Kawasan Dago adalah sebuah kawasan pemukiman elit di bagian utara Bandung. Pada awal perkembangan kota, kawasan ini hanyalah sebuah kampung kecil bernama Kampung Banong. Beberapa ahli menduga nama Bandung berasal dari nama Kampung ini. Kampung Banong ini mencuat namanya ketika Dr. Andrees de Wilde, seorang juragan perkebunan Kopi paling terkemuka pada tahun 1820-an mendirikan sebuah rumah peristirahatan di sana, lengkap dengan gudang kopi yang luas.
Meskipun demikian, baru pada tahun 1910 pemerintah Gemeente Bandung mulai memperluas wilayah administrasinya ke arah utara. Orang merambah kebun dan sawah, membangun jalan Dago dan Cipaganti di Bandung Utara. Pembangunan dan pengerasan jalan Dago sampai ke hutan Pakar bersamaan dengan usaha Gemeente (kotamadya) membangun reservoir air minum di Bukit Dago.
Jalan Ir. H. Juanda (Jalan Dago) yang membelah kawasan ini kini menjadi jalur rekreasi paling utama bagi penduduk kota. Setiap Sabtu malam, ribuan orang tumpah-ruah memadati pinggir jalan Dago untuk menikmati makanan di cafe tenda pinggir jalan. Sementara puluhan klub pecinta kendaraan seperti VW Club atau Scooter Club memiliki tempat-tempat favoritnya sendiri. Bahkan kadang-kadang kita bisa menikmati life music gratis dari berbagai aliran musik mulai dari brass-band, pop, hingga musik 'underground' yang dimainkan di pinggir jalan.
Meskipun demikian, baru pada tahun 1910 pemerintah Gemeente Bandung mulai memperluas wilayah administrasinya ke arah utara. Orang merambah kebun dan sawah, membangun jalan Dago dan Cipaganti di Bandung Utara. Pembangunan dan pengerasan jalan Dago sampai ke hutan Pakar bersamaan dengan usaha Gemeente (kotamadya) membangun reservoir air minum di Bukit Dago.
Jalan Ir. H. Juanda (Jalan Dago) yang membelah kawasan ini kini menjadi jalur rekreasi paling utama bagi penduduk kota. Setiap Sabtu malam, ribuan orang tumpah-ruah memadati pinggir jalan Dago untuk menikmati makanan di cafe tenda pinggir jalan. Sementara puluhan klub pecinta kendaraan seperti VW Club atau Scooter Club memiliki tempat-tempat favoritnya sendiri. Bahkan kadang-kadang kita bisa menikmati life music gratis dari berbagai aliran musik mulai dari brass-band, pop, hingga musik 'underground' yang dimainkan di pinggir jalan.
Suasana Malam Minggu
Kawasan Dago kini menjadi kawasan paling 'hip' di Bandung. Setiap malam Minggu terutama pada awal-awal bulan orang berjubel memenuhi trotoar dan bahkan badan jalan untuk sekedar menghirup udara malam. Cafe-cafe dadakan pinggir jalan bermunculan; sementara di persimpangan-persimpangan jalan, anggota klub-klub motor dan mobil Vespa, Honda, Harley Davidson bahkan motor-motor yang tidak diproduksi lagi seperti BSA berkumpul dan memamerkan kendaraan kesayangannya. Anda bahkan bisa menikmati musik brassband lengkap di pinggir jalan, gratis!
Kawasan Dago kini menjadi kawasan paling 'hip' di Bandung. Setiap malam Minggu terutama pada awal-awal bulan orang berjubel memenuhi trotoar dan bahkan badan jalan untuk sekedar menghirup udara malam. Cafe-cafe dadakan pinggir jalan bermunculan; sementara di persimpangan-persimpangan jalan, anggota klub-klub motor dan mobil Vespa, Honda, Harley Davidson bahkan motor-motor yang tidak diproduksi lagi seperti BSA berkumpul dan memamerkan kendaraan kesayangannya. Anda bahkan bisa menikmati musik brassband lengkap di pinggir jalan, gratis!
Rumah Lokomotif
Pada tahun 1937, A.F. Aalbers mendesain tiga villa kembar yang dijuluki sebagai de locomotiven (kereta api) karena bentuknya. Selain ketiga villa ini, AF Aalbers juga mendesain beberapa rumah tinggal lainnya di kawasan yang sama, sebagai upaya untuk mendorong pertumbuhan Bandung Utara.
Perkembangan Jalan Dago
..1915 Pembangunan Jalan Dago (Dagostraat) dimulai pada awal abad 19, dan perkembangannya menjadi lebih pesat setelah Bandung mendapat status gemeente atau kotamadya pada tahun 1906. Rencana perluasan ke utara atau Uitbreidingsplan Bandoeng-Noord pada tahun 1915 yang berlangsung dalam beberapa gelombang perpindahan kegiatan administratif Hindia Belanda menyebabkan villa-villa berukuran besar dan sedang mendominasi Jalan Dago (S. Siregar, 1990).
1915-1945
Jalan Dago merupakan salah satu titik pelestarian alam yang dilakukan oleh organisasi masyarakat Bandoeng Vooruit, yang pada pertengahan 1930-an menghijaukan daerah aliran Sungai Cikapundung dengan pinus dan cemara gunung.
Sejak jaman pemerintahan Belanda hingga tahun 1950-an, kawasan Dago dikenal sebagai kawasan perumahan elite yang dimiliki pemerintah Belanda. Dulu kawasan Dago dirancang sebagai kawasaan perumahan kapling besar dengan arsitektur Art Deco peninggalan zaman Belanda.
1945-1970
Kekuasaan kemudian beralih dari pemerintahan Hindia Belanda ke pemerintahan Republik Indonesia. Pada awal kemerdekaan, jalan Dago tetap berfungsi sebagai hunian dan kondisi ini bertahan hingga akhir dekade 1960-an. Perubahan yang terjadi umumnya bersifat kepemilikan, dari orang-orang Belanda ke orang-orang Indonesia.
Thn 1950-an Dagostraat berubah nama menjadi jalan Dago
Pada tahun 1960an terjadi perubahan-perubahan. Jalan Dago diperlebar sebesar 2 meter kiri kanan jalan mengorbankan pohon-pohon besar, namun suasana masih sama, yaitu derah permukiman yang sangat ideal, dilengkapi dengan fasilitas pendidikan, rumah sakit, apotik, dan tempat perbelanjaan.
1970-1990
Pada tahun 1970-an jalan Dago berubah nama menjadi Jln. Ir.H. Djuanda
Pada dekade 70-an terjadi peningkatan kegiatan ekonomi di pusat kota, terutama di antara pengusaha kecil dan menengah, menyebabkan meluasnya pergeseran fungsi yang terus mendesak ke hunian-hunian terdekat sehingga Jalan Dago pun terkena imbasnya.
Perubahan Dago dari daerah hunian menjadi wilayah komersial dimulai tahun 1970-an
Kondisi kawasan yang semula merupakan perumahan elite sudah mulai mengalami perubahan pada tahun 1980-1990 dengan adanya supermarket Superindo (dahulu Gelael) pada tahun 1987. Adanya sarana komersial tersebut menjadi suatu daya tarik bagi masyarakat yang tinggal disekitar Dago untuk mengunjungi kawasan tersebut
1990-sekarang (2006)
Dikeluarkannya Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) wilayah Cibeunying thn 1995-2005 yg menetapkan jalan Dago sebagi kawasan penggunaan campuran perumahan, jasa, perdagangan, perkantoran, dan pendidikan dengan azas peruntukan lahan yang bersifat luwes.
Pada dekade '90-an juga bermunculan beberapa bangunan yang tingginya melampaui enam lantai. Transformasi fungsi dan bentuk yang drastis ini juga dipicu oleh penerapan kebijakan floating functional zone bagi area tersebut.
Factory outlet sudah ada di Kota Bandung sejak tahun 1990-an dan makin berkembang pada tahun 1999-an
Pada tahun 1937, A.F. Aalbers mendesain tiga villa kembar yang dijuluki sebagai de locomotiven (kereta api) karena bentuknya. Selain ketiga villa ini, AF Aalbers juga mendesain beberapa rumah tinggal lainnya di kawasan yang sama, sebagai upaya untuk mendorong pertumbuhan Bandung Utara.
Perkembangan Jalan Dago
..1915 Pembangunan Jalan Dago (Dagostraat) dimulai pada awal abad 19, dan perkembangannya menjadi lebih pesat setelah Bandung mendapat status gemeente atau kotamadya pada tahun 1906. Rencana perluasan ke utara atau Uitbreidingsplan Bandoeng-Noord pada tahun 1915 yang berlangsung dalam beberapa gelombang perpindahan kegiatan administratif Hindia Belanda menyebabkan villa-villa berukuran besar dan sedang mendominasi Jalan Dago (S. Siregar, 1990).
1915-1945
Jalan Dago merupakan salah satu titik pelestarian alam yang dilakukan oleh organisasi masyarakat Bandoeng Vooruit, yang pada pertengahan 1930-an menghijaukan daerah aliran Sungai Cikapundung dengan pinus dan cemara gunung.
Sejak jaman pemerintahan Belanda hingga tahun 1950-an, kawasan Dago dikenal sebagai kawasan perumahan elite yang dimiliki pemerintah Belanda. Dulu kawasan Dago dirancang sebagai kawasaan perumahan kapling besar dengan arsitektur Art Deco peninggalan zaman Belanda.
1945-1970
Kekuasaan kemudian beralih dari pemerintahan Hindia Belanda ke pemerintahan Republik Indonesia. Pada awal kemerdekaan, jalan Dago tetap berfungsi sebagai hunian dan kondisi ini bertahan hingga akhir dekade 1960-an. Perubahan yang terjadi umumnya bersifat kepemilikan, dari orang-orang Belanda ke orang-orang Indonesia.
Thn 1950-an Dagostraat berubah nama menjadi jalan Dago
Pada tahun 1960an terjadi perubahan-perubahan. Jalan Dago diperlebar sebesar 2 meter kiri kanan jalan mengorbankan pohon-pohon besar, namun suasana masih sama, yaitu derah permukiman yang sangat ideal, dilengkapi dengan fasilitas pendidikan, rumah sakit, apotik, dan tempat perbelanjaan.
1970-1990
Pada tahun 1970-an jalan Dago berubah nama menjadi Jln. Ir.H. Djuanda
Pada dekade 70-an terjadi peningkatan kegiatan ekonomi di pusat kota, terutama di antara pengusaha kecil dan menengah, menyebabkan meluasnya pergeseran fungsi yang terus mendesak ke hunian-hunian terdekat sehingga Jalan Dago pun terkena imbasnya.
Perubahan Dago dari daerah hunian menjadi wilayah komersial dimulai tahun 1970-an
Kondisi kawasan yang semula merupakan perumahan elite sudah mulai mengalami perubahan pada tahun 1980-1990 dengan adanya supermarket Superindo (dahulu Gelael) pada tahun 1987. Adanya sarana komersial tersebut menjadi suatu daya tarik bagi masyarakat yang tinggal disekitar Dago untuk mengunjungi kawasan tersebut
1990-sekarang (2006)
Dikeluarkannya Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) wilayah Cibeunying thn 1995-2005 yg menetapkan jalan Dago sebagi kawasan penggunaan campuran perumahan, jasa, perdagangan, perkantoran, dan pendidikan dengan azas peruntukan lahan yang bersifat luwes.
Pada dekade '90-an juga bermunculan beberapa bangunan yang tingginya melampaui enam lantai. Transformasi fungsi dan bentuk yang drastis ini juga dipicu oleh penerapan kebijakan floating functional zone bagi area tersebut.
Factory outlet sudah ada di Kota Bandung sejak tahun 1990-an dan makin berkembang pada tahun 1999-an
----------------
Sumber : http://www.bandungheritage.org/index.php?option=com_content&view=article&id=19:jalan-dago&catid=14:heritage&Itemid=2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar