Kamis, 21 Juli 2011

Catatan Sejarah Hancurnya Majapahit


HJ. De Graaf dan Th. Pigeaud dalam bukunya Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI (terjemahan Grafiti Pers), memberikan beberapa keterangan yang menyoalkan atas permasalah hancurnya Majapahit. Tulisannya mengupas beberapa peristiwa yang mungkin luput dari pandangan kita. Apa pun tulisan mereka hanya sebuah kecenderungan dari pola pikir yang terbentuk atas data-data yang mereka temukan dan mereka nilai benar.
Menurut cerita rakyat Jawa, tahun kejadiannya adalah 1487 M. Diambil dari kalimat terkenal Sirna Ilang Kertaning Bhumi = Musnah Hilang Keagungan Negeri = 1400 J = 1487 M, yang dipercaya sebagai tahun keruntuhan Majapahit. Tapi kedua ilmuwan Belanda tersebut mendapatkan bukti-bukti yang berbeda.
Kerajaan Majapahit ternyata tidak runtuh di tahun 1487 M. Meksi begitu, tahun itu ternyata bukan tahun yang tidak penting. Pada tahun itulah raja pertama Demak mulai memerintah. Di catatan-catatan Jawa dia disebut dangan nama Raden Patah (dari kata Arab: Al Fatah, “kemenangan gemilang”).

Dari gelarnya, yaitu raden, dapat diduga ia bertalian darah dengan penguasa lama. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah anak Raja Majapahit terakhir, yaitu Brawijaya. Sedangkan ibunya adalah selir raja, seorang wanita Cina muslim. Tempat kelahirannya adalah Palembang. Konon ibunya dalam keadaan mengandung ketika `dihadiahkan’ kepada gubernur kesayangan Raja di Sumatera selatan itu. Tapi cerita ini berbeda dengan dokumen-dokumen lainnya. Menurut catatan orang Eropa, nama penguasa Demak pertama itu adalah Pate Rodim (Sr.) . De Graaf memperolehnya dari buku Summa Oriental tulisan Tome Pires, seorang duta Portugis dari Malaka yang mengunjungi Jawa pada awal abad XVI. Ilmuwan Belanda itu memperkirakan nama sang penguasa sebenarnya mungkin adalah `Kamaruddin’ atau `Badruddin’. Dari buku yang sama dan juga dari dokumen Kerajaan Banten, didapatkan bukti bahwa raja Demak tersebut bukanlah keturunan Raja Majapahit. Di dokumen kerajaan Banten, ia disebut dengan nama Arya Cucu Sumangsang. Ia adalah keturunan patih raja (gubernur) Demak bernama Cek Po Ko yang beretnis Cina. Sedangkan penguasa Demak pada waktu itu adalah bawahan Majapahit bernama Lembu Sora. Mungkin ia yang bergelar Kertabhumi.

Meskipun hanya menjabat sebagai patih penguasa daerah bawahan, ia sangat berjasa kepada Raja Majapahit. Cek Po Ko-lah yang memimpin ekspedisi militer penghukuman atas Palembang dan Cirebon yang membangkang. Menurut aturan, yang menjadi panglima seharusnya adalah Lembu Sora/Kertabhumi. Rupanya ia mendelegasikan wewenang kepada patihnya. Pada waktu ekspedisi itulah konon anak Cek Po Ko dilahirkan.

Entah dengan cara mengawini putri penguasa setempat atau dengan cara membunuh raja bawahan itu, pada akhirnya anak Cek Po Ko marak menjadi penguasa Demak. Dan ternyata, Raja Majapahit tidak melakukan tindakan apapun atas penyimpangan itu. Ada beberapa kemungkinan mengapa Raja mendiamkan, yang berarti mengesahkan, kejadian itu. Pertama mungkin karena jasa-jasanya yang besar kepada Raja. Mungkin juga pada tahun-tahun itu kekuatan militer Majapahit sudah sedemikian lemahnya. Atau bisa jadi Raja mendapatkan keuntungan dengan adanya pengambilalihan kekuasan di Demak itu. Mungkin juga gabungan ketiga penyebab itulah yang menjadi dasar sikap lembek pemerintah pusat.

Berdasarkan dokumen Majapahit yang paling dapat dipercaya, penguasa tertinggi Majapahit saat itu adalah keturunan cabang keluarga Raja yang ada di Kediri. Cabang keluarga ini lebih muda dan sebenarnya tidak berhak menduduki tahta. Cabang keluarga yang sebenarnya lebih berhak, karena lebih senior, adalah cabang Sinagara.

Salah satu keturunannya adalah Lembu Sora atau Kertabhumi yang berkuasa di Demak. Raja mendapatkan keuntungan karena `saingan potensial’ itu sudah tersingkir. Istilah Jawanya: Raja melakukan `nabok nyilih tangan’ = memukul dengan cara meminjam tangan orang lain.

Ternyata, pemerintah pusat Majapahit salah melakukan perhitungan politik. Membiarkan kejadian di Demak ternyata membuat turunnya wibawa Raja di mata penguasa-penguasa daerah lain, terutama penguasa-penguasa yang mulai beralih beragama Islam. Insiden Demak membuktikan dengan nyata : Majapahit yang dulu perkasa, sekarang sudah tidak bergigi lagi. Contoh yang paling jelas dilakukan oleh penguasa Giri-Gresik. Tanpa ragu ia memplokamirkan diri menjadi raja (merdeka) lengkap dengan gelar : Prabu Satmata. Inilah awal keruntuhan Majapahit. Akan tetapi jelas bahwa Majapahit tidak ambruk di tahun 1487 M itu. Kerajaan Majapahit, meskipun lemah, masih berdiri sampai berpuluh-puluh tahun kemudian.

Bukti nyata keberadaan Majapahit di tahun-tahun setelah 1487 M ada di buku Summa Oriental itu juga. Di sekitar tahun 1513 M, penulis buku itu mengunjungi Tuban. Ia sebagai wakil penguasa baru atas Malaka, diterima dengan baik. Tuan rumahnya bernama Pate Vira. Kemungkinan besar adalah Adipati Wilwatikta, penguasa Tuban waktu itu. Meskipun beragama Islam, ia masih mengaku sebagai bawahan Raja Hindu di Daha di pedalaman Jawa timur. Daha adalah sebutan lain dari Kediri.

Karena yang sedang berkuasa di Majapahit saat itu adalah cabang keluarga Kediri, De Graaf dan juga ahli sejarah lain, tidak bisa tidak, harus menafsirkan Daha atasan Tuban sebagai Kerajaan Majapahit. Bukti lainnya juga menguatkan. Menurut Tome Pires juga, nama sang Raja adalah Vigiaja. Tentu, ini adalah lidah Portugis untuk menyebut (Bra) Wijaya. Dan mahapatihnya bernama Gusti Pate.

Menurut catatan-catatan Jawa nama sebenarnya adalah Patih Udara atau Mahudara atau Amdura. Patih itu sangat terkenal dan ditakuti di penghujung senja Majapahit. Patih ini juga yang memberi gelar penguasa Surabaya sebagai ‘Jurupa Galagam Imteram’. Ini adalah ejaan Portugis untuk gelar Jawa: ‘Surapati Ngalaga Ing Terung’. Nama penguasa Surabaya itu sebelumnya adalah Pate Bubat. Gelar itu diberikan atas jasa militernya membendung serangan orang-orang Islam dari Jawa tengah.

Babad-babad Jawa juga menyebut-nyebut orang ini. Adipati Terung mula-mula adalah pembela Majapahit yang gigih, meskipun ia sudah beragama Islam dan mungkin keturunan Cina juga. Konon dialah yang berhasil membunuh Penghulu Rahmatullah, ayah Sunan Kudus, Panglima Demak penyerbu Majapahit.
Tetapi kemudian ia (atau penggantinya) berbalik menjadi musuh Majapahit di kemudian hari. Tahun keruntuhan Majapahit kemungkinan besar adalah 1527 M.

Menurut dokumen Kerajaan Demak, pada tahun itulah Demak menaklukkan Kediri. Dengan alasan yang sama, bahwa penguasa Majapahit adalah cabang keluarga Kediri, berarti yang ditaklukkan tahun 1527 M itu tidak lain dan tidak bukan adalah Majapahit. De Graaf juga menemukan bukti (tidak langsung) lain. Di tahun 1529 M, Raja Muda Portugis di Malaka menerima perutusan dari Kerajaan Belambangan lewat pelabuhan Panarukan. Karena selama berabad-abad Belambangan adalah wilayah Majapahit, dengan merdekanya wilayah itu, berarti Kerajaan atasannya sudah tidak ada lagi.

Yang berkuasa di Demak pada waktu itu bukan lagi penguasa pertamanya, melainkan penguasa ketiganya. Di buku Tome Pires, dia disebut dengan nama Pate Rodim (Jr.). Di buku-buku Jawa, dialah raja Demak yang paling lama berkuasa : Sultan Trenggana. Ia menggantikan abangnya yang hanya memerintah sebentar, Pangeran Sabrang Lor atau oleh orang Portugis disebut dengan nama Pate Unus dari Jepara. Orang inilah yang berusaha memerangi Portugis di Malaka di tahun 1511 M.

Keduanya adalah putra penguasa Demak pertama. Panglima Angkatan Bersenjata Demak pada waktu penaklukan Majapahit adalah Sunan Kudus. Ia adalah anak sekaligus pengganti panglima yang terbunuh dalam perang sebelumnya. Tokoh ini, dalam cerita-cerita Jawa, dikenal sebagai salah satu dari Wali Sanga. Mereka diyakini sebagai penyebar agama Islam mula-mula di tanah Jawa. Mereka juga diakui sebagai penasihat ahli untuk Raja Demak yang bersidang secar rutin. Cerita-cerita yang beredar sangat fantastis, penuh dengan mukjizat dan kesaktian (kecakapan militer) individu.

Menurut dokumen yang paling terpercaya, mereka sebenarnya mula-mula menjabat sebagai Imam (penghulu) Masjid Raya Kerajaan Demak. Pada jaman itu, ternyata para Imam diberi kewenangan untuk membentuk korps militer tersendiri. Nama kesatuannya adalah Suranata. Anggota pasukannya berasal dari komunitas orang alim yang dipimpin sendiri oleh sang Imam. Tidak diketahui dari mana sumber pembiayaan untuk senjata dan pelatihan militer lainnya. Mungkin dari amal jariah jamaah masjid seperti yang lazim sampai sekarang ini, atau mungkin juga dibiayai langsung dari kas kerajaan.Yang pasti, mereka dikenal sangat militan dalam membela dan mendakwahkan agama Islam.

Di negeri yang baru masuk Islam, tentu tidak aneh jika semangat mereka dalam berdakwah meluap-luap. Medan untuk berjihad terhampar luas di depan. Mereka berharap mendapatkan pengikut yang sebanyak-banyaknya dari orang Jawa yang masih kafir. Dengan demikian perluasan wilayah Islam menjadi terlaksana dengan sukses. Kematian bukan hal mengerikan bagi mereka. Mati di ladang jihad, syurga imbalannya. Tidak heran jika legiun Suranata sangat ditakuti dimana-mana.
Dengan latar belakang kekuatan yang dimilikinya itulah, Sunan Kudus berkarier di bidang militer Kerajaan Demak. Dan prestasinya tidak tanggung-tanggung : meruntuhkan kerajaan kafir kuno Hindu Jawa Majapahit. Keberhasilannya adalah menyingkirkan rintangan terbesar (menurut orang-orang Islam baru itu) dalam menjalankan perintah Tuhan di bumi Jawa. Dengan ambruknya pembela kekafiran, jalan menuju pengislaman di bekas wilayahnya menjadi semakin lapang.

Fragmen kekalahan Majapahit itu direkam dengan jeli oleh para pencipta reyog Panaraga. Raja Majapahit digambarkan sangar seperti macan, tetapi suka bermegah-megah seperti merak. Pekerjaannya hanya lenggang-lenggok tanpa tujuan jelas. Para komandan militernya (warok) hanya bisa mendelik marah-marah karena para prajurit anak buahnya ternyata lemah gemulai (diperankan oleh para gemblak, pemuda yang cantik-cantik) . Kebanci-bancian dan tidak tangkas bertempur seperti pada umumnya tentara dimana-mana. Apalah artinya komandan yang pintar tanpa para buah yang trengginas. Pada akhirnya, kepala sang raja diduduki oleh anak kecil : Kerajaan Majapahit yang dulu jaya dikalahkan oleh Kerajaan Demak yang belum lama berdiri.

Faktor lain yang mungkin mempengaruhi jalannya pertempuran adalah digunakannya senjata berteknologi tinggi pada waktu itu oleh pasukan Demak : meriam berpeluru besi. Memang ada spekulasi yang mengatakan bahwa sebenarnya Majapahit juga memiliki senjata api sejenis meriam. Namun yang dilontarkan meriam Majapahit bukan proyektil besi, melainkan bahan kimia yang menimbulkan ledakan saja, hanya mirip mercon yang dilontarkan. Teknologi ini jelas tertinggal jauh dibandingkan dengan meriam Demak yang sanggup meruntuhkan tembok dan menjebol pintu gerbang perbentengan. Demak juga berpengalaman berhadapan dengan ampuhnya meriam (Portugis) pada waktu berusaha mengepung Malaka.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa Demak sanggup membuat atau membeli meriam yang setara dengan milik kapal-kapal Portugis itu.

Menurut catatan Eropa, Demak memiliki tawanan perang seorang Portugis yang kemudian masuk Islam. Pekerjaan orang ini adalah membuat meriam untuk Raja. Salah satu hasil karyanya dipakai oleh Panglima Demak Wilayah Barat untuk menaklukkan Banten. Meriam ini kemudian dipajang di depan istana barunya di Banten. Sekarang meriam itu masih ada dan disimpan di Museum Nasional Jakarta dan diberi nama Ki Amuk.

Pribadi Sang Panglima Demak Wilayah Barat Syarif Hidayatullah juga bisa dijadikan bukti kepemilikan meriam itu. Ia kelahiran Pasai. Ia pasti sangat terkesan dengan daya rusak meriam Portugis yang meluluh-lantakkan negerinya. Kemudian ia pergi berhaji ke Mekah. Di pusat komunitas muslim itu tentu ia mendengar berita digunakannya meriam-meriam Kesultanan Turki Usmani yang menggentarkan penguasa-penguasa di Kairo, Jerusalem, Konstantinopel, Athena, Beograd, Bucharest, Budapest, bahkan sampai ke Wienna. Bukan tidak mungkin disana dia berusaha untuk mempelajari pembuatan meriam berikut strategi penggunaannya.

Ditemukan juga faktor non-militer sebagai penyebab kalahnya angkatan perang Majapahit itu. Dalam upaya bertahan, ternyata Majapahit (bersama Pajajaran) melakukan manuver politik dengan menawarkan koalisi kepada Portugis, penakluk Malaka. Majapahit melakukannya dengan perantaraan penguasa Tuban. Perkembangan ini tentu tidak disenangi oleh kaum muslim di Jawa tengah. Si kafir Hindu hendak meminta bantuan kepada kafir Portugis. Lengkap sudah faktor yang bisa membangkitkan semangat orang-orang Islam dalam membasmi kekafiran. Padahal Raja Majapahit tidak pernah (atau tidak sanggup) menghalang-halangi atau memusuhi penyebar Islam di wilayah negerinya. Legenda tentang Wali paling senior, Sunan Ampel, menunjukkan bahwa ia diterima dengan baik di istana. Mungkin juga karena masih keponakan permaisuri, Putri Champa. Malah ia diberi tugas memimpin masyarakat baru muslim di Surabaya. Bahkan makam-makam tua di Tralaya membuktikan bahwa para bangsawan Majapahit sudah ada yang menganut Islam sejak jaman Prabu Hayam Wuruk.

Di samping kisah wali-wali lain, riwayat tentang Sunan Kudus banyak dijumpai dalam cerita-cerita Jawa yang beredar luas. Konon ia berdarah Arab, dan dari garis ibu masih merupakan keturunan Sunan Ampel. Namanya yang sebenarnya adalah Jafar Sidik. Disamping menjabat sebagai Imam Masjid Raya Demak, ia juga berdinas di angkatan bersenjata Demak menggantikan ayahnya yang terbunuh. Ayahnya hanya dikenal dari nama anumertanya: Penghulu Rahmatullah, artinya yang dirahmati oleh Allah.

Cerita dan babad Jawa menceritakan tokoh ini dengan karakteristik khas: keras dan tidak kenal kompromi. Dalam menegakkan syariah, ia tidak segan-segan menggunakan kekerasan, bahkan melakukan pembunuhan-pembunuhan. Sama sekali tidak pernah terdengar dia mau mengkompromikan keyakinannya dengan budaya setempat ketika masih menjadi pejabat tinggi di Kerajaan Demak. Tindakannya melarang penyembelihan sapi, (dalam rangka menghormati kepercayaan Hindu yang masih dianut luas) dilakukan setelah ia menetap di kota Kudus. Demikian juga dengan perintahnya dalam pembangunan Menara Masjid Kudus yang terkenal itu. Dia melakukan semua itu setelah disingkirkan dari lingkungan kekuasan di ibukota Demak.

Berbeda dengan Sunan Kalijaga misalnya. Sunan ini berasal dari golongan elite waktu itu. Ayahnya adalah Adipati Wilwatikta dari Tuban. Nama kecilnya adalah Raden Said. Setelah lama menjadi penjahat, akhirnya dia insyaf dan menjadi orang baik-baik. Sebagai Wali yang asli Jawa, metoda dakwahnya berbeda dengan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga menggunakan kearifan lokal dalam mengajak rakyat Jawa yang masih Hindu-Budha ke agama Islam. Tujuannya adalah menghindarkan sejauh mungkin gejolak penolakan di masyarakat. Dia banyak melakukan adaptasi-adaptasi budaya Jawa agar cocok dengan nilai-nilai keislaman.

Gending dan wayang yang semula kesenian sakral bagi agama lama, dipergunakannya sebagai media dakwah yang sangat efektif. Sebagian kalangan menganggap bahwa metoda Sunan Kalijaga-lah yang berhasil mengislamkan Jawa. Tetapi tidak sedikit yang menganggap bahwa ajarannya menyesatkan. Ia dianggap merusak akidah. Metodanya mencampuradukkan ajaran Islam yang suci yang berasal dari Allah dengan ajaran agama lain, bahkan dengan kebudayaan Jawa yang hanya hasil kreasi manusia. Jadinya adalah Islam Kejawen yang menyimpang jauh dari ajaran Islam murni dari Arabia.

Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga hidup sejaman. Tidak tercatat adanya konflik kepentingan atau bentrok fisik antara kedua Wali itu. Namun keputusan Sultan Trenggana menunjukkan kapada Wali siapa Kerajaan Demak berpihak. Jafar Sidik akhirnya digantikan oleh Kalijaga sebagai Imam Masjid Raya sekaligus penasehat raja. Jafar Sidik diberi wilayah tersendiri : Kudus sebagai imbalan atas jasa-jasanya. Namanya semula adalah Undung atau Ngudung. Setelah menjadi miliknya, nama kota itu diubahnya menjadi Kudus. Satu-satunya kota di Jawa yang bernama dari bahasa Arab. Dia kemudian terkenal dengan nama Sunan Kudus, sesuai dengan tempat tinggalnya.

Tindakan Sunan Kudus yang paling terkenal adalah menghukum si penyebar bid’ah : Syeh Siti Jenar dan muridnya Ki Ageng Pengging. Ajaran mereka pada intinya adalah: `manunggaling kawula Gusti’= bersatunya diri manusia dengan Tuhan. Ini jelas membahayakan akidah Islam. Menyamakan Allah Yang Maha Suci dengan manusia yang penuh dosa dan kelemahan jelas-jelas merendahkan martabat-Nya. Tidak ada hukuman yang lebih cocok bagi penghina Tuhan selain hukuman mati. Tanpa ragu, Sunan Kudus dan `Komando Pasukan Khusus’ Suranata-nya bergerak memusnahkan bibit-bibit kerusakan akidah itu.

Penulis buku `Dharmogandhul’ juga mencatatnya. Namun dia sedikit kurang jeli dalam pengamatannya. Dalam penglihatannya, orang-orang Islam dari Jawa tengah itu adalah mereka yang memakai baju jubah longgar, bersorban, memelihara jenggot, dan suka mengacungkan pedang kepada orang kafir. Semua orang Islam itu dituduhnya bertanggungjawab atas kerusakan yang terjadi di tanah Jawa. Dikiranya semua orang Islam adalah penganut garis keras. Merekalah yang menyebabkan orang-orang yang dulunya berada di kepulauan ini dan tidak memeluk agama baru tersebut mengungsi ke tempat terpencil.

Kepustakaan
HJ. De Graaf dan Th. Pigeaud, 2001 ‘Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI’ Grafiti Pers: Jakarta.
http://mustaqimzone.wordpress.com/2011/07/20/hancurnya-majapahit/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar