Proklamasi kemerdekaan Indonesia disikapi di Negeri Belanda dengan rasa kurang percaya. Salah satu sebab, karena selama perang Belanda terputus informasi mengenai perkembangan di Nederlands-Indie.
Negeri jajahan yang telah berubah menjadi Indonesia merdeka itu mengalami perubahan situasi secara menyolok. Kekuatan pendudukan Jepang telah takluk, menyerah. Namun pada saat bersamaan tidak ada penguasa yang siap mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang.
Mulailah revolusi Indonesia yang dimulai dengan chaos, di mana kelompok-kelompok milisi perjuangan bermunculan dan penculikan-penculikan terhadap sasaran asing beserta antek-anteknya merebak di mana-mana.
Orang Belanda menyebut periode ini sebagai periode ‘Bersiap’, mengambil serapan dari bahasa Indonesia. Akibat situasi itu banyak orang Belanda memilih tetap berada di kamp-kamp tawanan Jepang, di mana mereka sekurangnya berada di bawah perlindungan tentara Jepang.
Sementara itu di Negeri Belanda kegelisahan dan kecemasan terus meningkat. Keadaan menjadi jelas ketika Perdana Menteri Schermerhorn menyampaikan pidato melalui Radio Herrijzend Nederland pada 2 Januari 1946:
“Ribuan dari rakyat kita menerima surat dari Nederlands-Indie. Mereka menguatkan kecemasan itu hari demi hari. Bukan, bukan kecemasan tapi kegemasan atas apa yang terjadi di sana.”
“Setiap diri kita menerima surat seperti itu. Malam ini saya membaca surat dari seorang teman lama, yang menulis bahwa dia tidak berani menceritakan kepada ibunya yang tewas dibunuh dengan cara pengecut.”
PROTOKOL HOGE VELUWE
Pada tanggal 29 April 1946, 65 tahun yang lalu telah diterbitkan sebuah Protokol (semacam draft awal dari negosiasi diplomatic atau draft dokumen perjanjian sebenarnya) perundingan Indonesia-Belanda yang berlangsung di Hoge Veluwe sebuah daerah wisata hutan lindung yang indah, yang terletak ditengah negeri Belanda. Ditengah hutan yang dahulu adalah tempat berburu itu, terdapat sebuah Istana kecil yang pernah dimiliki keluarga Kröller-Müller. Kini sebagai daerah wisata, tempat rekreasi alam ini dilengkapi dengan danau yang indah, jalan untuk bersepeda dan sebuah museum yang memamerkan banyak lukisan pelukis Belanda terkenal, termasuk dari Vincent van Gogh..
Pada istana kecil perburuan (Hunting lodge) yang disebut diatas mulai tanggal 14 April 1946 sampai dengan 24 April 1946 berlangsung perundingan yang sangat alot, antara utusan Indonesia yaitu Mr Soewandi (menteri kehakiman), Dr Soedarsono (ayah Men.HanKam Juwono Soedarsono yang saat itu menjabat menteri dalam negeri) dan Mr Abdul Karim Pringgodigdo. Dengan delegasi Pemerintah Belanda yang dimpimpin langsung Perdana menteri Schermerhorn. Dalam delegasi ini terdapat Dr Drees (menteri sosial), J.Logeman (menteri urusan seberang), J.H.van Roijen (menteri luar negeri) dan Dr van Mook (selaku letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda).
Konsep Protokol yang diterbitkan pada tanggal 29 April 1946 sebagai hasil perundingan berbunyi sebagai berikut :
1. Pemerintah Belanda akan berusaha dan mendorong melalui konstitusional agar didalam waktu yang secepat mungkin dibentuk suatu negara merdeka di Indonesia berdasarkan federasi sesuai pernyataan pemerintah tanggal 10 Februari 1946 yang mencakup semua wilayah Hindia Belanda dan merupakan mitra Nederland, Suriname dan Curacao dalam ruang lingkup Kerajaan Belanda.
2. Pemerintah Belanda mengakui bahwa yang mewakili Pulau jawa terkecuali wiilayah yang dikuasai Pemerintah Militer Sekutu adalah Pemerintah Republik Indonesia yang berkuasa secara defakto. Pemerintah Belanda mencatat dan memperhatikan tuntutan Republik Indonesia bahwa kekuasaannya termasuk Sumatera. Sumatera dan bagian lain Hindia belanda kemudian akan diberi kesempatan menyatakan secara bebas keinginannya mengenai status mereka dalam negara merdeka Indonesia.
3. Pemerintah Republik akan bekerja sama dengan Pemerintah Belanda dalam membangun negara merdeka Indonesia. Sambil menunggu terwujudnya negara merdeka Indonesia, Republik bertanggung jawab didaerah kekuasaan defaktonya untuk memulihkan kembali dan mempertahankan hukum dan keamanan, perlindungan terhadap orang dan hartanya, dan dengan segera membebaskan dan menjaga keamanan para interniran. Jika Republik tidak sanggup melaksanakan tugas itu, Badan-badan Pemerintah Belanda akan melaksanakan kewajiban tersebut.
4. Pemerintah Republik akan menerima baik pasukan sekutu dan Belanda yang tiba di Pulau Jawa berdasarkan keputusan Panglima tertinggi sekutu. Dan membantu mereka dalam melaksanakan tugas menawan dan melucuti senjata tentara Jepang, serta membebaskan para interniran dan tawanan perang. Cara melaksanakan tugas ini akan diatur oleh instansi yang bersangkutan.
5. Permusuhan akan segera dihentikan dengan syarat kedua belah pihak dengan memperhatikan pasal 4, akan mempertahankan kedudukan masing-masing termasuk hubungan antara kedudukan itu. Mereka secepatnya akan mengadakan pembicaraan mengenai kerja sama dalam pelaksanaan peraturan ini.
6. Untuk mempersiapkan konperensi kerajaan (Rijks Conferentie) Pemerintah Belanda dalam waktu dekat akan mengadakan pembicaraan dengan Republik dan dengan wakil-wakil, dari bagian lain dari Indonesia dan dengan kelompok penduduk yang tidak termasuk Warga negara Indonesia. Pembicaraan tersebut mengenai bentuk negara Indonesia merdeka, kedudukan dalam hubungan ketatanegaraan bersama, hubungan dengan kekuasaan asing, kerja sama dengan Nederland, dan hal memenuhi kepentingan materi dan kebudayaan warga Belanda dan asing di Indonesia. Pembicaraan itu akan diadakan di Indonesia atau Nederland.
7. Peraturan mengenai penunjukan wakil-wakil dari Sumatera, terkecuali wilayah yang diduduki pemerintahan militer sekutu, akan dilaksanakan oleh Pemerintah Belanda setelah diadakan pembicaraan dengan Pemerintah Republik. Mengenai penunjukan wakil-wakil bagian lain Indonesia dan wakil-wakil kelompok penduduk yang tidak termasuk warga negara Indonesia akan diberi tahukan kepada Pemerintahan Republik. Daerah-daerah dan kelompok-kelompok tersebut juga berhak untuk menyerahkan perwakilannya kepada Pemerintah Republik. Pemerintah Republik akan mengusahakan adanya perwakilan dari golongan minoritas Indonesia dalam kekuasaan defaktonya dan memberitahukan kepada Pemerintah Belanda peraturan yang dibuat untuk perwakilan-perwakilan tersebut.
8. Apabila suatu daerah melalui pernyataan perwakilannya masih mempunyai keberatan terhadap masuknya tak bersyarat kedalam negara merdeka itu untuk daerah yang bersangkutan, untuk sementara waktu akan diberikan kedudukan istimewa dalam negara Indoneasia merdeka yang akan dibentuk.
9. Sambil menunggu terwujudnya negara Indonesia merdeka berdasarkan federasi dan untuk menyesuaikan pemerintahan umum di Hindia Belanda dengan butir-butir persetujuan tersebut, dalam badan-badan pemerintahan Hindia Belanda segera akan dimasukkan wakil-wakil dari Republik Indonesia, wakil-wakil dari bagian Indonesia lain dan wakil-wakil kelompok penduduk yang tidak termasuk warga negara Indonesia.
10. Protokol ini disusun didalam bahasa Belanda dan Indonesia. Apabila terjadi perbedaan penafsiran naskah bahasa Belanda yang menentukan.
Setelah selesai perundingan pada prinsipnya perundingan ini dianggap kurang mencapai tujuannya. Bahkan Dr Soedarsono memberikan pendapat umum bahwa perundingan Hoge Veluwe gagal sama sekali.
Setelah proklamasi, sepanjang 1946 pasukan sekutu terutama Inggris, dengan susah payah ‘memulihkan ketertiban dan keamanan’. Pasukan militer Belanda dan pemerintah Nederlands-Indie (Hindia Belanda) di bawah pimpinan Luitenant Gouverneur-generaal Van Mook mulai bisa mengendalikan keadaan.
Hal sama juga berlaku bagi pemerintah Republik, di mana para pejuang mulai menguasai wilayah-wilayah di Jawa dan Sumatera.
Saatnya untuk duduk pada meja perundingan. Perdana Menteri Schermerhorn sebelumnya di April 1946 telah melakukan serangkaian pembicaraan dengan delegasi Indonesia di De Hooge Veluwe, Negeri Belanda.
Namun dia saat itu tidak berani mengambil keputusan. Soalnya, pemerintahannya tidak terbentuk secara demokratis. Baru kemudian setelah pemilu pertama usai perang dan terbentuk kabinet pemerintahan Beel, sikap baru (dalam menyikapi republik, res) di lingkup kerajaan bisa diambil.
Schermerhorn diangkat menjadi ketua tim beranggota tiga orang yang disebut Commissie-Generaal (Komisi Umum), sesuatu yang baru dalam tatanegara Kerajaan Belanda. Komisi ini mendapat mandat luas atas nama pemerintah Belanda untuk melakukan perundingan di Indonesia demi masa depan yang dapat diterima kedua pihak.
Linggardjati: Prinsip dan Fakta
Pada 11 November 1946, sebuah pesawat terbang Catalina, yang membawa anggota Badan Komisi Jenderal Belanda (delegasi Belanda), meninggalkan Jakarta. Di hari yang sama, dengan menggunakan mobil, delegasi Indonesia juga bergerak menuju tujuan yang sama. Kedua delegasi hendak menggelar perundingan lanjutan di Kuningan, Cirebon mengenai proses dekolonisasi Belanda di Indonesia.
Perundingan itu sebenarnya sudah berlangsung sejak 22 Oktober 1946 di Jakarta tapi belum mencapai titik temu, bahkan terancam gagal. Dalam kebuntuan, muncul gagasan dari delegasi Belanda untuk menghadirkan Sukarno-Hatta dalam proses perundingan selanjutnya. “(Willem) Schermerhorn berpendapat, sebuah pembicaraan dengan Sukarno di Yogyakarta atau di mana saja adalah hal yang amat penting agar semua menjadi final,” tulis Roesdhy Hoesein, dalam buku “Terobosan Soekarno dalam Perundingan Linggardjati”
Namun karena Sukarno-Hatta tak memungkinkan datang ke Jakarta dan pemerintah Belanda melarang delegasinya untuk pergi ke Yogya, dicarilah tempat netral. Atas saran Maria Ulfah, perundingan akhirnya diadakan di Linggarjati, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Lokasinya sangat indah, di kaki gunung Ciremai, Kuningan, Jawa Barat. Temperatur udaranya sepanjang tahun juga nyaman. Singkat kata, Linggardjati adalah sebuah tempat wisata ideal. Namun di November 1946, tempat itu dihantui ketegangan perundingan delegasi Belanda dan Republik Indonesia.
Perundingan dimulai pada hari kedua setelah kedatangan kedua delegasi di Kuningan. Meski pembahasan pasal demi pasal kembali berlangsung alot, secara umum, untuk pasal-pasal tertentu, kedua pihak menemukan kata sepakat. Tapi ada sejumlah pasal yang masih mengganjal.
“Saat itu jelas sekali bahwa delegasi Indonesia kami bawa berunding sampai kolaps. Kami juga nyaris terkapar,” ujar Prof.Dr.Ir. W. Schermerhorn dalam ‘laporan rahasia’.
Sebagai ketua apa yang disebut Commissie-Generaal (Komisi Umum, red), sebuah komisi beranggota tiga orang yang mewakili pemerintah Belanda berunding dengan Indonesia, Prof. Schermerhorn mencatat semua detil peristiwa.
12 November 1946, lewat tengah malam. Prof. Schermerhorn menyadari sepenuhnya makna sejarah dari misi yang dipimpinnya dan oleh sebab itu dia mencatat semuanya dalam buku harian dari 20/9/1946 hingga awal Oktober 1947.
Sekretarisnya, Piet Sanders, seorang ahli hukum muda, juga melakukan hal sama. Sanders mengirim temuan-temuannya langsung kepada istrinya dan menulis surat ke istrinya itu segera setelah tiba, bahwa berdialog dengan Soekarno, presiden Republik Indonesia yang tidak diakui oleh Belanda, tidak terhindarkan lagi.
Enampuluh tahun kemudian, Sanders mengatakan bahwa pernyataannya itu terutama ditujukan untuk situasi di Negeri Belanda. “Soekarno dianggap sebagai seorang pengkhianat negara, kami tidak akan berdialog dengan Soekarno.”
Begitu tiba di Indonesia, Sanders dan anggota Commissie-Generaal lainnya segera berubah pandangan. “Soekarno diakui secara internasional, dia satu-satunya figur berpengaruh. Jika ingin mencapai kesepakatan dengan Republik, maka tidak bisa lain kecuali berdialog dengannya.” Demikianlah. Perundingan akhirnya digelar di Linggardjati.
Kelak di kemudian hari, Minister van Overzeese Gebiedsdelen (Menteri Wilayah Seberang Lautan) yang sebelum kemerdekaan Indonesia bernama Menteri Koloni, menjelaskan kepada Tweede Kamer (parlemen): “Di sana berlaku fakta, di sini prinsip.”
Soekarno telah hadir di Linggardjati, untuk perkenalan dengan delegasi. Dengan kharismanya yang kuat dia begitu menarik perhatian setiap orang. Kemudian dimulailah perundingan Linggardjati di saat republik masih berusia beberapa bulan dan revolusi masih berkobar.
Perundingan antara delegasi Indonesia pimpinan Perdana Menteri Sjahrir dan delegasi De Comissie Generaal mewakili pemerintah Belanda pada hari pertama itu (Senin, 11/11/1946) berlangsung alot hingga larut malam.
Belanda mengajukan sejumlah 17 Pasal, yang langsung dipelajari delegasi Indonesia dengan seksama satu per satu. Dari pasal-pasal itu banyak termuat hal-hal sangat sensitif. Di antaranya Belanda tetap ingin memainkan peran di Nederlands-Indie. Sementara tuntutan republik jelas, yakni merdeka dan perwakilan yang sudah dirintis di India agar diakui.
Senin malam menjelang Selasa delegasi kedua pihak diundang oleh presiden Soekarno, yang menginap di vila Linggardjati beberapa kilometer dari lokasi perundingan. Ternyata Soekarno punya kejutan.
Malam itu Soekarno menyatakan bisa menerima sepenuhnya 17 Pasal yang disodorkan Belanda, dengan syarat kata ‘vrijheid’ (merdeka) diganti dengan ‘souvereiniteit’ (kedaulatan) saat pengakuan republik.
De Commissie-Generaal menyatakan setuju, meskipun anggota komisi Van Poll merasa keberatan. Tapi saat terjadi persetujuan itu Perdana Menteri Sjahrir tidak hadir. Karena kelelahan memimpin delegasi berunding dengan Belanda sepanjang hari, Sjahrir tak bisa menghadiri pertemuan malam itu di vila tempat Soekarno menginap.
Ternyata kemudian, Sjahrir murka besar begitu mendengar bahwa Soekarno terlalu gegabah menyetujui pasal-pasal yang diajukan Belanda, dengan perubahan kecil pada ‘vrijheid’ menjadi ‘souvereiniteit’. Menarik kembali persetujuan itu sudah tidak mungkin lagi.
“Soekarno betul-betul figur paling menentukan di Indonesia saat itu,” kenang Piet Sanders.
Soekarno meninggalkan Linggardjati keesokan harinya, Rabu (13/11/1946). Sementara kedua delegasi kembali ke Jakarta untuk mengurus beberapa detil perjanjian. Perjanjian ini akhirnya resmi ditandatangani oleh Schermerhormn dan Sjahrir pada pada 15/11/1946.
Isi Perjanjian Linggardjati:
Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia dengan wilayah Jawa, Sumatra dan Madura
Belanda-Indonesia setuju untuk membentuk federasi (Republik Indonesia Serikat)
RIS bersama wilayah-wilayah lain di bawah uni Belanda dengan Ratu Belanda sebagai Kepala Negara.
Posisi Sukarno dalam perundingan itu jelas: bukan anggota delegasi. Mereka hanya “mengawal” proses perundingan. Dan kedatangan mereka merupakan keinginan delegasi Belanda. Tapi apa mau dinyana. Kendati berat, delegasi Indonesia mau menerima keputusan tersebut. Namun tak berarti mereka menerima begitu saja persetujuan sepihak dari Sukarno. Sjahrir dan anggota delegasi lainnya lantas mengadakan rapat tertutup dengan Sukarno. Mereka minta Sukarno menjelaskan dasar keputusan yang diambilnya. Dengan tenang, Sukarno memberikan penjelasan. Mereka, termasuk Sjahrir, akhirnya tunduk pada keputusan Sukarno.
“Tampaknya, dibandingkan dengan delegasi Indonesia, delegasi Belanda sangat memperhatikan pengaruh Sukarno sebagai presiden. Bagi Schermerhorn dan (Lord Louis) Mountbatten, Sukarno-lah tokoh penentu dalam penetapan kebijakan pihak Indonesia soal perundingan Indonesia-Belanda. Walupun Sjahrir adalah pelaksananya,” tulis Roesdhy Hoesein, dalam bukunya “Terobosan Soekarno dalam Perundingan Linggardjati”
Referensi :
Terobosan Soekarno dalam Perundingan Linggardjati, Rushdy Hoesein, Kompas, Mei 2010.
Renville. Ide Anak Agung Gde Agung. Pustaka Sinar Harapan. 1991.
http://www.nederlandsindie.com
http://serbasejarah.wordpress.com/2011/04/21/linggardjati-antara-soekarno-dan-syahrir/#more-4910
Tidak ada komentar:
Posting Komentar