Kamis, 13 Oktober 2011

Sultan Hamengkubuwono IX


Arnold C. Brackman adalah seorang mantan wartawan, yang di masa revolusi bertugas di Indonesia sebagai Kepala Biro Indonesia dari sebuah Kantor Berita Amerika United Press. Ia mengenal dan dekat banyak pemimpin perjuangan. Salah seorang di antaranya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Ia juga dikenal sebagai penulis buku Indonesian Comunism.

Tulisannya yang pendek-pendek mengenai Sri Sultan dalam buku Tahta untuk Rakyat mencerminkan pengenalannya yang dalam mengenai mendiang Sultan Yogya itu. Ia tidak hanya menyebut HB IX A great Javanese dan A great Indonesian, tetapi ia pun mengkualifikasikannya sebagai A great human being — Seorang manusia yang besar.

Dalam menyoroti seorang tokoh, seorang pemimpin, apalagi seorang pemimpin yang dikagumi, seorang pemimpin yang besar jasanya dan diagungkan, kita memang sering lupa bahwa ia tetap seorang manusia biasa dengan kekuatan dan kelemahannya. Ia tetap seorang manusia yang manusiawi, betapa besar pun ia sebagai manusia. Ia mengenal kekecewaan dan kebosanan dalam perjuangan dan kehidupannya. Ia ingin mencintai dan dicintai, tidak saja oleh sesamanya dan massa yang tanpa rupa, tetapi oleh seseorang yang nyata, yang jelas sosoknya, yang hubungannya mengandung getaran bersifat pribadi.

Justru kemanusiaan yang manusiawi dari seorang pemimpin itulah yang mendekatkannya dengan manusia- manusia lain yang dipimpinnya, karena ia lantas mampu menghayati gejolak hati mereka, memahami liku-liku kehidupan mereka maupun aspirasi mereka, ia tidak menjadi seorang pemimpin yang kering yang hanya menuntut kepatuhan dan orang-orang yang dipimpinnya. Ia bukan seorang pemimpin yang hanya mengenal dalil keras: Bersamaku atau menjadi lawanku!
Kemanusiaan yang manusiawi dan seorang pemimpin itulah yang menjadikannya seorang demokrat.
*****
Karena tidak menyadari bahwa HB IX adalah juga seorang manusia yang manusiawi itulah maka Kitty, seorang putri Brackman, terheran-heran ketika ia melihat apa yang diperbuat HB IX di rumahnya. Ketika itu awal tahun 1960-an. HB IX sedang berada di Amerika Serikat untuk berobat mata. Pada suatu hari ia singgah di rumah Brackman, untuk memenuhi undangannya makan malam. Begitu tiba, Sri Sultan langsung melepas sepatunya dari bepergian. Ia pun lantas bersantai.
Kata Brackman, Kitty yang ketika itu berumur sekitar sepuluh tahun, dan dibesarkan di Jawa, selalu ingat “peristiwa yang sangat manusiawi itu” (that very human incident).

Bisa juga dikatakan, peristiwa kecil itu menyebabkan Kitty dapat “menangkap” kemanusiaan Sri Sultan yang manusiawi.
Kemanusiaan HB IX yang manusiawi itulah jawaban terhadap pertanyaan, yang menurut Brackman, mestinya diajukan oleh orang-orang Indonesia masa kini, yang menjadi semakin feodalistis dalam tindak-langkah maupun pandangannya. Bunyi pertanyaannya: “How is it possible that the country’s most feudal lord, Sri Sultan, is so unfeudal in his manner and thinking ?“ – “Bagaimana mungkin, penguasa yang paling feodal di negeri ini, begitu tidak feodal di dalam tindak-langkah dan pemikirannya?”

Kemanusiaan Sri Sultan yang tetap manusiawi itu jugalah yang melahirkan suatu peristiwa yang dikisahkan oleh A.R. Baswedan berikut ini:
Ketika itu sedang berlangsung sidang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang pertama di Malang. Malam mulai larut dan sidang terasa bertele-tele. Di luar gerimis. Sri Sultan duduk di pojok ruangan, dan Baswedan di ujung yang lain. Sri Sultan kelihatan kesal, bosan dan kedua kakinya diluruskan.
Begitu melihat Baswedan, Sultan lantas berdiri dan mendekatinva. “Saudara Baswedan ayo kita keluar”. Di luar udara dingin, dan Sultan pun merapatkan mantelnya. Keduanya lalu memasuki sebuah warung kecil dipinggir jalan yang hanya diterangi sentir. Mereka memesan kopi panas, dan makan dua pisang goreng.

Kemanusiaan yang manusiawi Sri Sultan pulalah yang mendorongnya untuk membantu seorang wanita penjual beras mengangkut berasnya ke Pasar Kranggan di Kota Yogya dan daerah Kaliurang, tanpa si wanita tahu, siapa pengemudi jip yang menolongnya. Kemanusiaan yang manusiawilah memang yang menjadi sumber perikemanusiaan. Maka Ny. S.K. Trimurti yang mengisahkan peristiwa di Yogya itu, dan yang pernah cukup lama berhubungan kerja dengan Sri Sultan pun. memberikan kesaksian, bahwa Sri Sultan “Orangnya baik, pikirannya cerdas dan manusia yang humanistik. Maksud saya, manusia yang berperikemanusiaan”.
Ny. Trimurti mengisahkan peristiwa di Yogya itu tidak hanya didasarkan atas cerita orang lain. Ia sendiri berada tengah-tengah kerumunan orang di Kranggan, ketika si wanita penjual beras pingsan, begitu ia mengetahui bahwa pengemudi jip adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang sebelumnya sudah “diomelinya”, karena menolak uang angkutan yang diberikannya. Ia menganggap si sopir jip, yang juga membantu menurunkan berasnya yang berkarung-karung, tidak puas dengan uang imbalan yang diberikannya.

Setelah mengemukakan kisah itu, dan menyebut Sri Sultan adalah seorang manusia yang humanistik, Trimurti pun mengatakan, bahwa menurut pengamatannya, Sri Sultan “seperti tidak begitu tanggap kalau ada orang atau golongan yang mau memperalatnya, atau hanya mencari perlindungan saja”. Ini disebabkan kebaikan hatinya. Maka menurut kesan Trimurti, “Sri Sultan bukanlah seorang politikus dalam arti yang sesungguhnya. Malah menurut perhitungan atau kriteria politik dalam arti praktik, beliau kadang dinilai lemah atau kurang galak.”

Dengan kata lain, penilaian itu secara implisit mengatakan, bahwa manusia yang manusiawi, dan dengan demikian juga berperikemanusiaan, kurang mampu tampil sebagai politikus, walaupun manusia atau orang yang bersangkutan – seperti halnya Sri Sultan, — “menguasai pengetahuan politik. belajar politik dan mungkin selalu mengamati kejadian-kejadian politik”.
TIDAKKAH ada kemungkinan lain?

Manusia yang humanistik, yang karenanya adalah juga manusia yang baik, bisa saja tahu bahwa ia “diperalat”, dijadikan “pemberi perlindungan”, tetapi ia pura-pura tidak tahu. Ia pun sengaja diam, melihat tindakan-tindakan orang lain yang sebenarnya tidak disetujuinya. Ia sengaja diam. Barangkali karena ia berpegang pada semboyan bahwa “kebaikan akhirnya toh akan mengalahkan kebatilan” (suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti), atau barangkali ia berpendapat, percuma saja “berbicara”, karena pelaku tindakan-tindakan yang tidak disetujuinya itu toh tidak akan mendengarkan nasihatnya.

Sikap seperti itu memang sering sulit diketahui atau sulit dipahami oleh orang yang tidak dekat sekali hubungannya dengan si empunya sikap. Demikian pula sering tidak mudah “ditangkap” dan tidak mudah dipahami oleh masyarakat luas, tindak — langkah tertentu seseorang yang ditokohkan, seseorang yang dinilai sebagai pemimpin besar. Ketidakmampuan untuk memahami itu sering disebabkan, karena orang tidak menyadari, atau “tidak mengizinkan” bahwa pemimpin atau tokoh itu adalah tetap seorang manusia biasa, seorang manusia yang manusiawi.

P. Swantoro, journalist, mantan Wakil Pemimpin Harian Umum KOMPAS / Komisaris Utama Kelompok KOMPAS-Gramedia – KoKi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar