Sabtu, 21 Mei 2011

Onghokham Dalam Kenangan

Sejarawan di Indonesia yang kali pertama mempelopori penulisan persoalan sejarah di media adalah Ong Hok Ham atau Onghokham (1 Mei 1933-30 Agustus 2007). Kliping tulisannya di Majalah Tempo (1976-2001) sudah diterbitkan dengan judul “Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang” merupakan fakta konsistensi Ong di dunia tulis-menulis. Begitu juga dengan karyanya, “Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong”.

Ia juga salah satu sejarawan yang berani mengkritik penguasa Orde Baru yang otoriter dan militeristik, meski lewat opini yang disamarkan dengan mengambil peristiwa sejarah periode kolonial. Keberanian Ong diakui sejarawan lain dan para sahabatnya. Lain halnya dengan mendiang Prof. Sartono Kartodirjo, Begawan Sejarah Indonesia. Ketidaksenangan dengan penguasa lebih diperlihatkan pada upaya diam, tanpa reaksi keras. Contoh, beliau undur diri dari tim penulisan Sejarah Nasional Indonesia edisi terakhir.

Mungkin sudah menjadi semacam “keumuman” di Indonesia, di mana ada tokoh yang mumpuni dan terkenal meninggal dunia, sekadar untuk mencurahkan atawa melampiaskan kenang-kenangan maka dibuatlah buku yang berisi kumpulan tulisan baik dari keluarga, teman atau penggemar. Buku yang berjudul “Onze Ong: Onghokham dalam Kenangan” (Komunitas Bambu, 2007) ini, merupakan kumpulan artikel dari mantan murid, sahabat, hingga kerabat. Buku yang disunting David Reeve, JJ Rizal dan Wasmi Alhaziri ini diluncurkan berbareng acara 100 hari peringatan meninggalnya Onghokham.

Pilihannya untuk mengucapkan “selamat tinggal” kuliah dan tumpukan teori hukum di Fakultas Hukum di Universitas Indonesia (UI) pada 1955 merupakan kreativitas dan keberanian Onghokham. Padahal saat itu Fakultas Hukum UI menjadi fakultas favorit dan berwibawa. Mungkin karena pada masa itu belum banyak advokat yang terang-terangan bicara soal kejujuran advokat dan pada saat yang sama berani menyuap polisi, jaksa dan hakim seperti saat ini. Ia lebih suka mendalami ilmu di Jurusan Sejarah dan skripsinya lalu dibukukan “Runtuhnya Hindia Belanda”, (Gramedia, 1987). Dan itu menjadi rujukan bagi peminat sejarah Indonesia periode 1930 dan 1940-an.

Berkat kecerdasan dan keseriusan, sejarawan berdarah Tionghoa ini berhasil menyelesaikan gelar doktor di Yale University, Amerika Serikat tahun 1975. Dan tidak ala kadarnya bersekolah, Ong melahirkan disertasi bermutu. Tidak tedeng aling-aling Benyamin White, guru besar pada Institut Studi Sosial, Belanda, memberikan pernyataan tegas, “kalau orang mau belajar sejarah petani Indonesia, dia mutlak harus membaca dua buku, yaitu disertasi Sartono Kartodirdjo, “The Peasant’s Revolt of Banten in 1888” dan Onghokham “The Residency of Madiun: Priyayi and Peasant in the 19th Century”. Menurut White, kedudukan Ong sejajar dengan Sartono dalam studi tentang sejarah petani di Indonesia khususnya di Pulau Jawa. Tiga tema fokusnya, petani, priyayi, dan kolonialisme.

Selain pandai mengolah arsip sejarah, ternyata Ong piawai memasak makanan dan seorang gourmet (ahli mencicipi makanan). Untuk kepentingan kuliner, dengan naik bus kota Ong sering keluar-masuk ke pasar. Glodok, Petak Sembilan, Pasar Ikan Muara Karang, Pasar Senen dan Pasar Blok M, tempatnya berbelanja. Ia senantiasa membikin pesta kecil di rumahnya dengan mengundang para artis, kolega, dan muridnya. Dalam hal penampilan, dia low profile. Tetapi untuk acara yang berhubungan dengan urusan perut, Ong tidak mau kalah dengan pejabat, tampil necis memakai jas walau tak diundang. Ada ungkapan, makan untuk hidup, namun oleh Ong dibalik, hidup untuk makan. Sederetan makanan yang tak luput digarap dan dicicipinya antara lain rijstafel, martabak, lumpia-hok-hay, sio bak-Malang, mi jangkrik, dll.

Ketika seminar ingat wisky, di kala ngajar ingat barang belanjaan di pasar, bahkan sewaktu sakitpun ingat barang yang masih di dalam kulkas. Cerita lucu diungkap oleh sahabatnya, AB Lapian (sejarawan maritim). Saat Ong inap di Rumah Sakit Panti Rapih tahun 2001 silam, dia membuat geli penjenguk. Meski divonis dokter gejala stroke, sempat-sempatnya mendiktekan surat wasiat yang ditulis oleh AB Lapian. Kurang lebih isinya, kalau dia betul menerima ajal, maka ikan bandeng di deep freeze untuk si A, dan botol-botol minuman keras untuk si B. Sudah menghadapi maut tapi masih memikirkan isi lemari es dan koleksi alkohol (hal 11).

Dalam buku terbitan Komunitas Bambu tersebut, Onghokham mendapat seperangkat gelar sebagai seorang sejarawan, intelektual publik, koki, penggila pesta, dan antiquarian. Ditemukan ada kekeliruan dalam buku ini. Tidak terteranya nama penulis Goenawan Mohamad di daftar isi. Penulis di kolom Catatan Pinggir Tempo ini menulis dengan judul “Ong” (hal 131-134) dan di daftar isi dicantumkan nama Hamish McDonald, padahal dalam isi asli buku menulis berjudul “Teman Ria” (hal 135-143). Tulisan Goenawan Mohamad diunduh dari Catatan Pinggir Majalah Tempo Edisi 28/XXXIIIIII/03-9 September 2007. Kekeliruan penyunting saat menyatakan ada 52 tulisan dalam buku kenang-kenangan ini, sesungguhnya ada 53 tulisan yang ditulis oleh 54 penulis. Memang dalam mewujudkan buku ini waktunya sangatlah pendek, maka bisa dipermaklum.

sumber: Heri Priyatmoko, http://rumahbaca.wordpress.com/2008/06/21/onghokham-dalam-kenangan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar