Selasa, 14 Februari 2012

Menyusuri Gedung-gedung “Baheula” di Parijs van Java

Salah satu faktor yang menjadikan Bandung dikenal dengan sebutan Parijs van Java karena di kota itu banyak berdiri gedung-gedung bersejarah bergaya Eropa. Hal yang menjadi pertanyaan, mengapa di Bandung banyak ditemui bangunan-bangunan tersebut. Bisa jadi sebagian besar orang belum mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut. Namun, yang pasti, ada latar belakang historis yang menyertai keberadaan berbagai bangunan tua peninggalan zaman Belanda tersebut.

Menurut Ketua Bandung Heritage Society, Harastoeti, di Bandung banyak terdapat gedung tua karena pusat pemerintahan Belanda sempat direncanakan dipindahkan dari Batavia (Jakarta) ke Bandung. Kejadian itu terjadi pada zaman kolonial, sekitar tahun 1800. Oleh sebab itu, tidak heran jika Pemerintah Belanda membangun sejumlah gedung secara besar-besaran di Kota Kembang. Saat itu, gaya bangunan yang sedang ngetren adalah gaya art deco.

“Sebenarnya ada sekitar 1.000 bangunan tua di Kota Bandung, tetapi di dalam peraturan daerah yang harus ditetapkan adalah 100 bangunan yang terbagi menjadi tiga kelas, yakni kelas A, B, dan C,” papar Harastoeti yang cukup rajin mendata bangunan-bangunan tua di Bandung. Menurut dia, dari sekian banyak gedung tua di Bandung, ada beberapa bangunan yang tergolong paling tua, salah satunya adalah Gedung Heritage yang kini difungsikan sebagai toko factory outlet (FO) Heritage di Jalan Riau.

Ada pula Gedung Hotel Surabaja di kawasan Kebon Jati yang kini sudah direnovasi dan sebuah rumah di Jalan Cibeureum, Cimindi. Rumah yang berada di daerah Cimindi, kata Harastoeti, termasuk bangunan paling tua dan menarik karena dibangun oleh orang Indonesia. Rumah itu dibangun pada 1800- an oleh Wangsa Diprama, lalu ditempati oleh keturunannya, Hanafi , Redmana, dan kini oleh Ibu Siswo.

Namun sayang, rumah tua yang diarsiteki Haji Bajuri itu seperti tidak terurus. Hal itu kemungkinan terkendala oleh persoalan biaya perawatan. Harastoeti khawatir rumah yang berdiri di lahan 2,5 hektare itu dijual oleh pemiliknya kepada investor untuk keperluan bisnis. Bangunan-bangunan tua lainnya banyak tersebar di beberapa wilayah Kota Bandung. Kawasan yang paling banyak terdapat gedung-gedung zaman baheula-nya adalah Jalan Braga, Jalan Naripan, dan Jalan Asia Afrika.

Selain itu, di kawasan Viaduct Kebon Jati, Jalan Oto Iskandardinata, Jalan Wastukencana, dan Jalan Diponegoro – lokasi berdirinya Gedung Sate – juga banyak ditemui gedung-gedung tua.

Masih Berfungsi

Di kawasan Jalan Braga-Naripan- Asia Afrika, gedung-gedung tua masih berfungsi dan dipergunakan sebagai toko atau kantor. Sebagai contoh, di Jalan Braga terdapat Gedung Majestic yang dibangun pada 1925. Gedung itu dirancang oleh arsitek CP Wolff Schoemaker. Masih di sekitar kawasan Braga, terdapat Bank Indonesia Cabang Bandung yang berdiri sejak 1917.

Bangunan tua yang tampak cukup megah dan masih berdiri kokoh tersebut diarsiteki oleh Edward Cuypers. Ada pula Gedung Gas Negara, berdiri pada 1930 dan dirancang oleh RLA Schoemaker. Lokasi lainnya, di persimpangan Jalan Braga-Naripan, terdapat Gedung Kantor Berita Antara Biro Jawa Barat. Bangunan tua yang dirancang oleh AF Aalbers itu didirikan pada 1936.

Tidak jauh dari Jalan Braga, wisatawan pencinta gedung-gedung tua biasanya akan berjalan ke arah selatan, tepatnya di kawasan persimpang an Jalan Braga-Jalan Asia Afrika. Di persimpangan kedua jalan itu terdapat Museum Konferensi Asia Afrika (KAA). Museum KAA menyatu dengan Gedung Merdeka, dulu dikenal sebagai Gedung Concordia, yang dibangun pada 1800-an. Pada masa lalu, gedung itu dijadikan tempat berkumpulnya Concordia Societeit yang dibentuk pada 1879.

Perkumpulan itu beranggotakan orang-orang dari kalangan bangsawan Be landa dan pribumi. Sejak dipakai untuk KAA pada 1955, Gedung Concordia dijadikan aset cagar budaya yang kini di bawah pengelolaan Kementrian Luar Negeri. Museum KAA belakangan ini sering kali dipakai sebagai objek wisata, tempat pemutaran fi lm, dan kursus bahasa asing. “Museum KAA boleh dibilang museum khusus karena tidak banyak menyimpan barang-barang bersejarah.

Tapi setiap hari ada saja pengunjung yang datang, ada yang datang ke perpustakaan, ke ruang pamer, atau ke ruang audio visual,” kata Dadi Nuryadi, staf Museum KAA. Di seberang Museum KAA terdapat gedung tua bernama de Vries. Gedung bergaya arsitektur Indis itu dibangun pada 1879, kemudian dipugar dan dibangun kembali pada 1909 dan 1920, berdasarkan karya arsitek Edward Cuypers Hulswit.

Lantas gedung itu dialihfungsikan menjadi toko serba ada de Vries (Warenhuis de Vries). Selain di kawasan Braga-Asia Afrika, gedung peninggalan zaman Belanda yang masih terawat dengan baik sampai saat ini adalah Gedung Driekleur. Lokasinya di persimpangan antara Jalan Sultan Agung dan Jalan Dago. Gedung yang kini dipakai sebagai Kantor BTPN itu, baru- baru ini, mendapat penghargaan dari Bandung Development Watch (BDW) sebagai gedung terbaik dalam renovasi cagar budaya.

“Gedung-gedung tua atau monumen di Bandung ada yang bertaraf internasional, nasional, dan lokal. Semuanya adalah aset yang sangat berharga,” kata Harastoeti. Oleh karena itu, dia mengharapkan, masyarakat bisa terus memelihara gedunggedung tua karena warisan budaya itu bisa mengurangi pemanasan global. “Lebih baik manfaatkan dulu gedung yang ada daripada menggali tanah, apalagi sampai merusak lingkungan,” tandas Harastoeti.
ygr/L-2
http://www.bandungheritage.org/index.php?option=com_content&view=article&id=96:menyusuri-gedung-gedung-baheula-di-parijs-van-java-&catid=13:kliping&Itemid=2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar