Rabu, 16 Maret 2011

Sisa-sisa Bangunan Sejarah Banten Lama


Adalah suatu kepastian yang sudah tidak dapat disangkal lagi bahwa kehidupan manusia merupakan suatu proses sosial budaya yang setiap saat mengalami perubahan dan pergerakan. Hal tersebut tentu akan menyebabkan adaya unsur catatan hidup manusia itu sendiri, baik di masa lampau yaitu priode kurun ke kurun sejarah ataupun kejadian di masa sekarang yang mungkin suatu saat akan mengalami perobahan atas dasar keinginan manusia sesuai dengan kondisi dan perkembangan jaman.

Karena itu tugas kita sekarang adalah antara lain menyelamatkan dan memelihara hasil budaya manusia terdahulu. Sisa-sisa peninggalan orang-orang terdahulu itu penting dipelihara sebagai pelajaran hidup bagi generasi berikutnya.

Dari puing-puing reruntuhan bangunan sisa kota Banten Lama, yang sekarang terletak di desa Banten 9 km dari kota Serang, kita dapat mengamati beberapa peninggalan sebuah kota Islam terbesar yang pernah ada, yaitu:

1. Keraton Surosowan

Keraton Surosowan adalah tempat kediaman sultan Banten, yang oleh orang Belanda disebut Fort Diamant atau Kota Intan, yang dikelilingi oleh tembok perbentengan seluas ± 4 hektar. Keadaan keraton itu kini sudah hancur, yang nampak hanyalah sisa bangunan saja yang berupa pondasi-pondasi serta tembok-tembok dinding yang sudah rusak.

Menurut Babad Banten, keraton ini dibangun oleh raja Banten pertama yakni Maulana Hasanuddin (1526 – 1570). Pembangunan tembok benteng dibangun oleh raja Banten kedua, Maulana Yusuf (1570 – 1580), dengan bangunan benteng yang disusun dari batu bata dan batu karang. Benteng ini kemudian dirobah bentuknya menjadi bastion dan ditambah dengan tembok batu karang di bagian luar, hingga benteng tampak lebih kuat dan kekar oleh Hendrik Laurenzns Cardeel (1680 – 1681) pada masa pemerintahan Sultan Haji (1672 – 1687).

Keraton Surosowan ini telah mengalami penghancuran berkali-kali. Kehancuran total yang pertama kali terjadi ketika perang saudara antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan pihak VOC yang dibantu putra mahkota Sultan Haji pada tahun 1680. Akibat perang ini, keraton Surosowan dibumi-hanguskan oleh Sultan Ageng Tirtayasa sebelum melanjutkan perlawanan dari Tirtayasa.

Setelah Sultan Haji dinobatkan menjadi raja Banten pengganti ayahnya, ia meminta bantuan seorang arsitek Belanda, Hendrik Laurenzns Cardeel, untuk membangun kembali istananya. Cardeel meratakan dan kemudian membangunnya kembali keraton tersebut di atas puing-puing reruntuhan keraton.

Kehancuran keduakalinya dan ini yang terparah ialah terjadi pada tahun 1813, saat mana Gubernur Jendral Belanda waktu itu Herman Daendels memerintahkan penghancuran keraton. Hal ini disebabkan karena Sultan Banten yang terakhir, Sultan Rafiuddin, tidak mau tunduk kepada Belanda. Akibat penghancuran ini, maka tidak tersisa sedikit pun bangunan keraton yang masih dalam keadaan utuh. Keraton itu kemudian ditinggalkan penghuninya, dan terbengkalai tanpa ada yang memperhatikannya lagi.

Dari penelitian dan penggalian arkeologis, ternyata perubahan desain keraton Surosowan ini sering terjadi karena para sultan yang memerintah Banten, sering menambah, mengubah dan memperbaiki bentuk bangunan keraton. Perubahan desain ini mudah diamati dengan cara melihat perubahan struktur fondasi bangunan, pemotongan dinding dan penggantian bentuk serta susunan bangunan.

Pintu gerbang istana terletak di sisi benteng sebelah utara menghadap ke alun-alun. Berdasarkan peta lama, bahwa di sisi benteng sebelah timur pun ada terdapat pintu masuk, namun kini sudah tidak nampak lagi. Di setiap sudut benteng terdapat bagian tembok tebal yang menjorok ke luar, sedang pada setiap sisi sudut bagian dalamnya ditemui pintu-pintu masuk ke dalam ruangan yang tercapai pada tembok benteng itu.

Pada mulanya keraton dikelilingi pula oleh parit-parit, akan tetapi kini hanya sebelah barat dan selatannya saja yang masih ada. Di bagian tengah keraton itu terdapat bekas “pemandian sultan” dan beberapa kolam lainnya; yang dinamai rara denok dan pancuran mas, yang airnya dialirkan dari suatu tempat yang dinamai Tasikardi, danau buatan yang terdapat di sebelah selatan Keraton Surosowan. Beberapa saluran/irigasi dari Tasikardi sampai ke keraton Surosowan tampak teratur.

Dalam penyaluran air bersih digunakan pipa besar dan kecil (dari garis tengah 2 cm hingga 40 cm), terbuat dari terrakota, hingga langsung ke kran-kran logam pancuran mas. Untuk penjernihan air yang nanti digunakan sebagai air bersih bagi penduduk kota dan kraton, digunakan cara penyaringan dengan teknik pengendapan dan poriositas batuan, pasir dan ijuk di pangindelan abang, pangindelan putih, dan pangindelan mas, tiga buah bangunan semacam benteng kecil yang kokoh dan kuat, terdapat di pinggir jalan dari Surosowan ke Tasikardi.

2. Meriam Ki Amuk

Meriam yang dikeramatkan oleh sebagian penduduk, (dulu) ditempatkan di dekat kanal di bawah sebuah gubuk beratap tanpa tembok, yang diletakkan menghadap utara seperti disiapkan untuk menembak kapal musuh yang hendak merapat ke pantai Karangantu.

Di atas bagian moncongnya, terdapat suatu prasasti bertuliskan huruf Arab yang berbunyi “Aqikatul Khoirisala matul imani” dengan bagian pangkal berbentuk tangan yang mengepal dengan ibu jari ke luar mengarah ke atas.

Menurut K.C. Crucq yang telah mengadakan penelitian terhadap meriam-meriam yang berasal dari bekas kesultanan Banten, prasasti tersebut merupakan candra sengkala yang menunjuk angka tahun saka 1450 (1528 – 1529 M). Selanjutnya menurut Crucq bahwa meriam Ki Amuk ini ada hubungannya dengan meriam Ki Jimat, yaitu meriam yang dihadiahkan oleh Sultan Trenggono dari Demak kepada Sunan Gunung Jati.

Beberapa tahun setelah adanya pengerukan kanal Karangantu oleh KOP Bhakti Rem 064 Maulana Yusuf tahun 1967, meriam tersebut pernah hilang dari tempatnya. Dan setelah diadakan pemugaran Mesjid Agung Banten oleh Pertamina pada tahun 1974 meriam tersebut ditemukan kembali dan oleh Direktorat Sejarah dan Purbakala ditempatkan di sudut tenggara alun-alun, tidak jauh dari pintu gerbang bagian utara benteng Surosowan.

3. Watu Gilang

Watu Gilang adalah sebuah batu berbentuk segi empat dengan permukaannya yang datar dan terbuat dari batu andesit. Batu tersebut terletak di sebelah timur laut meriam Ki Amuk. Menurut Babad Banten, batu ini dipergunakan sebagai tempat pengambilan sumpah para sultan/penobatan raja.

4. Watu Singayaksa

Batu ini terletak di alun-alun kota Lama Banten. Di masa kesultanan, dipergunakan untuk mengumumkan semua titah/peraturan-peraturan sultan yang disampaikan oleh seorang ulama.

Menurut dongeng rakyat, batu ini pernah dipakai sebagai tempat bertapa Sang Batara Guru Jampang, yang karena lamanya ia bertapa, hingga burung-burung membuat sarang di atas tutup kepalanya.

5. Mesjid Pecinan Tinggi

Masjid ini terletak ± 100 meter di sebelah kiri jalan raya, dekat rel kereta api, di kampung Dermayon. Disebut Masjid Pacinan Tinggi karena dahulunya banyak orang-orang Cina berdagang dan bertempat tinggal di sana semasa Maulana Hasanuddin. Bangunan tersebut kini tinggal puing reruntuhan, dengan sisa menara, dan mihrab (peng-imaman mesjid), adapun lainnya hanya sisa pondasi bangunan induk yang terbuat dari batu karang dan bata tanah liat. Menurut catatan sejarah, mesjid ini adalah mesjid yang pertama dibangun oleh Syarif Hidatullah yang dilanjutkan oleh Maulana Hasanuddin.

Beberapa puluh meter dari Masjid Pecinan Tinggi, di daerah Pecinan (dulu), terdapat bangunan tua sebuah rumah kuno gaya Cina yang masih utuh (masih dihuni oleh seorang keturunan Cina) persis di persimpangan jalan menuju ke Mesjid Agung; yang mungkin sisa rumah di pecinan. Ke arah utaranya lagi dari rumah tua tersebut, terdapati pintu gerbang dan klenteng Cina.

Klenteng pertama dengan “Dewi Kwan Im”-nya yang pertama dibangun semasa raja pertama Banten, yang letaknya di daerah Pecinan ini. Sedangkan klenteng “Dewi Kwan Im” yang sekarang, belum diketahui kapan dibangunnya; yang di tempat itu sebenarnya, di muara sungai Cibanten dengan jembatan jaganya, tempat berdirinya bangunan pintu masuk pelabuhan pertama Banten ─ sewaktu kedatangan Cornelis de Houtman ke Banten (1596) ─ dengan gudang-gudang penimbunan barang untuk eksport kesultanan Banten. Di tempat ini pun didapati runtuhan bekas menara penjaga petugas pelabuhan, di sebelah kanan muara Cibanten.

6. Kompeks Mesjid Agung Banten

Komplek Mesjid Agung Banten ini terdiri dari :
Bangunan Mesjid Agung dengan serambi yang penuh dengan makam di kiri kanannya. Berdasarkan sejarah Banten, mesjid ini didirikan pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin. Seperti juga mesjid-mesjid lain, bangunan mesjid ini pun berdenah segi empat. Atapnya terbuat dari kayu bersusun berbentuk limas. Di dalam serambi kiri yang terletak di sebelah utara terdapat makam beberapa sultan Banten dan keluarganya. Di antaranya terdapat juga makam Maulana Hasanuddin dan istrinya, makam Sultan Ageng Tirtayasa, dan makam Sultan Abul Nasr’ Abdul Qahar (Sultan Haji). Sedang di dalam serambi kanan yang terletak di sebelah selatan terdapat makam Maulana Muhammad, makam Sultan Zainul Abidin dan lain-lain.
Bangunan Tiyamah, bangunan ini merupakan bangunan tambahan. Dibangun oleh Hendrik Lucasz Cardeel seorang arsitek bangunan Belanda, sebab itulah bangunan tersebut merupakan desain Eropa. Dahulu tempat ini dipakai untuk berdiskusi dan bermusyawarah soal-soal keagamaan.
Menara; Menara ini terletak di halaman depan Mesjid Agung Banten. Bangunan ini terbuat dari batu bata dan tingginya 30 meter, yang juga dibangun kembali oleh Lucasz Cardeel. Menurut Babad Banten, menara ini dibangun sejak Maulana Yusuf oleh arsitek asal Mongol, Cek Ban Cut.

Kapan bangunan ini didirikan tidak diketahui dengan pasti. Di dalam “Jaurnal van de Reyse” (De Eerte Schipvaart der Nederlanders naar Oost Indie onder Cornellis de Houtman, 1595 – 1597), terdapat sebuah peta Banten yang memperlihatkan adanya menara tersebut, sedangkan di dalam sejarah Banten antara lain disebutkan bahwa: “Kanjeng Maulana (Hasanuddin) adarbe putra satunggal lanang jeneng putra mangke nuli den wastanne Maulana Yusuf ingkang puniko jeneng Yusuf sampung gung ikeng putra pan sampan adarbe rayi nalika iku waktu ning wangun munare.”

Berdasarkan atas pemberitaan tersebut K.C. Crucq berpendapat bahwa menara Mesjid Agung Banten sudah ada sebelum 1596/1570, dan berdasarkan tinjauan seni bangunan dan hiasannya ia berkesimpulan bahwa menara tersebut didirikan pada pertengahan kedua abad XVI, yaitu antara tahun 1560 – 1570.
Komplek makam di halaman sisi sebelah utara. Di sini banyak terdapat kuburan keluarga serta kerabat sultan. Di antaranya terdapat kubur salah seorang panglima perang yang terkenal dengan julukan Pangeran Gula Gesen. Di dalam ruang makam terdapat 9 buah makam sultan dan para keluarganya, yakni Sultan Hasanuddin, Sultan Maulana Muhammad, Sultan Zainul Abidin, anak dan istrinya. Di luar ruang makam ini, masih di sebelah utara mesjid, terdapat pula makam-makam kuno bercampur dengan pemakaman umum, antara lain Sultan Ageng Tirtayasa dan istrinya, juga Sultan Abu Nasr Abdul Kahar (Sultan Haji).

7. Pasar dan Pelabuhan Karangantu

Karangantu menjadi pelabuhan utama dan pasar, difungsikan sebagai pelabuhan dagang bagi lingkup lokal maupun asing. Kunjungan Tome Pires ke Karangantu tahun 1513 belum melihat pentingnya tempat ini, karena pelabuhan Sunda Kelapa masih merupakan pelabuhan terpenting bagi Pajajaran. Pada abad berikutnya Karangantu menjadi pelabuhan utama, sejak Banten diislamkan dan aktivitas Banten Girang dipindahkan ke Banten Lama. Sejak akhir abad XVI Karangantu menjadi bandar internasional utama untuk Indonesia bagian barat, terutama akibat jatuhnya Malaka ke tangan Portugis.

Perkembangan dan pertumbuhan Karangantu, baik sebagai pelabuhan maupun pasar, antara lain dapat ditelusuri melalui kajian foto udara, peta-peta kuno maupun fakta-fakta arkeologis di lapangan, diduga keletakan berubah dari keadaan sekarang.

Dari peta kuna yang dibuat oleh de Houtman ketika mengunjungi Banten pada tahun 1598, memperlihatkan bahwa kota Banten dikelilingi tembok kota dan tampak pula pasar Karangantu dikelilingi oleh pagar kayu dan bambu. Pada saat itu perluasan kota Banten mengarah ke bagian timur.

Sementara itu berdasarkan peta yang dibuat oleh Valentijn pada tahun 1725, terlihat bahwa pasar Karangantu masih ditempatnya semula dan mulai dipenuhi dengan rumah-rumah pemukiman.

Pada abad-abad XVII-XIX M, seperti tampak pada peta Serrurier yang tersohor itu, Karangantu tidak lagi ditandai sebagai sebuah pasar, hanya diberi catatan sebagai sebuah pelabuhan yang dikelilingi tambak ikan. Dewasa ini situs ini menjadi tidak penting lagi, kecuali ditandai oleh daerah pertambakan dan rawa-rawa di kampung Bugis.

Pelabuhan Karangantu berkembang dan tumbuh menjadi pusat berbagai aktivitas komersial dan bisnis, toko-toko dan pasar utama, transaksi antara para pedagang Cina dan Arab (terutama). Di sini pula terdapat pemukiman para nelayan, dok kapal-kapal, tempat pembuatan garam. Sementara itu terus ke arah selatan sepanjang sungai Cibanten terdapat lahan-lahan pertanian (padi dan sayur mayur) untuk pasokan istana.

8. Tasikardi

Tasikardi, terletak ± 2 km di sebelah tenggara keraton Surosowan, adalah suatu danau buatan/situ (luasnya ± 5 ha) yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah pulau kecil. Semula pulau buatan ini dibangun khusus untuk ibunda Sultan Maulana Yusuf dalam bertafakkur mendekatkan diri kepada Allah. Selanjutnya, pulau buatan yang terdapat di tengah danau buatan itu digunakan sebagai tempat rekreasi bagi bangsawan kesultanan.

Pada tahun 1706 Sultan Banten menerima seorang tamu Belanda Cornelis de Bruin di Tasikardi dan ketika Daendells membuat jalan dari Merak ke Karangantu, danau kecil ini tidak diganggu. Situ ini berfungsi untuk penampung air dari sungai Cinbanten, yang kemudian di-salurkan ke sawah-sawah dan sebagian untuk kepentingan air minum rakyat serta untuk kebutuhan keluarga sultan di keraton Surosowan ─ dengan teknik penyaluran air khas buatan Lucasz Cardeel ─ melalui pengindelan (filter station) abang, kuning dan mas, air Tasik Ardi langsung masuk ke lingkungan keraton dengan teknik penyaringan yang sudah kompleks.

9. Jembatan Rante

Jembatan Rante didirikan di atas air sungai/kanak Kota Lama Banten yang terletak 300 meter di sebelah utara benteng Surosowan, berfungsi sebagai “tol-perpajakan” bagi setiap kapal kecil atau perahu pengangkut barang dagangan pedagang asing yang memasuki kota kerajaan. Dari data pictorial, jelas telah tergambar sesaat Cornelis de Houtman melukis kota Banten pada tahun 1596. Bahkan tertulis pada Babad Banten, bahwa Maulana Yusuf, tahun 1570, telah banyak membangun fasilitas kota dengan segala macam kebutuhan untuk politik perdagangan.

Jembatan Rante dibangun dari bata dan karang serta diduga memakai tiang besi dan papan untuk fungsi penyeberangan serta memakai “kerekan rantai” sebagai fungsi ganda bilamana lalu-lalang kapal kecil, jembatan bisa dibuka; dan bila tidak ada kapal masuk, jembatan ditutup berfungsi sebagai penyeberangan orang dan kendaraan darat.

Sebagai data visual yang masih berfungsi hingga sekarang kita dapat melihat dan meneliti Jembatan Rante yang ada di Pasar Ikan, Jakarta.

10. Mesjid Koja

Mesjid yang tinggal reruntuhan ini terletak di selatan jalan yang menghubungkan Speelwijk dengan Karangantu, dimana beberapa meter dari mesjid tersebut di sebelah selatannya kini terdapat jalan kereta api. Disebut Mesjid Koja karena dahulunya termasuk kompleks perkampungan orang-orang Koja, Persia. Menurut catatan orang Belanda, tempat tersebut pernah dihuni orang-orang yang datang dari India, Jepang, Cina dan lain-lain sebagai pedagang.

11. Mesjid Agung Kenari

Mesjid ini terletak di kampung Kenari ± 3 km ke arah selatan dari Mesjid Agung Banten. Mesjid ini adalah mesjid tua pening-galan Sultan Abul Mufachir Muchmud Abdul Kadir (1596 – 1651). Sultan pertama yang mendapat gelar “sultan” dari Mekah. Ia adalah putra Maulana Muhammad Pangeran ing Banten. Selain itu di tempat ini terdapat pula makam putranya, Sultan Abul Ma’ali Ahmad.

12. Benteng Speelwijk

Benteng Speelwijk terletak di tepi pantai ─ sebelum ada pendangkalan lautan di daerah ini ─ di kampung Pamarican tidak jauh dari Pabean. Lengkapnya bernama Fort Speelwijk, sebagai penghormatan kepada Cornelis Jansz Speelman, Gubernur Jendral VOC pada tahun 1681 – 1684. Benteng ini didirikan untuk kepentingan kompeni Belanda yang dibangun pada tahun 1685 – 1686 oleh Hendrik Lucasz Cardeel.

Walaupun belum diketahui pasti, apakah benteng ini berasal dari benteng Portugis, namun Graaft menyatakan bahwa benteng tersebut adalah sebagai bangunan lanjutan dari tembok dinding kota yang dibangun sepanjang pantai yang disebut Tembok Banten Tua.

Jika kita berdiri menghadap reruntuhan benteng dari tepi sungai menghadap ke timur, akan tampak bastion Speelwijk yang terletak di sebelah kiri. Di situ terdapat sebuah tangga terbuat dari batu dan sebuah menara pengintai. Tembok yang melintang Platform Bastion adalah bekas tembok tertua dari kota Banten, langsung menjulur ke sepanjang pantai dimana terdapat sebuah Bolwerk (kubu pertahanan). Di sebelah atas tembok benteng terdapat jendela penembak yang dulunya tersimpan meriam di setiap jendela tersebut.

Di bawah bastion Speelwijk terdapat ruangan tempat bubuk peledak dan tutup jalan masuknya melalui pintu gerbang di bagian tenggara. Ada sebuah lorong di bagian bawah yang menuju ke tempat bubuk peledak juga terdapat sebuah kamar sebagai tempat penyimpanan senjata. Lorong yang menyudut 90 derajat itu kini masih dalam keadaan utuh dan bersih.

Ruangan-ruangan, yang sekarang tinggal sisa pondasi, di belakang pintu gerbang dalam lingkungan puing bekas Speelwijk, adalah merupakan bangunan yang berada di bawah satu atap. Dahulu ada sebuah jembatan gantung yang menghubungkan kedua pintu gerbang dan rumah komandan, kamar senjata, kantor administrasi dan gereja.

Dengan berdirinya bangunan Fort Speelwijk tersebut, Belanda nampak memperlihatkan kekuasaannya di bagian kota Banten. Dan ini juga merupakan permulaan sejarah monopoli perdagangan kompeni Belanda. Dalam pemerintahan Gubernur Jendral Daendels keadaan menjadi berubah, dengan memburuknya situasi. Orang-orang Belanda mulai meninggalkan Fort Speelwijk pada tahun 1810.

Beberapa ratus meter dari Speelwijk ke arah timur, terdapat beberapa kuburan orang-orang Eropa. Pada tahun 1911 atas instruksi Gubernur Jendral A.W.F. Iden Borg reruntuhan Speelwijk dan kuburan tersebut di pugar.

Sebuah kuburan yang bagus, besar dan menarik perhatian orang adalah kuburan Komandan Hugo Pieter Faure (1717 – 1763), yang dihiasi oleh lambang keluarganya. Selanjutnya terdapat nama-nama: Jacob Wits, seorang pegawai fiscal/pajak dan pembelian (wafat 9 Maret 1769); Catharina Maria van Doorn, istri Jan van Doorn seorang letnan (30 April 1747 – 8 Desember 1769); Maria Susana Acher, istri Thomas Schipers, pegawai bagian pajak dan pembelian (wafat 6 Juli 1743).

13. Kelenteng Cina

Kelenteng ini terletak di sebelah barat Benteng Speelwijk. Semula kelenteng ini terletak di Pecinan, dibangun oleh masyarakat Cina yang ada di Banten. Kapan bangunan ini dibuat tidak dapat diketahui dengan pasti, tapi menurut tradisi, kelenteng ini dibangun pada masa awal kerajaan Banten.

Menurut catatan Cortemunde (1659), kelenteng Cina (yang sekarang ini) menempati lahan loji Inggris, sementara itu, kelenteng lama sesuai dengan catatan Valentijn (1725) berlokasi di sebelah selatan menara lama (Mesjid Pacinan Tinggi).

14. Keraton Kaibon

Kearaton Kaibon adalah nama sebuah keraton yang terletak di kampung Kroya, sebelah selatan sungai Cibanten, sebelum melewati sebuah jembatan jalan menuju ke kota Banten. Keraton Kaibon (Ka-ibu-an = tempat ibu) adalah bekas kediaman Sultan Syaifudin, salah seorang sultan yang pernah memerintah di Kesultanan Banten pada tahun 1809. Sultan ini meninggal pada tahun 1915. Secara resmi keraton ini masih dipakai sampai dengan masa pemerintahan bupati Banten pertama yang mendapat restu Belanda, yakni Aria Adi Santika sebagai ganti pemerintahan kesultanan yang dihapuskan mulai tahun 1816.

Bentuk arsitektuk kraton Kaibon, jika dibandingkan dengan keraton Surosowan justru Kaibon nampaknya lebih archais. Hal ini dapat kita lihat dari bentuk arsitektur pintu-pintu gerbang dan tembok keraton. Jika diurut dari bagian depan, keraton ini mempunyai empat buah pintu gerbang yang berbentuk bentar. Pintu gerbang utama yang merupakan jalan masuk menuju bagian dalam keraton terletak di tengah-tengah dinding tembok halaman depan, juga berbentuk bentar.

Dalam konsepsi kuno tentang bangunan-bangunan sakral dan sekuler pada arsitektur Jawa, kita melihat adanya fungsi-fungsi arsitektur tertentu yang memberikan indikasi ciri-ciri sebuah bangunan keagamaan atau bangunan sekuler. Dilihat dari bentuk pintu gerbangnya maka Kaibon menunjukkan ciri-ciri sebuah keraton dengan gaya tradisional.

Hal ini dapat dilihat dari susunan pintu gerbang dan halamannya. Pintu gerbang pertama yang merupakan jalan masuk berbentuk bentar, menunjukkan bahwa halaman yang akan dilalui masih bersifat profan. Pada halaman kedua, jalan masuk ditandai dengan pintu gerbang berbentuk paduraksa. Bentuk paduraksa ini, dalam tradisi bangunan kuno, menunjukkan bahwa halaman yang akan dilalui telah mempunyai nilai sakral.

Pada umumnya, letak sitinggil pada kraton tradisional di Jawa seperti keraton Kasepuhan, Kanoman, Demak, Panjang, Mataram terletak di halaman pertama bagian timur. Di Kaibon terlihat tata-letak yang berbeda. Justru bangunan yang seharusnya untuk sitinggil, di sini yang ada adalah bangunan sebuah masjid. Dengan demikian bangunan masjid pada keraton Kaibon diletakkan pada bagian utama keletakan keraton.

Masjid Kaibon ini berbentuk persegi panjang dengan sebuah mihrab yang terletak pada dinding barat masjid tersebut berbentuk sebuah ceruk persegi panjang. Pada halaman kedua ini pun terdapat beberapa bangunan yang telah hancur dan yang sebagian hanya tersisa pondasi-pondasinya saja. Biasanya, dalam tradisi bangunan di Jawa, di halaman kedua setelah paduraksa terdapat bangunan tempat tinggal sultan beserta kerabatnya; demikian juga bangunan-bangunan seperti bangsal, srimanganti, dan sebagainya. Di beberapa bangunan ini, terlihat pada beberapa sudut dinding adanya lubang bekas penempatan balok-balok kayu. Hal ini mungkin merupakan sisa lantai bangunan yang terbuat dari papan kayu dari struktur bangunan yang lebih mutakhir.

Di pintu gerbang sebelah barat menuju ke masjid keraton terdapat sebuah tembok besar yang terpayungi oleh pohon-pohon beringin yang tinggi. Pada tembok tersebut terdapat lima buah pintu yang dibuat dalam gaya Jawa atau Bali. Ukuran tembok itu panjang 80 meter dan tingginya 2 meter.

Di sisi timur, dekat aliran sungai, masih ada lagi sebuah pintu masuk ke dalem dengan bentuk yang sama, pintunya berbentuk seperti busur panah, juga hal ini mengingatkan kita pada bentuk bangunan Eropa. Di dekat pintu sebelah timur terdapat puing-puing bekas bangunan rumah-rumah yang dibangun pada permulaan abad XVI (?). Di muka keraton Kaibon, dekat jalan raya, terdapat puing-puing dari sebuah pintu terbuat dari batu yang mana pintu tersebut berhubungan dengan keraton Kaibon dan dinamai Pintu Gapura.

15. Makam-makam Kerabat Sultan

1) Makam Pangeran Mandalika

Makam ini terletak di seberang kampung Kroya; Pangeran Mandalika adalah putra Sultan Hasanuddin, dari ibu yang bukan permaisuri.

2) Makam Pangeran Mas

Terletak di kampung Pangkalan Nangka. Dia adalah seorang Pangeran dari Demak. Meninggal dan dimakamkan di Banten. Pintu gerbang menuju makam tersebut bergaya Holland Kuno. Di depan pintu gerbang terdapat makam Singajaya.

3) Makam Maulana Yusuf

Terletak di sebelah timur jalan melewati rel kereta api tidak jauh dari kampung Kesunyatan, tepatnya di tengah sawah, yang dikenal kuburan Pekalangan. Sehingga setelah meninggalnya ia disebut Penembahan Pekalangan Gede.

4) Makam Pangeran Astapati

Makam ini terletak di kampung Odel, yang dikelilingi oleh tembok berpagar besi. Pada pintu masuk sebelah selatan terlihat semacam bangunan ala Eropa yang sedikit ada perpaduan dengan motif Jawa kuno. Pangeran Astapati adalah salah seorang panglima perang Banten semasa pemerintahan Sultan Tirtayasa. Ia keturunan para pemimpin Baduy, di Kanekes, Banten Selatan, yang kemudian menikah dengan Ratu Dahlia, salah seorang putri sultan. Pangeran Astapati atau dikenal juga Pangeran Wirasuta ditugaskan untuk menggempur tentara kompeni Belanda di teluk Banten.

http://humaspdg.wordpress.com/2010/05/11/sisa-sisa-bangunan-sejarah-banten-lama/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar