Puluhan aktivis PKS berencana melakukan pemberontakan di Surakarta.
PADA medio Desember 1941 polisi pamong praja Mangkunegaraan menerima laporan intelijen tentang bangkitnya kembali PKS (Pakempalan Kawula Surakarta). Polisi menemukan bukti bahwa PKS sedang mempersiapkan pemberontakan setelah mereka menemukan ratusan bambu runcing di salah satu kantor ranting PKS di Sragen dekat Solo. Pengakuan beberapa anggota yang terungkap dalam interogasi polisi, menjadi bukti awal yang cukup bagi kepolisian untuk melakukan penangkapan.
Menurut Marieke Bloembergen, penulis buku Polisi Zaman Hindia Belanda, Kepolisian Solo menangkap 28 anggota PKS pada Januari 1942 atas tuduhan merencanakan pemberontakan. “Mereka berencana membunuh semua warga Eropa di Solo seketika Jepang masuk ke dalam kota,” tulis Marieke yang bekerja sebagai mitra peneliti senior di Lembaga Kajian Asia Tenggara dan Karibia (Royal Netherlands Institute of Southeast Asia and Caribbean Studies/KITLV) Leiden, Belanda.
Saat itu Jepang mengobarkan Perang Pasifik dengan terlebih dulu menyerang pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour. Jepang mulai melebarkan ekspansi militer ke berbagai belahan negara di Asia, termasuk Indonesia. Jepang baru masuk Indonesia pada Maret 1942 dan secara mudah membuat Belanda bertekuk lutut tanpa perlawanan.
Pada 2 Maret 1942, inspektur kepala (hoofdinspecteur) polisi B.H. Moltzer, berangkat dari kantornya di Solo untuk mengawal pengiriman 28 tahanan ke penjara Sukamiskin, Bandung. Dia turun tangan karena kurang yakin dua agen polisi dan dua reserse dapat mengawal tahanan aman sampai tujuan. Dengan bersenjata pistol dinas dan senapan berburu laras ganda, Moltzer membawa empat orang anggota pengurus PKS dengan mobilnya sementara itu sebuah bus jemputan sekolah membawa para tahanan lainnya.
“Pada Kamis, 5 Maret 1942, Batavia diserahkan kepada kekuasaan tentara Jepang, Moltzer menyerahkan semua tahanannya ke penjara Sukamiskin,” tulis Marieke.
Untuk apa PKS didirikan?
Menurut Wasino dalam Kapitalisme Bumi Putera: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, ide pendirian PKS berasal dari Mr Singgih dalam sebuah rapat organisasi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) cabang Surakarta pada 5 Mei 1932. Dalam rapat tersebut dia mengusulkan untuk membentuk komite PKS dengan tujuan memperluas perngaruh PBI di kalangan rakyat kecil sehingga organisasi ini dapat menjadi partai rakyat yang sebenarnya.
Pakempalan Kawula Surakarta didirikan akhir 1931 untuk melawan pengaruh Mangkunegaran. Selanjutnya, “PKS bermaksud menebalkan kerukunan massa rakyat Solo dari segala lapisan untuk diajak bekerja sama guna memperoleh perbaikan derajat penghidupan,” tulis AG Pringgodigdo dalam Ensiklopedi Umum.
Tidak lama kemudian sebuah panitia dibentuk oleh anggota PBI dan Mr Singgih bertindak sebagai ketua. Di bawah kepemipinan pemuka Budi Utomo itu, PKS mendapat sambutan yang besar di pedesaan sehingga bermunculan cabang-cabangnya di wilayah Surakarta. Pada Desember 1932, PKS telah tersebar sedemikian luasnya sehingga panitia PKS diubah menjadi pengurus pusat dan pada 1933 kegiatannya makin meluas.
Marieke menambahkan, laporan Jaksa Agung mencatat bahwa pada 1935 keanggotaan PKS mencapai sekitar 22.000 orang. Menurut PKS sendiri, pada waktu itu cabang mereka berjumlah 240, dan hanya 11 yang di wilayah perkotaan, sisanya di pedesaan.
Setelah sukses di wilayah Kasunanan, PKS melebarkan sayapnya ke wilayah Mangkunegaran. Propaganda PKS dipusatkan pada masalah pajak, kerja paksa, dan keluhan lainnya. Banyak penduduk di pedesaan Mangkunegaran yang menjadi pengurus dan anggota PKS. Penduduk banyak yang datang berduyun-duyun dengan berjalan kaki dari tempat yang jauh untuk mendengarkan pidato Mr Singgih. Penduduk menyebut Mr Singgih sebagai Gusti atau Gusti Kanjeng, sebutan yang hanya pantas untuk Raja. Bahkan konon Mr Singgih dianggap oleh penduduk desa sebagai Ratu Adil.
Istana Mangkunegaran menanggapi perkembangan PKS dengan gelisah dan kemarahan. Untuk membendung laju perkembangan PKS di wilayahnya, penguasa Mangkunegaran membentuk organisasi tandingan dengan nama Pakempalan Kawula Mangkunegaran (PKM) pada Juli 1933. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan untuk memajukan kemakmuran Praja Mangkunegaran maupun kesejahteraan dan rasa setia kawan di kalangan penduduknya. Organisasi itu dipromosikan secara terbuka oleh Sri Mangkunegara VII sendiri, dengan cara menghadiri perayaan-perayaan.
Menurut Wasino, konflik antara Kasunanan dan Mangkunegaran yang melibatkan massa pedesaan merupakan akibat dari konflik yang terpendam antara pihak Keraton Kasunanan dan Istana Mangkunegaran. “PKS diidentikan dengan pendukung Kasunanan dan PKM sebagai tandingan PKS identik dengan pendukung Istana Mangkunegaran,” tulis guru besar Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Semarang itu.
Edy S. Wirabhumi dalam disertasinya di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Pemberdayaan Hukum Otonomi Daerah dan Potensi Wilayah: Studi Tentang Kemungkinan Terbentuknya Provinsi Surakarta, menjelaskan bahwa pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, keraton-keraton di seluruh Indonesia tidak lagi menjadi kerajaan yang otonom, tetapi di bawah kekuasaan Republik Indonesia. Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman memperoleh status Daerah Istimewa, kemudian menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Menteri Dalam Negeri dr. Sudarsono berencana membentuk Daerah Istimewa Surakarta, namun gagal karena ditentang oleh kelompok intelektual, pemuda dan pelajar yang dipimpin oleh kerabat keraton sendiri KPH Mr Sumodiningrat. Mereka melancarkan “gerakan anti Swapraja” atau gerakan anti kerajaan.
“Mereka menganggap Daerah Istimewa Surakarta akan membangkitkan kembali sistem feodalisme yang bertentangan dengan nilai-nilai demokratis di alam kemerdekaan. Ketika itu timbul pula peristiwa penculikan beberapa pembesar Kantor Kepatihan Keraton Surakarta,” tulis Edy.
Gerakan anti kerajaan sudah dimulai oleh Kolonial Belanda, setidaknya sudah dimulai pada abad ke-19 dengan menghapuskan kerajaan-kerajaan dalam usahanya untuk konsolidasi politik. “...Gerakan pemuda untuk meruntuhkan kerajaan, mendapat tantangan dari Pakasa (Pakempalan Kawula Surakarta atau PKS-Red) yang mendukung keberadaan keraton,” tulis sejarawan Kuntowijoyo dalam buku Pengantar Ilmu Sejarah.
Arus revolusi tak dapat dibendung. Pada 1 Juni 1946 Surakarta di bawah Pemerintahan Rakyat dan Tentara Daerah Surakarta, yang beranggotakan wakil-wakil dari partai politik dan sejumlah intelektual. Dan, sejak 15 Juli Surakarta menjadi Karesidenan, dengan Residen Iskak Tjokroadisuryo dan wakilnya Sudiro. Keduanya diculik oleh sebuah kelompok politik pada 9 November 1946. Tetapi pemerintahan tetap berjalan di bawah Badan Eksekutif yang anggotanya berasal dari wakil partai-partai politik. Kemudian, berdasarkan UU No. 16/1947 bentuk daerah Surakarta menjadi Balaikota (Harminte).
Pada 20 Desember 1948, Belanda mendarat di Surakarta. Selama pendudukan, Belanda membentuk Pemerintahan Swapraja. Terjadilah dualisme pemerintahan: Pemerintahan Balaikota dan Pemerintahan Swapraja. Munculnya Pemerintahan Swapraja memperkuat gerakan anti Swapraja, dan pada gilirannya juga memperkuat anti Daerah Istimewa Surakarta.
Setelah Belanda hengkang dari Surakarta pada akhir 1949, pemerintah Republik Indonesia melakukan penataan pemerintahan. Melalui surat keputusan Menteri Dalam Negeri No. F.X.3/1/13/1950 tanggal 3 Maret 1950, pemerintahan Kasunanan dan Mengkunegaran dibekukan, dan hanya terbatas pada pemerintahan di dalam keraton saja. Dengan terbitnya surat keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut, telah memantapkan keberadaan Karesidenan Surakarta, yang meliputi Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Boyolali, Wonogiri, Klaten, Karanganyar, dan Sragen. Upaya PKS mempertahankan Kasunanan sebagai wilayah berdiri sendiri sia-sia belaka. Mereka tak kuasa melawan arus revolusi yang mengalir sebegitu dahsyatnya.
View the original article here
Tidak ada komentar:
Posting Komentar