Minggu, 30 September 2012

Dilema dan Isolasi

Dilema kalangan medis terhadap proses penularan membuat penderita lepra harus menghadapi isolasi berlapis: dari pemerintah hingga masyarakat. 

KESIMPANGSIURAN tentang penularan lepra terus berlangsung memasuki abad ke-19.  Walaupun ilmuwan Gerhard Henrik Armauer Hansen di Norwegia telah mengidentifikasi keberadaan bakteri M. leprae dalam setiap kasus lepra pada 1873, berbagai aspek penularan lepra masih belum terpecahkan.

Salah satu faktor yang menyulitkan penelitian adalah kesulitan pengembangan kultur jaringan M. leprae di laboratorium. Hal ini membuat berbagai tahapan ujicoba dalam penelitian klinis, termasuk terhadap binatang, hampir tak memungkinkan. Hansen sendiri gagal ketika mengujicoba bakteri M.leprae dengan kelinci. 

Baru satu abad kemudian, binatang pembawa bakteri lepra, nine-banded armadillos, ditemukan. Walaupun jenis lepra yang diderita armadillos berbeda dengan lepra pada manusia, keberadaannya membantu pengembangan kultur jaringan bakteri dan bermanfaat bagi dunia penelitian.

Keterbatasan pemahaman medis pada akhir abad ke-19 memecah-belah sikap para dokter dan peneliti –antara mereka yang meyakini penularan terjadi secara cepat (termasuk melalui kontak fisik) dan mereka yang memperhitungkan faktor-faktor lain dalam penularan. Perbedaan pendapat medis mengenai infeksi dan penularan lepra meningkatkan kekhawatiran akan “bahaya” penularan lepra.

Artikel John Freeland dalam The British Medical Journal pada 5 Oktober 1889, misalnya, memaparkan perbedaan pandangan tentang penularan lepra. Sebagai seorang petugas kesehatan pemerintah Inggris di Hindia Barat, dia menyimpulkan aktivitas penduduk lokal bersama penderita lepra seperti makan (dengan tangan), tidur, bertukar pakaian, dan tinggal bersama dalam jangka waktu lama berpotensi meningkatkan penularan. Di sisi lain dia menyadari bahwa dugaan itu tak sepenuhnya terbukti.  

Dia mencontohkan pandangan tokoh kesehatan Inggris Jonathan Hutchinson tentang pasien lepra dari berbagai negara yang mendapat perawatan di Inggris. Sebagian pasien kemudian tinggal bersama pasangan atau anggota keluarga lain yang sehat. Sebagian lain tidur di bangsal umum rumah sakit. Sepanjang pengamatan Hutchinson, tak pernah terjadi kasus penularan dalam interaksi-interaksi itu.

“Lepra dapat terjadi tanpa melalui faktor genetik dan tak terkait kemiskinan, lingkungan kotor, iklim atau kesulitan hidup; penularan lepra cukup sulit,” demikian Freeland mengutip Hutchinson.

Namun pandangan berbeda tentang bahaya penularan lepra justru datang dari G.H.A Hansen, penemu bakteri M. leprae. Sebelum penyelenggaraan Konferensi Lepra Pertama di Berlin, Jerman, pada Oktober 1897, sebagaimana ditulis Bombay Gazette, 8 November 1897, Hansen mengusulkan agar negara-negara lain mengadopsi strategi Norwegia yang memberlakukan undang-undang untuk memaksa pasien lepra hidup terpisah dari masyarakat. Menurutnya, keberhasilan Norwegia mengisolasi pasien lepra akan membawa Norwegia “bersih” dari lepra. Keberhasilan ini, jika diterapkan oleh negara-negara lain, akan menghapus penyakit lepra dari dunia, demikian Hansen menguraikan pendapatnya yang disambut tepuktangan peserta pertemuan.

“Mereka yang sakit memiliki kewajiban penting untuk tidak menulari yang sehat,” tegas Hansen ketika menghadapi kritik dari rekan-rekan sejawat yang menganggap pemaksaan isolasi pasien lepra sebagai tindakan yang berlebihan dan kejam. Dia berdalih bahwa pemaksaan isolasi merupakan bagian dari upaya menjaga kesehatan masyarakat, yang selayaknya menjadi prioritas di atas kepentingan individu.

Konferensi Lepra Pertama mengikuti arah sikap Hansen. Salah satu resolusinya menyatakan bahwa penyakit lepra menular antarmanusia. Banyak negara kemudian gencar mendirikan institusi untuk mengisolasi pasien lepra atau leprosarium.

Menurut Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia, pada 1865 pemerintah Belanda sempat menyatakan penyakit lepra tak menular dan membolehkan pasien meninggalkan leprosarium. Keputusan Konferensi Lepra tahun 1897 mendorong pemerintah Belanda menggencarkan kembali isolasi pasien, termasuk pembangunan leprosarium di beberapa wilayah di Hindia Belanda. Kebijakan ini kembali mengulang peraturan isolasi yang pernah VOC terapkan pada 1655 melalui pendirian leprosarium di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta. Baha Uddin dalam makalah “Pelayanan Kesehatan Masyarakat pada Masyarakat Kolonial” menyatakan bahwa langkah ini merupakan sebuah upaya pencegahan penularan ketimbang pengobatan. Kekurangan tenaga kesehatan dan keterbatasan pengetahuan medis pada masa itu membatasi kapasitas pengobatan untuk penderita lepra.

Sejak 1930-an, beberapa penemuan medis perlahan mengungkapkan karakteristik penyakit lepra. Penemuan-penemuan ini antara lain mengidentifikasi bahwa mayoritas populasi manusia sebetulnya memiliki kekebalan natural terhadap lepra. Penularan bakteri M. leprae pun tergolong lemah. Selain itu, ujicoba klinis obat-obatan dalam kelompok sulfone saat itu terbukti efektif dalam perawatan pasien lepra. Temuan-temuan itu perlahan mengubah sikap berbagai negara terhadap tindakan isolasi pasien lepra.

Di Hindia Belanda, sikap menentang isolasi pasien lepra mulai terjadi sejak 1932. Dr J.B. Sitanala, kepala Dinas Pemberantasan Kusta, memperkenalkan sistem tiga langkah penanganan pasien lepra, yaitu eksplorasi (surveilans), pengobatan, dan pemisahan (tanpa paksaan dan tetap dalam lingkungan keluarga). Walaupun tak serta-merta menggantikan fungsi leprosarium, sistem tiga langkah secara perlahan mengurangi tindakan pemaksaan isolasi pasien lepra.

Pada 1947, Public Health Service di Amerika mengeluarkan lepra dari daftar penyakit wajib karantina sehingga membebaskan pasien lepra bepergian tanpa izin khusus. Pada 1950-an, pasien lepra di Amerika memperoleh kembali hak mereka untuk menikah. Negara-negara lain berangsur mulai meninggalkan sistem isolasi.

Kini melalui pengobatan berbagai jenis obat atau Multiple Drug Therapy (MDT), lepra dapat disembuhkan. Deteksi dini dan fasilitas pemeriksaan yang memadai di berbagai lingkungan masyarakat adalah langkah efektif mengontrol penyebaran penyakit lepra.

Masalah lain muncul justru dari masyarakat. Stigma sosial menyulitkan kehidupan sebagian besar pasien lepra. Ketakutan terhadap bahaya “penularan” lepra bukan hanya karena berbagai mitos kutukan, namun juga keterbatasan penyebarluasan informasi medis mengenai lepra serta fasilitas identifikasi dan pengobatan di masyarakat. Perjuangan mengatasi berbagai bentuk penolakan masyarakat masih terus berjalan.

Bunda Theresa yang mendedikasikan waktunya merawat penderita lepra di India pernah berkata, “penyakit terbesar saat ini bukanlah lepra atau tuberkulosis, namun perasaan tidak diinginkan.”



View the original article here



Peliculas Online

Sabtu, 29 September 2012

DNA Tan Malaka Mendekati Kebenaran

Pria yang kuburannya digali di Selopanggung, Kediri memiliki DNA yang positif identik dengan keluarga Tan Malaka.

HASIL penyelidikan DNA (deoxyribose nucleic acid) di sebuah laboratorium di Korea Selatan menunjukkan bahwa kerangka tulang yang digali di sebuah makam di Desa Selopanggung, Kediri, pada 12 November 2009, adalah Tan Malaka “mendekati kebenaran”. Saat ini pemeriksaan sisa sampel kerangka di Selopanggung sedang dalam proses pemeriksaan analisis LCN (low number copy) sebuah metode baru ekstrasi sampel DNA. 

Menurut Tim Identifikasi Tan Malaka, dokter spesialis forensik Jaya Surya Atmadja dari Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, untuk mendapatkan hasil seratus persen bahwa DNA tersebut adalah Tan Malaka masih harus mengikuti perkembangan teknologi DNA yang  semakin maju.

Sebelumnya, pada pemeriksaan DNA pertama di Australia yang diumumkan pada 8 Maret 2010, menunjukkan hasil menggembirakan. Dari 14 unsur yang diuji, 9 di antaranya positif sesuai dengan DNA keluarga Tan. 

Mengutip sejarawan dan penasihat Tim Penggalian Makam Tan Malaka, Asvi Warman Adam dalam tulisannya Memburu DNA Tan Malaka, pemeriksaan DNA dilakukan dengan mengidentifikasi Y-Short Tandem Repeats (YSTR) sebagai DNA inti (c-DNA) yang diturunkan secara total dari seorang ayah kepada semua anak laki-lakinya. Dalam kasus ini, Y-STR diturunkan oleh Rasad kepada Tan Malaka dan adik laki-lakinya, Kamarudin Rasad. Kamarudin kemudian menurunkan DNA yang sama kepada anak lelakinya, Zulfikar Kamarudin. Jika benar kerangka yang diperiksa adalah Tan Malaka, profil Y-STR dari kerangka tersebut akan sama dengan profil Y-STR dari Zulfikar.

Pemeriksaan terhadap sampel gigi maupun tulang atap tengkorak di beberapa lab DNA, baik di dalam maupun luar negeri, tidak berhasil mendapatkan DNA manusia sehingga tidak didapatkan profil Y-STR dari kerangka yang diduga Tan Malaka tersebut. Kerangka tanpa DNA (bog body), terjadi akibat pengaruh lingkungan yang lembab di sekitar kerangka. Tak menyerah, Tim Indentifikasi kemudian berusaha mengekstraksi dan mencari profil Y-STR kerangka di lab DNA di Korea Selatan. 

Sejarawan Harry Poeze dalam kesempatan diskusi bukunya, Madiun 1948, PKI Bergerak, jilid keempat dari serial Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, menyatakan optimis hasil tes DNA di Korea positif Tan Malaka. Hasil tes DNA itu akan memastikan lokasi eksekusi Tan Malaka dan menjadi bukti kuat tesisnya yang menduga pengarang buku Madilog itu dikuburkan di pemakaman umum Desa Selopanggung, Kediri.

Petunjuk yang menguatkan optimisme Poeze adalah hasil pemeriksaan antropologi forensik bahwa kerangka yang ditemukan pada kedalaman dua meter itu, seorang laki-laki, ras Mongoloid, tinggi badan 163-165 cm, dikubur secara Islam, tanda patah tulang tidak jelas. Pemeriksaan odontologi forensik terhadap rahang dan gigi geligi menunjukkan kerangka adalah seorang laki-laki, ras Mongoloid, usia 40-60 tahun, atrisi berat pada semua permukaan gigi depan, dan ada riwayat pernah sakit gigi. 

Bagi Poeze, yang menarik dari kesimpulan itu yakni kerangka kedua lengan bawah tersilang ke belakang yang menandakan bersangkutan meninggal dengan cara ditembak mati, sesuai hasil penelitian Poeze yakni Tan Malaka meninggal karena ditembak mati atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalion Sikatan bagian Divisi IV Jawa Timur pada 21 Februari 1949. Poeze berpendapat bahwa kekurangan hasil DNA bisa dipadukan dengan keterangan saksi-saksi sejarah yang telah diwawancarai olehnya ketika melakukan penelitian tentang jejak-jejak Tan Malaka. Ketika berita ini diturunkan, konferensi pers mengenai hasil penyelidikan DNA Tan Malaka masih berlangsung di Wisma Shalom, Senen, Jakarta Pusat.



View the original article here



Peliculas Online

Kamis, 27 September 2012

Islam Arab atau Islam Cina?

Teori klasik menyebutkan pedagang keturunan Arab yang membawa Islam ke Nusantara. Versi lain menyebut justru pedagang Tionghoa yang menyebarkan Islam.

BEBERAPA teori menyangkut hadirnya Islam di Kepulauan Nusantara dikemukakan para pakar sejarah. Ada dua teori klasik yang utama ihwal penyebaran Islam di Nusantara. Pertama, dikemukakan oleh Niemann dan de Holander yang menyebutkan kalau Islam dibawa oleh pedagang Timur Tengah. Kedua, adalah teori pedagang Gujarat yang diusung oleh Pijnapel dan kemudian diteliti lanjut oleh Snouck Hurgronje, Vlekke, dan Schrieke.

Agaknya teori-teori klasik itu menyandarkan validitasnya pada lapoan perjalanan yang ditulis Marcopolo yang menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi, yang ketika singgah di Aceh tahun 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satunya adalah makam Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis tahun 475 H/1082 M, yaitu zaman Singasari. Diperkirakan makam ini bukan penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.

M.C. Ricklefs memiliki serangkaian intepretasi yang meragukan kesahihan teori klasik itu. Semisal dalam kasus batu nisan di Gresik ia menyebut tentang kemungkinan batu nisan itu hanya pemberat kapal atau mungkin batu nisan yang dipindahkan setelah muslimah itu meninggal. Dan batu itu tidak memberikan kejelasan apa-apa mengenai mapannya agama Islam di tengah-tengah penduduk Indonesia.

Sampai dengan awal abad ke-14 M, Islamisasi secara besar-besaran belum terjadi di Nusantara. Baru pada pertengahan abad ke-14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti.

Kekuatan politik itu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, dan Ternate. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu/Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya, dan Sunda.

Menarik juga mengamati kisah-kisah pengislaman Nusantara yang dapat ditemui dalam historiografi tradisional. Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan bagaimana Islam masuk ke Samudra dan juga tentang batu nisan Malik as-Salih bertarikh 1297 M. Dalam hikayat ini diceritakan tentang Khalifah Mekah yang mendengar adanya Samudra dan memutuskan mengirimkan sebuah kapal ke sana memenuhi ramalan Nabi Muhammad bahwa suatu saat akan ada sebuah kota besar di timur yang bernama Samudra, yang akan menghasilkan banyak orang suci. Hikayat itu dipenuhi cerita tentang proses penganutan Islam oleh raja Samudra: Marah Silau (atau Silu), bermimpi bahwa Nabi menampakkan diri padanya dan sekonyong meludah ke dalam mulutnya untuk mengalihkan pengetahuan Islam serta sekaligus menggelarinya Sultan Malik as-Salih.

Cerita yang kurang lebih sama juga ditemui dalam Sejarah Melayu. Historiografi ini mengisahkan tentang pengislaman Raja Malaka. Sebagaimana Malik as-Salih yang bertemu Nabi di dalam mimpinya, demikian pula dengan Raja Malaka. Dalam pada itu, Nabi mengajarkan kepadanya cara mengucapkan dua kalimat syahadat.

Hal yang unik justru terjadi pada kitab Babad Tanah Jawi. Jika dalam dua naskah Melayu di atas Islamisasi selalu ditandai dengan adanya simbol-simbol formal dari perubahan agama seperti mengucapkan dua kalimat syahadat dan penggunaan nama Arab maka cerita pengislaman Jawa yang dituturkan melalui Babad Tanah Jawi memberikan kesan suatu proses asimilasi yang sedang berlangsung di Jawa.

Naskah Babad Tanah Jawi menuturkan tentang Islamisasi tanah Jawa yang dilakukan oleh sembilan wali (wali sanga). Di sini pengislaman secara formal tak tampak, namun garis genealogis yang mengacu pada Arab (baca: Timur Tengah) tetap menjadi alur utama kisah di dalamnya.

Dari keseluruhan historiografi tradisional ada satu benang merah yang saling menghubungkan perihal penyebaran agama Islam di Nusantara: berasal dari Arab. Besar kemungkinan hal ini dilakukan agar ada semacam legitimasi ideologis bagi agama Islam untuk masuk ke Nusantara. Di lain pihak, hal ini juga menimbulkan bias bahwa seakan-akan Islam akan lebih sahih jika dibawa dari Arab, bukan dari wilayah lainnya.

Kembali kepada persoalan diskursus teori klasik kedatangan Islam, amat dimungkinkan jika teoritisi sejarah Islam juga melihat kenyataan yang dicatat di dalam naskah-naskah kuno itu sebagai dasar menjadikan pedagang Timur Tengah sebagai pembawa Islam ke Nusantara.

Juga perlu dicatat kiranya tentang dua dokumen lain yang bisa menghantarkan pada substansi Islamisasi di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa. Kedua naskah itu berisi tentang ajaran-ajaran Islam seperti yang diberikan di Jawa pada abad XVI. Salah satu naskah yang berisi tentang pertimbangan-pertimbangan terhadap hal-hal yang diperdebatkan,  kemudian naskah dinisbahkan oleh G.W.J. Drewes kepada seorang ulama yang bernama Syekh Bari.

Naskah kedua berisi tentang primbon yang berisi tuntunan menjalankan agama Islam yang dibuat beberapa murid ulama terkenal. Kedua naskah itu bersifat ortodoks dan mistik, sekaligus mencerminkan mistisisme Islam dan tasawuf yang berkembang saat itu. Dan kelak Islam di Indonesia dipenuhi bid’ah dan khurafat yang pada masa selanjutnya mendorong munculnya gerakan pembaharuan sepanjang abad XIX dan XX.

Dalam historiografi Indonesia, teori klasik penyebaran Islam menjadi satu monoversi yang sulit dibantah. Hal itu bercampur aduk dengan bias politik kekuasaan Orde Baru yang mengintervensi penulisan sejarah. Semisal, kasus pelarangan buku Slamet Muljana yang pernah mengajukan versi bahwa Tionghoa adalah penyebar Islam. Menurut Muljana, Islam Nusantara, dan di Jawa khususnya, bukanlah Islam “murni” dari Arab, melainkan Islam campuran yang memiliki banyak varian. Dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara Muljana menyebutkan bahwa Sunan Kalijaga yang masa mudanya bernama Raden Said itu tak lain dari Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, menurut Muljana, adalah Toh A Bo, putra dari Tung Ka Lo, alias Sultan Trenggana.

Pelarangan versi Slamet Muljana oleh pemerintah Orde Baru didasari pengkaitan Cina dalam peristiwa Gestok 1965. Semua hal yang berbau Tionghoa dilarang saat itu, sehingga “haram” hukumnya mengaitkan Tionghoa ke dalam sejarah Islam Nusantara.

Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina Islam Jawa juga menggugat teori klasik penyebaran Islam. Sumanto menemukan fakta bahwa nama tokoh yang menjadi agen sejarah Islam merupakan transliterasi dari nama Cina ke nama Jawa. Semisal dalam nama Bong Ping Nang misalnya, kemudian terkenal dengan nama Bonang. Raden Fatah yang punya julukan pangeran Jin Bun, dalam bahasa Cina berarti “yang gagah”. Raden Sahid (nama lain Sunan Kalijaga) berasal dari kata “sa-it” (sa = 3, dan it = 1; maksudnya 31) sebagai peringatan waktu kelahirannya di masa ayahnya berusia 31 tahun. Tentu buku yang ditulis Sumanto tidak dilarang, karena buku ini terbit setelah Orde Baru tumbang. Namun sejauh mana masyarakat menerima versi ini, belum kelihatan secara jelas.



View the original article here



Peliculas Online

Selasa, 25 September 2012

Ganti Rugi Penjajahan

Sebagai negara terjajah, Indonesia berhak meminta ganti rugi pada penjajah. Dari Jepang, dapat pampasan perang. Sedangkan dari Belanda hanya kata maaf.

PADA suatu waktu, ketika berada di Jepang, secara berkelakar Hermawan Kartajaya pernah bertanya kepada Kikuchi-San dari JVC: “Berapa kira-kira ‘sumbangan’ Indonesia pada masa pendudukan Jepang dahulu terhadap pembangunan jalan mengilat yang bertumpuk-tumpuk serta terowongan bawah tanah yang banyak terdapat di Tokyo itu?” 

Sambil tersenyum, Kikuchi-San menjawab bahwa orang Jepang, terutama generasi muda, memang mempunyai kenangan pahit terhadap dampak “militerisme” negaranya pada masa lalu. “Karena itu, Jepang merasa mempunyai kewajiban ‘moral’ untuk membayar pampasan perang kepada seluruh negara yang pernah menjadi koloninya,” kata Kikuchi-San kepada Hermawan Kertajaya dalam Marketing Klasik Indonesia.  

Pada pertengahan tahun 1951, Amerika Serikat memprakarsai suatu pertemuan di San Francisco untuk merundingkan Perjanjian Damai dan Pampasan Perang dengan Jepang –lebih dikenal dengan Perjanjian San Francisco, yang secara resmi mengakhiri Perang Dunia II. Beberapa negara, termasuk Indonesia, diundang.

Kabinet Sukiman-Suwirjo yang kala itu berkuasa terpecah, terutama antara kelompok Partai Nasional Indonesia (PNI), yang menganggap tak jelas manfaatnya, dan dan Masyumi yang melihat pertemuan itu bisa mengakhiri ganjalan dalam masalah Indonesia dan Jepang. “Akhirnya pemerintah mengambil jalan tengah, bersedia hadir jika ada manfaatnya bagi Indonesia,” tulis Hadi Soesastro dalam Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir (1945-1959).

Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo berangkat ke San Francisco. Tapi, pada 7 September 1951, beberapa jam sebelum acara penandatanganan, kabinet belum mencapai kata sepakat. Kabinet pun mengambil suara. Hasilnya: sepuluh menteri menyetujui Perjanjian Damai dan enam menteri menentang.

Pada 20 Januari 1958, menindaklanjuti hasil Perjanjian San Francisco, pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian bilateral yang berisi kesepakatan ganti rugi. Antara lain pampasan perang senilai US$223,080 juta serta kesediaan Jepang menanamkan modal di Indonesia dan mengusahakan pinjaman jangka panjang sampai batas US$400 juta. Perjanjian Damai dan Pampasan Perang tersebut disahkan DPR RI tanggal 13 Maret 1958 dan diundangkan pada 27 Maret 1958.

“Perjanjian pampasan tahun 1958 terdiri atas satu daftar yang memuat enam kategori program dan proyek… transportasi dan komunikasi, pengembangan tenaga, pengembangan industri, pengembangan pertanian dan perikanan, pertambangan, dan jasa atau pelayanan,” tulis Masashi Nishihara dalam Sukarno, Ratna Sari Dewi, dan Pampasan Perang: Hubungan Indonesia-Jepang, 1951-1966.

Secara keseluruhan, lanjut Nishihara, proyek-proyek pampasan mengandung lebih banyak aspek negatif ketimbang aspek positif. Banyak proyek tak menerima dana cukup untuk menyelesaikannya akibat inflasi di Indonesia. Pampasan juga jadi lahan korupsi.

Jika Jepang mau membayar ganti rugi atas penjajahan selama 3,5 tahun, bagaimana dengan Belanda yang menjajah jauh lebih lama? Ironis, justru Indonesia yang harus membayar ganti rugi, dan dananya untuk membantu pembangunan Negeri Belanda.

Ini terkait dengan persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, yang memutuskan sebagai imbalan atas penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia (saat itu Republik Indonesia Serikat) pada 27 Desember 1949, Indonesia harus membayar utang kepada Belanda sebesar 4,5 milyar gulden –awalnya Belanda meminta 6,5 milyar gulden.

Selain itu, untuk membangun kembali pascaperang, Belanda mendapatkan gelontoran dana, dalam bentuk hutang, dari program Marshall Plan AS antara tahun 1948-1951 sebesar US$1.128 juta. Sumbangan dari Marshall Plan dan Indonesia ini dikenal sebagai The Miracle of Holland (keajaiban Belanda).

“Indie verloren, betekende niet ramspoed geboren (Hindia hilang, bukan berarti tiba bencana). Belanda masih bisa menarik keuntungan dari bekas jajahannya meski tanah jajahan itu sudah lepas,” tulis sejarawan Lambert Giebels dalam “De Indonesische Injectie” (Sumbangan Indonesia), yang dimuat di De Groene Amsterdammer, Januari 2000.

Setelah membayar sekira 4 milyar gulden antara tahun 1950-1956, Indonesia secara sepihak membatalkan persetujuan KMB. Belakangan, pada awal Orde Baru, berdiri Inter Govenmental Group on Indonesia (IGGI), diketuai oleh Belanda, yang punya agenda tersembunyi berupa mencari penyelesaian utang Indonesia zaman Orde Lama, yang berkaitan dengan nasionalisasi perusahaan Belanda, sekira US$2,4 milyar.

Giebels tak habis pikir, mengapa Belanda tega melakukan itu kepada Indonesia. Padahal kepada Suriname, yang juga bekas jajahannya, Belanda membayar lunas ganti rugi atas perbudakan sebesar 1,5 milyar euro begitu Suriname merdeka pada 25 November 1975. Jumlah itu dianggap belum cukup. “Suriname berhak mendapat ganti rugi senilai 50 milyar euro,” kata ekonom Suriname Armand Zunder kepada Philip Smet dari Radio Nederland Wereldomroep, 2 Juli 2010.

Zunder membandingkan kasus Suriname dengan kasus lainnya. Belanda minta ganti rugi dari Jerman setelah Perang Dunia II. Jerman membayar lebih dari 120 milyar euro untuk warga Yahudi. Organisasi Internasional DiversCités sudah berseru kepada Parlemen Prancis, juga negara-negara Eropa termasuk Belanda, untuk membayar ganti rugi kepada bekas jajahannya atas peran mereka dalam perbudakan. Pada 1999, di Afrika terbentuk The Africa World Reparations and Repatriation Truth Commission, sebuah komisi penyelidik internasional yang menuntut ganti rugi. Menurut hukum internasional, perbudakan dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Bagaimana dengan Belanda? Jangankan ganti rugi, permintaan maaf atas penjajahan dan aksi militer di masa lalu baru disampaikan pemerintah Belanda pada 2005. Mereka juga akhirnya mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari proklamasi kemerdekaan Indonesia, bukan lagi 27 Desember 1949.

Saat itu, pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda memutuskan tak akan minta ganti rugi. Alasannya diplomatis: banyak cara untuk memanfaatkan momentum penyesalan Belanda ke arah pembentukan hubungan RI-Belanda yang lebih menguntungkan Indonesia. Misalnya melalui kerjasama perdagangan, investasi, dan sosial-budaya. Cara tersebut dianggap lebih menjaga martabat bangsa Indonesia, negara yang tak mengeksploitasi penderitaan masa lalu untuk memperkaya diri.

Baik sekali ya Indonesia sama Belanda.



View the original article here



Peliculas Online

Senin, 24 September 2012

Haji Singapura

Berbagai cara ditempuh untuk menuju Mekkah. Selain ibadah, gengsi sosial naik peringkat.

Si Gapoeng, perempuan Melayu yang berganti nama Halimatusa’diyah setelah naik haji, juga menumpang kapal Samoa, kapal carteran J.G.M. Herklots saat pulang ke tanah air. Kala badai menghajar Samoa pada 14 Agustus 1893, dia selamat namun harus kehilangan suami dan harta bendanya, antara lain satu peti besar berisi pakaian, 21 karung goni berisi perbekalan, dan uang tunai sebesar f.150. Dalam kesaksian yang disimpan di Arsip Nasional RI sebagaimana dikutip Dien Majid, dia berkisah:

“...Kira-kira soedah 7 hari berlajar satoe malam dapat angin besar sampei hampir-hampir terbalik kapal itoe dan ajer masuk kadalam kapal sampai pagi-pagi di tjari saja poenja laki tiada lagi dan barang-barang saja itoe joega semoea soedah habis roepanja djatoeh masok laoet sama laki saja barang dan oewang saja jang habis itoe ada kira-kira f.150 bersama-sama pekirim orang djoega tjoema tertinggal badan saja sadja dengan sehelei badjoe jang soedah robek-robek begimana.”

Untuk makan di sisa perjalanan 42 hari, setelah badai, dia mengandalkan belas kasihan dari penumpang lain, “Dari makanan selama dalam kapal djikaloe ada orang jang soedah dapat nasi jang ada kasihan dia beri sedikit-sedikit baharoe saja makan, kalo tiada kasihan orang-orang itoe tiadalah saja makan.”

Kritik keras terhadap kapal-kapal carteran Herklots datang dari agen-agen haji pesaingnya seperti agen pelayaran Nederland, Borneo Company Limited, Rotterdam Lloyd dan Ocean, Firma Gellatly Henkey Sewell & Co, Firma Aliste, Jawa & Co. Agen-agen haji ini tergabung dalam wadah: Kongsi Tiga.

J.G.M. Herklots dan Kongsi Tiga adalah agen-agen haji generasi pertama yang dilibatkan pemerintah Hindia Belanda dalam pengurusan ibadah haji setelah melonjaknya jumlah jamaah haji tahun 1893. Di bagian dua Indisch Verslag dicatat jumlah jemaah haji tahun itu sebanyak 8092 jamaah, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 6841 jamaah.

Dalam surat protesnya kepada Menteri Luar Negeri Nederland, Rotterdam Lloyd and Ocean mengatasnamakan agen-agen haji yang tergabung dalam Kongsi Tiga menuduh Herklots tak paham undang-undang kapal penumpang pribumi yang termaktub dalam Native Passagers Ships Act 15 Febuari 1884.

Surat yang emosional ini menyindir dengan mengatakan: seluruh orang Belanda di mana pun dia berada pasti memahami Peraturan ini. Pokok utama yang dipersoalkan Lloyd adalah kapal Samoa, yang dicarter Herklots untuk pemulangan jamaah, adalah kapal pengangkut batubara dan tidak dirancang sebagai kapal penumpang.

Dua persyaratan dalam Passagers Ships Act yang dilanggar Herklots, pertama: Kapal yang memiliki berdek kayu yang dibolehkan mengangkut jamaah. Untuk tiang tiap dek harus terbuat dari besi. Seluruh dek harus ditutup kayu. Kedua: para jamaah yang berada di dalam kapal tujuan Hindia Belanda itu harus cukup mendapat kayu bakar dan tidak melebihi jumlah penumpang.

Parahnya lagi, Samoa tanpa dilengkapi kayu pembatas pada seluruh dek dan kuat dugaan bahwa kapal Samoa ini kelebihan muatan. Lloyd minta Menteri Luar Negeri segera mengambil tindakan terhadap Herklots atas pelanggaran-pelanggaran itu.

Tahun 1893 memang bukan tahun yang mujur bagi agen-agen haji dari Kongsi tiga. Kapal-kapal mereka hanya bisa mengangkut sedikit jamaah yang hendak pulang ke Hindia Belanda. Kapal api Drenta milik Rotterdamsche Lloyd yang bisa memuat 830 penumpang hanya mengangkut 115 jamaah. Sementara kapal Lyilops milik Ocean Line hanya mengangkut 22 jamaah. Kapal Sentor milik Ocean hanya memuat 268 penumpang. Bahkan kapal Sunda milik Nederlandsche Lloyd yang menggratiskan biaya angkut barang dan hanya bertarif f.14, hanya mampu menjaring 100 penumpang, padahal kapasitasnya 614 penumpang.

Martin van Bruinessen dalam tulisannya “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji” mencatat, orang Nusantara punya minat tinggi untuk pergi haji. Pada akhir abad ke-19 jumlah jamaah haji Nusantara berkisar antara 10-20 persen dari seluruh jamaah haji asing. Angka melonjak, sebagaimana data Indisch Verslag, hingga 50 persen, menjadi 28.427 jamaah dari total 56.855 jamaah pada musim haji 1913/14.

Perangsangnya adalah status sosial yang tinggi yang akan diperoleh sepulang haji ditopang hasil panen yang melimpah pada tahun-tahun tertentu. Ibadah yang butuh modal besar ini tak hanya merangsang golongan atas begitu pula golongan bawah. Mereka yang punya pertanian luas membayar dengan hasil panen, sementara yang pertaniannya sempit menabung berpuluh-puluh tahun.

Pangeran Aria Ahcmad Djajadiningrat, asisten wedana Cilegon dalam buku Herinneringen van Pangeran Achmad Djajadiningrat mencatat saat-saat wawancara calon haji yang mengajukan pas-haji. Ketika seorang calon haji diminta untuk menunjukkan uang sebesar f.500, sebagaimana disyaratkan untuk mendapat pas-haji, dia bilang perlu dua hari untuk bisa menunjukkan uang tersebut.

“Uang sejumlah itu semua terdiri dari sen yang ia tanam pada berbagai tempat dalam kebun dukunya. Ia harus menggali terlebih dahulu uang itu. Selanjutnya, ia harus mempunyai sebuah gerobak untuk mengangkut uang itu dari desanya ke tempat tinggal saya dan dari sana ke Cilegon untuk sedapat mungkin uang ditukar dengan uang perak atau uang kertas.”

Belakangan diketahui, calon haji ini bekerja sejak muda sebagai penjual kayu bakar dan menabung 5-10 sen per hari dari penghasilannya yang hanya 15-20 sen. Setelah 25 tahun tabungannya mencapai 50.000 sen atau f.500.

Banyak pula yang menjual tanah dan sebagian lagi nekat berhutang untuk bisa berangkat haji.

Agen perjalanan haji menangkap fenomena tersebut sebagai peluang usaha yang menggiurkan. Agen-agen haji ini melakukan berbagai cara untuk merayu, dengan berbagai kemudahan, para jamaah. Salah satunya memberikan pinjaman pada jamaah yang tak berduit –sering disebut arme pelgrims alias haji miskin.

Pinjaman diberikan berdasarkan kontrak dengan jaminan dibayar dengan tanah atau bekerja. Dengan perjanjian ini agen-agen haji meraih keuntungan karena memperoleh banyak tanah subur di Banten dan pekerja yang bisa dibayar murah.  

Tajuddin Brother, sebuah agen yang fokus pada peminjaman biaya haji dan juga adviseur Kongsi Tiga, contohnya. Setelah musim haji 1925/1926, agen ini memperoleh sejumlah tanah pertanian subur di Banten sebagai tebusan atas hutang biaya haji yang waktu pengembaliannya lewat. “Ini mengakibatkan pemiskinan para haji setelah dari Makkah karena kehilangan sumber kehidupan utama,” tulis Vredenbreght dalam bukunya The Haddj.

Agen-agen haji di Kongsi tiga, di berbagai referensi haji di masa kolonial, terkenal bagus pelayanan kapalnya. Namun mereka terlibat dalam penyediaan biaya haji yang tak punya duit ini. Agen-agen haji ini biasanya bekerjasama dengan para syekh.

Bagi mereka yang berhutang dengan calo haji dan tak punya tanah untuk menebus utang biasanya membayar dengan bekerja atau jadi onderneming di perkebunan sawit milik Fa. Assegaf, seorang syekh Arab di Singapura yang sering merekrut jemaah haji untuk disalurkan pada agen-agen haji tertentu, di Deli, Semenanjung Malaya, dan Singapura hingga utang mereka lunas. Mereka yang berangkat ke Mekkah atau kembali dari haji dengan terlebih dahulu bekerja di Singapura, sesampainya di tanah air biasa mendapatkan julukan “Haji Singapura.”



View the original article here



Peliculas Online

Jumat, 21 September 2012

Aktivis PKS Ditangkap Polisi

Puluhan aktivis PKS berencana melakukan pemberontakan di Surakarta.

PADA medio Desember 1941 polisi pamong praja Mangkunegaraan menerima laporan intelijen tentang bangkitnya kembali PKS (Pakempalan Kawula Surakarta). Polisi menemukan bukti bahwa PKS sedang mempersiapkan pemberontakan setelah mereka menemukan ratusan bambu runcing di salah satu kantor ranting PKS di Sragen dekat Solo. Pengakuan beberapa anggota yang terungkap dalam interogasi polisi, menjadi bukti awal yang cukup bagi kepolisian untuk melakukan penangkapan.

Menurut Marieke Bloembergen, penulis buku Polisi Zaman Hindia Belanda, Kepolisian Solo menangkap 28 anggota PKS pada Januari 1942 atas tuduhan merencanakan pemberontakan. “Mereka berencana membunuh semua warga Eropa di Solo seketika Jepang masuk ke dalam kota,” tulis Marieke yang bekerja sebagai mitra peneliti senior di Lembaga Kajian Asia Tenggara dan Karibia (Royal Netherlands Institute of Southeast Asia and Caribbean Studies/KITLV) Leiden, Belanda.

Saat itu Jepang mengobarkan Perang Pasifik dengan terlebih dulu menyerang pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour. Jepang mulai melebarkan ekspansi militer ke berbagai belahan negara di Asia, termasuk Indonesia. Jepang baru masuk Indonesia pada Maret 1942 dan secara mudah membuat Belanda bertekuk lutut tanpa perlawanan.

Pada 2 Maret 1942, inspektur kepala (hoofdinspecteur) polisi B.H. Moltzer, berangkat dari kantornya di Solo untuk mengawal pengiriman 28 tahanan ke penjara Sukamiskin, Bandung. Dia turun tangan karena kurang yakin dua agen polisi dan dua reserse dapat mengawal tahanan aman sampai tujuan. Dengan bersenjata pistol dinas dan senapan berburu laras ganda, Moltzer membawa empat orang anggota pengurus PKS dengan mobilnya sementara itu sebuah bus jemputan sekolah membawa para tahanan lainnya.

“Pada Kamis, 5 Maret 1942, Batavia diserahkan kepada kekuasaan tentara Jepang, Moltzer menyerahkan semua tahanannya ke penjara Sukamiskin,” tulis Marieke.

Untuk apa PKS didirikan?

Menurut Wasino dalam Kapitalisme Bumi Putera: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, ide pendirian PKS berasal dari Mr Singgih dalam sebuah rapat organisasi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) cabang Surakarta pada 5 Mei 1932. Dalam rapat tersebut dia mengusulkan untuk membentuk komite PKS dengan tujuan memperluas perngaruh PBI di kalangan rakyat kecil sehingga organisasi ini dapat menjadi partai rakyat yang sebenarnya.

Pakempalan Kawula Surakarta didirikan akhir 1931 untuk melawan pengaruh Mangkunegaran. Selanjutnya, “PKS bermaksud menebalkan kerukunan massa rakyat Solo dari segala lapisan untuk diajak bekerja sama guna memperoleh perbaikan derajat penghidupan,” tulis AG Pringgodigdo dalam Ensiklopedi Umum.

Tidak lama kemudian sebuah panitia dibentuk oleh anggota PBI dan Mr Singgih bertindak sebagai ketua. Di bawah kepemipinan pemuka Budi Utomo itu, PKS mendapat sambutan yang besar di pedesaan sehingga bermunculan cabang-cabangnya di wilayah Surakarta. Pada Desember 1932, PKS telah tersebar sedemikian luasnya sehingga panitia PKS diubah menjadi pengurus pusat dan pada 1933 kegiatannya makin meluas.

Marieke menambahkan, laporan Jaksa Agung mencatat bahwa pada 1935 keanggotaan PKS mencapai sekitar 22.000 orang. Menurut PKS sendiri, pada waktu itu cabang mereka berjumlah 240, dan hanya 11 yang di wilayah perkotaan, sisanya di pedesaan.

Setelah sukses di wilayah Kasunanan, PKS melebarkan sayapnya ke wilayah Mangkunegaran. Propaganda PKS dipusatkan pada masalah pajak, kerja paksa, dan keluhan lainnya. Banyak penduduk di pedesaan Mangkunegaran yang menjadi pengurus dan anggota PKS. Penduduk banyak yang datang berduyun-duyun dengan berjalan kaki dari tempat yang jauh untuk mendengarkan pidato Mr Singgih. Penduduk menyebut Mr Singgih sebagai Gusti atau Gusti Kanjeng, sebutan yang hanya pantas untuk Raja. Bahkan konon Mr Singgih dianggap oleh penduduk desa sebagai Ratu Adil.

Istana Mangkunegaran menanggapi perkembangan PKS dengan gelisah dan kemarahan. Untuk membendung laju perkembangan PKS di wilayahnya, penguasa Mangkunegaran membentuk organisasi tandingan dengan nama Pakempalan Kawula Mangkunegaran (PKM) pada Juli 1933. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan untuk memajukan kemakmuran Praja Mangkunegaran maupun kesejahteraan dan rasa setia kawan di kalangan penduduknya. Organisasi itu dipromosikan secara terbuka oleh Sri Mangkunegara VII sendiri, dengan cara menghadiri perayaan-perayaan.

Menurut Wasino, konflik antara Kasunanan dan Mangkunegaran yang melibatkan massa pedesaan merupakan akibat dari konflik yang terpendam antara pihak Keraton Kasunanan dan Istana Mangkunegaran. “PKS diidentikan dengan pendukung Kasunanan dan PKM sebagai tandingan PKS identik dengan pendukung Istana Mangkunegaran,” tulis guru besar Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Semarang itu.

Edy S. Wirabhumi dalam disertasinya di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Pemberdayaan Hukum Otonomi Daerah dan Potensi Wilayah: Studi Tentang Kemungkinan Terbentuknya Provinsi Surakarta, menjelaskan bahwa pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, keraton-keraton di seluruh Indonesia tidak lagi menjadi kerajaan yang otonom, tetapi di bawah kekuasaan Republik Indonesia. Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman memperoleh status Daerah Istimewa, kemudian menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Menteri Dalam Negeri dr. Sudarsono berencana membentuk Daerah Istimewa Surakarta, namun gagal karena ditentang oleh kelompok intelektual, pemuda dan pelajar yang dipimpin oleh kerabat keraton sendiri KPH Mr Sumodiningrat. Mereka melancarkan “gerakan anti Swapraja” atau gerakan anti kerajaan.

“Mereka menganggap Daerah Istimewa Surakarta akan membangkitkan kembali sistem feodalisme yang bertentangan dengan nilai-nilai demokratis di alam kemerdekaan. Ketika itu timbul pula peristiwa penculikan beberapa pembesar Kantor Kepatihan Keraton Surakarta,” tulis Edy.

Gerakan anti kerajaan sudah dimulai oleh Kolonial Belanda, setidaknya sudah dimulai pada abad ke-19 dengan menghapuskan kerajaan-kerajaan dalam usahanya untuk konsolidasi politik. “...Gerakan pemuda untuk meruntuhkan kerajaan, mendapat tantangan dari Pakasa (Pakempalan Kawula Surakarta atau PKS-Red) yang mendukung keberadaan keraton,” tulis sejarawan Kuntowijoyo dalam buku Pengantar Ilmu Sejarah.

Arus revolusi tak dapat dibendung. Pada 1 Juni 1946 Surakarta di bawah Pemerintahan Rakyat dan Tentara Daerah Surakarta, yang beranggotakan wakil-wakil dari partai politik dan sejumlah intelektual. Dan, sejak 15 Juli Surakarta menjadi Karesidenan, dengan Residen Iskak Tjokroadisuryo dan wakilnya Sudiro. Keduanya diculik oleh sebuah kelompok politik pada 9 November 1946. Tetapi pemerintahan tetap berjalan di bawah Badan Eksekutif yang anggotanya berasal dari wakil partai-partai politik. Kemudian, berdasarkan UU No. 16/1947 bentuk daerah Surakarta menjadi Balaikota (Harminte).

Pada 20 Desember 1948, Belanda mendarat di Surakarta. Selama pendudukan, Belanda membentuk Pemerintahan Swapraja. Terjadilah dualisme pemerintahan: Pemerintahan Balaikota dan Pemerintahan Swapraja. Munculnya Pemerintahan Swapraja memperkuat gerakan anti Swapraja, dan pada gilirannya juga memperkuat anti Daerah Istimewa Surakarta.

Setelah Belanda hengkang dari Surakarta pada akhir 1949, pemerintah Republik Indonesia melakukan penataan pemerintahan. Melalui surat keputusan Menteri Dalam Negeri No. F.X.3/1/13/1950 tanggal 3 Maret 1950, pemerintahan Kasunanan dan Mengkunegaran dibekukan, dan hanya terbatas pada pemerintahan di dalam keraton saja. Dengan terbitnya surat keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut, telah memantapkan keberadaan Karesidenan Surakarta, yang meliputi Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Boyolali, Wonogiri, Klaten, Karanganyar, dan Sragen. Upaya PKS mempertahankan Kasunanan sebagai wilayah berdiri sendiri sia-sia belaka.  Mereka tak kuasa melawan arus revolusi yang mengalir sebegitu dahsyatnya.



View the original article here



Peliculas Online

Rabu, 19 September 2012

Calo-Calo Haji

Percaloan dan penelantaran jamaah haji juga terjadi di masa kolonial.

BERKOEMPOEL, kelompok warga Cilegon, melayangkan sebuah surat protes pada Gubernur Jenderal di Batavia. Isinya soal kongkolikong Johanes Gregorius Marinus Herklots alias J.G.M. Herklots, bos agen perjalanan haji The Java Agency, dengan Wedana Cilegon bernama Entol Goena Djaja. Untuk menjaring jamaah haji sebanyak-banyaknya, perusahaan haji itu menggunakan jasa pejabat lokal dan keluarga mereka sebagai tenaga pemasaran. Hadiahnya: pejabat itu plus keluarganya diberi tiket gratis ke Mekah.

Tergiur dengan tiket haji gratis, para pejabat ini memakai kekuasaannya: memaksa rakyat yang hendak pergi haji untuk menggunakan perusahaan Herklots. Yang tak menggunakan perusahan itu, ditahan pas-nya (izin jalan, semacam paspor). Karena takut terhadap penguasa, dengan terpaksa banyak orang naik kapal Herklots sesuai perintah.

Dengan kongkolikong macam ini, pada musim haji 1893, Herklots berhasil menjaring lebih dari 3.000 jamaah dari, menurut J. Vrendenbregt dalam The Haddj merujuk data Indisch Verslag, keseluruhan jamaah yang berjumlah 8.092 orang.

Gubernur Jenderal, yang sudah menerima banyak keluhan soal kebusukan agen haji milik J.G.M Herklots, menerima surat ini pada pertengahan Juni 1893. Isinya, sebagaimana dikutip dari buku Berhaji Di Masa Kolonial karya Dien Majid, antara lain: “...semoea toeroet Entol Goena Djaja soedah berdjanji sama itoe toean agen Herklots, dia poenya anak (Entol Hadji Moestafa) dan mertoea (Hadji Karis) pegi di Mekkah dengan pordeo tida bajar ongkos kapal, makan dan minoem djoega pordeo dan djoega misti dapat kamar, tapi banjak sekali orang-orang jang dari district Tjilegon tida seneng menoempang di itoe kapal/agen toean Herklots, melaenkan dia orang takoet sama Kapala District Tjilegon Wedana Entol Goena Djaja...”

Gubernur Jenderal juga menerima somasi dari Konsul Belanda di Jedah tentang pungutan liar yang dilakukan agen haji Herklots. Jamaah harus membayar tiket pulang yang telah ditetapkan f.95 plus f.500 sebagai jasa bagi Herklots. Konsul memohon Gubernur Jenderal supaya mendeportasi Herklots dan mengadili kejahatannya. Meski perbuatan Herklots dikategorikan melanggar hukum tapi Gubernur Jenderal tak punya wewenang untuk mendeportasi Herklots.

Menurut Dien Majid, Konsul Belanda di Jedah lantas melobi Gubernur Jedah Ismail Haki Pasha supaya mendeportasi Herklots. Pasha tak bisa mengabulkannya dan bilang, “Herklots di sini hanya sibuk bekerja untuk melaksanakan penanganan keagamaan.”

Usaha keras Konsul untuk mendeportasi dan mengadili Herklots tak mempengaruhi bisnis haji Herklots secara keseluruhan. Herklots masih leluasa menjaring calon haji dan menebarkan tipu-tipu yang lebih parah.

Pengalaman R. Adiningrat, residen Cirebon, bisa jadi contoh. Laporan Residen Cirebon tanggal 10 Juli 1893, sebagaimana dikutip Dien Majid, menyebutkan pengalaman buruknya menggunakan agen Herklots. Saat membeli tiket, Adiningrat dilayani oleh W.H. Herklots, adik J.G.M. Herklots. Adiningrat musti membayar f.150 plus premi f. 7,50 per kepala; lebih mahal dari tarif pemerintah sebesar f.110. Padahal di reklamenya, Herklots menawarkan harga lebih murah: “Harga menoempang f.95 satoe orang troes sampai di Djeddah dan anak-anak oemoer dibawah 10 taoen baijar separo harga, anak yang menetek tidak baijar.”

Sialnya lagi, menjelang tanggal keberangkatan haji, W.H. Herklots kabur duluan dari Cirebon dan dia berangkat ke Jedah menggunakan kapal De Taroba.

J.G.M. Herklots dan teman Arabnya, Syekh Abdul Karim, “penunggu Kabah”, juga menipu pihak berwenang Mekah dan memanfaatkan mereka untuk menjaring jamaah haji yang hendak pulang ke Hindia Belanda. Herklots memakai identitas palsu untuk bisa masuk Mekah, yakni Haji Abdul Hamid, pribumi Hindia Belanda beragama Islam. Identitas baru ini perlu karena orang-orang non-Muslim tak diperkenankan masuk Mekah.

Herklots menggunakan identitas palsu ini untuk mengajukan pinjaman pada Syarif Mekah. Syarif Mekah bersedia memberi pinjaman f.150.000 dengan dua catatan. Pertama, di kantor Herklots ditempatkan dua jurutulis Syarif Mekah, yang bertugas mengawasi kegiatan kongsi, terutama jumlah jamaah. Setiap sore mereka mengambil keuntungan sesuai perjanjian yang disepakati. Kedua, di pihak lain, para syeikh kepercayaan Syarif Mekah membantu Herklots mencari jamaah yang telah selesai menunaikan ibadah haji untuk pulang ke tanah air.

Dengan kesepakatan ini Herklots mendapat perlindungan. Dan dengan bantuan para syeikh, dia bisa leluasa menjaring para jamaah yang hendak pulang sementara agen-agen haji lain susah-payah mendapatkannya.

Di Mekah, para “Haji Jawa”, sebutan untuk jamaah haji Hindia Belanda, dipaksa naik kapal api dari agen Herklots. Supaya tak pindah ke kapal lain, mereka diwajibkan membayar tiket sejak di Mekah.

Jamaah haji yang telah membayar mahal ini dibuat terlantar saat menunggu tanpa kepastian kapan kapal carteran Herklots dari Batavia datang. Mereka menunggu di tenda-tenda di lapangan terbuka tanpa fasilitas memadai.

Para jamaah, yang kehabisan duit itu, mengadukan perlakuan buruk Herklot pada konsulat Belanda di Jedah dan bikin konsulat Belanda geram. Mereka memaksa Herklots mengembalikan uang tiket tanpa harus menunggu kapal carteran. Herklots bersedia mengembalikan separo dari harga tiket, 31 ringgit. Selain keluhan keterlambatan dan penelantaran, banyak jamaah haji mengeluhkan fasilitas kapal pengangkut jamaah. Majid menulis, kapal Samoa yang dipakai Herklots tak dirancang sebagai kapal penumpang. Akibatnya, dek atas dan bawah penuh penumpang dengan ventilasi yang buruk. Banyak penumpang jatuh sakit.

Majid juga mengutip kesaksian Sin Tang King, gelar raja muda Padang yang berganti nama menjadi Haji Musa, salah seorang penumpang kapal, “Sampai di Djeddah saja liat ada banjak kapal tetapi tiada kapal boleh kami naik di lain kapal hanja misti masok kapal Samoa, dan kapal lain sewanya tjoema 15 ringgit ada djoega jang 10 ringgit djikaloe orang maoe naik di lain kapal oewang jang telah dibajar di Mekkah itoe ilang sadja. Satoe doewa orang jang ada oewang dia tiada perdoeli ilang oewangnja 37 ringgit itoe dia sewa lain kapal, sebab di kapal Samoa tiada bisa tidoer dan tiada boleh sambahjang karena semoewa orang ada 3.300 (sepandjang chabar orang) djadi bersoesoen sadja kami jang tiada oewang boewat sewa lain kapal...”

Kapal Samoa berangkat menuju Batavia pada 7 Agustus 1893 dan transit semalam di Aden. Setelah berlayar dua hari dari Aden, menurut kesaksian Si Tang Kin, tepat hari Selasa sekira pukul 17.00 Samoa dihajar badai dahsyat. Kapten kapal tak memberi tahu akan datangnya badai sehingga pintu terbuka dan orang-orang di kapal riuh, berhimpit-himpitan dengan peti, hingga ada yang kepalanya pecah, putus kakinya, atau terhempas ke laut. Dalam satu malam, seratusan orang tewas. Mereka dibuang begitu saja ke laut tanpa disembahyangkan atau dikafani.



View the original article here



Peliculas Online

Senin, 17 September 2012

Siasat Buah Aren Kalahkan Surabaya

Pada akhirnya kecerdikan otaklah yang bisa mengalahkan Surabaya. Bukan otot dan pedang.

WINONGAN hanyalah sebuah kota kecamatan di wilayah kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, yang letaknya berada di sebelah tenggara Surabaya. Di kota kecil itulah pada 1614, pasukan Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Suratani, mendirikan pusat komandonya sekaligus mengordinasikan serangan Mataram ke daerah timur. Sejak 1614, mulai dari Winongan, balantentara Mataram terus merongrong kekuasaan Surabaya. Serangan demi serangan pun dilakukan ke berbagai wilayah kekuasaan Surabaya di pantai utara Jawa, mulai dari Tuban, Gresik dan terus merangsek ke jantung kekuasaan Surabaya.   

Ada dua kerajaan yang menjadi musuh utama Mataram, yakni Surabaya di timur dan Banten di barat. Sejak kepemimpinan Panembahan Hanyakrawati (1601-1613), Kerajaan Mataram gigih memperluas pengaruhnya di Jawa. Beberapa tahun menjelang akhir kekuasaanya, Raja yang kemudian setelah meninggal digelari sebagai Panembahan Seda Ing Krapyak itu memang menjalankan politik luar negeri yang aktif. Bahkan, mengutip sejarawan HJ. De Graaf, Panembahan mempekerjakan Juan Pedro Italiano, seorang petualang Italia, yang telah masuk Islam, untuk melobi para pedagang Belanda. 

Semasa hidupnya Panembahan Krapyak gencar memerangi Surabaya namun tak pernah berhasil menguasai kota yang terkenal memiliki pertahanan yang kuat itu. Ketika Sultan Agung menggantikan posisi Panembahan Krapyak pada 1613, raja baru itu meneruskan pekerjaan sang ayah yang tak sempat berlanjut karena keburu wafat pada 1 Oktober 1613. Pada saat Sultan Agung memerintah, sebuah taktik lain dijalankan. Alih-alih menyerang langsung ke Surabaya, sultan yang sebelum dinobatkan bernama Raden Mas Jatmika itu memilih untuk menyerang lebih dulu daerah-daerah taklukan Surabaya. 

Beberapa bulan setelah penobatannya, Sultan Agung langsung memberikan titah kepada Tumenggung Suratani yang disertai ribuan balatentara Mataram untuk segera berangkat menyerang daerah timur. Sultan Agung memberikan perintah dengan acaman: bunuh siapa pun yang mundur dari gelanggang pertempuran. Target serangan pertama adalah Pasuruan. Namun serangan itu gagal karena tentara Pasuruan bertempur habis-habis mempertahankan kotanya. Walhasil balatentara Mataram mundur ke Winongan dan bertahan di daerah itu dengan membangun perintang yang sangat kuat untuk melindungi diri dari kemungkinan serangan balasan. 

Sementara menyusun kekuatan untuk serangan ulang, Tumenggung Suratani memerintahkan Tumenggung Alap-Alap merebut Lumajang dan Renong. Namun kedua bupati daerah itu berhasil melarikan diri. Tumenggung Alap-Alap dan pasukannya yang berhasil menguasai kota, menjarah harta benda milik bupati, bahkan menculik para perempuan untuk dibawa pulang. Aksi penyerangan dilanjutkan sampai ke Malang di mana pasukan Tumenggung Alap-Alap berhasil menangkap Rangga Toh Jiwa, bupati Malang yang sempat melarikan diri dari kejaran pasukan. 

Cara pasukan Mataram menebar aksi teror ini cukup berhasil menimbulkan ketakutan di kalangan penguasa daerah-daerah protektorat Surabaya. Dalam jangka waktu yang singkat, Mataram terus menggempur daerah-daerah di Jawa Timur. Ekspedisi demi ekspedisi dikirim, mengoyak rasa tenteram para penguasanya. Tak semua serangan Mataram berhasil. Dalam beberapa serangan balasan, pasukan Mataram kocar-kacir, seperti yang terjadi pada pertempuran di Sungai Andaka (kini disebut sungai Brantas), di mana dua pemimpin pasukan Mataram, Aria Suratani dan Ngabei Ketawangan tewas di tempat. 

Menyerang terlebih dahulu kota-kota satelit di sekitar Surabaya agaknya bertujuan untuk memutus jalur logistik ke Surabaya. Sebagai kota pelabuhan, Surabaya menggantungkan dirinya kepada daerah-daerah pedalaman (hinterland) untuk suplai berbagai kebutuhan sehari-hari. Bahkan kebutuhan atas air pun diambil dari kali Mas, salah satu dari dua cabang kali pecahan aliran Sungai Brantas yang melintasi Mojokerto. Kelak lewat sungai Brantas Surabaya bisa dibuat bertekuklutut. 

Taktik demikian ditempuh Mataram karena serangan langsung terhadap Surabaya tak pernah berhasil. Surabaya terlalu kuat, apalagi bala bantuan dari Madura selalu siap setiap saat mempertahankan Surabaya. Selama bertahun-tahun, semenjak naih takhta, Sultan Agung terus melancarkan penyerbuan ke Surabaya. Seringkali menemui kegagalan tapi dia tak pernah jera untuk melakukan serangan. 

Apa yang sebenarnya mendorong sultan dari trah Ki Ageng Pemanahan itu begitu ngotot menaklukkan Surabaya? Sejarawan Universitas Gadjah Mada Dr. Sri Margana mengatakan perebutan legitimasi kekuasaan religius adalah alasan utama kenapa Mataram gigih melancarkan perang terhadap Surabaya. “Mataram membutuhkan legitimasi keislaman dan itu dimiliki oleh Surabaya karena mereka keturunan para wali, sementara Mataram keturunan petani,” kata doktor lulusan Leiden University itu. 

Menurut Margana legitimasi kekuasaan berdasarkan tahkta suci agama menjadi penting karena dengan itulah Surabaya memiliki pengaruh yang sangat luas. Konsepsi kekuasaan yang demikian bersumbu pada  kepercayaan di kalangan masyarakat Jawa bahwa raja adalah pusat kosmis yang memiliki pengaruh baik pada alam maupun masyarakat. Raja juga dipercaya sebagai keturunan nabi-nabi dan dewa-dewa. Anggapan itu dikaitkan dengan kepercayaan magis dari wahyu raja (pulung ratu) dan konsep pewaris keturunan darah raja (trahing kusuma rembesing madu wijining andhana tapa), hanya orang yang memiliki keturunan darah raja lah yang berhak menjadi raja (Poesponegoro:1992. 60). “Sementara trah Pemanahan itu kan trahnya petani, jadi mereka berada satu derajat di bawah trah wali seperti penguasa Surabaya, itu alasan Mataram menyerang Surabaya,” kata Margana. 

Maka Mataram berani menempuh jalan mana pun untuk mengalahkan dan menguasai Surabaya. Cara Sultan Agung yang menggempur secara periodik wilayah kekuasaan setahap demi setahap menimbulkan korban yang cukup besar di pihak Mataram. Namun dia terus mencari cara agar Surabaya yang makin lama makin terdesak itu menyerah, terutama sejak kejatuhan Tuban pada 1619 menyusul kekalahan Madura pada 1624. 

Setelah bertempur selama hampir satu dekade lebih, akhirnya Mataram berhasil memasuki pinggiran kota Surabaya yang pertahanannya tak terkalahkan itu. Pasukan Mataram di bawah pimpinan dua panglima perangnya, Tumenggung Ketawangan dan Tumenggung Alap-Alap menggempur Surabaya pada 1624. Dari sumber Belanda, sebagaimana dikutip dari De Graaf (2002), kendati sudah berhasil menembus barikade pertahanan Surabaya, pasukan Mataram masih mengalami kesulitan mematahkan pertahanan pasukan Surabaya yang gigih mempertahankan pusat kotanya. 

Tentara Mataram pun kembali menebar teror kepada penduduk pinggiran Surabaya. Sawah dan ladang milik penduduk diporak-porandakan dengan maksud para penduduk yang tetap bertahan segera menyerah seperti juga yang dilakukan oleh penduduk Sampang, Madura ketika mereka diserang Mataram beberapa waktu sebelumnya. Pertempuran dengan pihak Surabaya, mengutip De Graaf, “sudah sampai tingkat kritis. Sebanyak 80 ribu orang mengepung kota ini.” Karena alotnya pertahanan pasukan Surabaya, Mataram memilih untuk bersikap defensif sambil mencari akal untuk menyusun serangan mematikan kepada pihak Surabaya. Mereka pun mendirikan perkemahan di  sekitar Mojokerto sambil menunggu waktu tepat melancarkan serangan.

Tumenggung Mangun Oneng yang diberi mandat memimpin serangan ke Surabaya kali ini melancarkan taktik “bendungan Jepara” untuk menyumbat aliran sungai Brantas yang menjadi sumber air bagi penduduk Surabaya. Teknik pembendungan tersebut menggunakan berbatang pohon kelapa dan bambu yang diletakkan membentang di dasar sungai sampai dengan permukaannya. Setelah air tersumbat dan hanya mengalir sedikit saja, pasukan Mataram menceburkan bangkai binatang dan berkeranjang buah aren (latin: Arenga saccharifera). Bangkai menyebabkan air berbau busuk sementara buah aren menimbulkan gatal-gatal yang luar biasa hebatnya. 

Air yang tercemar itu menyebabkan penduduk Surabaya terkena wabah penyakit batuk dan gatal-gatal. Taktik yang mendatangkan penderitaan bagi rakyat Surabaya itu sampai ke telinga raja. Sebuah pertemuan digelar oleh kalangan istana Surabaya tapi raja terlalu malu untuk memaklumkan kekalahannya pada Mataram. Maka diutuslah Pangeran Pekik, putra sang raja, beserta seribu tentara Surabaya untuk menemui Tumenggung Mangun Oneng. Melalui Demang Urawan, surat maklumat kekalahan Raja Surabaya disampaikan kepada Tumenggung Mangun Oneng. Menurut catatan VOC sebagai mana dikutip De Graaf, Surabaya dinyatakan kalah pada 27 Okotober 1625. Sejak saat itu Mataram mulai mencengkeramkan kuku kekuasannya di Jawa Timur.



View the original article here



Peliculas Online

Minggu, 16 September 2012

Hukuman Kejam dari Sultan

Penjahat Aceh setelah tangan dan kakinya dipotong (Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 karya Anthony Reid); Kapten Melayu atau orang kaya (Sumatera Tempo Doeloe karya Anthony Reid). Ilustrasi: Micha Rainer Pali.

PADA 28 September 1571, kegaduhan terjadi di Kesultanan Aceh. Sultan Alau’ddin Ri’ayat Syah al-Kahar, yang berkuasa sejak 1539, baru saja wafat. Sultan ini sangat dihormati rakyatnya karena berhasil melindungi Aceh dari serangan Portugis dan menyusun Undang-Undang Dasar Negara, Dustur Negara.

Sepeninggalnya, tahta sultan dijabat oleh putranya, Ali Ri’ayat Syah. Pada masanya, timbul benih-benih perpecahan di kalangan keluarga kesultanan. Puncaknya terjadi setelah sultan ini wafat pada 1579. Konflik berdarah pun tak terhindarkan. Ini membawa Aceh ke dalam situasi tanpa hukum. Beberapa sultan kemudian mencoba mengembalikan hukum.

Sepanjang 1579, Aceh mengalami tiga kali pergantian sultan. Seorang anak berumur empat tahun, putra Ali Ri’ayat Syah, sempat memimpin Aceh meski tak lama. Dia terbunuh akibat konflik perebutan tahta. Penggantinya adalah Raja Seri Alam, putra Alau’ddin Ri’ayat Syah al-Kahar sekaligus adik Ali Ri’ayat Syah. Dia datang ke Aceh dari Pariaman (Sumatra Barat) menuntut penobatan dirinya sebagai sultan. Tuntutannya dipenuhi, tapi hanya bertahta dua bulan. Kekejaman dan perangainya yang jahat memicu pemberontakan rakyat yang digalang sebagian keluarga kesultanan. Dia tewas. Sultan penggantinya, Zainal ‘Abidin, memiliki riwayat yang sama: kejam dan kemudian tewas di tangan rakyat.

M. Djunus Djamil dalam Gadjah Putih Iskandar Muda, menyebut masa itu sebagai “zaman huruhara”. Wibawa kesultanan menurun, keamanan rakyat tak terjamin, para penjahat leluasa merampok harta rakyat, orangkaya (golongan bangsawan) memeras rakyat, dan hukum pun runtuh.

Situasi sedikit berubah ketika Alau’ddin Perak (dari Perak, Semenanjung Malaya) naik tahta pada 1580. Dia mengatasi kekacauan dan mengembalikan hukum di Aceh. “Beliau termasuk salah seorang yang sungguh-sungguh ikut memikirkan keselamatan Aceh dalam huru-hara itu,” tulis Djamil. “Dalam pimpinannya, keamanan telah pulih kembali.” Sayangnya, keadaan itu hanya bertahan enam tahun. Pada 1586, Alau’ddin Perak terbunuh akibat konflik dengan pembesar kesultanan.

Aceh kembali memasuki masa kekacauan hingga 1589. Setelah memasuki dasawarsa gelap itu, kesultanan secara perlahan kembali berwibawa, hukum mulai bertegak meski kesultanan cenderung absolut memasuki abad ke-17. “Aceh mengalami perkembangan baru,” tulis Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh Masa Iskandar Muda.

Iskandar Muda, Sultan Aceh yang berkuasa sejak 1607, berusaha menegakkan hukum secara keras, terutama berkaitan dengan pidana demi mengembalikan keberadaan hukum dan wibawa kesultanan. Dia melanjutkan usaha sultan dua periode sebelumnya, Alau’ddin Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil (1589-1604).

Sultan sebelum Iskandar Muda, Ali Ri’ayat (1604-1607), sempat menyeret kesultanan Aceh ke dalam konflik internal. Akibatnya, menurut Rusdi Sufi dalam Pahlawan Nasional Sultan Iskandar Muda, “Aceh menjadi kancah perampokan, pembunuhan, dan ketidakteraturan yang menyedihkan.”

Sebelumnya, pada masa Al-Mukammil, upaya penegakan hukum dilakukan, dari pidana hingga menyangkut soal moral, terutama perzinahan. Seorang perempuan bersuami yang terbukti berzina dapat dihukum mati atau dipotong hidung, kemaluan (jika laki-laki), dan telinganya, bahkan dilemparkan ke gajah. Francois Martin, pedagang Prancis yang mengunjungi Aceh pada 1602, menyatakan, “Itu adalah hukuman yang lazim. Pasangan yang berzina akan dilemparkan ke hadapan seekor gajah yang akan menginjak mereka sampai mati.” Catatannya diterbitkan pada 1604, lalu termuat dalam Sumatera Tempo Doeloe karya Anthony Reid.

Selain itu, Martin menulis bahwa sultan juga dapat menghukum langsung laki-laki yang melihat perempuan dan gajah miliknya. Hukumannya tak main-main. Mata dicungkil atau kemaluan dipotong. Sedangkan hukuman bagi pencuri adalah potong tangan.

Sultan Iskandar Muda menegakkan hukum agak berbeda dengan Al-Mukammil. Dia membagi pengadilan dalam empat kategori: pidana, agama, perdata, dan niaga. Tiap pengadilan itu mempunyai ketua dari kelompok masyarakat yang berbeda. Dalam pengadilan pidana dan perdata, misalnya, orangkaya menjadi ketuanya. Sementara itu, kadi (hakim dari kalangan agamawan) menjadi ketua dalam peradilan perdata dan niaga.

Uniknya, pembagian pengadilan ini sama sekali tak menghilangkan hak-hak istimewa sultan menghukum orang-orang bersalah seperti hak menusuk dengan galah, mempertontonkan seseorang yang dihukum mati dengan dijepit di antara dua batang kayu yang dibelah; menyayat daging seseorang; dan menumbuk kepala seseorang dengan sebuah alu (sroh).

Tak diperoleh keterangan yang cukup mengenai undang-undang khusus yang digunakan dalam pengadilan-pengadilan itu. Hanya keterangan mengenai hukuman dan pelaksanaannya yang banyak diketahui, terutama untuk pidana. Tapi, Anthony Reid dalam Dari Ekspansi Hingga Krisis menyatakan, “ada banyak bukti mengenai pelaksanaan syariah (Islam) atau hukum Allah.” Penerapan ini berlaku untuk kasus pencurian sesuatu yang berharga, paling tidak seperempat dinar, hukumannya potong tangan kanan dan kiri hingga kaki kanan dan kiri, tergantung berapa kali seseorang melakukan pencurian. Hingga 1688, hukuman ini masih diterapkan.

William Dampier, seorang penjelajah dan penulis asal Inggris, menyaksikan sendiri orang-orang yang tak punya tangan dan kaki karena kasus pencurian. Orang-orang ini menjadi pengemis dan banyak tersua di pasar-pasar Aceh pada 1688.

Dalam bukunya yang lain, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga, Anthony Reid menyebut praktik hukuman pemotongan tubuh untuk para penjahat ini melampaui ketentuan-ketentuan hukum Islam. Pemotongan tubuh ini terkadang meliputi hidung, bibir, dan telinga. Praktik ini kerap terjadi pada masa Iskandar Muda.

Tapi, menurut Rusdi Sufi, praktik ini berkembang sesuai situasi pada zamannya. Hal ini diperkuat oleh catatan Agustin De Beaulieu, pelaut Prancis yang mengunjungi Aceh pada 1621. Dalam catatannya, “Kekejaman Iskandar Muda” termuat dalam Sumatera Tempo Doeloe, dia mengutip pembelaan Iskandar Muda yang pernah menyaksikan Aceh menjadi surga untuk para pembunuh dan pembegal; tempat yang kuat menghancurkan yang lemah sehingga orang harus mempertahankan diri terhadap perampok bersenjata di tengah hari, dan orang harus membentengi rumahnya di malam hari.



View the original article here



Peliculas Online

Kamis, 13 September 2012

Penyulingan Anggur Tertua

Sebuah tempat penyulingan anggur berusia ribuan tahun ditemukan di Armenia.

SEBUAH tim peneliti gabungan dari Amerika, Armenia, dan Irlandia menemukan sebuah tempat penyulingan anggur tertua di dunia di kompleks gua Areni-1 di desa Areni, di selatan Armenia. Penemuan itu diumumkan Journal of Archaeological Science, 11 Januari.

Di dalam gua, tim peneliti menemukan sebuah tong fermentasi dalam ukuran besar (dengan kedalaman 60 cm) terkubur di sisi baskom tanah liat dengan diameter satu meter yang biasa digunakan untuk menginjak-injak anggur. Selain itu mereka juga menemukan gelas-gelas anggur, buah, kulit, dan biji anggur yang sudah layu. Di gua yang sama pada Juni 2010 ditemukan sepatu kulit pertama di dunia yang diperkirakan berusia 5500 tahun.

“Ini bukti paling awal dan paling bisa diandalkan tentang (proses) produksi anggur. Untuk kali pertama, kita memperoleh gambaran arkeologis lengkap tentang (proses) produksi anggur dari 6100 tahun lalu,” kata Gregory Areshian, wakil ketua penggalian yang juga Asisten Direktur Cotsen Institute of Archaeology UCLA.

Sebelumnya, pada 1963, para arkeolog menemukan sebuah tempat penyulingan anggur kuno di West Bank, Palestina. Tempat itu diperkirakan dibangun pada 1650 SM. Sementara pada 1996, tim arkeolog yang dipimpin Patrick E. McGovern, ahli kimia arkeologi dari Museum University of Pennsylvania, menemukan sisa-sisa anggur berusia 7400 tahun di desa Neolitik Hajji Firuz, di pegunungan Zagros bagian Utara Iran. “Namun saat itu, kami hanya mengetahui jumlah kendi anggurnya. Temuan terbaru ini adalah tempat penyulingan anggur tertua yang pernah ditemukan,” ujar McGovern.

Untuk menguji apakah tong dan kendi di gua Areni-1 digunakan untuk menampung anggur, anggota tim menganalisis pecahannya dan menemukan pigmen tumbuhan yang disebut malvidin. Maldivin biasanya menyebabkan warna merah pada anggur dan buah delima.

“Malvidin adalah indikator kimiawi terbaik dari keberadaan anggur yang kami ketahui. Karena tak ada sisa-sisa buah delima di area penggalian, kami yakin tong itu digunakan untuk menampung sesuatu yang dibuat dari sari buah anggur,” kata Areshian.  

Tempat penyulingan anggur itu diperkirakan memproduksi anggur untuk tujuan ritual. Di dekat gua ditemukan setidaknya 20 makam dengan delapan jenazah, termasuk seorang anak, seorang perempuan, dan tulang-belulang seorang laki-laki tua. Dalam sebuah bejana keramik ditemukan juga tengkorak tiga remaja. Di dalam dan di dekat kuburan ditemukan gelas-gelas minuman. Menurut Areshian, bisa jadi anggur diminum untuk menghormati atau menenangkan arwah, atau dipercikkan pada makam-makam itu.

Gua yang memiliki beberapa ruangan itu diperkirakan dipakai untuk ritual bagi orang-orang dengan status sosial tinggi. Para arkeolog menemukan kendi-kendi besar berisi buah-buahan yang dikeringkan seperti anggur, prune, kenari, dan almond.

Menurut Mitchell S. Rothman, antropolog dan ahli Chalcolithic di Widener University yang tak terlibat dalam tim itu, saat itu industri dan teknologi sedang berkembang. Ada kecendrungan orang untuk membuat perbedaan sosial. “Ritual, dalam hal ini, tak hanya menjadi cara untuk memuja para dewa. Orang-orang yang terlibat di dalamnya juga menjadi orang-orang istimewa,” ujar Rothman.

Menurut The New York Times, temuan tempat penyulingan anggur dan artefak lain dalam gua yang sama memberikan gambaran cukup lengkap tentang kehidupan manusia di Zaman Perunggu –disebut juga masa Calcolithic– ketika manusia mulai menciptakan roda, beternak kuda, serta membuat alat-alat dari logam dan batu.

Menurut Areshian, penemuan ini menjadi penting karena menunjukkan inovasi sosial dan teknologi yang amat berarti bagi kalangan masyarakat prasejarah. Bentuk pertanian baru, yang jauh lebih canggih dari sebelumnya, terlihat dalam proses penanaman anggur.

“Masyarakat saat itu harus mempelajari dan memahami siklus pertumbuhan tanaman anggur. Mereka juga harus memahami seberapa banyak air yang diperlukan bagi tanaman, bagaimana mencegah jamur yang dapat merusak panen, dan bagaimana menangani lalat yang biasanya hidup di buah anggur,” ujar Areshian.

Areshian menambahkan, penemuan ini memberi informasi berharga tentang fase paling awal holtikultura (seni berkebun) di dunia –tentang bagaimana masyarakat masa itu membuat kebun buah dan anggur untuk kali pertama. 

“Dari perspektif ilmu gizi dan kuliner, proses pembuatan anggur menambah persediaan makanan, dengan memproses anggur liar yang asam dan sebelumnya tak bisa dimakan,” ujar Naomi Miller, arkeolog University of Pennsylvania.

“Dari perspektif sosial, baik atau buruk, minuman beralkohol mengubah cara kita berinteraksi di dalam masyarakat.” [National Geographic/NY Times/AFP]



View the original article here



Peliculas Online

Selasa, 11 September 2012

Posisi Pandai Besi

Sumber: Repro Buku Keris Antik Wangkingan Kebo Hijau. Ilustrasi: Micha Rainer Pali.

ANN Dunham, antropolog Amerika Serikat dan ibu Presiden Amerika Barack Obama, terpaku heran melihat dua pembesar desa menunjukan sikap takzim pada perajin keris, Pak Djeno. Mereka berbicara dengan nada yang direndahkan. Kepala mereka seringkali menunduk ketika mendengar Pak Djeno berbicara. Tak seperti yang Ann kenal, sikap mereka berbeda; tak ada kelakar dan tawa dari mereka sebagaimana biasa. Dua pembesar itu menemani Ann yang sedang menyusun disertasi mengenai pandai besi di Indonesia. Pada 1988, Ann menyambangi desa di Sleman, Yogyakarta, untuk menambah bahan-bahan penulisan.

Sebelumnya, Ann tak tahu bahwa pandai besi memiliki posisi yang tinggi meski secara kelas sosial wong cilik. Dia baru tahu saat menatap rajah silsilah di dinding rumah Pak Djeno. Rajah itu menunjukan Pak Djeno sebagai generasi keempatbelas keturunan pandai besi Kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Ann terkesiap. Di tengah rasa kejutnya, Ann disodorkan beberapa keris oleh Pak Djeno. Dia memutuskan membeli salah satunya. Sikap dua pembesar desa terhadap Ann pun berubah. Kejadian ini dia tuangkan dalam disertasinya yang telah dibukukan, Pendekar-Pendekar Besi Nusantara.

Pandai besi telah ada sejak berpuluh abad lampau. Menurut arkeolog Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna, cukup banyak prasasti yang menyebut keberadaan mereka. Kala itu, mereka dikenal sebagai pandai wsi (besi).

Beberapa desa di Jawa Tengah seperti Tanggung dan Kedok dikenal sebagai asal pandai besi sedari abad ke-8. Mereka mengolah bijih besi yang terdapat di dekat tempat tinggalnya, terutama wilayah perbukitan. Dari sini terbentuk jejala industri besi rumah tangga. Di pasar, mereka menjual karyanya berupa pisau, parut, loyang, cetakan kue, dan alat-alat pertanian.      

Waktu itu, masyarakat Jawa menempatkan pandai besi pada posisi unik. Ada yang menganggap keahlian mereka tak lebih dari tukang sehingga status dan kelas sosialnya rendah. “Dalam beberapa naskah kesusastraan seperti Slokantara (abad ke-14) dan Agama Adigama, kelompok pandai dimasukkan ke dalam kelompok candala, yaitu kelompok masyarakat yang kedudukannya paling rendah,” tulis Titi.  

Naskah Tantri Kamandaka, yang ceritanya diabadikan dalam relief Candi Jago (abad ke-13) di Malang Jawa Timur, memuat hal-ihwal musabab masuknya pandai besi ke kelompok candala. Mulanya, seorang pandai besi terlibat pencurian. Seorang brahmana lalu menolongnya. Namun pandai besi itu bukannya berterimakasih, malah menimpakan tuduhan pencurian ke brahmana. Raja marah dan menghukum brahmana ke penjara. Beberapa lama, barulah raja tahu kisah sebenarnya. Brahmana dibebaskan dan pandai besi dijatuhi hukuman mati.

Di sisi lain, menurut Titi, pandai besi memiliki kedudukan penting dalam masyarakat. Keterangan itu antara lain tersua dalam salah satu prasasti masa Sindok (abad ke-9). Termaktub pula di dalamnya sebutan bagi mereka, ‘mpu’. Gelar ini tak mungkin disematkan jika mereka hanya menjadi kelompok rendahan.

Indolog CF Winter mengemukakan, kedudukan pandai besi dapat terlihat dalam penamaan Candi Prambanan. Dia menduga kata Prambanan berasal dari Parambanan atau Poerambanan, yang berarti empu Rombo atau Rombo sang pandai besi. Karena itu, dia berpendapat pandai besi berkedudukan tinggi. “Namun Winter tidak membahas hubungan yang barangkali cuma kebetulan belaka antara seorang pandai besi semacam itu dan candi dimaksud,” tulis Roy Joordan, “Candi Prambanan Sebuah Pendahuluan Mutakhir,” termuat dalam Memuji Prambanan.     

Sementara itu, menurut sejarawan Anthony Reid, keahlian mengolah besi dapat menjadi sarana penciptaan kekuasaan. “Pengerjaan barang-barang dari logam merupakan penciptaan kekuasaan, sebab alat-alat dari logam pertama-tama diperlukan untuk perang, baru sesudahnya untuk pertanian,” tulis Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga. Reid mencontohkan, cerita Ciung Wanara yang menyertakan pandai besi, dengan kekuatan magisnya, sebagai tokoh penting dalam perebutan tahta Kerajaan Galuh (abad ke-7-8).

Logam, khasnya besi, kerapkali dipandang sebagai simbol keteguhan dan kekuatan. Untuk mengolah besi, seseorang tak cukup hanya mempunyai keahlian kasar, tapi juga kehalusan batin agar besi tertempa sempurna. Tak heran, sebagian masyarakat kala itu menilai pandai besi menyimpan aura suci. Pada masa Majapahit, mereka dikumpulkan di ibukota untuk menjamin kekuatan perang balatentara Majapahit. Mereka dilindungi raja dan dijamin kesejahteraannya.

Ketika Majapahit perlahan runtuh, sebagian pandai besi memilih bertahan dan menurunkan keahliannya. Kelak, Kesultanan Demak dan Mataram menggunakan jasa mereka untuk memperkuat persenjataannya. Tak sedikit pula pandai besi yang menyebar ke wilayah pedesaan. Dua yang terkenal adalah kakak-adik, Empu Supo dan Empu Suro. Bersama pelarian lainnya, mereka menuju ke selatan lalu berhenti di sebuah hutan tak berpenghuni yang dirasa aman. Bangunan untuk tempat tinggal pun didirikan hingga tempat itu menjadi desa.

Empu Supo dan Empu Suro meneruskan usahanya membuat aneka pusaka besi seperti keris dan tombak. Pesanan mulai berdatangan. Penasaran, sejumlah orang segera mendatangi tempat itu yang kemudian disebut Kampung Pandean. Nama itu bertahan hingga sekarang untuk menyebut sebuah desa kecil di Umbulharjo, Yogyakarta. Keahlian mengolah besi pun lestari hingga kini pada segelintir penduduk. Beberapa di antaranya menisbatkan diri sebagai keturunan pandai besi zaman Majapahit. Status yang meninggikan mereka meski pekerjaannya dianggap kasar.



View the original article here



Peliculas Online

Sabtu, 08 September 2012

Perang Ayam

Di Bali, mengadu ayam pernah menjadi ritual keagamaan, perjudian, hingga simbol maskulinitas.

CLIFFORD Geertz tiba di sebuah desa kecil di Bali awal April 1958 bersama istrinya, Hildred Geertz. Sebagai antropolog, mereka bermaksud meneliti budaya dan masyarakat di sana. Pada hari ke-10 kunjungan, mereka pergi ke sudut desa yang tersembunyi. Di sana, puluhan orang telah berkumpul. Adu ayam tengah dihelat. Geertz dan istrinya menyaksikan dengan seksama. Tiba-tiba seseorang berteriak: “Polisi, polisi!” Orang-orang berlarian. Tak terkecuali Geertz dan istrinya.

Geertz menuangkan pengalamannya dalam karyanya “Deep Play: Notes on the Balinese Cockfighting”, termuat dalam Intrepetation of Cultures. Karya itu mengupas aspek antropologis adu ayam (tajen) di Bali. Geertz mengungkapkan, bagi kebanyakan lelaki Bali, tajen menjadi simbol maskulinitas. “Pada arena adu ayam, yang terlihat bertarung memang ayam, tapi ayam-ayam tersebut merupakan perwakilan dari kaum pria di Bali,” tulis Geertz. Namun polisi beranggapan lain. Tajen adalah judi. Kriminal. Jauh dari tujuan awalnya.

Dalam rentang sejarah Bali, adu ayam tercatat dipraktikan masyarakat Bali sejak abad ke-10. Prasasti Sukawana memuat keterangan ritual keagamaan (yadnya) yang mendasari tajen. Selanjutnya, dalam Prasasti Batur Abang (1011) terjabar keterangan terkait tajen. Menurut Andrik Hendrianto dalam “Perjudian Sabung Ayam di Bali”, tesis pada Universitas Indonesia, adu ayam tak memerlukan izin dari pihak berwenang seperti raja. Namun ritual ini tak boleh dilakukan serampangan. 

Kala itu, masyarakat memasang taji (tajen) atau benda tajam di kaki salah satu ayam jantan yang diadu. Untuk ayam lainnya hanya dipasangkan bambu atau kayu di kakinya. Pertarungan ayam dalam ritual itu disebut perang seta. Tujuannya agar ada ayam yang mati sehingga darahnya membasahi bumi.

Darah itu lalu dicampur dengan tiga macam cairan berwarna: putih (tuak), kuning (arak), dan hitam (berem). Percampuran ini sebagai simbol pengingat agar umat manusia menjaga keseimbangan bhuwana alit (manusia) dengan bhuwana agung (semesta). Ritual keagamaan ini disebut tabuh rah.

Adu ayam dalam Tabuh rah bukanlah tujuan utama. Adu ayam hanya menjadi salah satu cara menabuhkan (menuangkan) darah ayam. Dengan demikian, ayam sejatinya tak diadu sungguh-sungguh. Tabuh rah bisa dilaksanakan tanpa mengadu ayam. Sebagai gantinya, orang bisa langsung menyembelih ayamnya. Keterangan ini termuat dalam Prasasti Batuan (1022).

Meski di pedesaan adu ayam ditujukan sebagai ritual keagamaan, raja-raja di Bali memiliki hak istimewa menggelar adu ayam tanpa tujuan sakral. “Di pusat-pusat istana, hal itu merupakan hak istimewa raja sebagaimana acara-acara adu hewan lainnya,” tulis Anthony Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga. Mereka menghelat adu ayam untuk kesenangan pribadi –seringkali dengan bertaruh sesuatu– dan simbol kebesaran raja. Tak heran, ayam menjadi hewan kegemaran raja-raja di Bali. Keadaan seperti ini berlangsung pula di luar Bali, terutama di Jawa.

Di Jawa, adu ayam dapat dilacak melalui kisah-kisah sastra yang mengambil latar masa Kerajaan Jenggala (1042). Menurut Mariana Anggraeni dalam skripsinya pada Universitas Indonesia, “Hakikat dan Fungsi Permainan Sabung Ayam dalam Serat Jago”, kisah yang tersohor mengenai adu ayam dapat ditemukan dalam kisah Cindelaras.

Cerita Cindelaras menceritakan anak yang dibuang bersama ibunya ke dalam hutan. Ketika besar, dia ingin membuktikan bahwa dia anak raja terdahulu. Raja yang berkuasa, Raden Putra, tak lantas percaya. Raja mengajak Cindelaras mengadu ayam. Jika Cindelaras menang, barulah raja percaya. Sedangkan jika raja menang, Cindelaras harus dipancung.

Cindelaras tak keberatan. Keduanya mengadu ayam terbaiknya. Kala itu, tak sembarang orang bisa mempunyai ayam terbaik. Usai pertarungan, ayam Cindelaras keluar sebagai pemenang. Raja pun percaya. Kisah ini menggambarkan pertaruhan manusia. Ada yang dipertaruhkan dalam adu ayam di Jawa sejak berabad-abad silam. Lebih jauh, adu ayam masih menjadi permainan terbatas untuk kalangan raja dan orang tertentu.

Ketika kendali kerajaan-kerajaan di Bali dan Jawa mengendur akibat invasi Eropa, adu ayam mulai digemari masyarakat. Raja, bangsawan, dan kaum agamawan tak lagi memegang hak eksklusif atas adu ayam. “Pengawasan atas acara-acara demikian, oleh kerajaan, mungkin telah mengendur pada abad ke-18,” tulis Anthony Reid. Hingga seabad kemudian, adu ayam menjadi permainan rakyat dengan dibalut perjudian.

Catatan R. Friedrich, seorang cendekiawan Jerman yang mengunjungi Bali dalam 1846, agak berbeda. Dia menyatakan adu ayam masih merupakan bagian dari upacara keagamaan. “Selain perayaan-perayaan, ada juga adu ayam jantan yang tidak hanya dianggap sebagai hiburan oleh masyarakat, tetapi juga sebagai bagian dari upacara keagamaan,” tulis Friedrich dalam “Hindu Bali”, termuat dalam Bali Tempo Doeloe.

Memasuki 1900-an, unsur ritual keagamaan dalam adu ayam meluntur. Sebaliknya, sifat profannya menguat lantaran banyaknya masyarakat yang bertaruh. Acara ini tak lagi digelar di tempat umum atau sakral, melainkan di tempat-tempat tersembunyi. Pemerintah kolonial segera melarang adu ayam kecuali yang berizin dan ditujukan sebagai ritual keagamaan. Istilah sabung pun mulai muncul menggantikan perang seta. Sabung berarti pahlawan, jejaka, atau pemenang.

Louis Coperus, penulis novel terkenal De Stille Kracht (Kekuatan Tersembunyi), menggambarkan keadaan kacau tersebut pada 1921. “Pertarungan ini menjadi ajang perjudian yang melibatkan uang yang jumlahnya tentu saja tidak sedikit. Mata uang yang dipertaruhkan adalah ‘dollar’ alias koin yang umum dipakai di Bali pada masa itu.”

Setelah kemerdekaan, larangan terhadap sabung ayam dipertahankan. Polisi gencar melakukan razia para penjudi sabung ayam seperti diceritakan Geertz.



View the original article here



Peliculas Online

Jumat, 07 September 2012

Masa Gemilang Pattimang

Foto: Eko Rusdianto. Ilustrasi: Micha Rainer Pali

DESA Pattimang sedang bersolek. Gerbang utama kompleks situs pemakaman Datu Sulaiman dan Andi Patiware dicat ulang. Di kiri-kanan jalan dihiasi walasuji atau bambu yang dirajut dengan indah, hingga terlihat seperti pagar. Di depan gerbang utama itu, penduduk mendirikan bangunan dari atap daun sagu, seakan membungkus badan jalan, sebagai tempat melakukan manre sappera atau makan bersama sepanjang 1 kilometer.

Persiapan melakukan hajatan manre sappera itu berlangsung selama seminggu. Menghidangkan sekitar 110 jenis makanan tradisional dan dihadiri puluhan raja dari se-Nusantara.

Manre saperra merupakan ritual Datu Luwu untuk menunjukkan ikatan batin bersama rakyatnya. Makanan akan dihidangkan di atas kain putih panjang yang bersih sebagai wujud kebersihan hati dan kepudulian raja dan rakyat. Dan sebagai wujud tanggung jawab, Datu Luwu-lah yang kali pertama menyantap makanan namun paling terakhir disuguhi makanan.

Pemilihan lokasi di desa Pattimang, yang terletak 30 kilometer dari pusat kota kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan ini, bukanlah secara kebetulan. Ada pertimbangan sejarah dan budaya. Di Pattimang, ketika dipimpin Andi Patiware, Luwu mencapai puncak kejayaan.

Saat itu, Luwu memindahkan pusat kerajaan dari Ussu ke Pattimang pada abad ke-15. Pattimang merupakan daerah subur. Potensi pertaniannya berupa sagu sebagai makanan utama bisa menopang populasi besar. Sementara persediaan besi, emas, dan hasil alam dari hutan pedalaman  mudah dikapalkan melalui Sungai Baebunta dan Sungai Rongkong. Bahkan di sana ada industri senjata besi dan alat-alat pertanian. Pelabuhan utama di Cappasolo dibangun begitu megah, sehingga bisa dilalui kapal-kapal dengan tonase besar. Pengaruh Luwu begitu luas hingga kerajaan Wajo dan bahkan Bantaeng. Kerajaan Gowa dan Bone bersusah-payah keluar dari pengaruhnya.

Laporan arkeologis dari proyek OXIS (Origin of Complex Society in South Sulawesi) yang dilakukan arkeolog Universitas Hasanuddin Iwan Sumantri bersama David F Bullbeck (Australian National University) dan Bagyo Prasetyo (Pusat Penelitian Arkelogi Nasional) tahun 1998, kemudian dirangkum dalam buku Kedatuan Luwu, menyatakan bila pusat kerajaan masa itu sangat gemilang. OXIS menggambarkannya dari rumah raja yang begitu mewah dan anggun. Ini diperkuat dari hasil penggalian di Pattimang yang menemukan sebuah lubang pancang (post holes) untuk tiang rumah besar dengan panjang sekitar 5 meter.

“Saya kira itu sesuai dengan cerita dan tradisi lisan masyarakat Luwu kalau rumah itu sangat besar,” kata Iwan Sumantri. “Penggambaran mereka, kalau ada seekor anak ayam naik ke tangga rumah kerajaan, saat ayam itu turun tajinya sudah tumbuh panjang.”

Memasuki abad ke-16, muncul konflik di beberapa wilayah. Kerajaan-kerajaan yang berada dalam koloni dan bawahan Luwu mulai unjuk kekuatan. Christian Pelras dalam The Bugis menulis periode pertama kemunduran Luwu dimulai ketika memasuki 1500-1530. Wajo menyerang Luwu. Sebagai akibatnya, Luwu akhirnya mengakui Wajo sebagai “adik”, bukan lagi sebagai ata’ atau bawahan.

Di sisi lain Bone dan Gowa tumbuh sebagai kekuatan baru. Luwu meminta bantuan kerajaan Wajo untuk menyerang Bone, yang berakhir kekalahan. Payung kebesaran sebagai panji-panji kerajaan Luwu dan kebanggaan kerajaan ditahan oleh Bone. Supremasi Luwu benar-benar meredup.

Pada 1535 Gowa-Tallo secara mengejutkan menundukkan Bone. Mereka kemudian menyerang Luwu tepat di jantungya, yang membuat Luwu bertekuk lutut dan terpaksa menandatangani perjanjian dan pengakuan kekalahan dari Gowa.

Pada abad ke-17 dermaga utama di Cappasolo menjadi sepi. Pusat kerajaan Luwu berpindah dari Pattimang ke Ware (sekarang Palopo). Saat itu Luwu dikenal sebagai daerah netral karena menghindari perselisihan dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Secara spiritual, selama beberapa abad, Luwu yang sudah kehilangan wilayah kekuasaan dan pengaruhnya di Sulawesi Selatan tetap dianggap sebagai kerajaan mulia. Posisinya sebagai kerajaan pertama dan pusat mitos yang dikisahkan dalam epik I La Galigo memberinya peruntungan.

Ketika Abdul Makmur (Dato ri’ Bandang), Sulaiman (Dato ri’ Pattimang), dan Abdul Jawad (Dato ri’ Ditiro) –ketiganya orang Minangkabau yang belajar agama di Aceh– menyebarkan Islam atas perintah Sultan Johor, dakwah mereka mengalami pertentangan di Makassar. Akhirnya mereka menuju Luwu dan mengislamkan Andi Patiware pada 5 Februari 1605. Salah satu kronik Wajo mencatat bila para penyebar agama Islam menuju Luwu karena mengetahui kemuliaan yang sebenarnya berada di Luwu, meski kekuasaan berada di Gowa. 

Tapi kedamaian tersebut tak bertahan lama. Pada Oktober 1905 Belanda memasuki Palopo. Belanda akan membatalkan segala kebijakan istana yang merugikan mereka dan mewajibkan kerajaan memberikan hasil pajak. Sejak itu, Kerajaan Luwu seolah menghilang dari kancah politik di Sulawesi Selatan hingga menjelang 1930-an muncul seorang pemuda bernama Andi Djemma, Datu Luwu ke-29, yang melakukan perlawanan.

Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Andi Djemma membentuk Gerakan Sukarno Muda. Karena desakan Belanda, dia meninggalkan istana. Di Cappasolo, bersama Tentara Keamanan Rakyat yang hanya mengandalkan persenjataan minim, dia memimpin perang gerilya pada 23 Januari 1946, yang kemudian dikenang sebagai Hari Perlawanan Semesta Rakyat Luwu. Setelah sempat bersembunyi di Benteng Batu Putih, Sulawesi Tenggara, dia terpaksa menyerah dan diasingkan ke Ternate.

Budayawan Luwu, Anthon Andi Pangerang, mengatakan bila perayaan manre sappera untuk mengenang Andi Djemma sebagai wujud kecintaan dan pejuangannya kepada Indonesia. Nasar itu diucapkan di Cappasolo di masa revolusi bahwa jika Indonesia benar-benar merdeka, dia akan menggelar hajatan itu.

“Ini adalah cita-cita besar dan kami sebagai masyarakat Luwu, memiliki kewajiban untuk menunaikannya,” kata Anthon.

Setelah acara rampung Pattimang akan kembali sepi. Termpatnya memang terpencil. Akses kendaraan umum hanya sekali sehari. Kebesaran yang nyata dalam bentuk fisik di Pattimang hanya tersisa nisan makam Datu Sulaiman dan Andi Patiware yang terbungkus kain putih. Relif dan ukiran-ukirannya sudah tak tampak lagi. Ketika saya sedikit menyingkap kain itu, terlihat beberapa bekas pecahan.



View the original article here



Peliculas Online

Rabu, 05 September 2012

Memperebutkan Sang Ratu

Patung Ratu Mesir Nefertiti menjadi sumber perselisihan Jerman dan Mesir selama puluhan tahun. 

UNTUK kali kesekian Mesir meminta Jerman untuk mengembalikan patung Ratu Nefertiti berusia 3.400 tahun yang sejak 1913 berada di tangan Jerman. Patung itu ditemukan pada 1912 oleh arkeolog Jerman Ludwig Borchardt dalam sebuah penggalian di Mesir.

Ketua Dewan Agung Benda-benda Antik Mesir Zahi Hawass mengirimkan “permintaan resmi” kepada Ketua Yayasan Warisan Budaya Prusia Herman Parzinger di Berlin, 22 Januari lalu. Sebagaimana ditulis AFP, “permintaan resmi” itu didukung oleh Perdana Mesir Mesir Ahmed Nazif dan Menteri Kebudayaan Faruq Hosni.

Namun pemerintah Jerman, yang selalu menolak mengembalikan patung itu, bergeming.

“Permintaan itu bukan permintaan resmi. Permintaan resmi adalah sebuah permintaan yang dilayangkan pemerintah sebuah negara kepada pemerintah negara lainnya,” ujar jurubicara Kementerian Luar Negeri Jerman Andreas Peschke dalam sebuah rapat rutin pemerintah di Berlin. Dia menambahkan posisi Jerman “tak berubah dan tak baru.”

Yayasan Warisan Budaya Prusia membenarkan bahwa Prazinger menerima surat dari Hawass. Namun mereka juga mengatakan bahwa surat tersebut tak ditandatangani perdana menteri dan “bukan permintaan resmi dari Mesir.”

Mereka menambahkan, berdasarkan perjanjian pada 1912, artefak-artefak yang ditemukan dalam penggalian disusun dan difoto sebagaimana mestinya, menunjukkan secara jelas “keindahan dan kualitas” benda-benda itu, kemudian dibagi rata antara Jerman dan Mesir.

“Selain itu, benda-benda itu ditempatkan dalam kotak-kotak terbuka agar bisa diperiksa. Tak sewajarnya mengatakan ada pihak yang ditipu dalam masalah ini,” tulis Yayasan dalam sebuah pernyatan.

Nefertiti adalah permaisuri Raja Akhetanon yang hidup pada 1370-1330 SM. Bersama sang raja, Nefertiti dikenal karena keberhasilannya mengubah agama Mesir menjadi agama monoteis yang hanya memuja dewa matahari, Aton. Patung Nefertiti yang saat ini tersimpan di Neues Museum di Berlin menjadi salah satu ikon budaya penting bagi kota Berlin maupun Mesir Kuno.

Bloomberg.com menulis Mesir kali pertama meminta Jerman mengembalikan patung itu pada 1925. Jerman setuju mengembalikannya pada 1935 sebelum Adolf Hitler memutuskan patung itu tetap menjadi milik Jerman.

Berkali-kali Mesir meminta namun permintaan itu selalu ditampik Jerman dengan alasan patung itu diperoleh secara legal dan banyak dokumen yang bisa membuktikannya.

Pada 2009, misalnya, Mesir kembali melancarkan tuntutan. Muncul dokumen yang menunjukkan kemungkinan Ludwig Borchardt tak mengemukakan kepada para ahli Mesir tentang nilai sesungguhnya dari patung Nefertiti itu.

Spiegel Online pada Februari 2009 mengutip laporan Sekretaris Institut Oriental Jerman pada 1924 yang mencatat sebuah pertemuan antara Ludwig Borchardt dengan seorang pejabat senior Mesir. Dalam pertemuan itu kedua pihak sepakat membagi rata benda-benda antik hasil temuan tim Borchardt. Namun dalam memonya, sang sekertaris melaporkan bahwa Borhardt “ingin menyelamatkan patung itu untuk Jerman.”

Saat pejabat Mesir, Inspektur Benda-benda Antik Gustave Lefébvre memeriksa temuan tim Borchardt, patung tersebut dibungkus dalam sebuah kotak dan ditempatkan dalam ruang dengan cahaya temaram. Borchardt kemudian menunjukkan sebuah foto dan mengatakan kepada Lefébvre bahwa patung itu terbuat dari gipsum, padahal sebenarnya terbuat dari batu kapur.

Tak dijelaskan apakah Lefébvre mengangkat kotak tersebut untuk memeriksanya lebih seksama. Tapi menurut keterangan sang sekertaris, yang menyaksikan proses pembagian, “telah terjadi penipuan” karena pihak Jerman (dengan sengaja) melakukan minstintrepretasi bahan.

Yayasan Warisan Kebudayaan Prusia menolak anggapan itu. Dalam sebuah pernyataan pada 2009 pihak yayasan menyatakan Lefébvre-lah yang menafikkan arti penting artefak tersebut.

Institut Oriental Jerman mengakui keberadaan dokumen tersebut tapi juga menekankan bahwa tak ada aturan yang dilanggar. Sebagaimana dikatakan seorang jurubicaranya kepada Der Spiegel, “Nefertiti ada di urutan atas daftar pembagian. Orang yang memeriksanya seharusnya bisa melakukannya dengan lebih seksama… tuntutan terhadap persetujuan yang dicapai saat itu sungguh tak dapat diterima.” [AFP/ Der Spiegel/Bloomberg]



View the original article here



Peliculas Online

Senin, 03 September 2012

Para Prajurit Janda

Sumber: Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I. Ilustrasi: Micha Rainer Pali

KESULTANAN Aceh belum lama berdiri ketika Portugis menaklukkan Malaka pada 1511. Kesultanan ini secara bertahap menjadi kuat di semenanjung Sumatra pada paruh pertama abad ke-16. Kala itu, lada Sumatra laku keras di pasaran Tiongkok dan Eropa. Hubungan dengan pedagang dari pesisir laut merah pun segera terjalin. Ini membawa keuntungan bagi Kesultanan Aceh.

Portugis melihat itu sebagai ancaman, sementara sultan-sultan Aceh menilai Portugis sebagai lawan. Perang pun tak terelakkan. Aceh menyerang Malaka pada 1537, 1547, 1567, 1574, dan 1629. Dalam peperangan itu, Aceh menyertakan armada perempuan. Orang Portugis agak canggung dibuatnya. Tapi, tak ada pilihan: mereka harus berperang melawan para perempuan. Inilah tilas mula keperkasaan perempuan Aceh.

Kesertaan perempuan Aceh ditemukan dalam perang tahun 1567 walau belum berhimpun dalam kesatuan khusus. Jennifer Dudley, mahasiswi doktoral Universitas Murdoch, menyebut perempuan-perempuan itu bergabung ke dalam pasukan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar. “Mereka menemani suaminya berperang, sementara sisanya adalah janda atau tunangan dari prajurit yang gugur dalam perang sebelumnya,” tulis Dudley dalam “Of Warrior Women, Emancipiest Princesses, ‘Hidden Queens’, and Managerial Mothers.”

Bersandar kepada catatan yang ditemukannya, Dudley tak menampik peran perempuan dalam perang. Sebab, selama ini, kiprah prajurit perempuan dalam sejarah Indonesia lebih banyak bersandar pada mitos, bukan catatan sejarah. Dudley mengakui hal itu lantaran kurangnya sumber tulisan tepercaya tentang riwayat perempuan-perempuan Aceh. Dalam makalahnya, Dudley menggambarkan mereka “bertarung dengan berjalan kaki dan menunggang kuda atau gajah.” Namun, Dudley tak menerangkan dari mana keahlian itu diperoleh.

Keahlian perempuan Aceh berperang tersemai berkat pelatihan di akademi militer Kesultanan Aceh, Baital Makdis. Pendirian akademi ini tak terlepas dari bantuan Kesultanan Turki Usmani. Dua kesultanan ini merenda hubungan baik sejak paruh pertama abad ke-16, sehingga kemungkinan akademi itu didirikan pada kurun yang sama.

Walau tak menyebut kurikulum dan kapan pendiriannya, Ismail Hakki Goksoy, dalam “Ottoman-Aceh Relations According to the Turkish Sources”, makalah pada First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies, mencatat Aceh merekrut ahli militer dan pembuat senapan sejak 1530-an. Dia juga menyebut akademi ini meluluskan seorang perempuan Aceh, Kumalahayati.

Kumalahayati menjadi laksamana perempuan pertama saat Aceh berada di bawah kuasa Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukamil (1589-1604), yang menyerang Portugis di Teluk Aru, dekat Langkat. Tugas Kumalahayati adalah menghadang serangan Portugis setelah peperangan di Teluk Aru. Dia lalu membentuk kesatuan tentara perempuan bernama Inong Balee. Kesatuan ini terdiri dari sekira seribu janda prajurit Aceh yang gugur dalam perang itu.

Kumalahayati salah satu janda tersebut. Meski sedih, dia tak terus meratap; sebab perang belum berakhir. Armada Portugis masih berhimpun di Malaka untuk membalas serangan di Teluk Aru. Dia tak mau kematian suaminya sia-sia. Demi cintanya pada suami, Kumalahayati berlakon sebagai panglima dan jurulatih janda-janda itu.

Teluk Krueng Raya terpilih sebagai markas mereka. Di sana, mereka dilatih mengangkat busur, memegang senapan, menunggang kuda, mengendalikan gajah, dan, tak kalah penting, mengobarkan semangat cinta pada suami sebagai bekal berperang. Selain itu, markas mereka dilengkapi dengan kapal-kapal perang dan meriam.

Peran perempuan dalam kemiliteran Aceh tak terbatas pada pasukan perang. Sultan Muda Ali Riayat Syah V (1604-1607) dikelilingi oleh pasukan pengawal perempuan yang disebut Sukey Inong Kaway. Berbeda dari Inong Balee, anggota pasukan ini terdiri dari perempuan bersuami dan perawan. Mereka dipercayakan menjaga istana putri. Anthony Reid, pakar sejarah Asia Tenggara dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga, melihat gejala ini sebagai ketidakpercayaan sultan terhadap penjaga lelaki. Reid menyebut, “Pola ini tampaknya bersumber dari ketidakpercayaan yang dirasakan oleh kalangan raja terhadap setiap lelaki yang mendekati tempat tinggal putri-putri istana.”

Kepercayaan sultan-sultan Aceh pada prajurit perempuannya semakin terbukti dengan pengembangan Inong Balee. Iskandar Muda (1607-1636), sultan Aceh termashyur, mengambil sebagian anggota Inong Balee untuk masuk ke Kemala Cahaya, pengawal kehormatan istana. Sebagian besar adalah perempuan-perempuan berparas cantik. Mereka bertugas menerima tamu-tamu agung sultan. Menurut Ann Kumar, dalam Prajurit Perempuan Jawa, mengutip catatan Peter Mundy, pengelana Inggris yang melawat ke Aceh pada 1637, “para pengawal perempuan berjalan sambil mengusung panah dan busur.”

Menurut A. Hasjmy dalam 59 Tahun Aceh Merdeka, seusai masa Iskandar Muda, prajurit perempuan Aceh terus dibina oleh Sultanah Safiatuddin (1641-1675). Inong Balee, misalnya, tak lagi hanya berisi janda tapi juga perempuan bersuami atau masih gadis. Meski Kesultanan Aceh mengalami kemunduran jelang abad ke-18, peran prajurit perempuan Aceh tak lantas mengendur. Lawan Aceh, Portugis, yang juga mengalami kemunduran, digantikan oleh Belanda. Belanda harus mengalami perang serupa Portugis: menghadapi prajurit perempuan.

Hingga paruh pertama abad ke-20, kiprah perempuan Aceh dalam militer masih tersua. Beberapa nama kesatuan prajurit perempuan bisa disebut, semisal Sukey Fakinah pada akhir abad ke-19 dan Resimen Pocut Baren pada 1945. Dari epos panjang prajurit perempuan Aceh itu, keperkasaan tokoh-tokoh masyhur seperti Cut Nyak Dien dan Cut Meutia dapat terlacak.



View the original article here



Peliculas Online

Sabtu, 01 September 2012

Menyibak Subak

Subak tak semata aktivitas bertaut ekonomi, tapi juga sosial, hukum, dan agama.

KABAR gembira datang dari UNESCO, badan PBB yang menangani pendidikan dan kebudayaan. UNESCO menetapkan subak (organisasi pembagian air) dari Bali sebagai warisan budaya dunia. Keputusan ini menambah panjang daftar warisan budaya Indonesia yang diakui UNESCO. Sebelumnya, UNESCO mengakui keris, Candi Prambanan, angklung, dan karinding sebagai warisan budaya dunia.     

Kemunculan subak tak terlepas dari sistem pertanian yang diterapkan masyarakat Bali sejak berabad-abad lampau.

Beberapa arkeolog meyakini masyarakat Bali mengenal pertanian sejak awal abad masehi. Keyakinan itu berdasarkan temuan alat-alat pertanian kuno di Desa Sembiran, salah satu desa tertua di Bali, yang digunakan untuk menanam padi. Tapi para arkeolog belum mampu menjabarkan cara bertani dan irigasi masyarakat kala itu. “Hanya sebatas alat dan tanamannya saja informasi yang diketahui mengenai awal pertanian kuno di Bali,” tulis Ketut Setiawan dalam Subak, tesisnya pada Universitas Indonesia.

Keterangan tertulis mengenai praktik bertani masyarakat Bali kali pertama tersua dalam Prasasti Sukawarna yang bertitimangsa 882. “Di dalam prasasti itu ada kata ‘huma’ yang berarti sawah. Orang Bali sampai sekarang menggunakannya untuk menyebut sawah,” tulis Supratikno Raharjo dalam Sejarah Kebudayaan Bali. Kata “huma” kala itu lazim digunakan untuk menyebut sawah irigasi. Meski begitu, belum ada keterangan bagaimana pengelolaan irigasi pertanian.

Keterangan lebih jelas mengenai pengelolaan irigasi termuat dalam Prasasti Trunyan (891). Dalam prasasti itu tersua kata “serdanu” yang berarti kepala urusan air danau. Itu berarti masyarakat Bali mengenal sebentuk cara mengelola irigasi pada akhir abad ke-9. Tak heran Raharjo berkesimpulan bahwa masa ini dianggap sebagai awal kemunculan subak meski kata tersebut belum dikenal.

Kesimpulan ini diperkuat Prasasti Bebetin (896) yang ditemukan di Buleleng dan Prasasti Batuan (1022). Raharjo menulis, “Dua prasasti itu menjelaskan ada tiga kelompok pekerja khusus sawah, salah satunya ahli pembuat terowongan air yang disebut undagi pangarung.” Pekerja ini biasa dipakai dalam subak masa modern.

Kata subak dinilai sebagai bentuk modern dari kata suwak. Suwak ditemukan dalam Prasasti Pandak Badung (1071) dan Klungkung (1072). Menurut Setiawan, suwak berasal dari dua kata, “su” yang berarti baik dan “wak” untuk pengairan. Dengan demikian, suwak dapat diartikan sebagai sistem pengairan yang baik. Suwak itu telah berjalan di wilayah Klungkung. Wilayah yang mendapat pengairan yang baik disebut Kasuwakan Rawas. Penamaan itu tergantung pada nama desa terdekat, sumber air, atau bangunan keagamaan setempat.

Pembentukan kasuwakan tak lepas dari pengaruh agama Hindu yang dianut masyarakat setempat. Agama Hindu di Bali kala itu mengenal konsep Tri Hita Karana yang merumuskan kebahagiaan manusia. Pencapaian kebahagiaan hanya bisa tercapai melalui harmonisasi tiga unsur: parahyangan (ketuhanan), pawongan (manusia), dan palemahan (alam). Masyarakat percaya bahwa mereka harus bekerja mengolah tanah dan air, tapi kepemilikan dua unsur tersebut sejatinya berada di tangan dewa-dewi.

Karena itu masyarakat harus menjaga tanah dan air agar tetap berlimpah. Penguasaan dan keserakahan atas tanah dan air tak dapat dibenarkan. Jika melanggarnya, sanksi pengucilan bisa menimpanya. Konsep ini mewujud dalam kasuwakan. Sebagai ungkapan rasa syukur atas keberlimpahan tanah dan air, masyarakat mendirikan beberapa bangunan keagamaan seperti pura dan candi di dekat sawah. Beberapa pura bertitimangsa abad ke-9 ditemukan di beberapa sawah. Pura itu dipersembahkan kepada Dewi Sri (dewi pertanian dan kesuburan).

Ketika Majapahit menduduki beberapa kerajaan kecil di Bali pada abad ke-14, kasuwakan tak mengalami perubahan berarti. Padahal Majapahit tersohor punya sistem irigasi sawah sendiri, yang mengatur pembagian air untuk persawahan. Masyarakat Bali tetap menggunakan sistem pembagian air yang telah terbentuk tanpa campurtangan kerajaan Bali sekalipun. Dengan demikian, kasuwakan merupakan organisasi otonom di dalam desa atau banjar. Mereka mempunyai ketua (serdanu atau pekaseh), anggota, dan aturan (awig-awig) masing-masing.

Memasuki masa invasi Belanda di Nusantara, sistem ini tak tergoyahkan. Ketika daerah lain di Pulau Jawa takluk, kerajaan-kerajaan di Bali tetap merdeka. Keadaan ini ikut membantu suwak tetap bertahan. Beberapa penjelajah asing yang datang ke Bali justru memberikan pujian terhadap suwak. Alfred Russel Wallace, seorang naturalis tersohor dunia Timur, takjub dengan sistem irigasi di Bali. “Terhampar ladang padi yang subur, diairi dengan suatu sistem irigasi rumit yang juga dipakai di Eropa,” tulis Wallace dalam catatan hariannya ketika mengunjungi Bali pada 1856, dimuat dalam Bali Tempo Doeloe.

Pada abad ke-20, pemerintah kolonial ikut mendorong perkembangan subak. Mereka membangun bendungan-bendungan seperti Dam Pejeng (1914), Dam Mambal (1924), Dam Oongan (1925), dan Dam Sidembuntut (1926). Mereka ingin hasil sawah meningkat. Mereka tak mencampuri aturan-aturan internal subak.

Keberhasilan subak dalam panen terbukti melalui statistik hasil pertanian 1934-1981 yang dikeluarkan IPB. Bali selalu menempati posisi di atas Jawa dan Madura untuk hasil panen nasional. Keberhasilan itu mendorong pemerintah daerah membangun museum subak pada 1981. Turis di Bali pun mulai tertarik mengenal subak. Sayangnya, campurtangan pemerintah terhadap subak sejak 1981 sempat menurunkan hasil panen. Meski demikian, subak tetap terbukti mampu memberikan andil pada hasil panen dan kunjungan wisatawan di Bali. Lebih dari itu, subak tak sekadar praktik ekonomi, tapi juga sosial, hukum, dan agama.



View the original article here



Peliculas Online