Percaloan dan penelantaran jamaah haji juga terjadi di masa kolonial.
BERKOEMPOEL, kelompok warga Cilegon, melayangkan sebuah surat protes pada Gubernur Jenderal di Batavia. Isinya soal kongkolikong Johanes Gregorius Marinus Herklots alias J.G.M. Herklots, bos agen perjalanan haji The Java Agency, dengan Wedana Cilegon bernama Entol Goena Djaja. Untuk menjaring jamaah haji sebanyak-banyaknya, perusahaan haji itu menggunakan jasa pejabat lokal dan keluarga mereka sebagai tenaga pemasaran. Hadiahnya: pejabat itu plus keluarganya diberi tiket gratis ke Mekah.
Tergiur dengan tiket haji gratis, para pejabat ini memakai kekuasaannya: memaksa rakyat yang hendak pergi haji untuk menggunakan perusahaan Herklots. Yang tak menggunakan perusahan itu, ditahan pas-nya (izin jalan, semacam paspor). Karena takut terhadap penguasa, dengan terpaksa banyak orang naik kapal Herklots sesuai perintah.
Dengan kongkolikong macam ini, pada musim haji 1893, Herklots berhasil menjaring lebih dari 3.000 jamaah dari, menurut J. Vrendenbregt dalam The Haddj merujuk data Indisch Verslag, keseluruhan jamaah yang berjumlah 8.092 orang.
Gubernur Jenderal, yang sudah menerima banyak keluhan soal kebusukan agen haji milik J.G.M Herklots, menerima surat ini pada pertengahan Juni 1893. Isinya, sebagaimana dikutip dari buku Berhaji Di Masa Kolonial karya Dien Majid, antara lain: “...semoea toeroet Entol Goena Djaja soedah berdjanji sama itoe toean agen Herklots, dia poenya anak (Entol Hadji Moestafa) dan mertoea (Hadji Karis) pegi di Mekkah dengan pordeo tida bajar ongkos kapal, makan dan minoem djoega pordeo dan djoega misti dapat kamar, tapi banjak sekali orang-orang jang dari district Tjilegon tida seneng menoempang di itoe kapal/agen toean Herklots, melaenkan dia orang takoet sama Kapala District Tjilegon Wedana Entol Goena Djaja...”
Gubernur Jenderal juga menerima somasi dari Konsul Belanda di Jedah tentang pungutan liar yang dilakukan agen haji Herklots. Jamaah harus membayar tiket pulang yang telah ditetapkan f.95 plus f.500 sebagai jasa bagi Herklots. Konsul memohon Gubernur Jenderal supaya mendeportasi Herklots dan mengadili kejahatannya. Meski perbuatan Herklots dikategorikan melanggar hukum tapi Gubernur Jenderal tak punya wewenang untuk mendeportasi Herklots.
Menurut Dien Majid, Konsul Belanda di Jedah lantas melobi Gubernur Jedah Ismail Haki Pasha supaya mendeportasi Herklots. Pasha tak bisa mengabulkannya dan bilang, “Herklots di sini hanya sibuk bekerja untuk melaksanakan penanganan keagamaan.”
Usaha keras Konsul untuk mendeportasi dan mengadili Herklots tak mempengaruhi bisnis haji Herklots secara keseluruhan. Herklots masih leluasa menjaring calon haji dan menebarkan tipu-tipu yang lebih parah.
Pengalaman R. Adiningrat, residen Cirebon, bisa jadi contoh. Laporan Residen Cirebon tanggal 10 Juli 1893, sebagaimana dikutip Dien Majid, menyebutkan pengalaman buruknya menggunakan agen Herklots. Saat membeli tiket, Adiningrat dilayani oleh W.H. Herklots, adik J.G.M. Herklots. Adiningrat musti membayar f.150 plus premi f. 7,50 per kepala; lebih mahal dari tarif pemerintah sebesar f.110. Padahal di reklamenya, Herklots menawarkan harga lebih murah: “Harga menoempang f.95 satoe orang troes sampai di Djeddah dan anak-anak oemoer dibawah 10 taoen baijar separo harga, anak yang menetek tidak baijar.”
Sialnya lagi, menjelang tanggal keberangkatan haji, W.H. Herklots kabur duluan dari Cirebon dan dia berangkat ke Jedah menggunakan kapal De Taroba.
J.G.M. Herklots dan teman Arabnya, Syekh Abdul Karim, “penunggu Kabah”, juga menipu pihak berwenang Mekah dan memanfaatkan mereka untuk menjaring jamaah haji yang hendak pulang ke Hindia Belanda. Herklots memakai identitas palsu untuk bisa masuk Mekah, yakni Haji Abdul Hamid, pribumi Hindia Belanda beragama Islam. Identitas baru ini perlu karena orang-orang non-Muslim tak diperkenankan masuk Mekah.
Herklots menggunakan identitas palsu ini untuk mengajukan pinjaman pada Syarif Mekah. Syarif Mekah bersedia memberi pinjaman f.150.000 dengan dua catatan. Pertama, di kantor Herklots ditempatkan dua jurutulis Syarif Mekah, yang bertugas mengawasi kegiatan kongsi, terutama jumlah jamaah. Setiap sore mereka mengambil keuntungan sesuai perjanjian yang disepakati. Kedua, di pihak lain, para syeikh kepercayaan Syarif Mekah membantu Herklots mencari jamaah yang telah selesai menunaikan ibadah haji untuk pulang ke tanah air.
Dengan kesepakatan ini Herklots mendapat perlindungan. Dan dengan bantuan para syeikh, dia bisa leluasa menjaring para jamaah yang hendak pulang sementara agen-agen haji lain susah-payah mendapatkannya.
Di Mekah, para “Haji Jawa”, sebutan untuk jamaah haji Hindia Belanda, dipaksa naik kapal api dari agen Herklots. Supaya tak pindah ke kapal lain, mereka diwajibkan membayar tiket sejak di Mekah.
Jamaah haji yang telah membayar mahal ini dibuat terlantar saat menunggu tanpa kepastian kapan kapal carteran Herklots dari Batavia datang. Mereka menunggu di tenda-tenda di lapangan terbuka tanpa fasilitas memadai.
Para jamaah, yang kehabisan duit itu, mengadukan perlakuan buruk Herklot pada konsulat Belanda di Jedah dan bikin konsulat Belanda geram. Mereka memaksa Herklots mengembalikan uang tiket tanpa harus menunggu kapal carteran. Herklots bersedia mengembalikan separo dari harga tiket, 31 ringgit. Selain keluhan keterlambatan dan penelantaran, banyak jamaah haji mengeluhkan fasilitas kapal pengangkut jamaah. Majid menulis, kapal Samoa yang dipakai Herklots tak dirancang sebagai kapal penumpang. Akibatnya, dek atas dan bawah penuh penumpang dengan ventilasi yang buruk. Banyak penumpang jatuh sakit.
Majid juga mengutip kesaksian Sin Tang King, gelar raja muda Padang yang berganti nama menjadi Haji Musa, salah seorang penumpang kapal, “Sampai di Djeddah saja liat ada banjak kapal tetapi tiada kapal boleh kami naik di lain kapal hanja misti masok kapal Samoa, dan kapal lain sewanya tjoema 15 ringgit ada djoega jang 10 ringgit djikaloe orang maoe naik di lain kapal oewang jang telah dibajar di Mekkah itoe ilang sadja. Satoe doewa orang jang ada oewang dia tiada perdoeli ilang oewangnja 37 ringgit itoe dia sewa lain kapal, sebab di kapal Samoa tiada bisa tidoer dan tiada boleh sambahjang karena semoewa orang ada 3.300 (sepandjang chabar orang) djadi bersoesoen sadja kami jang tiada oewang boewat sewa lain kapal...”
Kapal Samoa berangkat menuju Batavia pada 7 Agustus 1893 dan transit semalam di Aden. Setelah berlayar dua hari dari Aden, menurut kesaksian Si Tang Kin, tepat hari Selasa sekira pukul 17.00 Samoa dihajar badai dahsyat. Kapten kapal tak memberi tahu akan datangnya badai sehingga pintu terbuka dan orang-orang di kapal riuh, berhimpit-himpitan dengan peti, hingga ada yang kepalanya pecah, putus kakinya, atau terhempas ke laut. Dalam satu malam, seratusan orang tewas. Mereka dibuang begitu saja ke laut tanpa disembahyangkan atau dikafani.
View the original article here
Tidak ada komentar:
Posting Komentar