Komunitas Tionghoa telah menancapkan pengaruhnya di negeri ini semenjak berabad lalu. Setitik nila tak semestinya merusak susu sebelanga.
SEJARAWAN Denys Lombard, melalui magnum opusnya Nusa Jawa Silang Budaya, memandang penting pengaruh komunitas Cina negeri ini. Pengaruh kebudayaan itu tersebar mulai gaya bangunan, pakaian, bahasa bahkan sampai makanan. Sebegitu dekatnya, sehingga tanpa disadari warisan budaya itu pun melekat erat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Seperti tak ada lagi batas.
Tahun ini boleh saja pemerintah Indonesia merayakan 60 tahun hubungan diplomatiknya dengan China, kendati usia itu tidak genap karena sempat terinterupsi selama kurang lebih 15 tahun di bawah zaman Orde Baru. Adalah fakta sejarah jika osmosis budaya Tionghoa ke dalam budaya Nusantara sudah terjadi semenjak ratusan tahun lalu.
Namun demikian selalu saja ada penilaian minor terhadap etnis minoritas ini, mulai dari soal penguasaan sumberdaya ekonomi sampai dengan gaya hidup ekslusif yang dilakoni mereka. Stereotipe tentang Tionghoa yang picik, culas, dan menghalalkan segala cara untuk mencari uang pun menyebar luas di kalangan warga pribumi. Padahal, sifat yang sama juga bisa jadi dimiliki oleh komunitas etnis lainnya di negeri ini, tak terkecuali pribumi sendiri. Stigma itu tentu tidak datang dengan sendirinya di dalam benak warga non-Tionghoa. Ada proses sejarah yang melatarinya.
Perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap warga Tionghoa dengan memisahkan mereka untuk tinggal di gheto-gheto tersendiri dipercaya menjadi sabab musababnya. Tapi bila merunut lebih jauh lagi, justru ada cerita tentang kebersamaan warga Tionghoa bahu-membahu dengan warga pribumi melawan Belanda, khususnya pascaperistiwa pembantaian 1740 di Batavia. Bahkan Sumanto Al-Qurtuby dalam bukunya Arus Cina-Islam Jawa mengajukan tesis kalau penyebaran Islam di Nusantara tak lain tak bukan berkat jasa para orang-orang Tionghoa.
Keharmonisan hubungan itu perlahan pudar seiring kebijakan pemerintah kolonial yang kemudian menempatkan warga Tionghoa, mengutip sejarawan Didi Kwartanada, sebagai minoritas perantara (Middleman Minority).“Golongan Tionghoa dimanfaatkan sebagai perantara ataupun “mesin pencetak uang”, baik oleh raja-raja maupun oleh penguasa kolonial,” tulis Didi dalam makalahnya, “Tionghoa dalam Dinamika Sejarah Indonesia Modern: Refleksi Seorang Sejarawan Peranakan.”
Dari sanalah peran warga Tionghoa dilembagakan; seakan ditakdirkan sebagai kelompok pedagang yang cuma bertugas menghasilkan uang dan bisa diperas sewaktu-waktu demi kepentingan ekonomi dan politik tertentu. Peran itu kembali dikukuhkan semasa Orde Baru. Hak-hak sipil warga Tionghoa dibatasi, namun sebagian kecil dari mereka, khususnya yang memiliki akses ke kekuasaan, mendapat peluang untuk menjalankan bisnis berbasis rente. Sungguh sebuah kebijakan yang ambigu.
Peran sejarah komunitas Tionghoa, seperti dalam bidang bahasa, sastra dan pers pun dilupakan. Komunitas Tionghoa yang identik dengan kegiatan dagang dan tuduhan komunis yang dilabelkan kepada mereka pascaperistiwa G.30.S menghapus sumbangsih mereka pada pembangunan bangsa ini. Salah satunya yang pernah dilakukan oleh Sin Po. Sebagai harian terkemuka yang direken berorientasi ke nasionalisme Tiongkok justru koran Tionghoa pertama yang berani menggunakan istilah Indonesia menggantikan istilah inlanders. Ang Jan Goan dalam memoarnya mengakui kalau tindakan itu bukannya tanpa akibat: Sin Po harus menanggung kerugian akibat pencabutan iklan pemerintah kolonial.
Pandangan miring lain yang juga dilabelkan kepada komunitas Tionghoa adalah cara mereka beradaptasi dengan situasi politik yang cepat berubah. “Pada zaman Belanda mereka bersikap pro-Belanda. Pada saat Jepang menjadi tuan, mereka berkawan dengan Jepang. Kemudian datanglah revolusi dan mereka bersikap baik kepada kita…Akhirnya yang bisa dikatakan hanyalah bahwa mereka ini adalah kaum oportunistis yang tidak bisa diperbaiki,” tulis Didi Kwartanada mengutip Abu Hanifah dalam Tales of a Revolution. Tak aneh jika istilah “cincai” kerapkali digunakan untuk menunjukkan sikap kompromi terhadap segala sesuatu yang bisa mendatangkan untung/keselamatan.
Seperti tak puas dengan stigmatisasi, penggunaan kata “Cina” pun kerapkali digunakan dengan tujuan insinuasi terhadap komunitas Tionghoa. “Padahal istilah itu bukan lahir dari warga keturunan Tionghoa sendiri,” ujar Eddie Lembong, mantan ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) yang kini mengelola Yayasan Nabil.
Eddie kemudian mengutip teks pidato pengukuhan guru besar Prof. Dr. A.M. Cecillia Hermina Sutami yang memberikan penjelasan bahwa kata “Cina” (Inggris: China), (Belanda: China/Chinees), (Jerman: Chinesische), (Perancis: Chinois) berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “daerah yang sangat jauh”. Kata “China” sendiri sudah disebutkan di dalam buku Mahabharata sekitar 1400 tahun sebelum Masehi. Istilah itu baru dibawa oleh bangsa-bangsa Barat yang mulai datang ke Nusantara sejak awal Abad ke-17. Eddie lebih cenderung kepada istilah Tionghoa. “Istilah Tionghoa jauh lebih tepat untuk digunakan karena sebutan itu datang dari kalangan Tionghoa sendiri,” kata pendiri sebuah perusahaan farmasi terkemuka itu.
Pada era feformasi, terutama saat Gus Dur memimpin negeri ini, angin segar perubahan pun berhembus semilir. Hak-hak sipil warga Tionghoa untuk menjalankan kegiatan kesenian dan kebudayaannya kembali pulih. Bahkan hari raya Imlek dijadikan libur nasional. Gus Dur memang benar. Minoritas Tionghoa adalah bagian dari “kekitaan” sebagai sebuah bangsa. Mereka memperkaya khasanah keberagaman negeri ini.
Kekayaan budaya Tionghoa adalah juga kekayaan negeri ini, kuliner salah satunya. Ada beragam macam menu makanan yang datang dari negeri nun jauh di sana yang kemudian tanpa kita sadari seakan makanan itu adalah produk budaya bangsa tanpa harus khawatir dikenakan royalti oleh negeri asalnya. Dan komunitas Tionghoalah mengenalkan itu semua. Bayangkan jika Anda harus membayar royalti untuk sepiring siomay yang Anda santap di sore hari.
Enampuluh tahun perayaan hubungan diplomatik Indonesia-China seyogianya jadi momentum untuk hubungan yang lebih erat, bukan hanya bagi kedua negara, melainkan pula buat saudara kita warga keturunan Tionghoa dan seluruh rakyat Indonesia apa pun warna kulit, agama, dan sukunya.
View the original article here
Tidak ada komentar:
Posting Komentar