Proses pemeriksaan DNA Tan Malaka masih berjalan. Akankah sisa-sisa kerangka Tan Malaka dimakamkan di Kalibata sebagai pengakuan dari pemerintah?
TAN MALAKA merupakan tokoh antikolonial yang mobilitasnya sangat tinggi. Selama 30 tahun dia melalang-buana, dari Pandan Gadang (Suliki) hingga Surabaya, dari Penang hingga Amsterdam. Dia selalu waspada karena bertahun-tahun jadi buronan intel. Polisi kolonial mengganjarnya dengan sebutan “jago menghilang”.
“Rupanya setelah meninggal pun kemampuan menghilang Tan Malaka tak berkurang sehingga DNA-nya sulit dicari,” canda sejarawan Asvi Warman Adam dalam konferensi pers laporan hasil pemeriksaan DNA atas kerangka yang diduga Tan Malaka di Wisma Shalom, Jakarta Pusat (9/1). “Dia tokoh yang mempunyai reputasi internasional, sehingga tampaknya DNA-nya pun harus diperlakukan secara internasional.”
Tim Identifikasi Tan Malaka, diwakili dokter spesialis forensik Djaja Surya Atmadja, menyatakan bahwa tim telah berkonsultasi dengan Dr Kim Soon Hee, pakar DNA dari National Institute of Scientific Investigation (NISI) Korea Selatan. Tim juga menghadiri dan membahas sampel DNA itu ke beberapa simposium seperti 3rd Asean Forensic Science (3rd AFSN) di Seoul, Korea Selatan, dan 19th World Meeting of the International Association of Forensic Sciences di Madeira, Funchal, Portugal.
Pada 17-21 Oktober 2011, salah seorang anggota tim mengikuti pelatihan New Frontiers in Forensic DNA dengan pengajar Prof Bruce Budowle dari University of North Texas, Amerika Serikat, dan Prof Angela van Daal dari Bond University, Gold Coast, Australia.
Pada kesempatan tersebut, dibahas metode baru ekstraksi sampel DNA yang dikenal sebagai LCN (Low Number Copy), yang cocok diterapkan pada kasus Tan Malaka. Dengan teknik LCN, sampel yang sulit diekstraksi seperti tulang, gigi dan jaringan yang sudah diformalin, akan dapat dilakukan secara efektif dengan hanya menggunakan bahan sampel yang sedikit saja (100-200 mg tulang atau gigi). Metode ini amat menjanjikan. Pemeriksaan DNA Tan Malaka dengan metode LCN kemungkinan akan dilakukan di Australia.
“Saat ini pemeriksaan bahan sisa sampel kerangka di Selopanggung sedang dalam proses analisis LCN,” kata Djaja. “Kami memperkirakan pemeriksaan tak akan berlangsung lama. Tapi untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan pemeriksaan ulang, kami perkirakan hasil akhirnya muncul awal November 2012.”
Pemeriksaan kemungkinan akan menghasilkan tiga kesimpulan akhir. Pertama, inkonklusif, yaitu tak ada DNA (body bog), atau ada DNA tapi profil Y-STR (DNA inti yang diturunkan secara total dari seorang ayah kepada semua anak laki-lakinya) tidak ada. Kedua, konklusif, yaitu ada DNA, seluruh profil Y-STR didapat dan sesuai dengan DNA Zulfikar Kamarudin, keponakan Tan Malaka. Dan ketiga, positif lemah, yaitu ada DNA, hanya ada sebagian profil Y-STR yang keluar dan sesuai dengan DNA Zulfikar.
“Proses pemeriksaan secara medis masih berjalan dan kita masih harus menunggu,” kata Asvi, “Tapi dari segi sejarah sudah selesai. Narasi sejarah sudah tuntas. Karena kalau bicara sejarah, kita bicara kisah seseorang dari lahir hingga meninggal, dan ini sudah jelas semua.”
Sejarawan Harry Poeze sudah meneliti selama 30 tahun dan berdasarkan temuan terbaru terbukti bahwa Tan Malaka ditembak mati. “Lokasi, tempat, waktu, dan pelaku eksekusinya jelas,” ujar Asvi. “Saya pribadi berpandangan agar keluarga memutuskan memindahkan makam Tan Malaka di Selopanggung ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.”
Penggalian Tokoh Nasional
Menurut Asvi, penggalian makam seorang tokoh nasional ini bukanlah yang pertama. Pada 1975, Sekretaris Jenderal Departemen Sosial Rusiah Sardjono memimpin langsung penggalian di pertambangan Bayah, Banten Selatan, untuk menemukan jenazah shodanco Supriyadi, komandan Pembela Tanah Air (PETA) Blitar yang berontak terhadap Jepang. Pada tempat yang ditunjukkan saksi tak ditemukan apa-apa.
Penggalian kemudian dilanjutkan ke situs sekitar dan menemukan kerangka seseorang yang kemudian dibawa ke Yogyakarta untuk pemeriksaan oleh tim forensik Fakultas Kedokteran UGM. Waktu itu belum dilakukan tes DNA, tapi berdasar pemeriksaan forensik tidak terdapat kecocokan antara kerangka tersebut dan ciri-ciri yang disebutkan pihak keluarga. Meski hasilnya nihil, pemerintah selanjutnya menetapkan Supriyadi sebagai Pahlawan Nasional pada 1975.
Lebih ironis lagi, lanjut Asvi, pemakaman Otto Iskandar Dinata. Menurut keterangan resmi pemerintah, Otto dibunuh oleh Laskar Hitam di Pantai Mauk, Tangerang, pada 20 Desember 1945. Saat itu Otto, yang dijuluki “Jalak Harupat” oleh Laskar Hitam, masih menjabat menteri negara yang membidangi keamanan. Peristiwa pembunuhan Otto baru diketahui pada 1949 dan jenazahnya tak pernah ditemukan.
“Pemerintah Jawa Barat lantas mengambil pasir di Pantai Mauk, membungkusnya dengan kain kafan, kemudian dimakamkan di Pasir Pahlawan, Lembang, Bandung Barat, sebagai simbol,” kata Asvi. Pemerintah Orde Baru mengangkat Otto sebagai pahlawan nasional pada November 1973.
“Ini memperlihatkan bahwa negara membutuhkan situs peringatan,” tegas Asvi.
Asvi berpandangan akan lebih baik jika sisa-sisa kerangka Tan Malaka dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Selama Orde Baru Tan Malaka tak dianggap sebagai pahlawan nasional, bahkan namanya dihilangkan. Jika dimakamkan di Kalibata, ini akan menjadi semacam pengakuan dari pemerintah bahwa dia adalah pahlawan nasional dan disemayamkan pada tempat yang layak.
View the original article here
Tidak ada komentar:
Posting Komentar