Patung Ratu Mesir Nefertiti menjadi sumber perselisihan Jerman dan Mesir selama puluhan tahun.
UNTUK kali kesekian Mesir meminta Jerman untuk mengembalikan patung Ratu Nefertiti berusia 3.400 tahun yang sejak 1913 berada di tangan Jerman. Patung itu ditemukan pada 1912 oleh arkeolog Jerman Ludwig Borchardt dalam sebuah penggalian di Mesir.
Ketua Dewan Agung Benda-benda Antik Mesir Zahi Hawass mengirimkan “permintaan resmi” kepada Ketua Yayasan Warisan Budaya Prusia Herman Parzinger di Berlin, 22 Januari lalu. Sebagaimana ditulis AFP, “permintaan resmi” itu didukung oleh Perdana Mesir Mesir Ahmed Nazif dan Menteri Kebudayaan Faruq Hosni.
Namun pemerintah Jerman, yang selalu menolak mengembalikan patung itu, bergeming.
“Permintaan itu bukan permintaan resmi. Permintaan resmi adalah sebuah permintaan yang dilayangkan pemerintah sebuah negara kepada pemerintah negara lainnya,” ujar jurubicara Kementerian Luar Negeri Jerman Andreas Peschke dalam sebuah rapat rutin pemerintah di Berlin. Dia menambahkan posisi Jerman “tak berubah dan tak baru.”
Yayasan Warisan Budaya Prusia membenarkan bahwa Prazinger menerima surat dari Hawass. Namun mereka juga mengatakan bahwa surat tersebut tak ditandatangani perdana menteri dan “bukan permintaan resmi dari Mesir.”
Mereka menambahkan, berdasarkan perjanjian pada 1912, artefak-artefak yang ditemukan dalam penggalian disusun dan difoto sebagaimana mestinya, menunjukkan secara jelas “keindahan dan kualitas” benda-benda itu, kemudian dibagi rata antara Jerman dan Mesir.
“Selain itu, benda-benda itu ditempatkan dalam kotak-kotak terbuka agar bisa diperiksa. Tak sewajarnya mengatakan ada pihak yang ditipu dalam masalah ini,” tulis Yayasan dalam sebuah pernyatan.
Nefertiti adalah permaisuri Raja Akhetanon yang hidup pada 1370-1330 SM. Bersama sang raja, Nefertiti dikenal karena keberhasilannya mengubah agama Mesir menjadi agama monoteis yang hanya memuja dewa matahari, Aton. Patung Nefertiti yang saat ini tersimpan di Neues Museum di Berlin menjadi salah satu ikon budaya penting bagi kota Berlin maupun Mesir Kuno.
Bloomberg.com menulis Mesir kali pertama meminta Jerman mengembalikan patung itu pada 1925. Jerman setuju mengembalikannya pada 1935 sebelum Adolf Hitler memutuskan patung itu tetap menjadi milik Jerman.
Berkali-kali Mesir meminta namun permintaan itu selalu ditampik Jerman dengan alasan patung itu diperoleh secara legal dan banyak dokumen yang bisa membuktikannya.
Pada 2009, misalnya, Mesir kembali melancarkan tuntutan. Muncul dokumen yang menunjukkan kemungkinan Ludwig Borchardt tak mengemukakan kepada para ahli Mesir tentang nilai sesungguhnya dari patung Nefertiti itu.
Spiegel Online pada Februari 2009 mengutip laporan Sekretaris Institut Oriental Jerman pada 1924 yang mencatat sebuah pertemuan antara Ludwig Borchardt dengan seorang pejabat senior Mesir. Dalam pertemuan itu kedua pihak sepakat membagi rata benda-benda antik hasil temuan tim Borchardt. Namun dalam memonya, sang sekertaris melaporkan bahwa Borhardt “ingin menyelamatkan patung itu untuk Jerman.”
Saat pejabat Mesir, Inspektur Benda-benda Antik Gustave Lefébvre memeriksa temuan tim Borchardt, patung tersebut dibungkus dalam sebuah kotak dan ditempatkan dalam ruang dengan cahaya temaram. Borchardt kemudian menunjukkan sebuah foto dan mengatakan kepada Lefébvre bahwa patung itu terbuat dari gipsum, padahal sebenarnya terbuat dari batu kapur.
Tak dijelaskan apakah Lefébvre mengangkat kotak tersebut untuk memeriksanya lebih seksama. Tapi menurut keterangan sang sekertaris, yang menyaksikan proses pembagian, “telah terjadi penipuan” karena pihak Jerman (dengan sengaja) melakukan minstintrepretasi bahan.
Yayasan Warisan Kebudayaan Prusia menolak anggapan itu. Dalam sebuah pernyataan pada 2009 pihak yayasan menyatakan Lefébvre-lah yang menafikkan arti penting artefak tersebut.
Institut Oriental Jerman mengakui keberadaan dokumen tersebut tapi juga menekankan bahwa tak ada aturan yang dilanggar. Sebagaimana dikatakan seorang jurubicaranya kepada Der Spiegel, “Nefertiti ada di urutan atas daftar pembagian. Orang yang memeriksanya seharusnya bisa melakukannya dengan lebih seksama… tuntutan terhadap persetujuan yang dicapai saat itu sungguh tak dapat diterima.” [AFP/ Der Spiegel/Bloomberg]
View the original article here
Tidak ada komentar:
Posting Komentar