Minggu, 31 Juli 2011

Bulan Puasa Tempo Doeloe


Mandi-mandi di Cikapundung

Dulu ketika di Bandung belum ada ledeng, warga masih suka mandi dan cuci pakaian di sungai Cikapundung; yang airnya masih sejuk, jernih dan bersih. Di masa lalu warga Kota Bandung enggan menggali sumur, karena harus menggali dengan dalam. Penduduk lebih suka memanfaatkan mata air, seperti di sumur Bandung (pojok alun-alun sekitar PLN), mata air Ciguriang (kab. Kawung), Pancuran Tujuh (Cikendi Hegarmanah), Pamoyanan, Cipedes, Tegallega, dan mata air lainnya sekitar pemukiman penduduk.
Konon ceritanya di bulan puasa, ba’da ashar, orang mulai ramai mandi atau ngbuburit ke Leuwi Pajati. Lubuk dibawah Viaduct itu, airnya jernih dan banyak ikannya. Mereka yang pandai menyelam, kadang berhasil menangkap udang kecil, Deleg, Beunteur, Bogo dan Tawes, untuk lauk buka puasa. Ada juga anak muda yang menyusuri sungai Cikapundung sambil ngurek (mencari belut di lubang tanah kecil di pinggir kali, sawah maupun sungai).

Pada dasa warsa pertama di abad ke-20 ini, pihak pengelola Kota Bandung membuat sumur bor. “Sumur Bor” yang disediakan bagi masyarakat kota Bandung dibangun didepan Kantor Pos Alun-alun, dibelakang Gubernuran (Cicendo), depan kelenteng - Ciroyom dll. Dengan satu sen, orang bisa mendapatkan air bersih untuk minum, masak dan mandi. Karena pada lokasi sumur bor ada pemandian umumnya, bukan hal yang aneh apabila ba’da ashar pada bulan puasa, banyak penduduk yang mandi di sumur bor dekat Kantor Pos, lalu ngabuburit, duduk-duduk dibawah sepasang pohon beringin di alun-alun Bandung yang diberi nama WILHELMINA dan JULIANA BOOM. Sambil berleha-leha, mereka mengamati anak-anak bermain laying-layang, main bola dan pertunjukan balon gas.

Main-main di Lapang dan Taman

Selain di alun-alun Kota Bandung jaman baheula memiliki sejumlah lahan hijau terbuka, diantaranya lapang olah raga UNI, SIDOLIG, TEGALLEGA, dan NIAU (Gelora saparua sekarang). Beberapa Voet Ball Club, tanpa mengenal bulan puasa melakukan pertandingan atau latihan di sebelah utara rel kereta api dekat Jl. Rakata sekarang. Warga yang lagi ngububurit dari balik pagar bambu, ngintip menikmati pertandingan bola gratis, sementara anak-anak main layang-layang di lapang Javastraat, sambil nonton lokomotif “Si Gombor” menghela rangkaian Sneltrein (Kereta Api Cepat) Yogya Bandung.

Cara lain ngabuburit orang jaman baheula yaitu dengan beramai-ramai ke Park (taman) seperti Jubileum Park (Tamansari), Insulinde Park (Taman lalu lintas) dan Molukken Park (Taman Maluku).

Bagi yang ngububurit di Jubileum Park yang terletak di utara kebun Binatang, menjelang sore berjalan menyusuri kali Cikapayang, yang mengalir dari pintu air di utara pasar Balubur sampai ke Pieters Park (kini taman Merdeka). Orang dewasa menyusuri Cikapayang sambil ngurek mencari belut. Sedangkan anak-anak kecil mengadakan balap kapal-kapalan menggunakan kaleng Sardencis, kelom bekas dan kulit buah Kiangsret (Spathodea) yang berbentuk perahu. Di atas kapal yang melaju diletakkan lilin yang dinyalakan sesaat sebelum adzan Maghrib yang berarti ngububurit harus bubar, memburu tajil, candil, kolek dan kurma di rumah.

Melaju Bahtera Laju

Sampai tahun 1950-an, warga kota Bandung masih bisa berlaju-laju di sisa danau Bandung, yaitu Situ Akhsan dan Situ Bunjali atau empang Cipaganti di Bandung Utara. Di situ tadi orang bisa menyewa perahu Salimar, ngbuburit sampai sore. Tamu hotel Homan dan Preanger menjadikan Situ Aksan dan Situ Bunjali sebagai objek wisata dengan menggunakan kereta Kuda, Delman, atau taksi “Pageol”, maksudnya sedan merk Peugeot.

Objek ngabuburit anak-anak di Bandung dari masa ke masa adalah Stasiun Kereta Api Bandung. Bentuk dan Gumuruh suara lokomotif yang mendengus, menghembuskan uap betul-betul pesona fantastis bagi anak-anak. Seringkali anak-anak yang sedang ngabuburit terlena, ketiduran dalam gerbong.

Kelangenan Tempo Doeloe

Pusat Utama ngbuburit jaman baheula berkisar sekitar alun-alun, seperti Varia, Radio City, Oriental dan Elita, bulan puasa khusus memutar film anak-anak.

Para pengantar, Kindervoostelling mendapat berkah. Antara pengantar bisa terjadi perkenalan, yang dilanjutkan dengan kencan. Anak-anak sibuk memperhatikan film, oom, tanteu serta teteh dan aa juga tak kurang sibuk pacaran.

Orang bilang Bandung tempo doeloe banyak kamonesan. Udaranya yang sejuk, nyaman, dan segar, dengan suasana kota yang aman tenteram, membuat warga yang puasa, lupa akan haus dan dahaga.

Disadur dari:
Kunto, Haryoto. 2008. Ramadhan di Priangan (Tempo Doeloe)- Cetakan Ulang. Bandung: Granesia.
http://www.bandungheritage.org/index.php?option=com_content&view=article&id=89:ngabuburit-gaya-tempo-doeloe&catid=20:articles&Itemid=2

Rabu, 27 Juli 2011

Pahlawan dan Ideologi “Merah" dalam Historiografi Orde Baru dan Pasca Orde Baru

Oleh : Muhammad Ilham

Pengantar

Harus saya akui, teramat sulit untuk menukilkan kalam – meminjam istilah Raja Ali Haji - berkaitan dengan historiografi Orde Baru yang dikomparasikan dengan historiografi era pasca keruntuhan rezim yang dibangun oleh Soeharto tersebut. Kesulitan terletak pada beberapa hal, diantaranya masa Orde Baru yang relatif cukup panjang (1966-1998). Dengan time-dimention temporal tersebut, diasumsikan sangat (bahkan teramat banyak) karya-karya sejarah yang diterbitkan, dengan isu yang teramat beragam, dan oleh berbagai penulis dari berbagai “aliran”. Kemudian, kesulitan lain adalah faktor subjektifitas dan politisasi sejarah. Bagaimanapun juga, hingga hari ini, “gugatan” – untuk tidak menyebut kebencian - terhadap penulisan sejarah a-la Orde Baru masih belum bisa dihilangkan dalam ranah publik, khususnya diantara akademisi (baca: sejarawan). Buku-buku sejarah yang diterbitkan pada era Orde Baru, masih banyak yang “dicurigai” sebagai karya “pesanan” dan justifikasi politik. Saya berasumsi, tidak semua karya sejarah pada masa Orde Baru layak dicurigai, karena masih banyak karya yang netral dan tidak terkontaminasi untuk sekedar memberikan pembenaran terhadap rezim Orde Baru tersebut, walau sebenarnya, karya-karya sejarah jenis ini pada masa Orde Baru (melalui “tangan” Kejaksaan Agung) [1] tidak terdistribusi dengan baik di ranah publik. Pada sisi lain, tentunya tidak berarti karya-karya sejarah yang dilahirkan pada masa pasca Orde Baru cenderung netral dan objektif. Banyak juga karya-karya sejarah yang dilahirkan pada era ini terjebak pada subjektifitas ideologis, sekedar “menghantam” politisasi sejarah pada masa Orde Baru. Jadi tidaklah mengherankan apabila Gadamer mengatakan : “jangan kamu cari arti kata-kata, tapi pahami bagaimana kata-kata tersebut difungsikan”. Intinya, setiap karya sejarah, terlepas netral ataupun subjektif-ideologis, merupakan “kreasi zamannya” – atau dalam istilah Bennedicto Croce sebagai storia e storia contemporania, memahami kebenaran sejarah itu sebagai reaksi zamannya.

Dalam konteks diatas, maka dalam makalah ini saya lebih memfokuskan kepada komparasi historiografi dalam hal mainstream (arus/topik umum) penulisan sejarah. Bukan pada penilaian objektifitas dan subjektifitas masing-masing karya sejarah pada dua era berbeda ini. Pada masa Orde Baru, mainstream umum penulisan sejarah, cenderung “berseragam” – meminjam istilah Asvi Warman Adam[2] – untuk mengatakan bagaimana peran militer teramat dominan. Sedangkan pada masa pasca Orde Baru, sebagaimana halnya spirit reformasi – karya-karya sejarah cenderung “bebas”. Kejaksaan Agung tidak “segarang” masa Orde Baru dalam menyaring buku-buku yang diterbitkan. Diktum “Buku dilawan dengan Buku”, pada masa ini lebih dikedepankan. Untuk itu, dalam makalah ini, saya membagi dalam beberapa bagian, diantaranya : konteks aksiologis sejarah ditulis, mainstream historiografi Orde Baru dan pasca Orde Baru serta konsep kepahlawanan yang militeristik.

Untuk Apa Sejarah Ditulis ?

Untuk apa dan untuk siapa sejarah ditulis ?”. Teringatlah saya dengan Bennedict R.O’ Gonnor Anderson[3] yang telah memperbaiki tesis dan asumsi dominant selama ini yang berkembang – khususnya sejarah versi Orde Baru – tentang penyebab dan aktor Gerakan 30 September 1965. Beberapa versi selama ini mengatakan bahwa penyebab dan aktor Gerakan 30 September 1965 tersebut adalah Ketua CC PKI ketika Gerakan 30 September 1965 terjadi.[4] DN merupakan singkatan dari Dipa Nusantara.[5] Kembali ke Anderson. Melalui Cornell Paper’s-nya, Anderson secara tidak langsung telah merevisi G 30 S/PKI menjadi G 30 S saja. Anderson mengatakan bahwa penyebab terjadinya gerakan tersebut bukan disebabkan oleh faktor tunggal, tapi cukup komprehensif karena analisis sejarah diseputar gerakan tersebut harus memasukkan faktor keterlibatan CIA, konflik internal Angkatan Darat dan peta politik global serta regional. Karya Anderson dan beberapa karya sejarah lain yang berkaitan dengan gerakan 30 September 1965 tersebut dipahami dalam konteks untuk memperbaiki “mainstream” yang selama ini berkembang.

Sulit memang menganggap semua karya sejarah akan bersikap objektif. Karena subjektifiyas itu merupakan kondisi objektif dalam penulisan sejarah. Standar keilmiahan sebuah disiplin ilmu, secara umum biasanya diukur dari cara kerja (metodologi) disiplin ilmu itu sendiri yang mengacu kepada metode-metode baku sehingga hasil dari kerja ilmiahnya akan dinilai sebagai sesuatu yang objektif, sebagaimana halnya pada disiplin-disiplin ilmu lainnya – eksak, khususnya. Disiplin ilmu sejarah memiliki kaedah-kaedah metode penelitian tersendiri sehingga dikatakan sebagai disiplin ilmu yang objektif. Ungkapan nan “klasik” Leopold van Ranke bahwa sejarah itu harus dikaji “seperi apa yang sebenarnya ia terjadi” memberikan pondasi awal ke-objetifitasan disiplin ilmu sejarah itu sendiri. J.B. Burry[6] misalnya mengatakan bahwa “sejarah itu sains, ia memiliki metode sendiri, tak lebih tak kurang”, kembali mempertegas bahwa ilmu sejarah bisa objektif karena metode sendiri. Karena memiliki metode sendiri, maka kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan dengan merujuk kepada metode yang dimilikinya. Karena memiliki metode sendiri, maka pola kerja dalam sebuah penelitian serta penulisan bisa dianggap sama dikalangan sejarawan di seluruh dunia. Dalam konteks inilah, objektif ilmu sejarah tersebut dipahami.

Bila ada perdebatan-perdebatan dari sebuah karya sejarah, biasanya berawal dari teknik analisi dimana teori-teori/paradigma/pendekatan dari si penulis sejarah/sejarawan tersebut “bermain”. Karena ini pula, hasil sebuah penelitian/tulisan sejarah terkadang berbeda-beda. Tapi, hampir semua disiplin ilmu, khususnya ilmu sosial, perbedaan-perbedaan tersebut selalu bersumber dari paradigma/pendekatan yang digunakan. Berangkat dari pemahaman ini, maka kerapkali kita menemukan beberapa karya sejarah dengan tema yang sama justru menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Karena seringkali karya sejarah tersebut menghasilkan simpulan yang berbeda, timbul anggapan bahwa karya sejarah tersebut dalam proses rekonstruksinya, tidak objektif. Padahal, perbedaan kesimpulan yang didapatkan bukan karena metode penelitian yang berbeda. Metode-nya sama, akan tetapi pendekatan yang digunakan berbeda. Banyak karya sejarah, untuk kasus-kasus yang sama, memperkuat hal ini. Kasus tragedi 30 September 1965 juga bisa kita lihat dalam konteks ini. Hermawan Sulistyo[7] melihat konflik pertanahan/agraria sebagai penyebab terjadinya pembunuhan besar-besaran terhadap eks-PKI dan Gerwani di wilayah Jawa Timur, sedangkan Asvi Warman Adam[8] justru melihat pembunuhan tersebut dari pendekatan Tipe Ideal-nya Weber, dimana eksistensi kepemimpinan kharismatik Kiai “tereduksi” oleh pengaruh PKI yang mengedepankan semangat “egaliterianisme” dan anti borjuis (termasuk borjuisasi agama). Untuk kasus yang sama, simpulannya berbeda. Tapi, rekonstruksi sejarah ini dianggap objektif karena mengikuti prosedur kerja baku yang dikenal dalam epistimologi sejarah.[9]

Kita masih ingat dengan ungkapan filosof - sejarawan Italia, Bennedicto Croce yang pernah mengeluarkan ungkapan terkenal : “storia e storia contemporanea”. Artinya kira-kira, sejarah yang benar-benar sejarah adalah sejarah kekinian. Ungkapan ini bisa dipahami dalam dua perspektif. Pertama, Croce ingin mengatakan bahwa penulisan sejarah yang baik haruslah berangkat dari kondisi atau realitas kekinian yang untuk kemudian dicari “akar”nya kedalam “relung panjang sejarah” – meminjam istilah Taufik Abdullah. Pemahaman kedua, Croce ingin menjelaskan posisinya dalam melihat sejarah. Baginya sejarah tersebut sangat terikat dengan konteks masanya yang diistilahkannya sebagai contemporanea – kekinian atau ke-masa-an. Intinya adalah, penulisan sejarah, nilai objektifitasnya tersebut sangat terikat dengan ruang dan waktu. Pemahaman orang terhadap suatu fenomena sejarah pada suatu era, akan berbeda dengan era yang lain.[10]. Dalam penulisan sejarah, ada kesan subjektif yang pada umumnya menimbulkan penulisan yang bias atau berat sebelah. Memang, kecenderungan untuk lumrah terjadi karena seorang sejarawan yang dalam bahasa sosiologi-nya : “seorang manusia individu, ia adalah gejala sosial, hasil proses dari masyarakatnya” dan dalam kedudukan seperti itulah, ia berusaha untuk mendekati sejarah/merekonstruksi sejarah itu sendiri yang pada prinsipnya hanya terjadi satu kali atau einmalig tersebut. Tentu, subjektifitas sangat sulit untuk dihindarinya. Bahkan, subjektifitas sejarawan itu sendiri juga sebuah entitas objektif dalam penulisan sejarah. Ketika ia mulai memilih judul dan pendekatan yang (akan) digunakannya, maka, subjektifitas tersebut telah “masuk” dan bermain. Oleh karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan subjektifitas, tidak bisa dihindari.

Namun yang tidak boleh dilakukan adalah subjektifitas dalam pengertian mengebiri data, memalsukan dokumen dan menyesuaikan dokumen-dokumen yang ada agar sesuai dengan “tuntutan” yang ada. Inilah yang dinamakan dengan subjektifitas ekstrem. Buku Babon Sejarah Nasional Indonesia yang “dimotori”oleh Nugroho Notosusanto, sebagai contoh, adalah salah satu bentuk “pemerkosaan dokumen” agar sejarah yang ditulis tersebut mengkisahkan peran besar Orde Baru, marginalisasi peran sipil, hegemoni dan keunggulan militer (dalam hal ini : Angkatan Darat) dan kesalahan yang “melulu” harus ditimpakan pada Soekarno dan PKI dibalik terjadinya Gerakan 30 September 1965. Peran histories Nugroho Notosusanto ini dibuka secara gamblang oleh Katherine Mac. Gregory (pembahasan lebih lanjut, lihat dibawah) yang membongkar habis “kepalsuan”Nugroho Notosusanto serta bagaimana Nugroho ini “memilah-milah” dokumen yang seharusnya masuk dalam bagian analisis, justru disisihkan karena berpotensi merendahkan peran histories Suharto, Orde Baru dan militer. Karena itu pulalah Chaterine memberi judul bukunya dengan “Ketika Sejarah Berseragam”. Cukup banyak buku-buku sejarah yang ditulis dengan memalsukan berbagai dokumen agar penulisan sejarah tersebut bisa sesuai dengan kehendak yang memesan (biasanya pemerintah).[11]

Ketika Sejarah “Berseragam”

Dalam beberapa minggu ini, saya begitu tertarik "kembali" (dalam tanda kutip : artinya, sudah lama tidak tertarik) tentang sejarah militer di Indonesia, khususnya militer di era Orde Baru. Kembali saya baca Harold Crouch[12], TB. Simatupang[13], karya-karya tentang “Perang Gerilya”-nya AH. Nasution dan Yahya Muhaimin serta Katherina Mc. Gregory, termasuk "catatan kritis" Bambang Purwanto dan Asvi warman Adam. Saya tak berkisah banyak tentang hegemoni militer - meminjam istilah Juergen Habermas - selama Orde Baru. Hegemoni yang ditafsirkan sebagai kekuatan yang masuk dalam segala lini kehidupan manusia Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Termasuk dalam hal ini penulisan sejarah, yang oleh Asvi Warman Adam dan Harold Crouch, "sejarah Orde Baru adalah sejarah versi militer". Diantara buku-buku diatas, buku Katharine E. McGregor - Ketika Sejarah Berseragam - sangat menarik. Pasca Orde Baru banyak kajian yang menyoroti keterlibatan kaum militer dalam berbagai ranah kehidupan kenegaraan bangsa ini. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari menguatnya peran militer pasca 1965 yang bermetamorfosa menjadi kekuatan yang menggurita dalam setiap sektor kehidupan, sehingga ada yang mengatakan bahwa pada masa Orde Baru militer Indonesia tak ubahnya seperti, sebuah negara dalam negara. Dominasi militer tidak hanya tampak physically, tetapi juga mempunyai peranan yang kuat untuk mengontruksi alam bawah sadar massa rakyat Indonesia, sehingga yang terjadi, ingatan kolektif massa rakyat menjadi terkendalikan oleh nalar militer yang kemudian mempengaruhi tindak laku sebagian massa rakyat untuk menciptakan bayangan diri sebagai “mirip-mirip” kaum militer.

Katharine E. McGregor sebagai penulis buku ini melakukan kajian mendalam tentang bagaimana nalar pikir dikonstruksikan oleh persepsi-persepsi kesejarahan dari beberapa kelompok inti yang mempunyai wilayah kerja untuk memproduksi ingatan sejarah versi penguasa, yang didalamnya berkelit kelindan antara kepentingan ideologis patriotik dan pelanggengan mitos-mitos kekuasaan militer. Melalui pengkajian simbol-simbol dan penelurusan mitos-mitos wiracarita yang diciptakan, penulis buku ini relatif berhasil untuk melakukan pembongkaran dominasi historiografi yang selama Orde Baru telah menjadi narasi resmi. Buku yang berjudul asli History in Uniform : Military Ideology and the Construction of Indonesia’s Past ini hadir di hadapan pembaca Indonesia sebagai upaya untuk melacak bagaimana tafsir sejarah diciptakan dan membongkar kepentingan-kepentingan yang ada di baliknya, dan tentu saja supaya kita menjadi belajar dari sejarah yang selama ini hanya menciptakan dendam untuk dinegasikan dengan kepentingan bangsa yang lebih beradab dan manusiawi. Publik Indonesia bisa membaca karya berbobot ini, sehingga bisa melakukan refleksi atas mitos-mitos yang diciptakan di masa lalu. Dibawah ini, saya kutipkan pendapat beberapa pendapat tentang buku ini.

Ciri dari historiografi nasional yang dibentuk selama masa Orde Baru Suharto adalah sentralitas negara yang diejawantahkan oleh militer. Sejarah nasional disamakan dengan sejarah militer dan produksi sejarah dikendalikan oleh negara dan militer. Pada akhirnya versi militer tentang kejadian di tahun 1965 mendominasi historiografi periode tersebut dan melegitimasi naiknya rezim Orde Baru. Jika rezim sebelumnya membangun sejarah Indonesia sebagai hasil dari perbenturan antara kolonialisme dan imperialisme melawan nasionalisme Indonesia dengan Soekarno sebagai pusat, maka Orde Baru melihat sejarah Indonesia sebagai hasil dari perjuangan antara pendukung dan penentang Pancasila dengan menempatkan militer sebagai faktor penentu. Orde Baru hanya menggantikan Soekarno dengan militer, sementara itu para penentang Pancasila khususnya komunisme dan Islam ekstrimis telah menggantikan posisi kolonialisme dan imperialisme sebagai kambing hitam.Setidaknya ada beberapa pertanyaan yang selama ini sebenarnya kita telah memiliki "jawaban" nya sendiri, khususnya yang berkaitan dengan dominasi militer (baca : ABRI) pada masa Orde Baru, diantaranya : ABRI merupakan institusi yang sangat sistematis, loyalis dan cerdas (bahkan hal ini juga "diamini" hingga sekarang oleh publik). Kemudian, ketika kita membaca buku Ketika Sejarah Berseragam tersebut, kita juga akan tahu bahwa sejarah akan berbahaya bila berada "ditangan" militer (walaupun di tangan "politisi" juga demikian). Selanjutnya, sejarah berbasiskan senjata, amat sangat ampuh untuk memupuk nasionalisme. Namun terlepas dari semua itu, sejarah haruslah dipaparkan apa adanya. Dalam bahasa Edmund Husserl, "harus dikembalikan kepada posisi awal perustiwa itu terjadi". Maka dari sana akan kita ketahui, apa sebenarnya motif yang melatarbelakanginya. Sejarah harus "ditelanjangi", dan Katherine nampaknya menelanjangi sejarah militer Indonesia masa Orde Baru. Ini bermanfaat bagi perjalanan bangsa ke depan. Dan inilah keberkahan orde reformasi, buku-buku sejenis Katherine ini begitu massif didistribusikan dan didiskusikan di berbagai tempat oleh berbagai kalangan. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi pada era Orde Baru.
===============================
[1] Pembahasan mengenai peranan Kejaksaan Agung (termasuk Departemen Penerangan) pada masa Orde Baru dalam menyaring, melarang bahkan membreidel pendistribusian buku-buku sejarah serta majalah/koran, lihat Laporan Khusus Majalah GATRA edisi Agustus 1999/Minggu ke-3.

[2] Asvi Warman Adam, Menguak Misteri Sejarah, Jakarta: Gramedia, 2010, hal. Vi

[3] Ibid., hal. 91

[4] Diantaranya Sekretariat Negara Republik Indonesia, Buku Putih G 30 S, Jakarta: Setneg RI, 1993; William E. Liddle, Cultural and Class Politics in New Order Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 1977; Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, Kudeta Gerakan 30 September 1965, Djakarta: Pembimbing, 1968; Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Jilid VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1998; Bernard Dahm, Sukarno and the Struggle of Indonesia Independence, Ithaca: Cornell Univ. Press, 1969; Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angfin Akan Menuai Badai, Jakarta: Sinar Harapan, 1989 – untuk menyebut berapa buku diantaranya. Diantara buku-buku yang “bersberangan” dengan teori G 30 S/PKI (pakai : PKI) tersebut adalah Anderson yang dikenal dengan Cornell Papers-nya tersebut. Karya Anderson ini tidak dibolehkan oleh Kejaksaan Agung pada masa Orde Baru untuk dipublikasikan-didistribusikan kepada publik.

[5] Ada juga beberapa versi lain yang mengatakan bahwa DN adalah singkatan dari Danu Nusantara. Sebenarnya, DN merupakan singkatan dari Dja’far Nawawi Aidit. Karena Dja’far Nawawi terkesan “religius”, maka Aidit menggantinya dengan Dipa Nusantara/Danu Nusantara, sebagaimana halnya dengan tokoh komunis Sumatera Barat Chalid Salim (adik Haji Agus Salim) yang mengganti label namanya dengan Chalid Xalim. Tapi sudahlah, setiap orang berhak “mengkreasi” namanya.

[6] Wan Rahman Wan Latief, Sejarah dan Pensejarahan, Bangi, Selangor DE.: Universiti Kebangsaan Malaysia Press, 2003, hal. 118

[7] Hermawan Sulistyo, Pembunuhan di Ladang Tebu, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal. 36

[8] Asvi Warman Adam, “Meluruskan Pemahaman Sejarah September 1965” dalam Kompas 20 September 2003 dalam www.kompas.com/ (diunggah tanggal 7 Juli 2011

[9] Simpulan berbeda, karena pendekatannya berbeda. Untuk hal yang sama, dalam proses bimbingan skripsi, saya pernah mengalami hal serupa. Membimbing beberapa orang mahasiswa mengenai kasus yang sama, namun dilihat dari perspektif/pendekatan yang berbeda. Skripsi pertama tentang “Dinamika Fungsi Rumah Adat” yang dilihat dari pendekatan sosiologi antropologi (secara general). Mahasiswa bersangkutan melihat perubahan fungsi-fungsi rumah adapt tersebut dalam spectrum waktu dengan mengedepankan teori structural fungsional. Sementara mahasiswa yang lain justru melihat “Dinamika Fungsi Rumah Adat” tersebut dari perspektif arkeologis. Mahasiswa tersebut melihat perubahan-perubahan fungsi dari meaning (pemaknaan) dari tinggalan-tinggalan material yang ada di Rumah Adat itu. Simpulannya, terjadi perbedaan signifikan diantara dua skripsi ini. Akan tetapi, metode yang mereka gunakan sama sebagaimana yang dikenal dalam ilmu sejarah, bagi saya, penelitian mereka tetap objektif karena memiliki parameter untuk bisa dipertanggungjawabkan.

[10] Ketika sebuah kalimat tertera dalam sebuah arsip yang dicatat pada era 1910-an : ”Anak-anak di Air Bangis berjalan di tepian soengai pada senja hari pergi sumbajang dan mengadji ke langgar dan poelang tidak pernah laroet malam sehingganja sumbajang isa’ (Isya: pen.) hanja diikoeti oleh orang-prang tua sahaja” (Lihat HAA. Haars, Hikajat Perang : Catatan 1st the Luittenant der Infanteri, Batavia: G. Golf and Co., 1897. Buku dalam bentuk PDF Penulis dapatkan dari kiriman seorang kawan dari Leiden Universitet Belanda). Kalimat “miring” akan berbeda pemahamannya bila ditafsirkan pada masa sekarang. Senja pada masa itu akan dipahami dalam durasi waktu pukul 4 – 5 sore, sedangkan larut malam dimaknai sebelum sholat Isya (lebih kurang pukul 8 malam). Bila hal tersebut ditafsirkan menurut “kacamata” sekarang, maka senja itu adalah pukul 6 – 7 malam, sedangkan larut malam diatas pukul 10 malam. Demikian juga dengan konsepsi poligami, misalnya. Banyak karya-karya sejarah, khususnya yang berkaitan dengan biografi ulama yang berkaitan dengan praktek poligami. Misalnya penggalan kalimat berikut : Syekh Halaban yang dianggap sebagai ulama kharismatik. Dengan potensi kepemimpinan seperti ini, sangatlah mudah bagi Syekh Halaban untuk memiliki istri banyak, bahkan para orang tua berlomba-lomba untuk “menyodorkan” anak mereka menjadi istri Syekh yang juga guru dari ulama tradisional Minangkabau terkenal – Syekh Inyiak Canduang” (Tim Peneliti FIBA, 2007). Konsepsi poligami dalam kalangan masyarakat pada masa-masa tersebut diatas adalah suatu kondisi sosial yang fungsional, baik bagi masyarakat maupun bagi elit agama itu sendiri. Nilai-nilai dan fungsi ini hanya bisa diletakkan pada era itu. Ini tidak akan bisa kita tempatkan pada masa-masa A’a Gym ataupun Zainuddin MZ. Apa yang dikemukakan diatas juga secara “gamblang” pernah dikemukakan dengan baik oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Novel-sejarahnya yang bertitelkan “Gadis Pantai”. Dengan begitu bagusnya Pram menarasikan bagaimana seorang ulama begitu dikonstruksikan oleh realitas sosial dalam strata yang demikian tinggi. Walau bukan dalam bentuk karya sejarah “sebagaimana mestinya”, akan tetapi novel-sejarah ini setidaknya mampu memberikan kepada kita gambaran yang terjadi pada era awal 1900-an, khususnya di Pantai Selatan Jawa. Bila kita membaca Gadis Pantai ini dengan kaca mata kita sekarang, maka akan kita simpulkan : “ulama yang maniac seks, ulama yang suka daun-daun muda dan ulama yang sangat otoriter serta ulama yang sombong-pongah dengan keulamaannya”. Begitu juga dengan narasi berikut ini : “Sebagaimana anak muda kampoeng lainnja, tentunja Ridjal amat senang sekali bisa berkawan dengan kakak sepoepoenja jang manis itu. Namanya Halimah. Tapi sajang, ianja akan berkahwin dengan seorang saudagar kaja dari Bangkahulu, saudagar jang juga ulama karena baru pulang dari tanah Mekkah. Halimah yang baroe beroemoer 14 tahun, akan berkahwin beberapa minggoe lagi” (Muhammad Radjab, Masa Kecil di Kampung, 1938). Tentu, bila Syekh Puji hidup pada masa Ridjal ini hidup, ia akan dapat memperistri “anak dibawah umur”. Bila Syekh Puji juga hidup pada masa diatas tersebut, tentu juga ia tidak akan dikenakan sanksi mengawini anak-anak usia dibawah umur. Tapi sayang, Syekh Puji hidup pada masa sekarang. Dan karena itu, alangkah juga naifnya bila kita melihat fenomena diatas dalam pemahaman kacama kita saat ini pula. Karena itu pulalah, Croce dan kawan-kawannya beranggapan bahwa kebenaran sejarah (tepatnya : objektifitas sejarah itu) sangat bersifat relatif.

[11] Di Negara-negara otoriter seperti Korea Utara, Irak pada masa Saddam Hussein, Protocol Zion dalam menjustifikasi “duka-lara” sejarah bangsa Yahudi – merupakan beberapa contoh subjektifitas ekstrim dalam penulisan sejarah. Interpretasi dari penulis merupakan bentuk subjektifitas yang tidak bisa dihindari. Subjektifitas jenis ini bisa diminimalisir dengan latihan dan kepatuhan akan metode yang ada. Akan tetapi, subjektifitas dengan “memalsukan” dokumen-dokumen yang ada agar menguntungkan pihak tertentu, itulah subjektifitas yang tidak dibolehkan. Dan ini tidak membutuhkan latihan ataupun kepatuhan ketat terhadap metode penelitian, karena seorang Prof. Doktor “botak” sekalipun, bisa “terjebak” dan mau “dijebak” dalam subjektifitas ekstrem ini.

[12] Harold Crouch, Militer dalam Politik Indonesia, terjemahan, Jakarta: Sinar Harapan Press, 2000.

[13] TB. Simatupang, “Militer dalam Ketatanegaraan Indonesia”, dalam Prisma Edisi XVI/1982.

sumber: http://ilhamfadli.blogspot.com/2011/07/pahlawan-dan-ideologi-merah-dalam_10.html
(Makalah lengkap diterbitan dalam Jurnal Humaniora/Edisi Mei-Juni 2011)

Asal Mula Kata Pengemis


Akhir-akhir ini di banyak kota, baik kota kecil, besar bahkan kota metropolitan pun tak lepas dari semakin suburnya peminta-minta alias pengemis. Mungkin karena kemiskinan dan minimnya lapangan pekerjaan yang membuat mereka terpaksa berprofesi demikian atau memang sebagian dari mereka sudah diwariskan secara turun temurun. Ironis memang kalau Koes Plus bilang dalam lagunya Indonesia tanah air kita diibaratkan kolam susu (saking suburnya).
Tapi sayang oleh penguasa sendiri pun juga masih mewarisi sifat-sifat yang diturunkan dari sebagian nenek moyang dahulu yang punya hobby sebagai pengemis sehingga hutang negara kitapun semakin menggunung alhasil anak-cucu yang menanggungnya.

Betulkah sebagian orang-orang Indonesia ada yang mempunyai hobby sebagai pengemis..?? , ternyata teka-teki ini ada benarnya kalau dirunut dari sejarahnya dulu, ceritanya begini :

Pada saat itu penguasa Kerajaan Surakarta Hadiningrat di pimpin oleh seorang Raja bernama Paku Buwono X, dimana para penguasa pada masa itu memang sangat dermawan serta gemar membagi-bagikan sedekah untuk kaum papa yang tak berpunya terutama menjelang hari Jum'at khususnya pada hari Kamis sore.

Pada hari Kamis tersebut Raja Paku Buwono keluar dari Istananya untuk melihat-lihat keadaan rakyatnya, dari istana menuju Masjid Agung, perjalanan dari gerbang Istana menuju Masjid Agung tersebut ditempuh dengan berjalan kaki yang tentunya melewati alun-alun lor (alun-alun utara), sambil berjalan kaki tentunya diiringi para pengawal sang raja, rupanya di sepanjang jalan sudah dielu-elukan oleh rakyatnya sambil berjejer rapi di kanan-kiri jalan dan sembari menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan kepada sang pemimpinnya.

Pada saat itulah sang raja tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bersedekah dan langsung diberikan kepada rakyatnya berupa uang tanpa ada satupun yang terlewatkan dengan kebiasaan berbagi-bagi berkah tersebut mungkin juga warisan para penguasa sebelumnya (sebelum Paku Buwono X), ternyata kebiasaan tersebut berlangsung setiap hari Kamis (dalam bahasa jawanya Kemis), maka lahirlah sebutan orang yang mengharapkan berkah dihari Kemis dan diistilahkan dengan sebutan NGEMIS (kata ganti untuk sebutan pengguna/pengharap berkah dihari Kemis) dan pelaku-pelakunyapun biasa disebut Pengemis (Pengharap berkah pada hari Kemis).

Namun kata pengemis rupanya telah masuk salah satu kosa kata bahasa Indonesia yang tentunya kata dasarnya bukan emis tapi Kemis (Kamis), ternyata sebutan peminta-minta kalah populer dengan istilah pengemis padahal kata pengemis kalau diurai dan diambil dari kata dasarnya yakni kemis atau emis mungkin tidak dikenal dalam kosa kata bahasa Indonesia kecuali kalau ada tambahan awalan pe sehingga muncul istilah "Pengemis". Lain halnya dengan kata peminta-minta kata dasarnya adalah minta yang artinya jelas bahkan bisa berdiri sendiri tanpa ada awalan pe.

Jadi kalau boleh disimpulkan asal muasal kata atau perkataan pengemis berasal dari Surakarta atau Solo.

(Di ringkas dari Buku Khasanah Bahasa dalam Kata Per-Kata - Prof. Gorris Keeraf)
http://99ratiz.blogspot.com/2011/06/sejarah-hebat-tentang-pengemis.html

Foto-Foto Terlarang Dari Hindia Belanda



Pada tanggal 8 Desember 2009 diterbitkan buku yang berisikan foto-foto terlarang yang dibuat di Hindia-Belanda - nama Indonesia di zaman kolonial - antara tahun 1945 hingga akhir 1949.

Foto-foto dilarang pemerintah Batavia, karena hanya mau memberikan gambaran yang positif tentang perang ketika itu. Foto tentara yang terluka tembakan, atau penduduk yang ditangkap dan diancam laras senapan, foto-foto yang boleh dibilang kontroversial, tidak pernah muncul di media Belanda. René Kok, Erik Somers dan Louis Zweers menggabungkan hampir 200 foto dalam buku mereka 'Perang Kolonial 1945-1949: Dari Hindia Belanda ke Indonesia. Radio Nederland berbincang dengan Erik Somers, salah satu penulisnya.

René Kok, Erik Somers dan Louis Zweers memang sudah lama menyelidiki berbagai arsip gambar dan juga fotografi mengenai Perang Dunia II. Selain itu mereka juga menyelidiki arsip-arsip foto di periode dekolonisasi Hindia-Belanda antara 1945 hingga 1949. Ketika itu banyak wartawan yang dipakai oleh pemerintah kolonial untuk membuat foto-foto perang. Para wartawan ini diwajibkan untuk menyerahkan semua foto yang dibuat kepada pemerintah Batavia untuk diseleksi, sebelum dikirim ke media di Belanda.

Disensor
Banyak foto yang tidak terseleksi karena dianggap mengandung unsur-unsur yang mengagetkan sehingga bisa meresahkan sanak keluarga serta penduduk Belanda. Foto serdadu yang terluka misalnya, atau tawanan perang, tidak pernah ditampilkan di media.

Sebenarnya periode 1945, setelah 17 Agustus dan 1949, dikenal dengan periode Bersiap, dan setelah itu dimulai aksi agresi I dan II oleh Belanda, dan berakhir dengan penyerahan kedaulatan Desember 1949. Istilah Belanda 'Politionele Actie' memang sengaja tidak digunakan oleh ketiga penulis. Menurut mereka istilah ini digunakan pemerintah Belanda untuk membenarkan aksi di Indonesia yaitu mengembalikan ketenangan dan pemerintahan di Hindia-Belanda, dan digunakan untuk menutup-nutupi apa yang terjadi ketika itu.

Setelah menyelidiki ratusan foto yang ditemukan, ketiganya menyimpulkan, bahwa sejak hari pertama pasukan Belanda datang ke Indonesia, dimulailah periode perang, dalam hal ini perang kolonial.

Memang saat itu banyak foto yang beredar mengenai perang. Tujuan utama buku ini adalah menerangkan kepada rakyat Belanda, bahwa pemberitaan mengenai perang ketika itu, terutama foto, telah terlebih dulu diseleksi, disensor oleh pemerintah, dinas intel dan militer Belanda. Hanya diperlihatkan foto-foto yang sesuai dengan kebijakan pemerintah, kebanyakan foto-foto yang menutup-nutupi dan tidak memperlihatkan situasi yang sebenarnya. Jadi foto-foto yang tidak membuat khawatir sanak keluarga para militer di Belanda. Ketika itu ada 120.000 tentara Belanda dikirim ke Indonesia.

Keadaan sesungguhnya
Foto-foto yang diterbitkan sekarang, justru foto yang dilarang atau ditolak oleh badan sensor, tapi oleh karena satu dan lain hal masih tetap disimpan di berbagai badan arsip. Foto-foto ini menunjukkan gambaran lain tentang perang, kekerasan, teror dan lainnya, atau gambaran perang sesungguhnya.

Rakyat Belanda tidak boleh merasa khawatir akan nasib tentara, sanak keluarga mereka yang ditugaskan ke Hindia-Belanda. Itulah tujuan utama. Setiap bentuk keresahan, apalagi tentangan terhadap perang ini membawa dampak negatif bagi pemerintah dan pimpinan militer Belanda ketika itu. Termasuk foto-foto di mana penduduk Indonesia menyambut gembira pasukan Belanda yang ketika itu dianggap sebagai 'pembebas'.

Kebijakan yang sama juga digunakan pemerintah Amerika Serikat dalam perang Irak. Dan juga di Afghanistan. Foto-foto yang dipublikasi sebisa mungkin tidak membuat orang bereaksi negatif. Foto-foto yang dibuat fotografer embedded, dan dibuat berdasarkan permintaan pemerintah atau militer.
Foto-foto ini bertolak belakang dengan cerita para serdadu yang kemudian kembali ke Belanda. Setibanya di tanah air mereka merasa tidak dihargai, karena gambaran publik tentang perang itu sangat positif. Tidak ada kejahatan, kekerasan, teror atau aksi berdarah.

Selain itu Belanda juga perlahan-lahan harus menerima bahwa mereka kehilangan wilayah koloni dan dari awalnya perang ini sudah dianggap gagal. Satu hal yang sudah pasti tidak menimbulkan simpati publik.

Reaksi
Banyak reaksi diterima ketiga penulis, terutama dari kalangan veteran KNIL di Belanda. dan juga dari anak-anak mereka, generasi kedua setelah perang. Buku ini, dan terutama foto-foto tersebut menjelaskan mengapa ayah mereka tidak mau berbicara tentang perang. Atau justru bercerita banyak mengenai berbagai kekerasan yang terjadi di saat perang, menjelang akhir hayat mereka. Dengan kata lain buku ini menceritakan sisi negatif dari perang.

Koloniale Oorlog: 1945-1949René Kok, Erik Somers, Louis Zweers
Penerbit Carrera
ISBN: 978 90 488 0320 0
Terbit mulai 8 Desember 2009

SEJARAH TENTANG ISTANA NEGARA


Istana Negara yang kita kenal sekarang sebetulnya adalah bangunan yang dibuat oleh orang Belanda, dalam perkembangannya Istana negara mengalami beberapa kali perbaikan tetapi bagi anda yang belum mengetahui sejarah dari Istana Negara tersebut bisa di baca artikelnya di bawah ini:

Istana Negara dibangun tahun 1796 untuk kediaman pribadi seorang warga negara Belanda J.A van Braam. Pada tahun 1816 bangunan ini diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda dan digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan serta kediaman para Gubernur Jendral Belanda. Karenanya pada masa itu istana ini disebut juga sebagai Hotel Gubernur Jendral.

Pada mulanya bangunan yang berarsitektur gaya Yunani kuno itu bertingkat dua, namun pada tahun 1848 bagian atasnya dibongkar, dan bagian depan lantai bawah dibuat lebih besar untuk memberi kesan lebih resmi. Bentuk bangunan hasil perubahan 1848 inilah yang bertahan sampai sekarang, tanpa perubahan yang berarti. Luas bangunan ini lebih kurang 3.375 meter persegi.

Sesuai dengan fungsi istana ini, pajangan serta hiasannya cenderung memberi suasana sangat resmi. Bahkan kharismatik. Ada dua buah cermin besar peninggalan pemerintah Belanda, disamping hiasan dinding karya pelukis - pelukis besar, seperti Basoeki Abdoellah.

Banyak peristiwa penting yang terjadi di Istana Negara. Diantaranya ialah ketika Jendral de Kock menguraikan rencananya kepada Gubernur Jendral Baron van der Capellen untuk menindas pemberontakan Pangeran Diponegoro dan merumuskan strateginya dalam menghadapi Tuanku Imam Bonjol. Juga saat Gubernur Jendral Johannes van de Bosch menetapkan sistem tanam paksa atau cultuur stelsel. Setelah kemerdekaan, tanggal 25 Maret 1947, di gedung ini terjadi penandatanganan naskah persetujuan Linggarjati. Pihak Indonesia diwakili oleh Sutan Sjahrir dan pihak Belanda oleh Dr. Van Mook.

Istana Negara berfungsi sebagai pusat kegiatan pemerintahan negara, diantaranya menjadi tempat penyelenggaraan acara - acara yang bersifat kenegaraan, seperti pelantikan pejabat - pejabat tinggi negara, pembukaan musyawarah, dan rapat kerja nasional, pembukaan kongres bersifat nasional dan internasioal, dan tempat jamuan kenegaraan.

Sejak masa pemerintahan Belanda dan Jepang sampai masa pemerintahan Republik Indonesia, sudah lebih kurang 20 kepala pemerintahan dan kepala negara yang menggunakan Istana Negara sebagai kediaman resmi dan pusat kegiatan pemerintahan Negara, dan Presiden Sukarno juga pastinya pernah mendiami Istana Negara ini.

Jadi benarkan bahwa Istana negara itu sebenarnya adalah kediaman pribadi orang belanda dan sekarang menjadi kediaman kepala negara.

sumber: http://feedproxy.google.com/~r/Strov/~3/VTdBkHGiiW0/istana-negara-sejarah-istana-negara.html

Senin, 25 Juli 2011

Tinjauan Buku: Menyibak Keruntuhan Majapahit


Judul : Genealogi Keruntuhan
Majapahit, Islamisasi,
Toleransi,
dan Pemertahanan
Agama Hindu di Bali.
Penulis : Prof Dr Nengah Bawa Atmadja, MA
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Edisi : I, 2010
Tebal : xxxiii + 503 halaman

Majapahit merupakan salah satu kerajaan Hindu-Jawa terbesar di Indonesia. Kerajaan ini merupakan simbol puncak kemajuan peradaban Hindu-Jawa. Majapahit mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Pasca-tumbangnya Hayam Wuruk, Majapahit perlahan-lahan mengalami kemunduran yang berakhir sirna.

Setelah tumbangnya Majapahit, kemudian muncul gerakan serentak dakwah Islam di Jawa. Posisi kerajaan terbesar Hindu-Buddha kemudian digantikan oleh kerajaan Islam yang berpusat di Demak Bintara. Proses islamisasi di Jawa merupakan proses agung dalam rangka dakwah penyebaran agama Islam. Islamisasi berlangsung secara perlahan-lahan, tetapi penuh kepastian.

Kerajaan Demak Bintara merupakan kerajaan Islam terbesar setelah tumbangnya Majapahit. Kerajaan Majapahit merupakan penerus kerajaan Singasari. Dia tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh Islam. Gejala ini diperkuat dengan munculnya kota-kota pelabuhan di jalur pantura (pantai utara) Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Bahkan, sebelum itu banyak pedagang Islam dari Gujarat maupun Arab yang berada di dalam Kerajaan Majapahit.

Dakwah penyebaran Islam ini bukan hanya dari kalangan saudagar, melainkan juga dari adanya peran Wali Sanga (Wali Sembilan) yang berada di Tanah Jawa. Keberhasilan Wali Sanga dalam menyebarkan agama Islam tak lepas dari modal yang dimilikinya. Modal inilah yang tidak kebanyakan orang mampu memilikinya. Pada masa awal perkembangan Islam, para wali menjadikan masjid sebagai sentralnya. Di dalam masjid-lah segala aktivitas pengembangan komunitas Islam berlangsung.

Buku Genealogi Keruntuhan Majapahit, Islamisasi, Toleransi, dan Pemertahanan Agama Hindu di Bali karya Prof Dr Nengah Bawa Atmadja, MA, merupakan salah satu buku sejarah dengan banyak sudut pandang. Dalam menyampaikan gagasannya, penulis menggunakan data. Analisis yang dipaparkan dapat memberikan bayangan mengenai lintasan historis. Pemaparannya menyangkut data-data sejarah sejak zaman Majapahit hingga zaman Republik.

Hal yang menarik dari buku ini, yakni pemuatan telaah mengenai luasnya penggalian masalah sejarah dan modernisasi yang terkandung dalam konsep trisema. Hal tersebut yakni sejarah sudut pandang kejadian masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang mengenai jatuh-bangunnya kerajaan besar. Tentu ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun, hal itu berbeda ketika di tangan Atmadja. Dia berhasil menuliskannya dengan sedemikian apik.

Buku ini merupakan buah hasil dari pemikiran mengenai hakikat sebuah pergeseran dan kebertahanan sejarah peradaban. Ini menyangkut perjalanan sejarah bangsa Majapahit menjadi bangsa Indonesia yang multikultural. Pada zaman Majapahit banyak dijumpai pertapaan (mandala) yang terletak di dalam hutan. Ini berfungsi sebagai asrama tempat tinggal siswa yang berguru kepada orang suci yang memiliki pertapaan. Mandala ini kemudian berubah menjadi pesantren setelah Majapahit tumbang digantikan kerajaan Islam.

Pengalihan pertapaan menjadi pesantren menimbulkan implikasi. Di mata orang Hindu, pesantren bukan budaya asing. Hal tersebut telah mengakar dalam budaya Jawa. Mereka lebih mudah menerima pendidikan agama lewat pesantren. Sebab, secara kelembagaan, pesantren cenderung sama dengan lembaga pendidikan sebelumnya (mandala/pertapaan). Hanya saja mereka berbeda istilah dan bahan ajaran.

Kondisi ini mengakibatkan agama Islam secara bertahap meluaskan pengaruhnya ke daerah-daerah pedalaman. Bahkan, Islam telah menembus kawasan Istana Majapahit. Ini terbukti dengan adanya temuan batu nisan di kuburan-kuburan Jawa Timur, yakni Trowulan dan Troloyo, di dekat Istana Majapahit. Ini menunjukkan bahwa pada saat Majapahit berjaya, penduduknya sudah ada yang beragama Islam.

Ini berkaitan dengan kebijakan raja terhadap agama Islam. Raja Majapahit memberikan keleluasaan bagi dakwah Islam. Sebab, penganutnya sangat saleh dan awalnya menjauhi urusan politik. Dengan demikian, Islam dulu lebih bercorak kultural. Kebijakan ini lebih memberikan peluang secara leluasa dalam proses islamisasi di tubuh internal Majapahit. Percepatan islamisasi terkait pula dengan pencarian titik temu antara agama Islam dan agama Hindu-Buddha.

Keruntuhan Majapahit disebabkan banyak faktor, terutama faktor politik. Ini terbukti bahwa pascakekuasaan Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, tidak ada lagi orang kuat sebagai penggantinya. Oleh sebab itu, legitimasi kekuasaan raja-raja Majapahit sangat rentan tak berdaya. Ini kemudian menimbulkan perang saudara yang melibatkan elite kerajaan. Kejadian ini kemungkinan disebabkan adanya konflik hebat di kalangan keluarga raja sehingga Majapahit gagal mengisi posisi raja secara definitif.

http://oase.kompas.com/read/2011/02/08/00583033/Menyibak.Keruntuhan.Majapahit

Situs Kerajaan Majapahit Dirusak


Situs yang diduga peninggalan Kerajaan Majapahit yang terletak di Desa Semen, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, dirusak orang tidak bertanggung jawab hingga kondisinya berserakan.

Kepala Kepolisian Resor (Polres) Kediri AKBP Heri Wahono, Minggu mengemukakan, pihaknya sedang melakukan penyelidikan terhadap kasus perusakan tersebut.

"Kami masih nelakukan penyelidikan. Jika pelaku tertangkap dan terbukti bersalah, kami akan memprosesnya sesuai dengan perbuatannya," katanya mengungkapkan.

Situs yang sengaja dirusak itu sudah dilindungi pemerintah. Sebuah tembikar atau alat kerajinan kuno pecah dan bercampur dengan fragmen serta wadah-wadah baru diketahui berserakan. Pecahan mangkok dan batu yang juga peninggalan sejarah di lokasi ikut ditemukan sudah dalam keadaan hancur.

Selain itu pagar pelindung juga sengaja dicabut oleh orang yang diduga melakukan perbuatan itu dan membuangnya ke sungai, yang lokasinya tidak jauh dari situs. Hingga kini, belum diketahui pelaku perusakan tersebut.

Polisi juga menemukan kesulitan, mengingat lokasi situs itu terletak di areal persawahan yang jauh dari tempat tinggal warga. Di tempat ini, terdapat tiga arca. Dua arca menyerupai sesosok naga dan satunya lagi menyerupai dewa Wisnu. Selain itu juga ada tempat yang menyerupai taman kaputren dan terdapat sebuah pancuran air.

BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) Mojokerto, Jawa Timur, menyatakan jika benda-benda tersebut adalah jenis batu peninggalan Kerajaan Majapahit. Tumpukan batu bata di lokasi situs tersebut diperkirakan sebuah gapura (gerbang, red). Situs itu ditetapkan sebagai benda cagar budaya dan dilindungi pemerintah. Tetapi, oleh orang tidak bertanggung jawab, benda-benda di situs itu dirusak.

Kepala BP3 Trowulan Aris Soviyani yang ditemui di lokasi kejadian mengatakan, pihaknya saat ini sedang menyelidiki kerusakan tersebut, guna menentukan kategorinya. Pihaknya belum bisa memutuskan, perusakan itu termasuk tindak pidana perusakan situs ataukah pidana umum. Untuk pelaku perusakan, pihaknya menyerahkan pada polisi untuk mengusutnya.

http://id.berita.yahoo.com/waduh-situs-kerajaan-majapahit-di-kediri-dirusak-134244703.html

Kamis, 21 Juli 2011

Catatan Sejarah Hancurnya Majapahit


HJ. De Graaf dan Th. Pigeaud dalam bukunya Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI (terjemahan Grafiti Pers), memberikan beberapa keterangan yang menyoalkan atas permasalah hancurnya Majapahit. Tulisannya mengupas beberapa peristiwa yang mungkin luput dari pandangan kita. Apa pun tulisan mereka hanya sebuah kecenderungan dari pola pikir yang terbentuk atas data-data yang mereka temukan dan mereka nilai benar.
Menurut cerita rakyat Jawa, tahun kejadiannya adalah 1487 M. Diambil dari kalimat terkenal Sirna Ilang Kertaning Bhumi = Musnah Hilang Keagungan Negeri = 1400 J = 1487 M, yang dipercaya sebagai tahun keruntuhan Majapahit. Tapi kedua ilmuwan Belanda tersebut mendapatkan bukti-bukti yang berbeda.
Kerajaan Majapahit ternyata tidak runtuh di tahun 1487 M. Meksi begitu, tahun itu ternyata bukan tahun yang tidak penting. Pada tahun itulah raja pertama Demak mulai memerintah. Di catatan-catatan Jawa dia disebut dangan nama Raden Patah (dari kata Arab: Al Fatah, “kemenangan gemilang”).

Dari gelarnya, yaitu raden, dapat diduga ia bertalian darah dengan penguasa lama. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah anak Raja Majapahit terakhir, yaitu Brawijaya. Sedangkan ibunya adalah selir raja, seorang wanita Cina muslim. Tempat kelahirannya adalah Palembang. Konon ibunya dalam keadaan mengandung ketika `dihadiahkan’ kepada gubernur kesayangan Raja di Sumatera selatan itu. Tapi cerita ini berbeda dengan dokumen-dokumen lainnya. Menurut catatan orang Eropa, nama penguasa Demak pertama itu adalah Pate Rodim (Sr.) . De Graaf memperolehnya dari buku Summa Oriental tulisan Tome Pires, seorang duta Portugis dari Malaka yang mengunjungi Jawa pada awal abad XVI. Ilmuwan Belanda itu memperkirakan nama sang penguasa sebenarnya mungkin adalah `Kamaruddin’ atau `Badruddin’. Dari buku yang sama dan juga dari dokumen Kerajaan Banten, didapatkan bukti bahwa raja Demak tersebut bukanlah keturunan Raja Majapahit. Di dokumen kerajaan Banten, ia disebut dengan nama Arya Cucu Sumangsang. Ia adalah keturunan patih raja (gubernur) Demak bernama Cek Po Ko yang beretnis Cina. Sedangkan penguasa Demak pada waktu itu adalah bawahan Majapahit bernama Lembu Sora. Mungkin ia yang bergelar Kertabhumi.

Meskipun hanya menjabat sebagai patih penguasa daerah bawahan, ia sangat berjasa kepada Raja Majapahit. Cek Po Ko-lah yang memimpin ekspedisi militer penghukuman atas Palembang dan Cirebon yang membangkang. Menurut aturan, yang menjadi panglima seharusnya adalah Lembu Sora/Kertabhumi. Rupanya ia mendelegasikan wewenang kepada patihnya. Pada waktu ekspedisi itulah konon anak Cek Po Ko dilahirkan.

Entah dengan cara mengawini putri penguasa setempat atau dengan cara membunuh raja bawahan itu, pada akhirnya anak Cek Po Ko marak menjadi penguasa Demak. Dan ternyata, Raja Majapahit tidak melakukan tindakan apapun atas penyimpangan itu. Ada beberapa kemungkinan mengapa Raja mendiamkan, yang berarti mengesahkan, kejadian itu. Pertama mungkin karena jasa-jasanya yang besar kepada Raja. Mungkin juga pada tahun-tahun itu kekuatan militer Majapahit sudah sedemikian lemahnya. Atau bisa jadi Raja mendapatkan keuntungan dengan adanya pengambilalihan kekuasan di Demak itu. Mungkin juga gabungan ketiga penyebab itulah yang menjadi dasar sikap lembek pemerintah pusat.

Berdasarkan dokumen Majapahit yang paling dapat dipercaya, penguasa tertinggi Majapahit saat itu adalah keturunan cabang keluarga Raja yang ada di Kediri. Cabang keluarga ini lebih muda dan sebenarnya tidak berhak menduduki tahta. Cabang keluarga yang sebenarnya lebih berhak, karena lebih senior, adalah cabang Sinagara.

Salah satu keturunannya adalah Lembu Sora atau Kertabhumi yang berkuasa di Demak. Raja mendapatkan keuntungan karena `saingan potensial’ itu sudah tersingkir. Istilah Jawanya: Raja melakukan `nabok nyilih tangan’ = memukul dengan cara meminjam tangan orang lain.

Ternyata, pemerintah pusat Majapahit salah melakukan perhitungan politik. Membiarkan kejadian di Demak ternyata membuat turunnya wibawa Raja di mata penguasa-penguasa daerah lain, terutama penguasa-penguasa yang mulai beralih beragama Islam. Insiden Demak membuktikan dengan nyata : Majapahit yang dulu perkasa, sekarang sudah tidak bergigi lagi. Contoh yang paling jelas dilakukan oleh penguasa Giri-Gresik. Tanpa ragu ia memplokamirkan diri menjadi raja (merdeka) lengkap dengan gelar : Prabu Satmata. Inilah awal keruntuhan Majapahit. Akan tetapi jelas bahwa Majapahit tidak ambruk di tahun 1487 M itu. Kerajaan Majapahit, meskipun lemah, masih berdiri sampai berpuluh-puluh tahun kemudian.

Bukti nyata keberadaan Majapahit di tahun-tahun setelah 1487 M ada di buku Summa Oriental itu juga. Di sekitar tahun 1513 M, penulis buku itu mengunjungi Tuban. Ia sebagai wakil penguasa baru atas Malaka, diterima dengan baik. Tuan rumahnya bernama Pate Vira. Kemungkinan besar adalah Adipati Wilwatikta, penguasa Tuban waktu itu. Meskipun beragama Islam, ia masih mengaku sebagai bawahan Raja Hindu di Daha di pedalaman Jawa timur. Daha adalah sebutan lain dari Kediri.

Karena yang sedang berkuasa di Majapahit saat itu adalah cabang keluarga Kediri, De Graaf dan juga ahli sejarah lain, tidak bisa tidak, harus menafsirkan Daha atasan Tuban sebagai Kerajaan Majapahit. Bukti lainnya juga menguatkan. Menurut Tome Pires juga, nama sang Raja adalah Vigiaja. Tentu, ini adalah lidah Portugis untuk menyebut (Bra) Wijaya. Dan mahapatihnya bernama Gusti Pate.

Menurut catatan-catatan Jawa nama sebenarnya adalah Patih Udara atau Mahudara atau Amdura. Patih itu sangat terkenal dan ditakuti di penghujung senja Majapahit. Patih ini juga yang memberi gelar penguasa Surabaya sebagai ‘Jurupa Galagam Imteram’. Ini adalah ejaan Portugis untuk gelar Jawa: ‘Surapati Ngalaga Ing Terung’. Nama penguasa Surabaya itu sebelumnya adalah Pate Bubat. Gelar itu diberikan atas jasa militernya membendung serangan orang-orang Islam dari Jawa tengah.

Babad-babad Jawa juga menyebut-nyebut orang ini. Adipati Terung mula-mula adalah pembela Majapahit yang gigih, meskipun ia sudah beragama Islam dan mungkin keturunan Cina juga. Konon dialah yang berhasil membunuh Penghulu Rahmatullah, ayah Sunan Kudus, Panglima Demak penyerbu Majapahit.
Tetapi kemudian ia (atau penggantinya) berbalik menjadi musuh Majapahit di kemudian hari. Tahun keruntuhan Majapahit kemungkinan besar adalah 1527 M.

Menurut dokumen Kerajaan Demak, pada tahun itulah Demak menaklukkan Kediri. Dengan alasan yang sama, bahwa penguasa Majapahit adalah cabang keluarga Kediri, berarti yang ditaklukkan tahun 1527 M itu tidak lain dan tidak bukan adalah Majapahit. De Graaf juga menemukan bukti (tidak langsung) lain. Di tahun 1529 M, Raja Muda Portugis di Malaka menerima perutusan dari Kerajaan Belambangan lewat pelabuhan Panarukan. Karena selama berabad-abad Belambangan adalah wilayah Majapahit, dengan merdekanya wilayah itu, berarti Kerajaan atasannya sudah tidak ada lagi.

Yang berkuasa di Demak pada waktu itu bukan lagi penguasa pertamanya, melainkan penguasa ketiganya. Di buku Tome Pires, dia disebut dengan nama Pate Rodim (Jr.). Di buku-buku Jawa, dialah raja Demak yang paling lama berkuasa : Sultan Trenggana. Ia menggantikan abangnya yang hanya memerintah sebentar, Pangeran Sabrang Lor atau oleh orang Portugis disebut dengan nama Pate Unus dari Jepara. Orang inilah yang berusaha memerangi Portugis di Malaka di tahun 1511 M.

Keduanya adalah putra penguasa Demak pertama. Panglima Angkatan Bersenjata Demak pada waktu penaklukan Majapahit adalah Sunan Kudus. Ia adalah anak sekaligus pengganti panglima yang terbunuh dalam perang sebelumnya. Tokoh ini, dalam cerita-cerita Jawa, dikenal sebagai salah satu dari Wali Sanga. Mereka diyakini sebagai penyebar agama Islam mula-mula di tanah Jawa. Mereka juga diakui sebagai penasihat ahli untuk Raja Demak yang bersidang secar rutin. Cerita-cerita yang beredar sangat fantastis, penuh dengan mukjizat dan kesaktian (kecakapan militer) individu.

Menurut dokumen yang paling terpercaya, mereka sebenarnya mula-mula menjabat sebagai Imam (penghulu) Masjid Raya Kerajaan Demak. Pada jaman itu, ternyata para Imam diberi kewenangan untuk membentuk korps militer tersendiri. Nama kesatuannya adalah Suranata. Anggota pasukannya berasal dari komunitas orang alim yang dipimpin sendiri oleh sang Imam. Tidak diketahui dari mana sumber pembiayaan untuk senjata dan pelatihan militer lainnya. Mungkin dari amal jariah jamaah masjid seperti yang lazim sampai sekarang ini, atau mungkin juga dibiayai langsung dari kas kerajaan.Yang pasti, mereka dikenal sangat militan dalam membela dan mendakwahkan agama Islam.

Di negeri yang baru masuk Islam, tentu tidak aneh jika semangat mereka dalam berdakwah meluap-luap. Medan untuk berjihad terhampar luas di depan. Mereka berharap mendapatkan pengikut yang sebanyak-banyaknya dari orang Jawa yang masih kafir. Dengan demikian perluasan wilayah Islam menjadi terlaksana dengan sukses. Kematian bukan hal mengerikan bagi mereka. Mati di ladang jihad, syurga imbalannya. Tidak heran jika legiun Suranata sangat ditakuti dimana-mana.
Dengan latar belakang kekuatan yang dimilikinya itulah, Sunan Kudus berkarier di bidang militer Kerajaan Demak. Dan prestasinya tidak tanggung-tanggung : meruntuhkan kerajaan kafir kuno Hindu Jawa Majapahit. Keberhasilannya adalah menyingkirkan rintangan terbesar (menurut orang-orang Islam baru itu) dalam menjalankan perintah Tuhan di bumi Jawa. Dengan ambruknya pembela kekafiran, jalan menuju pengislaman di bekas wilayahnya menjadi semakin lapang.

Fragmen kekalahan Majapahit itu direkam dengan jeli oleh para pencipta reyog Panaraga. Raja Majapahit digambarkan sangar seperti macan, tetapi suka bermegah-megah seperti merak. Pekerjaannya hanya lenggang-lenggok tanpa tujuan jelas. Para komandan militernya (warok) hanya bisa mendelik marah-marah karena para prajurit anak buahnya ternyata lemah gemulai (diperankan oleh para gemblak, pemuda yang cantik-cantik) . Kebanci-bancian dan tidak tangkas bertempur seperti pada umumnya tentara dimana-mana. Apalah artinya komandan yang pintar tanpa para buah yang trengginas. Pada akhirnya, kepala sang raja diduduki oleh anak kecil : Kerajaan Majapahit yang dulu jaya dikalahkan oleh Kerajaan Demak yang belum lama berdiri.

Faktor lain yang mungkin mempengaruhi jalannya pertempuran adalah digunakannya senjata berteknologi tinggi pada waktu itu oleh pasukan Demak : meriam berpeluru besi. Memang ada spekulasi yang mengatakan bahwa sebenarnya Majapahit juga memiliki senjata api sejenis meriam. Namun yang dilontarkan meriam Majapahit bukan proyektil besi, melainkan bahan kimia yang menimbulkan ledakan saja, hanya mirip mercon yang dilontarkan. Teknologi ini jelas tertinggal jauh dibandingkan dengan meriam Demak yang sanggup meruntuhkan tembok dan menjebol pintu gerbang perbentengan. Demak juga berpengalaman berhadapan dengan ampuhnya meriam (Portugis) pada waktu berusaha mengepung Malaka.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa Demak sanggup membuat atau membeli meriam yang setara dengan milik kapal-kapal Portugis itu.

Menurut catatan Eropa, Demak memiliki tawanan perang seorang Portugis yang kemudian masuk Islam. Pekerjaan orang ini adalah membuat meriam untuk Raja. Salah satu hasil karyanya dipakai oleh Panglima Demak Wilayah Barat untuk menaklukkan Banten. Meriam ini kemudian dipajang di depan istana barunya di Banten. Sekarang meriam itu masih ada dan disimpan di Museum Nasional Jakarta dan diberi nama Ki Amuk.

Pribadi Sang Panglima Demak Wilayah Barat Syarif Hidayatullah juga bisa dijadikan bukti kepemilikan meriam itu. Ia kelahiran Pasai. Ia pasti sangat terkesan dengan daya rusak meriam Portugis yang meluluh-lantakkan negerinya. Kemudian ia pergi berhaji ke Mekah. Di pusat komunitas muslim itu tentu ia mendengar berita digunakannya meriam-meriam Kesultanan Turki Usmani yang menggentarkan penguasa-penguasa di Kairo, Jerusalem, Konstantinopel, Athena, Beograd, Bucharest, Budapest, bahkan sampai ke Wienna. Bukan tidak mungkin disana dia berusaha untuk mempelajari pembuatan meriam berikut strategi penggunaannya.

Ditemukan juga faktor non-militer sebagai penyebab kalahnya angkatan perang Majapahit itu. Dalam upaya bertahan, ternyata Majapahit (bersama Pajajaran) melakukan manuver politik dengan menawarkan koalisi kepada Portugis, penakluk Malaka. Majapahit melakukannya dengan perantaraan penguasa Tuban. Perkembangan ini tentu tidak disenangi oleh kaum muslim di Jawa tengah. Si kafir Hindu hendak meminta bantuan kepada kafir Portugis. Lengkap sudah faktor yang bisa membangkitkan semangat orang-orang Islam dalam membasmi kekafiran. Padahal Raja Majapahit tidak pernah (atau tidak sanggup) menghalang-halangi atau memusuhi penyebar Islam di wilayah negerinya. Legenda tentang Wali paling senior, Sunan Ampel, menunjukkan bahwa ia diterima dengan baik di istana. Mungkin juga karena masih keponakan permaisuri, Putri Champa. Malah ia diberi tugas memimpin masyarakat baru muslim di Surabaya. Bahkan makam-makam tua di Tralaya membuktikan bahwa para bangsawan Majapahit sudah ada yang menganut Islam sejak jaman Prabu Hayam Wuruk.

Di samping kisah wali-wali lain, riwayat tentang Sunan Kudus banyak dijumpai dalam cerita-cerita Jawa yang beredar luas. Konon ia berdarah Arab, dan dari garis ibu masih merupakan keturunan Sunan Ampel. Namanya yang sebenarnya adalah Jafar Sidik. Disamping menjabat sebagai Imam Masjid Raya Demak, ia juga berdinas di angkatan bersenjata Demak menggantikan ayahnya yang terbunuh. Ayahnya hanya dikenal dari nama anumertanya: Penghulu Rahmatullah, artinya yang dirahmati oleh Allah.

Cerita dan babad Jawa menceritakan tokoh ini dengan karakteristik khas: keras dan tidak kenal kompromi. Dalam menegakkan syariah, ia tidak segan-segan menggunakan kekerasan, bahkan melakukan pembunuhan-pembunuhan. Sama sekali tidak pernah terdengar dia mau mengkompromikan keyakinannya dengan budaya setempat ketika masih menjadi pejabat tinggi di Kerajaan Demak. Tindakannya melarang penyembelihan sapi, (dalam rangka menghormati kepercayaan Hindu yang masih dianut luas) dilakukan setelah ia menetap di kota Kudus. Demikian juga dengan perintahnya dalam pembangunan Menara Masjid Kudus yang terkenal itu. Dia melakukan semua itu setelah disingkirkan dari lingkungan kekuasan di ibukota Demak.

Berbeda dengan Sunan Kalijaga misalnya. Sunan ini berasal dari golongan elite waktu itu. Ayahnya adalah Adipati Wilwatikta dari Tuban. Nama kecilnya adalah Raden Said. Setelah lama menjadi penjahat, akhirnya dia insyaf dan menjadi orang baik-baik. Sebagai Wali yang asli Jawa, metoda dakwahnya berbeda dengan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga menggunakan kearifan lokal dalam mengajak rakyat Jawa yang masih Hindu-Budha ke agama Islam. Tujuannya adalah menghindarkan sejauh mungkin gejolak penolakan di masyarakat. Dia banyak melakukan adaptasi-adaptasi budaya Jawa agar cocok dengan nilai-nilai keislaman.

Gending dan wayang yang semula kesenian sakral bagi agama lama, dipergunakannya sebagai media dakwah yang sangat efektif. Sebagian kalangan menganggap bahwa metoda Sunan Kalijaga-lah yang berhasil mengislamkan Jawa. Tetapi tidak sedikit yang menganggap bahwa ajarannya menyesatkan. Ia dianggap merusak akidah. Metodanya mencampuradukkan ajaran Islam yang suci yang berasal dari Allah dengan ajaran agama lain, bahkan dengan kebudayaan Jawa yang hanya hasil kreasi manusia. Jadinya adalah Islam Kejawen yang menyimpang jauh dari ajaran Islam murni dari Arabia.

Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga hidup sejaman. Tidak tercatat adanya konflik kepentingan atau bentrok fisik antara kedua Wali itu. Namun keputusan Sultan Trenggana menunjukkan kapada Wali siapa Kerajaan Demak berpihak. Jafar Sidik akhirnya digantikan oleh Kalijaga sebagai Imam Masjid Raya sekaligus penasehat raja. Jafar Sidik diberi wilayah tersendiri : Kudus sebagai imbalan atas jasa-jasanya. Namanya semula adalah Undung atau Ngudung. Setelah menjadi miliknya, nama kota itu diubahnya menjadi Kudus. Satu-satunya kota di Jawa yang bernama dari bahasa Arab. Dia kemudian terkenal dengan nama Sunan Kudus, sesuai dengan tempat tinggalnya.

Tindakan Sunan Kudus yang paling terkenal adalah menghukum si penyebar bid’ah : Syeh Siti Jenar dan muridnya Ki Ageng Pengging. Ajaran mereka pada intinya adalah: `manunggaling kawula Gusti’= bersatunya diri manusia dengan Tuhan. Ini jelas membahayakan akidah Islam. Menyamakan Allah Yang Maha Suci dengan manusia yang penuh dosa dan kelemahan jelas-jelas merendahkan martabat-Nya. Tidak ada hukuman yang lebih cocok bagi penghina Tuhan selain hukuman mati. Tanpa ragu, Sunan Kudus dan `Komando Pasukan Khusus’ Suranata-nya bergerak memusnahkan bibit-bibit kerusakan akidah itu.

Penulis buku `Dharmogandhul’ juga mencatatnya. Namun dia sedikit kurang jeli dalam pengamatannya. Dalam penglihatannya, orang-orang Islam dari Jawa tengah itu adalah mereka yang memakai baju jubah longgar, bersorban, memelihara jenggot, dan suka mengacungkan pedang kepada orang kafir. Semua orang Islam itu dituduhnya bertanggungjawab atas kerusakan yang terjadi di tanah Jawa. Dikiranya semua orang Islam adalah penganut garis keras. Merekalah yang menyebabkan orang-orang yang dulunya berada di kepulauan ini dan tidak memeluk agama baru tersebut mengungsi ke tempat terpencil.

Kepustakaan
HJ. De Graaf dan Th. Pigeaud, 2001 ‘Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI’ Grafiti Pers: Jakarta.
http://mustaqimzone.wordpress.com/2011/07/20/hancurnya-majapahit/

Minggu, 17 Juli 2011

Legalisasi Perbudakan dimulai oleh VOC


Perbudakan memang telah ada sebelum orang-orang Eropa datang ke Asia Tenggara, namun di masa VOC, berdasarkan Bataviase Statuten (Undang-Undang Batavia) tahun 1642, perbudak diresmikan dengan adanya Undang-Undang Perbudakan.

Sebagian besar perbudakan terjadi di Jawa, namun budak-budak tersebut berasal dari luar Jawa, yaitu para tawanan dari daerah-daerah yang ditaklukkan Belanda, seperti dari pulau Banda tahun 1621, di mana 883 orang (176 orang mati dalam perjalanan) dibawa ke pulau Jawa dan dijual sebagai budak.

Perdagangan budak di seluruh dunia memang telah terjadi sejak ribuan tahun lalu, terutama di zaman Romawi. Yang diperdagangkan di pasar budak adalah rakyat, serdadu, perwira dan bahkan bangsawan dari negara-negara yang kalah perang dan kemudian dijual sebagai budak. Selama Perang Salib/Sabil yang berlangsung sekitar 200 tahun, ratusan ribu orang dari berbagai etnis yang ditawan, dijual sebagai budak sehingga membanjiri pasar budak, dan mengakibatkan anjloknya harga budak waktu itu.

Dari abad 15 sampai akhir abad 19, seiring dengan kolonialisme negara-negara Eropa terhadap negara-negara atau wilayah yang mereka duduki di Asia, Afrika dan Amerika, perdagangan budak menjadi sangat marak, juga terutama untuk benua Amerika, di mana para penjajah memerlukan tenaga kerja untuk menggarap lahan pertanian dan perkebunan. Di Amerika Serikat –negara yang mengklaim sebagai sokoguru demokrasi- perbudakan secara resmi baru dihapus tahun 1865, namun warga kulit hitam masih harus menunggu seratus tahun lagi, sampai mereka memperoleh hak memilih dan dipilih.

Di Afrika, Belanda memiliki 2 portal perdagangan budak. Satu di St. George d’Elmina, Gold Coast (sekarang Ghana) dan satu lagi di Pulau Goree, Senegal. Melalui kedua portal tersebut Belanda membawa budak-budak yang mereka beli dari orang-orang Arab pedagang budak. Pedagang-pedagang budak orang Arab bekerjasama dengan orang-orang Afrika menculik warga Afrika dari desa-desa di pedalaman Afrika -tak pandang bulu, laki-laki, perempuan dan anak-anak- dan kemudian menjual mereka sebagai budak.

Selama kurun waktu lebih dari 300 tahun, berjuta-juta orang Afrika diculik dan kemudian dijual sebagai budak. Sebelum dibawa dengan kapal ke negara-negara tujuan pembeli, mereka disekap secara tidak manusiawi dan berjejal-jejal –termasuk anak-anak dan perempuan- di penjara-penjara, tanpa adanya sinar matahari, udara dan air bersih. Biasanya sekitar 20% dari budak-budak tersebut mati di tengah jalan, karena penyakit, mogok makan, siksaan atau bunuh diri, namun yang dibawa ke benua Amerika, jumlah yang mati dalam perjalanan mencapai 40-50%.

Selain mengontrak orang-orang Eropa dan pribumi untuk menjadi serdadu di dinas ketentaraan India-Belanda, juga terdapat pasukan yang terdiri dari yang dinamakan Belanda Hitam (zwarte Nederlander), yaitu mantan budak yang dibeli dari Afrika.

Mulai tahun 1830, di Gold Coast (Ghana) Afrika Barat, Belanda membeli budak-budak, dan melalui St George d’Elmina dibawa ke India Belanda untuk dijadikan serdadu. Untuk setiap kepala, Belanda membayar f 100,- kepada Raja Ashanti. Sampai tahun 1872, jumlah mereka mencapai 3.000 orang dan dikontrak untuk 12 tahun atau lebih. Berdasarkan Nationaliteitsregelingen (Peraturan Kewarganegaraan), mereka masuk kategori berkebangsaan Belanda, sehingga mereka dinamakan Belanda Hitam (zwarte Nederlander). Karena mereka tidak mendapat kesulitan dengan iklim di Indonesia, mereka menjadi tentara yang tangguh dan berharga bagi Belanda, dan mereka menerima bayaran sama dengan tentara Belanda. Namun dari gaji yang diterima, mereka harus mencicil uang tebusan sebesar f 100,-. Memang orang Belanda tidak mau rugi, walaupun orang-orang ini telah berjasa bagi Belanda dalam mempertahankan kekuasaan mereka di India Belanda.

Sebagian besar dari mereka ditempatkan di Purworejo. Tahun 1950, tersisa sekitar 60 keluarga Indo-Afrika yang dibawa ke Belanda dalam rangka “repatriasi.”

Walaupun kekuasaan dari VOC berpindah kepada Pemerintah India-Belanda, perdagangan budak berlangsung terus, dan hanya terhenti selama beberapa tahun ketika Inggris berkuasa di India-Belanda (The British inter-regnum). Perang koalisi di Eropa juga berpengaruh terhadap masalah perbudakan di India-Belanda. Ketika Inggris menaklukkan Belanda dan mengambil alih kekuasaan di India Belanda tahun 1811, pada tahun 1813 Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles melarang perdagangan budak. Namun dengan adanya perjanjian perdamaian di Eropa, kembali membawa perubahan di India Belanda di mana Belanda “menerima kembali” India-Belanda dari tangan Inggris pada tahun 1816. Pada tahun itu juga Pemerintah India Belanda memberlakukan kembali perdagangan budak.

Tahun 1789 tercatat 36.942 budak di Batavia dan sekitarnya.
Tahun 1815 tercatat 23.239 budak, ketika di bawah kekuasaan Inggris.
Tahun 1828 tercatat 6.170 budak.
Tahun 1844 masih terdapat 1.365 budak di Batavia.

Barulah pada 7 Mei 1859 dibuat Undang-Undang untuk menghapus perbudakan, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1860. Namun ini tidak segera diberlakukan di seluruh wilayah India-Belanda. Di Bali pembebasan budak baru berlangsung tahun 1877, dan di beberapa daerah lain masih lebih belakang dari ini.

Di Belanda sendiri, perbudakan baru secara resmi dihapus pada 1 Juli 1863. Pada bulan Agustus 2001, dalam Konferensi internasional di Durban, Afrika Selatan, baru beberapa negara Eropa secara resmi menyampaikan permintaan maaf atas perbudakan tersebut, namun belum ada satupun negara bekas penjajah yang memberi kompensasi.

http://mustaqimzone.wordpress.com/2010/03/08/vereenigde-oostindische-compagnie-the-dutch-east-india-company-voc/

Menguak Sejarah Perbudakan di Indonesia


Perbudakan ternyata tak hanya dialami bangsa Afrika yang dibawa ke Benua Amerika, tetapi juga dialami nenek moyang kita. Mereka dipaksa bekerja tanpa upah oleh Belanda.

Meski Belanda, yang kala itu menjadi pedagang budak terbesar di dunia, secara resmi menghapus perbudakan di seluruh wilayah jajahannya pada pada 1 Juli 1863.

Sejarawan Universitas van Amsterdam, Lizzy van Leeuwen, mengatakan bahwa penghapusan perbudakan di Oost Indie atau Indonesia, baru berakhir secara resmi 100 tahun lalu saat Belanda menghapus praktek perbudakan yang diterapkan di Kepulauan Sumbawa. "Ini adalah sejarah yang belum terungkap," van Leeuwen seperti dimuat situs Radio Nederland.

Dia menambahkan, hal ini terkait sejarah perbudakan di timur. Tak hanya di Indonesia melainkan juga di wilayah Asia Tenggara. Mencakup jangka waktu yang sangat panjang dan meliputi berbagai bentuk perbudakan. "Mengingat cakupan ini, masalah perbudakan di wilayah sekitar Samudera Hindia sulit sekali untuk diungkap. Sedikit sekali penelitian tentang masalah ini," jelas van Leeuwen.

Dalil van Leeuwen diperkuat sebuah penelitian yang dilakukan oleh sejarawan Amerika Serikat, Marcus Vink. Menurut Vink, Belanda juga menjalankan praktek perbudakan di Indonesia.

"Jan Pieterszoon Coen membunuh semua penduduk asli Pulau Banda untuk membuka perkebunan pala. Ia kemudian membeli budak-budak dari wilayah Pulau Banda. Dari situlah dimulai praktek perdagangan budak di Indonesia," jelas Van Leeuw.

Perbudakan, kata dia, sejatinya sudah menjadi bagian dari sistem kemasyarakatan di berbagai wilayah di Indonesia, seperti di Sumbawa, Bali dan Toraja. Penjajah Belanda membiarkan praktek perbudakan itu terus berlangsung karena itu menguntungkan posisi mereka di wilayah jajahan.

Namun, berbeda dengan masyarakat Suriname yang sampai sekarang terus memperingati sejarah kelam perbudakan, di Indonesia hal itu sama sekali tidak terjadi.

Menurut van Leeuw, ada beberapa penjelasan. Pertama, orang tidak lagi merasakan dampak perbudakan di wilayah Indonesia itu secara nyata. Ini berbeda dengan situasi di Barat di mana orang bisa melihat hubungan perbudakan dengan masa kini secara jelas.

Selain itu, lanjut van Leeuwen, di wilayah Hindia Belanda, perbudakan tidak terjadi dalam skala industrial seperti yang terjadi di Suriname.

Kebanyakan budak dipakai untuk keperluan rumah tangga. "Tapi, bukan berarti budak di sana hidupnya lebih nyaman. Terjadi berbagai hal mengerikan, bagaimana budak-budak rumah tangga itu dihukum dengan sangat kejam. Hal itu bahkan masih terus saja terjadi sampai abad ke-20 di beberapa rumah tangga di Oost Indie."

Fakta yang menyedihkan, tambah van Leeuwen, saat ini praktek perbudakan masih saja terjadi di dunia. Misalnya, anak-anak yang dipaksa bekerja dengan kondisi yang memprihatinkan, wanita yang diperdagangkan sebagai budak seks, dan nasib para tenaga kerja wanita Indonesia yang diperlakukan kejam di negara lain.

http://us.nasional.vivanews.com/news/read/232591-menguak-sejarah-perbudakan-di-indonesia

Senin, 11 Juli 2011

THE YEAR OF LIVING DANGEROUSLY


The Year of Living Dangerously
Cinta di Tengah Gejolak Revolusi 1965

[Dilarang terbit oleh rezim Orde Baru]

PENGHARGAAN:
*The Age Book of the Year Award
*National Book Council Award

Data Buku
Judul: THE YEAR OF LIVING DANGEROUSLY
Penulis: Christopher Koch
Penerbit: Serambi
Tebal: 496 halaman
Cetakan: II, Oktober 2009
Harga: Rp 49.000

Tahun 1965, sebuah masa yang dikenal sebagai “Vivere Pericoloso”, Hidup Penuh Bahaya, yang membelokkan arah hidup bangsa Indonesia. Pemerintahan Sukarno membawa Indonesia ke tengah ketidakpastian. Dalam kondisi ekonomi Indonesia yang lemah, Presiden menghabiskan uang untuk membangun monumen-monumen megah, seraya menyulut api kebencian terhadap Barat dan mengobarkan semangat konfrontasi dengan negara tetangga: Ganyang Malaysia! Inggris kita linggis, Amerika kita setrika!

Sementara itu, di Jakarta yang penuh gejolak—tempat intrik politik bergolak dan bahaya senantiasa terendus seperti bau rokok kretek—terjebak Guy Hamilton, seorang wartawan Barat, Billy Kwan, juru kamera bertubuh kate keturunan Cina-Australia, dan Jill Bryant, perempuan Inggris yang sama-sama mereka cintai.

Inilah sebuah drama penuh liku tentang revolusi, cinta segi tiga, kesetiaan, dan pengkhianatan. Selain itu, novel ini membeberkan berbagai peristiwa politik sepanjang tahun penuh pergolakan sampai hari-hari terakhir kekuasaan Presiden Sukarno setelah digulingkan oleh kudeta militer Jenderal Soeharto menyusul Gerakan 30 September.

Setelah lewat 40 tahun, ingatan tentang rangkaian tragedi 1965—ketika ratusan ribu rakyat sipil yang dituduh komunis dibantai menyusul pembunuhan para jenderal di Jakarta—mulai luntur bagi banyak orang. Koch, novelis dan wartawan kawakan Australia, menghidupkan kembali peristiwa itu dengan detail mencekam dalam novel yang dilarang beredar di Indonesia oleh rezim Ode Baru sejak 1978 ini.

Sedemikian menariknya novel ini sehingga diangkat ke layar perak pada 1982 dengan dibintangi para aktor terkemuka Hollywood: Mel Gibson, Sigourney Weaver, dan Linda Hunt. Seperti novelnya, filmnya pun dilarang diputar di Indonesia walaupun mendapat sambutan hangat di seluruh dunia. Tak pelak, novel ini sungguh layak dibaca oleh khalayak luas untuk lebih memahami sejarah kita sendiri.

“Penting dibaca generasi masa kini.”
—The Jakarta Post

“Novel terbaik tentang Indonesia.”
—www.amazon.com

“Karya fiksi yang disajikan dengan matang dan bernas, dipersiapkan dengan baik dan dituliskan dengan indah.”
—Larry McMurtry, penulis pemenang Pulitzer Prize dan Academy Award

“Novel yang indah.”
—The Sidney Morning Herald

“Cerdas, menyentuh, meyakinkan …”
—Anthony Burgess, penulis novel kontroversial A Clockwork Orange

Minggu, 10 Juli 2011

Kebaya di masa Kolonial Belanda


Membicarakan sejarah pakaian di Indonesia pada awal abad ke-20 merupakan suatu hal yang menarik. Pakaian, bukan sekadar penutup aurat, tetapi juga perlambang dari status sosial-ekonomi, bahkan politik. Pemerintah kolonial menciptakan pencitraan kekuasaan mereka melalui pakaian. Pakaian kaum Eropa dibedakan dengan kaum pribumi. Pribumi dilarang memakai pakaian kaum kulit putih.

Dikotomi semacam ini dibangun terus pada masa kolonial. Pakaian juga melambangkan kebesaran. Dalam buku Outward Appearances; Trend, Identitas, Kepentingan, Kees van Dijk melihat pakaian yang dikenakan kaum pribumi (terutama kalangan bangsawan) dipengaruhi oleh pakaian dari Persia, Arab Saudi, Turki, India, Cina, dan Belanda.

Dijk juga menyebut Raja Ternate dan Amangkurat II mengesampingkan pakaian kerajaan mereka demi pakaian Belanda. Dijk bahkan berpendapat bahwa identitas pakaian tidak kalah berbahayanya dengan identitas agama serta keyakinan politik. Menurutnya pakaian membuat orang bisa saling hantam, saling tikam, dan dapat saling bunuh. Contoh kasus yang diberikan Dijk adalah peristiwa terbunuhnya seorang ahli botani dari Inggris, Dr. C.B. Robinson. Pada Desember 1913 Robinson mengunjungi Ambon. Saat itu ia berpakaian warna kaki gelap dengan topi beludru yang aneh. Ternyata pakaiannya ini membuat suku Buton Muslim menjadi ketakutan dan kemudian membunuhnya.

Kebaya, sarung, dan peci yang termasuk kategori pakaian, juga memiliki simbol-simbol tertentu. Meski terkesan remeh, tapi ia juga mencerminkan identitas sang pemakai. Lebih jauh, kebaya, sarung, dan peci mengandung makna politis di dalamnya. Kebaya menurut Jean Gelman Taylor dalam Outward Appearances; Trend, Identitas, Kepentingan merupakan kostum bagi semua kelas sosial pada abad ke-19, baik bagi perempuan Jawa maupun Indo.

Bahkan ketika para perempuan Belanda mulai berdatangan ke Hindia sesudah tahun 1870, kebaya menjadi pakaian wajib mereka yang dikenakan pada pagi hari. Seorang perempuan Eropa bernama Augusta de Wit memberi kesaksian tentang gaya berpakaian orang Eropa di Hindia Belanda. Perempuan ini tiba di Tanjung Priok pada awal abad ke-20. Augusta terkesan melihat pakaian perempuan Eropa di Batavia. Ketika diruang hotel, ia melihat serombongan orang Eropa sedang santai di beranda hotel. Ia menyebutkan bahwa kaum wanitanya mengenakan pakaian yang tampaknya seperti pakaian penduduk asli, yaitu sarung dan kebaya.

Kebaya itu semacam baju dari kain tipis putih yang dihiasi banyak bordiran. Di bagian depannya disemat dengan peniti-peniti hiasan yang diuntai dengan rantai emas. Sarung adalah sepotong kain warna-warni yang dilipat dibagian depan dan diikat dipinggang dengan ikat pinggang sutera. Mereka tidak memakai kaus kaki, cuma memakai sandal berhak tinggi. Rambutnya meniru gaya penduduk asli, yaitu ditarik ke belakang dan disanggul di belakang kepala…Lebih mencengangkan lagi ialah pakaian kaum prianya. Disaat santai itu mereka memakai baju tidak berkerah. Celananya dari kain sarung tipis dihiasi bunga-bunga merah dan biru, ada pula yang bergambar kupu-kupu dan naga (Ishwara, 2001).

Gaya busana Eropa totok dengan kaum Indo-Eropa ternyata sama. Kaum Indo-Eropa juga mengenakan kebaya dan sarung. Di tengah waktu luang, ketika santai di beranda rumah sambil menikmati secangkir kopi atau teh, mereka mengenakan kebaya, sarung, atau baju tidak berkerah. Namun kebaya dan sarung yang dipakai kaum perempuan Eropa totok dan Indo-Eropa berbeda dengan apa yang dipakai perempuan pribumi dari penjaga kedai hingga istri seorang residen kolonial, di halaman istana (Koningsplein) atau di kampung, begitulah tulis Pamela Pattynama dalam menjelaskan kehidupan kaum Indis pada buku Recalling The Indies.

Mungkin kebaya dan sarung yang dipakai oleh perempuan Eropa totok dan Indo-Eropa sudah sedikit dimodifikasi oleh mereka, dan nampaknya mereka sengaja membedakan pakaian ini dengan perempuan pribumi. Kebaya pagi bagi perempuan Eropa dan Indo terbuat dari kain katun putih yang dihiasi renda buatan Eropa dan kebaya malam terbuat dari sutera hitam. Ada beberapa saran dari Catenius-van der Meijden, seorang Belanda yang lahir di Hindia, tentang kebaya yang akan dikenakan perempuan Belanda yang mau mendampingi suami mereka di Hindia. Catenius-van der Meijden, yang juga merupakan penulis buku Naar Indie en Terug: Gids voor het gezin, speciaal een vraagbaak voor dames menulis bahwa kebaya yang dibeli dengan harga mahal di Belanda terlihat konyol ketika dikenakan di Hindia.

Catenius juga menyarankan agar tidak membawa pakaian terlalu banyak karena di Hindia semuanya sangat murah, dibandingkan di Belanda. Di samping itu ia juga menghimbau para istri Belanda supaya memiliki 6 sarung tidur, 2-3 sarung rapi, 6 kebaya tidur, dan 6 kebaya rapi untuk tinggal di Hindia. Bukan hanya kaum perempuan Eropa saja yang mengikuti pakaian pribumi. Anak-anak orang Belanda di Hindia juga mengenakan pakaian yang disebut oleh penduduk Melayu sebagai “celana monyet”. Pakaian ini hanya menutupi badan, sedangkan leher, lengan, dan tungkai dibiarkan telanjang.

Nampaknya alasan yang paling mendasar orang Eropa mengenakan pakaian-pakaian ini adalah suatu upaya untuk mengatasi hawa panas di Hindia yang tentunya berbeda dengan iklim di Eropa. Tetapi pada 1920an, ada aturan yang melarang mereka mengenakan pakaian ini di ruang publik, dan membiasakan kebiasaan lama yaitu berbusana ala kolonial di kalangan publik. Pemakaian kebaya dan sarung tetap terpelihara, namun dibatasi hanya untuk dipakai di rumah. Sedangkan di luar rumah orang Eropa mengenakan pakaian Barat. Sekolah dan kerja mengharuskan pakaian rapi yang dilengkapi dengan sepatu. Sekarang, kebaya masih dipakai kaum perempuan walau terbatas pada momen-momen tertentu, dan jarang sekali terlihat di ruang publik. Yang ironis kebaya sekarang justru lebih identik dengan perempuan yang telah beranjak tua di desa-desa.

http://sandiwaradanperang.blogspot.com/2010_01_19_archive.html

Sabtu, 09 Juli 2011

Sejarah Unik Pakaian


Sepatu dan berbagai jenis busana yang Anda pakai saat ini memiliki sejarah yang cukup unik. Mulai dari alasan dibuatnya sepatu dan busana, proses pembuatan, hingga perkembangannya seperti sekarang. Berikut sejarah sepatu dan beberapa busana yang sangat menarik untuk diketahui.

Sepatu
Sepatu dengan bentuk konyol untuk kebutuhan mode pertama kali dibuat pada 1300-an di Eropa. Bentuk sepatu saat itu seperti sandal Aladin, dengan bagian depan yang sangat panjang. Bagian tersebut juga makin lama makin panjang dan membahayakan pemakainya.

Untuk mengurangi bahaya, orang Eropa saat itu kemudian mengikat ujung sepatu yang panjang pada lutut dengan rantai atau tali. Ujung sepatu yang panjang juga diisi dengan kain dan dibuat menjadi bentuk alat kelamin pria. Tentu saja hal ini membuat pemuka agama marah dan melarang orang untuk menggunakan sepatu dengan alasan agama.

Pada tahun 1500-an sepatu dilihat dengan cara lain. Penekanannya tidak lagi pada panjang tetapi lebar. Saat itu orang-orang mulai menggunakan sepatu dengan tumit setinggi 10 inci, yang menimbulkan banyak korban. Melihat hal itu, pihak kerajaan Inggris membuat peraturan bahwa hak sepatu tidak boleh lebih dari enam inci. Pada abad ke-16 banyak wanita Italia menambahkan hak pada sol sepatu mereka setinggi 8 inci. Hak tersebut terbuat dari kayu yang disebut chopines. Hal itu dilakukan untuk menjaga baju mereka dari kotoran yang ada di jalan menempel pada bagian bawah baju.

Baju berkerah
Kemeja atau baju berkerah yang yang saat ini banyak digunakan konsep dasarnya adalah berasal dari ruff atau bulu-bulu yang sering digunakan di leher. Ruff berfungsi untuk melindungi bagian tepi busana di daerah leher dari keausan.

Mengganti ruff juga lebih ekonomis daripada mengganti baju atau kemeja. Seperti pernyataan mode paling populer, orang-orang mulai bersaing satu sama lain menggunakan versi paling ekstrim dari ruff. Ruff pun berkembang menjadi semakin besar dan terbuat dari bahan yang kaku, hingga menyulitkan pemakainya untuk bergerak.

Pada awal 1800-an kerah besar dan kaku semakin ekstrim hingga menimbulkan bahaya karena tajam dan melukai telingan. Bahkan hingga akhir 1902, HG Wells mengeluh bahwa kerah yang terbuat dari kain yang kaku membuat sakit leher dan meninggalkan bekas merah di bawah telinga. Konsep baju berkerah seperti buatan POLO, sebenarnya bentuk kerah yang terbalik. Pada 1929, René Lacoste menciptakan "kemeja tenis" dengan kerah terbalik untuk mencegah sengatan matahari pada leher.

Bra
Dulu, sebagian besar wanita tidak menggunakan bra dan tidak menganggap dibutuhkan pakaian pakaian khusus untuk menyangga payudara. Pakaian yang digunakan memiliki tugas ganda yaitu membuat payudara terlihat lebih baik dan menutupinya. Korset pun muncul dan mendominasi dunia pakaian dalam wanita selama berabad-abad. Korset pun dirancang untuk membuat tubuh wanita terlihat lebih kecil dan belahan payudara lebih menarik.

Pada pertengahan 1800-an beberapa visioner menciptakan prototipe bra tetapi tidak berkembang. Istilah bra sendiri berasal dari majalah Vogue yang menggunakan nama "brassiere" pada 1907. Lalu, untuk bentuk bra yang kita gunakan saat ini, ditemukan oleh seorang sosialita bernama Mary Phelps Jacob pada 1910.

Ia menciptakan bra karena saat itu ingin mendatangi sebuah pesta makan malam menggunakan gaun barunya. Gaun tersebut terbuat dari bahan ringan dan tipis. Korset yang tebal dan kaku membuat gaun tersebut terlihat tidak cantik. Jacob kemudian kesal dan melempar korsetnya, ia lalu mengambil dua sapu tangan tipis dan menambahkan pita untuk menutupi payudaranya. Teman-temannya kagum melihat penutup dada tersebut dan meminta Jacob untuk membuatkannya. Melihat peluang bisnis tersebut Jacob kemudian mengajukan permohonan paten untuk desain bra tersebut.

sumber: http://us.kosmo.vivanews.com/news/read/133598-sejarah_unik_pakaian

Misteri Uang Bergambar Wayang

Wayang ternyata memiliki simbol pembawa sial bagi rezim yang memerintah Indonesia. Betapa tidak, pada 1938-1939, Pemerintah Hindia Belanda melalui De Javasche Bank menerbitkan uang kertas seri wayang orang dan pada 1942, Hindia Belanda runtuh dikalahkan Jepang. Pada 1943, Pemerintah Pendudukan Jepang menerbitkan uang kertas seri wayang Arjuna dan Gatotkoco dan 1945, Jepang terusir dari Indonesia oleh pihak Sekutu. Pada 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan uang kertas baru seri wayang dengan pecahan Rp1 dan Rp2,5 dan 1965 menjadi awal keruntuhan pemerintahannya menyusul peristiwa G30S/PKI.

Itulah cuplikan tulisan yang ditampilkan oleh blog.agul.net. Berbicara masalah misteri seputar wayang memang susah untuk di tangkap dengan penalaran. Keunikan wayang justru tertelak pada kemisteriannya. Misteri itu konon juga terdapat pada lakon-lakon yang dipergelarkan oleh Dalang. Biasanya orang yang punya hajat akan menolak lakon Baratayudha, Brubuh, Ontran-ontran, dan lakon yang mengisakan kematian seorang tokoh. Lakon tersebut diyakini oleh penanggap wayang akan membawa sial kelak kemudian hari. Maka dari itu kebanyakan penanggap wayang akan memilih lakon wahyu, atau Raben, yang diyakini akan membawa berkah. Lakon-Lakon yang membawa sial antara lain; Obong, Brubuh , gugur, dan masih banyak lagi termasuk lakon-lakon tua, Watugunung, Pecahing Dina, Lahirnya Semar dll.

Menjadi pemikiran dalam benak saya mengapa lakon Baratayudha harus dilakonkan oleh dalang yang sudah senior/sepuh yang mempunyai bekal kemampuan dan spiritual diatas rata-rata Dalang lainnya sebab jika tidak ada saja halangan yang akan menimpa Dalang atau penanggapnya. Saya ingat dimasa kecil ketika mengikuti ayah mendalang di tetangga kampung dengan lakon Anoman Obong,secara kebetulan atau bagaimana tiba-tiba ditengah malam ada yang rumahnya kebakaran. Teman kuliah saya semasa kuliah berani menampilkan Baratayuda beberapa hari setelah pergelaran Bapaknya meninggal. Saya sendiri setiap melakonkan Baratayuda anak pertama saya masuk rumah sakit, tetapi alhamdulilah sekarang tidak lagi. Saya tidak tahu dan tidak percaya hubungan lakon dengan peristiwa kehidupan,tetapi saya mengalaminya. Apakah karena wayang sudah berumur berabad-abad? apakah karena pujangga pembuat lakon wayang sangat ampuh, ataukah karena campur tangan Wali dalam penciptaan wayang dan penyempurnaan pergelarannya? Walahualam, belum ada penelitian yang mengarah ke sana.

http://wayang.wordpress.com/2010/03/06/misteri-uang-bergambar-wayang/