikan perkumpulan. Tiong Hoa Hwee Koan
, Chung Hwa Hwee, Siang Hwee merupakan sedikit nama dari organisasi-organisasi Tionghoa itu. Pada masa ini kesadaran akan eksistensi mereka mulai tumbuh. Mereka banyak aktif di berbagai bidang, termasuk bidang sosial –bidang yang selama ini dianggap “jauh” dari mereka.
Pengaruh revolusi Dr Sun Yat Sen juga turut menumbuhkan rasa nasionalisme orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda. Loyalitas mereka kepada pemerintah Hindia Belanda menyurut. “Terbukti dengan adanya aksi boikot para pedagang Tionghoa Surabaya kepada perusahaan dagang Belanda tahun 1902 dan insiden pengibaran bendera nasionalis Tiongkok pada Imlek 1912,” tulis Benny.
Seorang penulis peranakan, Kwee Tek Hoai, pernah membagi warga Tionghoa menjadi tiga kelompok besar. Pertama
, Sin Po, kelompok yang berorientasi ke Tiongkok. Nama Sin Po diambil dari nama harian terkemuka di Indonesia, terbit tahun 1910 di Batavia. Sin Po berorientasi ke Tiongkok dan menganjurkan Hoa Kiao memertahankan identitas sebagai warga Tiongkok dan menolak menjadi Nederlands Onderdaan, kawula negara Belanda.
Kedua,
Chung Hua Hwee (CHH), didirikan 8 April 1928. Secara politik, CHH berorientasi kepada pemerintah Belanda dengan pemikiran menjadi Nederlands onderdaan adalah satu kenyataan. Ketiga, Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang didirikan tanggal 25 September 1932 oleh Liem Koen Hian, Ong Liang Kok. PTI berorientasi kepada gerakan nasionalisme Indonesia.
Masa kolonialisme Belanda telah mengangkat peran para peranakan –terutama orang Tionghoa yang “telah lepas” dari budaya asal. “Karena mereka Hollandsch spreeken
, otomatis mereka dekat dengan penguasa,” kata Eddie Lembong. Namun peran warga keturunan tak lagi dominan saat Jepang datang.
Pada periode Jepang (1942-1945), giliran orang-orang Tionghoa totok yang memegang peranan. Menurut Eddie Lembong, hal itu terjadi lantaran hanya orang totoklah yang bisa membaca huruf kanji. Jepang butuh mereka yang mengerti bahasa Kanji. Peranakan, yang Hollandsch
spreeken, pun tersisih dari pentas. “Pendulum kembali bergeser,” ujar mantan ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) itu.
Ketika Jepang hengkang dan proklamasi kemerdekaan dibacakan Bung Karno, kesadaran masyarakat akan kemerdekaan terus menguat. Saat yang bersamaan banyak juga orang Tionghoa yang menaruh simpati. Mereka ikut berjuang langsung di medan pertempuran untuk memertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebut saja salah satunya Laksamana John Lie.
Meskipun begitu, sentimen anti-Tionghoa belum benar-benar hilang. Bahkan Bung Tomo, tokoh pertempuran Surabaya yang baru-baru ini diangkat sebagai pahlawan nasional, pun pernah menyebarkan nada rasialis dalam pidatonya. Go Gien Tjwan, pemimpin Angkatan Muda Tionghoa di Malang yang waktu itu ditunjuk sebagai juru bicara, pun memerlukan diri untuk menjawab pidato itu. "Musuh rakyat Indonesia bukan etnis Tionghoa melainkan Belanda," kata Gien Tjwan seperti dikutip dari buku Benny G Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik
.
Kalangan Tionghoa memang tidak memiliki satu orientasi politik, seperti juga yang terjadi pada zaman kolonial. Sebagian dari mereka juga ada yang memihak Belanda/Sekutu. Pao An Tui, barisan keamanan orang Tionghoa semasa revolusi fisik, banyak yang mendukung NICA saat Pertempuran 10 Nopember berlangsung, sebagaimana kesaksian dari Soemarsono –pemimpin pemuda Republik– dalam Negara Madiun
. Organisasi dalam Pao An Tui begitu rapi sehingga organisasi ini, “dikenal kejam, sangar dan tergolong milisi paling kuat di Indonesia,” tulis sejarawan muda Universitas Negeri Medan Nasrul Hamdani dalam “Pao An Tui  Medan  1946-1948”.
Cepatnya perubahan yang terjadi pasca-Indonesia merdeka turut berpengaruh terhadap eksistensi etnis Tionghoa. Beragamnya asal daerah, orientasi politik dan lain sebagainya, membuat tidak ada kesatuan yang benar-benar padu di antara mereka. Periode revolusi fisik itu, satu hal penting yang menandai eksistensi etnis Tionghoa di sini adalah pembunuhan orang Tionghoa di Tangerang pada 11 Juni 1946 yang memakan korban 600-an jiwa.
Terlepas dari pro-kontra yang ada mengenai peran ekonominya, etnis Tionghoa tetap menjadi pemain utama dan “dibutuhkan” siapa pun. Cengekeraman mereka sudah tak diragukan lagi kekuatannya. Pemerintah melalui Kabinet Ali Sastroamidjojo mencoba menjinakkan etnis itu dengan membatasi perdagangan mereka. Tapi tetap tidak berhasil, kongkalikong antara pejabat dan pedagang etnis Tionghoa malah memopulerkan istilah “Ali-Baba”. Nasution yang ketika berkuasa melalui SOB –Staten van Oorlog en Beleg
, Keadaan Darurat Perang– mencoba mengeluarkan aturan pembatasan peran ekonomi etnis Tionghoa, dengan melarang mereka berdagang hingga ke wilayah pedesaan, tetap tidak berhasil.
Seberapa pun buruknya perlakuan tidak enak yang etnis Tionghoa terima pada masa Orde Lama, mungkin masih lebih baik ketimbang masa-masa pasca-G 30 S, ketika Orde Baru berkuasa. Etnis Tionghoa benar-benar dijadikan “mesin” penghasil uang. Mereka dijadikan ujung tombak perekonomian. Di satu sisi kebutuhan materiil mereka “dijamin”, tapi eksistensi mereka, kemanusiaan mereka tidak dihargai sedikit pun. Hak-hak seperti politik, agama, atau budaya mereka benar-benar dipapras penguasa. Suara mereka dibungkam bertahun-tahun. Orde Baru juga terus memberi stigma negatif terhadap mereka di samping mencitrakan mereka homogen dan PKI. Orde Baru juga menamakan mereka dengan Cina –tentu konotasinya negatif. Hanya sebagian kecil etnis itu, yang dekat dengan istana, yang benar-benar bisa menikmati “fasilitas”.
Sebagian kecil etnis Tionghoa yang dekat penguasa itu punya peran yang dominan di bidang ekonomi. Perekonomian negara “ditentukan” mereka. Kecemburuan sosial pun terus membesar bagai bola salju. Kecemburuan itu pula yang mendasari beberapa kali kerusuhan rasial yang menimpa etnis Tionghoa. Tak heran ketika krisis moneter 1997 melanda negeri ini, yang turut disebabkan ulah segelintir pengusaha Tionghoa, mereka kembali jadi bulan-bulanan rakyat yang bertahun-tahun menaruh dendam. Lagi-lagi, ulah sebagian kecil etnis Tionghoa harus dipikul rata akibat buruknya oleh mereka semua yang beretnis Tionghoa.
Ketika Orde Baru tumbang dan kebebasan datang, etnis Tionghoa belum benar-benar terbebas dari ketakutan. Rakyat masih banyak yang menaruh curiga. Sentimen rasial masih tetap ada. Tapi, kebebasan dan harga diri etnis Tionghoa berangsur-angsur membaik. Terlebih ketika Gus Dur naik memerintah, kemanusiaan dan harga diri mereka benar-benar “pulih”. Mereka dibebaskan menggelar pertunjukan-pertunjukan budaya di depan umum, Kong Hu Cu diakui sebagai salah satu agama resmi di negeri ini, dan seterusnya.
Kini, setelah lebih satu dasawarsa reformasi berlangsung, etnis Tiongha –sama seperti etnis-etnis lain– juga punya tanggung jawab untuk tetap menjaga keharmonisan hubungan antar-etnis.


View the original article here


Peliculas Online

Rabu, 24 Oktober 2012

Bom Pekik Merdeka

“Merdeka,” bukan sekadar kata. Ia adalah salam nasional.

PASCAPROKLAMASI kemerdekaan 17 Agustus 1945, setiap kali orang bertemu pasti akan mengucapkan salam “Merdeka”. Bahkan, pekik perjuangan “Merdeka” ditetapkan Maklumat Pemerintahan tanggal 31 Agustus 1945 sebagai salam nasional, yang berlaku mulai 1 September 1945. Caranya ialah dengan mengangkat tangan setinggi bahu, telapak tangan menghadap ke muka, dan bersamaan dengan itu memekikkan “Merdeka”.

Pekik “Merdeka” menggema dimana-mana kala itu. Semboyan seperti “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” atau “Merdeka atau Mati” juga kerapkan diucapkan para pemuda dan pejuang, yang menunjukkan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan.

Adalah Soekarno yang membumikan pekik “Merdeka”. Ia menjadikannya senjata untuk menggembleng rakyat Indonesia agar semangat perjuangan terus menyala. Dalam banyak kesempatan bertemu rakyat, Bung Karno tak pernah lupa pekik “Merdeka”. Tapi Bung Karno sempat terpeleset gara-gara pekik itu.

Menurut Roso Daras, penulis buku Bung Karno: The Other Stories, Serpihan Sejarah yang Tercecer (2009) ini, pada 1955, Bung Karno berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam kelima. Jika para jemaah haji Indonesia umumnya pergi ke Tanah Suci menggunakan moda transportasi laut, Bung Karno menggunakan pesawat terbang.

Pertama-tama, Bung Karno dan rombongannya singgah di Singapura. Dari Singapura, pesawat tidak langsung menuju Arab, melainkan singgah di Rangoon, New Delhi, Karachi, Baghdad, Mesir… barulah mendarat di Saudi Arabia.

“Ketika di Singapura, ribu rakyat Indonesia yang berada di sana antusias menyambut Bung Karno. Mereka meminta Bung Karno memberi wejangan. Bung Karno pun berpidato. Dalam pidatonya yang berapi-api, beberapa kali Bung Karno memekik kata Merdeka… Merdeka… Merdeka...,” kata Roso Daras.

Usai berpidato, Bung Karno melanjutkan perjalanannya. Belum lama pesawat take off dari bandara Singapura, para wartawan geger. Mereka menyoal pekik “Merdeka” yang berkali-kali Bung Karno teriakkan di hadapan rakyat Indonesia.

Keesokan harinya, pers Singapura menulis besar-besar: “Presiden Sukarno menjalankan ill-behaviour“. Bung Karno dituding tak tahu sopan-santun. Kata pers Singapura, Singapura bukan negeri merdeka (waktu itu). Bung Karno tahu itu. Tapi, mengapa ia memekikkan “Merdeka”?

Selama Bung Karno di Tanah Suci, pers Singapura terus saja geger menyoal Bung Karno yang dituding ngompori rakyat Singapura untuk merdeka. Mereka bersiap menunggu kepulangan Bung Karno, yang pasti transit di Singapura.

Setibanya di Singapura, wartawan langsung menodong Bung Karno dengan berbagai pertanyaan seputar “bom pekik merdeka”.

“Tahukah Paduka Yang Mulia Presiden, bahwa tatkala Paduka Presiden meninggalkan kota Singapura di dalam perjalanan ke Mesir dan Tanah Suci, Paduka dituduh kurang ajar, kurang sopan, ill behaviour, oleh karena Paduka Presiden memekikkan pekik merdeka dan mengajarkan kepada bangsa Indonesia di sini memekikkan ‘merdeka’! Apa jawab Paduka Presiden atas tuduhan itu?” tanya wartawan kepada Bung Karno.

Bung Karno tenang menjawab, “Jikalau orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia, warganegara Republik Indonesia berjumpa dengan warganegara Republik Indonesia, pendek kata jikalau orang Indonesia bertemu dengan orang Indonesia, selalu memekikkan ‘merdeka’! Jangankan di surga, di dalam neraka pun.”



View the original article here



Peliculas Online

Minggu, 21 Oktober 2012

Kesamaan Sukarno dan Diponegoro

Sama-sama besar namanya, sama-sama tragis pula nasibnya.

KISAH mengenai Sukarno selalu menarik dibicarakan, termasuk kisah kesehariannya. Salah satunya percekcokan Sukarno dengan Sjahrir saat mereka diasingkan ke Prapat, Sumatra Utara, semasa agresi militer II. Sjahrir mengumpat Sukarno dengan kata-kata kasar. Bagi sejarawan Asvi Warman Adam, hal itu sangat melecehkan Sukarno baik sebagai kepala negara maupun tokoh bangsa.

Asvi menjadi pembicara dalam bedah buku karyanya Menyingkap Tirai Sejarah: Bung Karno dan Kemeja Arrow dan Bung Karno Dibunuh Tiga Kali di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, 29 Mei lalu. Dia berbicara hanya fokus kepada sebagian kecil dari isi buku-bukunya yang merupakan bunga rampai itu. “Rasanya cukup sulit untuk membahas atau membedah sebuah buku yang merupakan bunga rampai,” ujarnya.

Kisah percekcokan itu dimuat dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Dengan bumbu imajinasi, Akmal Nasery Basral mengisahkannya lebih dramatis dalam novelnya, Presiden Prawiranegara. “Saya melihat buku itu sangat penting, novel sejarah sangat diperlukan,” ujarnya.

Namun, tak ada yang tahu persis bagaimana situasi sebenarnya percekcokan itu. Otobiografi Sukarno, menurut Asvi, terbit saat kekuasaan Sukarno terus dipereteli. “Jadi buku itu perlu diperiksa lagi.”

Selain kisah cekcok Sukarno-Sjahrir, banyak kisah menarik lainnya dalam buku itu. Selain Sukarno ataupun tokoh-tokoh bangsa lain yang populer, Menyingkap Tirai Sejarah: Bung Karno dan Kemeja Arrow juga berisi kisah tokoh-tokoh lain semisal AR Baswedan ataupun IJ Kasimo.

Pembicara lain adalah sejarawan Peter Carey, penulis biografi Pangeran Diponegoro. Carey, sebagaimana Asvi, menemukan banyak kesamaan antara Sukarno dan Pangeran Diponegoro. Selain diramalkan bakal jadi pemimpin dan dipengaruhi figur-figur perempuan dalam kehidupan mereka, kehidupan Sukarno dan Diponegoro sama-sama berakhir tragis. “Dua-duanya saya kira adalah sosok yang sangat penting dan menentukan dalam sejarah modern Indonesia,” ujar Carey.



View the original article here



Peliculas Online

Kamis, 18 Oktober 2012

Dari Isolasi hingga Industri

Jepang berhasil membangun dan mengejar ketertinggalan dari Barat setelah mengisolasi diri dan hancur karena perang. 

PADA 8 Juli 1853, empat kapal uap dan sebuah kapal Induk, USS Powhatan, tiba di Pelabuhan Edo, Tokyo. Armada kapal itu, yang kelak dikenal dengan nama armada Kapal Hitam (kurofune), dipimpin seorang perwira Angkatan Laut Amerika Komodor Matthew C. Perry. 

Orang-orang Jepang terkesima. Tak pernah mereka menyaksikan sesuatu seperti itu sebelumnya. Mereka mengira kapal-kapal itu adalah ular-ular naga berukuran maha besar yang mendenguskan asap karena marah. Mereka belum tahu kapal uap telah diciptakan. Mereka kian terkejut ketika tahu bahwa armada kapal itu diperlengkapi senjata berukuran besar. Sejak 1639, pemerintahan militer Tokugawa menerapkan politik isolasi (Sakoku) yang membatasi secara ketat pengaruh asing yang masuk ke dalam negeri.

Dengan kekuatan senjata, armada Kapal Hitam memaksa Jepang menerima kedatangannya. Tahun berikutnya Amerika dan Jepang menandatangani sebuah traktat kerjasama, yang mengakhiri 2,5 abad politik isolasi, juga meruntuhkan kekuasaan Dinasti Tokugawa pada 1868.

Jepang memasuki era baru, mulai membuka diri. Kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh pemerintahan militer dikembalikan kepada kaisar. Kaisar menjadi kepala negara, namun pemerintahan dan politik dijalankan sekelompok intelektual Jepang. Negeri Matahari Terbit mencanangkan program reformasi besar-besaran dengan semboyan “Negara yang Kaya dan Angkatan Bersenjata yang Kuat” (fukoku-kyohei). Tujuan utamanya menciptakan sebuah bangsa yang mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa Barat. Reformasi itu kemudian dikenal dengan nama Restorasi Meiji.

Restorasi ini merupakan sebuah perombakan besar-besaran terhadap nyaris setiap aspek kehidupan di Jepang. Sistem pembagian kerja berdasarkan kelas dihapuskan, wajib belajar diberlakukan, wajib militer menjadi satu keharusan, parlemen (Diet) dibentuk berdasarkan sebuah konstitusi baru yang diberlakukan pada 1889.

Untuk mengejar ketertinggalannya dari Barat, Jepang mendatangkan lebih dari 3.000 tenaga ahli dari Barat dengan beragam keahlian. Tenaga ahli itu bertugas mengajarkan sains modern, bahasa asing, dan teknologi. Pemerintah Meiji juga mengirimkan ribuan siswa untuk belajar di luar negeri.

Sistem perbankan modern dibentuk untuk merangsang berbagai jenis bisnis yang baru berkembang di Jepang. Roda perekonomian digerakkan dengan mengimpor bahan mentah dari luar negeri dan kemudian mengekspor produk yang sudah jadi. Restorasi Meiji berhasil menjadikan Jepang sebagai negara Asia pertama yang sukses mengusung industrialisasi. Kondisi ini tetap dipertahankan setelah masa Meiji berakhir pada 1912. Penekanan terhadap pertumbuhan ekonomi tetap menjadi fokus Jepang pada masa Taisho (1912-1926).

Militer Jepang juga ikut tumbuh dan mendorong Jepang melakukan ekspansi militer ke berbagai negara: China, Taiwan, Korea, dan kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ia juga menjadi salah satu alasan keikutsertaan Jepang dalam Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada 1945 menghentikan semuanya. Jepang luluh-lantak. Infrastruktur rusak parah.

Pemerintah Jepang harus membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran. Awalnya, mereka mendapat banyak bantuan dari Amerika. Namun tak ada yang mengira perbaikan ekonomi Jepang bisa dicapai dalam waktu relatif singkat. Pada 1960 saja kondisi ekonominya sudah menyamai keadaan sebelum perang. Ini membuat banyak orang terkejut dan menyebutnya sebagai keajaiban. Pertumbuhan cepat ini terus berlangsung hingga 1990-an.

Menurut R. Taggart dalam The Weight of The Yen, salah satu kunci kesuksesan Jepang terletak pada kemampuannya merencanakan secara detail langkah-langkah bisnis yang harus diambil dalam 20-50 tahun ke depan. Mereka merencanakan secara teliti cara-cara terbaik merebut pasar. Taktik yang biasa dipakai adalah membanjiri pasar dengan barang-barang yang sudah dikenal pasar tapi lebih berkualitas.

Jepang memulai kemajuan ekonominya dengan meniru barang-barang yang sudah ada. Mereka membuat imitasi kasar dari kamera-kamera Jerman seperti Leica dan Rolliflex. Tapi mereka terus meningkatkan kemampuan untuk memproduksi benda-benda tersebut, sehingga menghasilkan barang-barang dengan kualitas yang lebih tinggi. Pada akhirnya perusahaan Jepang malah mampu berinovasi dan mengalahkan barang produksi Barat. Perlahan tapi pasti Jepang mulai merebut pasar di banyak lini, terutama peralatan optik, elektronik, dan industri otomotif.

Salah satu contoh keberhasilannya, mobil-mobil Jepang menyerbu pasar Amerika pada 1970-an. Jepang yang semula hanya meniru, berhasil mengembangkan mobil-mobil hemat bahan bakar berukuran kecil dengan harga lebih murah. Saat itu pemerintah Amerika mulai sadar lingkungan dan menerapkan serangkaian kebijakan yang mewajibkan penghematan bahan bakar, pengendalian emisi, sekaligus menerapkan standar keselamatan yang lebih tinggi. Tapi produsen mobil Amerika tak siap menghadapi perubahan kebijakan itu.

Satu dekade kemudian, mobil-mobil Jepang mengambil-alih posisi pertama dalam industri mobil dunia. Di Amerika sendiri, satu dari empat mobil yang terjual adalah mobil Jepang. Detroit, pusat industri mobil Amerika, kalang-kabut. Bahkan Chrysler, salah satu perusahaan mobil terbesar Amerika, nyaris gulung tikar.



View the original article here



Peliculas Online

Selasa, 16 Oktober 2012

Genosida VOC

Pala menjadi berkah sekaligus bencana bagi orang Banda, yang dibunuh dan terusir dari tanah airnya.

PADA 8 April 1608, Laksmana Pieterszoon Verhoeven, bersama 13 kapal ekspedisi tiba di Banda Naira. Perintah Heeren Zeventien, para direktur VOC di Amsterdam, sebagaimana ditulis Frederik W.S., Geschiedenis van Nederlandsch Indie, kepada Laksamana Pieterszoon Verhoeven: "Kami mengarahkan perhatian Anda khususnya kepada pulau-pulau di mana tumbuh cengkeh dan pala, dan kami memerintahkan Anda untuk memenangi pulau-pulau itu untuk VOC, baik dengan cara perundingan maupun kekerasan."

Sejak lama Banda dikenal sebagai penghasil utama pala (Myristica fragrans). Bunganya yang dikeringkan disebut “fuli”.  Bunga ini membungkus daging buah pala. Sejak dulu pala dan fuli dimanfaatkan untuk rempah-rempah, yang mengundang bangsa Eropa untuk datang.

Sesampai di Banda, Verhoeven mendapati Inggris di bawah pimpinan Kapten William Keeling telah berdagang dengan rakyat Banda dan pedagang Belanda. Ia tak senang. Apalagi rakyat Banda tak mau berunding dengannya. Ia pun menuju ke Pulau Naira beserta sekitar 300 orang prajurit untuk membangun Benteng Nassau, di bekas benteng yang pernah dibangun Portugis. 

Melihat pembangunan benteng itu, para Orangkaya Banda–pemuka rakyat atau orang yang disegani– mau berunding tapi dengan syarat ada jaminan sandera. Verhoeven setuju, dan menunjuk dua pedagang bernama Jan de Molre dan Nicolaas de Visscher. Lalu Verhoeven berangkat ke tempat perundingan bersama dewan kapten, para pedagang, pasukan bersenjata lengkap, dan tawanan Inggris sebagai hadiah. Sesampainya di tempat perundingan, di bawah sebatang pohon di dekat pantai bagian Timur Pulau Naira, mereka tak menemukan para Orangkaya.

Verhoeven mengutus penerjemah Adriaan Ilsevier untuk mencari para Orangkaya. Di hutan kecil yang sekarang menjadi masjid Kampung Baru, Ilsevier menemukan para Orangkaya. Mereka ketakutan melihat pasukan bersenjata lengkap, sehingga meminta Verhoeven datang hanya ditemani beberapa orang. Verhoeven pun menemui para Orangkaya di tempat yang sekarang disebut Kampung Verhoeven. Ternyata ini jebakan. Verhoeven beserta saudagar tinggi Jacob van Groenwegen dan 26 orang Belanda lainnya dibunuh. Jan Pieterszoon Coen, juru tulis Verhoeven, menyaksikan kejadian tersebut. 

Sepeninggal Verhoeven, Laksamana Simon Janszoon Coen menjadi pemimpin baru. Ia menyelesaikan pembangunan Benteng Nassau.

Pada 1617 Heeren Zeventien menunjuk Jan Pieterzoon Coen sebagai Gubernur Jenderal. Setelah mendirikan markas besar VOC di Batavia, Coen ingin merealisasikan monopoli pembelian pala di Banda. Sebelumnya Belanda tak mampu melakukannya karena harga jual pala mereka lebih mahal ketimbang Inggris, bahkan penduduk lokal. Coen beranggapan monopoli pala baru bisa dilakukan hanya dengan mengusir dan melenyapkan penduduk asli Banda.

Pada 1621, Coen memimpin sendiri pendudukan Pulau Banda. Berangkatlah armada berkekuatan 13 kapal besar, sejumlah kapal pengintai, dan 40 jungku dan sekoci. Ia membawa 1.600 orang Belanda, 300 narapidana Jawa, 100 samurai Jepang, serta sejumlah bekas budak belian. Begitu sampai di Benteng Nassau, Coen dan pasukannya menyerang Pulau Lontor dan berhasil menguasai seluruh pulau. Desa Selamon dijadikan markas besar. Balai desanya jadi kantor Gubernur Banda Kapten Martin ‘t Sonck. Masjid di sebelah balai jadi penginapan pasukan, meski Orangkaya Jareng dari Selamon keberatan.

Pada suatu malam, lampu gantung dalam masjid terjatuh. Mengira akan ada serangan, t’Sonck menuduh penduduk Lontor. Malam itu juga, t’Sonck mengerahkan tentaranya untuk mengejar penduduk yang melarikan diri ke hutan dan puncak gunung. Penduduk yang ditemukan, dibunuh. Rumah dan perahu dibakar atau dihancurkan. Mereka yang berhasil lari, sekitar 300 orang, mencari perlindungan pada Inggris atau ke Pulau Kei dan Aru. Tak kurang dari 2.500 orang meninggal, karena ditembak, dianiaya, atau kelaparan. Dari 14.000 orang rakyat Banda, jumlah penduduk asli kepulauan Banda tinggal 480 orang setelah peristiwa pembantaian itu.

Mereka juga menangkap para Orangkaya dengan tuduhan sebagai pemicu kerusuhan. Delapan Orangkaya paling berpengaruh dimasukkan ke dalam kurungan bambu yang dibangun di luar Benteng Nassau. Enam algojo Jepang lalu masuk dan memotong tubuh mereka menjadi empat bagian. Setelah itu algojo memenggal kepala 36 Orangkaya lainnya dan memotong badan mereka. Potongan kepala dan badan ditancapkan pada ujung bambu untuk dipertontonkan kepada masyarakat.  Pembantaian 44 Orangkaya itu terjadi pada 8 Mei 1621.  

Setelah kepulauan Banda kosong dari penduduk asli, Coen mendatangkan orang dari berbagai bangsa untuk bekerja di pulau ini. Umumnya berasal dari Makassar, Bugis, Melayu, Jawa, Cina, sebagian Portugis, Maluku dan Buton. VOC memberikan hak pakai kebun-kebun pala kepada bekas tentara dan pegawai VOC. Buruh kebun adalah budak yang didatangkan dari berbagai penjuru tanah air. Hasilnya dijual kepada VOC.

Di lokasi pembantaian itu kini berdiri Monumen Parigi Rante. Nama 40 pejuang dan Orangkaya Banda terukir di sana bersama sederet tokoh pejuang Indonesia yang pernah dibuang ke Banda seperti Tjipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, Hatta, dan Sjahrir.



View the original article here



Peliculas Online

Minggu, 14 Oktober 2012

Dari Cincai sampai Siomay

Komunitas Tionghoa telah menancapkan pengaruhnya di negeri ini semenjak berabad lalu. Setitik nila tak semestinya merusak susu sebelanga.

SEJARAWAN Denys Lombard, melalui magnum opusnya Nusa Jawa Silang Budaya, memandang penting pengaruh komunitas Cina negeri ini. Pengaruh kebudayaan itu tersebar mulai gaya bangunan, pakaian, bahasa bahkan sampai makanan. Sebegitu dekatnya, sehingga tanpa disadari warisan budaya itu pun melekat erat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Seperti tak ada lagi batas.

Tahun ini boleh saja pemerintah Indonesia merayakan 60 tahun hubungan diplomatiknya dengan China, kendati usia itu tidak genap karena sempat terinterupsi selama kurang lebih 15 tahun di bawah zaman Orde Baru. Adalah fakta sejarah jika osmosis budaya Tionghoa ke dalam budaya Nusantara sudah terjadi semenjak ratusan tahun lalu.

Namun demikian selalu saja ada penilaian minor terhadap etnis minoritas ini, mulai dari soal penguasaan sumberdaya ekonomi sampai dengan gaya hidup ekslusif yang dilakoni mereka. Stereotipe tentang Tionghoa yang picik, culas, dan menghalalkan segala cara untuk mencari uang pun menyebar luas di kalangan warga pribumi. Padahal, sifat yang sama juga bisa jadi dimiliki oleh komunitas etnis lainnya di negeri ini, tak terkecuali pribumi sendiri. Stigma itu tentu tidak datang dengan sendirinya di dalam benak warga non-Tionghoa. Ada proses sejarah yang melatarinya.

Perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap warga Tionghoa dengan memisahkan mereka untuk tinggal di gheto-gheto tersendiri dipercaya menjadi sabab musababnya. Tapi bila merunut lebih jauh lagi, justru ada cerita tentang kebersamaan warga Tionghoa bahu-membahu dengan warga pribumi melawan Belanda, khususnya pascaperistiwa pembantaian 1740 di Batavia. Bahkan Sumanto Al-Qurtuby dalam bukunya Arus Cina-Islam Jawa mengajukan tesis kalau penyebaran Islam di Nusantara tak lain tak bukan berkat jasa para orang-orang Tionghoa.

Keharmonisan hubungan itu perlahan pudar seiring kebijakan pemerintah kolonial yang kemudian menempatkan warga Tionghoa, mengutip sejarawan Didi Kwartanada, sebagai minoritas perantara (Middleman Minority).“Golongan Tionghoa dimanfaatkan sebagai perantara ataupun “mesin pencetak uang”, baik oleh raja-raja maupun oleh penguasa kolonial,” tulis Didi dalam makalahnya, “Tionghoa dalam Dinamika Sejarah Indonesia Modern: Refleksi Seorang Sejarawan Peranakan.”

Dari sanalah peran warga Tionghoa dilembagakan; seakan ditakdirkan sebagai kelompok pedagang yang cuma bertugas menghasilkan uang dan bisa diperas sewaktu-waktu demi kepentingan ekonomi dan politik tertentu. Peran itu kembali dikukuhkan semasa Orde Baru. Hak-hak sipil warga Tionghoa dibatasi, namun sebagian kecil dari mereka, khususnya yang memiliki akses ke kekuasaan, mendapat peluang untuk menjalankan bisnis berbasis rente. Sungguh sebuah kebijakan yang ambigu.

Peran sejarah komunitas Tionghoa, seperti dalam bidang bahasa, sastra dan pers pun dilupakan. Komunitas Tionghoa yang identik dengan kegiatan dagang dan tuduhan komunis yang dilabelkan kepada mereka pascaperistiwa G.30.S menghapus sumbangsih mereka pada pembangunan bangsa ini. Salah satunya yang pernah dilakukan oleh Sin Po. Sebagai harian terkemuka yang direken berorientasi ke nasionalisme Tiongkok justru koran Tionghoa pertama yang berani menggunakan istilah Indonesia menggantikan istilah inlanders. Ang Jan Goan dalam memoarnya mengakui kalau tindakan itu bukannya tanpa akibat: Sin Po harus menanggung kerugian akibat pencabutan iklan pemerintah kolonial.

Pandangan miring lain yang juga dilabelkan kepada komunitas Tionghoa adalah cara mereka beradaptasi dengan situasi politik yang cepat berubah. “Pada zaman Belanda mereka bersikap pro-Belanda. Pada saat Jepang menjadi tuan, mereka berkawan dengan Jepang. Kemudian datanglah revolusi dan mereka bersikap baik kepada kita…Akhirnya yang bisa dikatakan hanyalah bahwa mereka ini adalah kaum oportunistis yang tidak bisa diperbaiki,” tulis Didi Kwartanada mengutip Abu Hanifah dalam Tales of a Revolution. Tak aneh jika istilah “cincai” kerapkali digunakan untuk menunjukkan sikap kompromi terhadap segala sesuatu yang bisa mendatangkan untung/keselamatan.

Seperti tak puas dengan stigmatisasi, penggunaan kata “Cina” pun kerapkali digunakan dengan tujuan insinuasi terhadap komunitas Tionghoa. “Padahal istilah itu bukan lahir dari warga keturunan Tionghoa sendiri,” ujar Eddie Lembong, mantan ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) yang kini mengelola Yayasan Nabil.

Eddie kemudian mengutip teks pidato pengukuhan guru besar Prof. Dr. A.M. Cecillia Hermina Sutami yang memberikan  penjelasan bahwa kata “Cina” (Inggris: China), (Belanda: China/Chinees), (Jerman: Chinesische), (Perancis: Chinois) berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “daerah yang sangat jauh”. Kata “China” sendiri sudah disebutkan di dalam buku Mahabharata sekitar 1400 tahun sebelum Masehi. Istilah itu baru dibawa oleh bangsa-bangsa Barat yang mulai datang ke Nusantara sejak awal Abad ke-17. Eddie lebih cenderung kepada istilah Tionghoa. “Istilah Tionghoa jauh lebih tepat untuk digunakan karena sebutan itu datang dari kalangan Tionghoa sendiri,” kata pendiri sebuah perusahaan farmasi terkemuka itu.

Pada era feformasi, terutama saat Gus Dur memimpin negeri ini, angin segar perubahan pun berhembus semilir. Hak-hak sipil warga Tionghoa untuk menjalankan kegiatan kesenian dan kebudayaannya kembali pulih. Bahkan hari raya Imlek dijadikan libur nasional. Gus Dur memang benar. Minoritas Tionghoa adalah bagian dari “kekitaan” sebagai sebuah bangsa. Mereka memperkaya khasanah keberagaman negeri ini.

Kekayaan budaya Tionghoa adalah juga kekayaan negeri ini, kuliner salah satunya. Ada beragam macam menu makanan yang datang dari negeri nun jauh di sana yang kemudian tanpa kita sadari seakan makanan itu adalah produk budaya bangsa tanpa harus khawatir dikenakan royalti oleh negeri asalnya. Dan komunitas Tionghoalah mengenalkan itu semua. Bayangkan jika Anda harus membayar royalti untuk sepiring siomay yang Anda santap di sore hari.

Enampuluh tahun perayaan hubungan diplomatik Indonesia-China seyogianya jadi momentum untuk hubungan yang lebih erat, bukan hanya bagi kedua negara, melainkan pula buat saudara kita warga keturunan Tionghoa dan seluruh rakyat Indonesia apa pun warna kulit, agama, dan sukunya.



View the original article here



Peliculas Online