Sejarawan yang baik melihat masa sekarang dalam perspektif masa lalu dan sebaliknya meneliti masa lampau untuk kepentingan masa kini dan masa depan. Ramalan seorang sejarawan lebih berkaitan dengan proses perjalanan sejarah yang sering kali berulang. L’histoire se repete, kata orang Perancis. Itulah sebabnya, di negeri yang dulu dikenal sebagai negara tirai besi, seorang negarawan Rusia, Krouchtjev, sempat berujar, “Sejarawan adalah profesi yang ditakuti penguasa karena mereka bisa membongkar masa lalu dengan penjelasan yang tak terbantah.”
Di mana posisi Pak Ong dalam peta sejarah Indonesia
Onghokham adalah sejarawan dan sekaligus cendikiawan. Sebagai sejarawan, ia piawai menjadi ‘saksi langsung’ dan tahu ‘tentang apa yang terjadi’ terhadap peristiwa yang menjadi perhatiannya. Sebagai cendikiawan, ia peka terhadap denyut kehidupan sosial, politik, dan budaya masyarakat sekitarnya. Kombinasi keduanya menjadikan karya dan pemikiran Onghokham unik dan inspiratif. Uraiannya mengenai peran dan sosok jago dalam sejarah Indonesia periode kolonial memberikan pemahaman kongkrit tentang bagaimana sifat dan bentuk kekuasaan politik di Indonesia, paling tidak sepanjang periode kekuasaan otoriter Orde Baru. Begitu juga ulasannya mengenai tuyul yang mencerminkan kesarjanaan dan kecendikiawanan Onghokham dalam mengangkat psikologi populer rakyat petani di pedesaan Jawa dalam menghadapi krisis dan eksploitasi.
Sejarawan di Indonesia yang kali pertama mempelopori penulisan persoalan sejarah di media adalah Ong Hok Ham atau Onghokham (1 Mei 1933-30 Agustus 2007). Kliping tulisannya di Majalah Tempo (1976-2001) sudah diterbitkan dengan judul “Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang” merupakan fakta konsistensi Ong di dunia tulis-menulis. Begitu juga dengan karyanya, “Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong”.
Ia juga salah satu sejarawan yang berani mengkritik penguasa Orde Baru yang otoriter dan militeristik, meski lewat opini yang disamarkan dengan mengambil peristiwa sejarah periode kolonial. Keberanian Ong diakui sejarawan lain dan para sahabatnya. Lain halnya dengan mendiang Prof. Sartono Kartodirjo, Begawan Sejarah Indonesia. Ketidaksenangan dengan penguasa lebih diperlihatkan pada upaya diam, tanpa reaksi keras. Contoh, beliau undur diri dari tim penulisan Sejarah Nasional Indonesia edisi terakhir.
Berkat kecerdasan dan keseriusan, sejarawan berdarah Tionghoa ini berhasil menyelesaikan gelar doktor di Yale University, Amerika Serikat tahun 1975. Dan tidak ala kadarnya bersekolah, Ong melahirkan disertasi bermutu. Tidak tedeng aling-aling Benyamin White, guru besar pada Institut Studi Sosial, Belanda, memberikan pernyataan tegas, “kalau orang mau belajar sejarah petani Indonesia, dia mutlak harus membaca dua buku, yaitu disertasi Sartono Kartodirdjo, “The Peasant’s Revolt of Banten in 1888” dan Onghokham “The Residency of Madiun: Priyayi and Peasant in the 19th Century”. Menurut White, kedudukan Ong sejajar dengan Sartono dalam studi tentang sejarah petani di Indonesia khususnya di Pulau Jawa.
Petani, kaum priayi, dan kolonialisme tiga tema yang sering muncul dalam tulisan-tulisan Onghokham. Kolonialisme merupakan aspek yang menarik perhatian Onghokham sejak muda. Dalam usia 35 tahun, ia menyelesaikan skripsi yang tebal (287 halaman setelah dicetak) mengenai berakhirnya kolonialisme (Runtuhnya Hindia Belanda, Jakarta: Gramedia, 1987).
Dalam buku pelajaran sejarah di Indonesia ditekankan bahwa kaum kolonialis Belanda sejak zaman VOC selalu melakukan politik divide et impera. Namun, Ong melihatnya dari sisi lain, yaitu aspek keuangan.
Kolonialisme di Jawa dilakukan terutama bukan dengan operasi militer, tetapi lebih banyak melalui perjanjian dengan raja atau pangeran setempat. Jumlah tentara VOC dan Hindia Belanda tidaklah terlalu besar. Dalam peralatan perang pun, Belanda tidak mendominasi kerajaan-kerajaan Nusantara sampai abad ke-19. Tetapi posisi VOC dan Hindia Belanda sangat kuat secara finansial. Ketika tahun 1678 Kerajaan Mataram jatuh ke tangan Trunojoyo, pemadaman pemberontakan dan perebutan kembali keraton praktis dibiayai VOC.
Menurut Ong, VOC dapat dianggap sebagai “cukong” terbesar kerajaan-kerajaan Indonesia, khususnya Jawa. Hampir semua hak, wilayah, dan kekuasaan Belanda atas Indonesia, terutama di Jawa, didapat berdasarkan kontrak, bukan hasil kemenangan militer atas kerajaan Jawa. Hanya antara Sultan Agung dan VOC terjadi peperangan, tetapi dalam banyak kasus yang lain, Belanda selalu memihak raja yang “legitimate” dan ikut serta memadamkan pemberontakan yang terjadi. Setelah itu, hak-hak dan kekuasaan baru diperoleh. Jadi, faktor ekonomi yang digunakan VOC dan Hindia Belanda untuk dapat mendominasi penguasa pribumi bukan kekuatan fisik.
Monopoli oleh VOC itu mematikan perdagangan pribumi di Jawa. Namun, persoalan internal juga melanda VOC. Perusahaan ini bukanlah perseroan dagang yang sehat. Gaji yang diberikan kepada para pegawainya termasuk rendah. Akibatnya, terjadilah korupsi pada semua tingkatan. Para pegawai VOC melakukan penyuapan untuk mendapatkan kedudukan yang strategis dalam perusahaan ini. Pada gilirannya, mereka melakukan pungutan dalam pengangkatan bupati bahkan kepala desa. Lebih parah lagi, pegawai VOC itu sendiri melakukan perdagangan untuk diri sendiri, lebih besar dari perusahaan mereka.
Terhitung sejak 31 Desember 1799, VOC dinyatakan pailit, utang dan asetnya diserahkan kepada Pemerintah Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda itu yang bertahan sampai tahun 1942 ternyata relatif lebih bersih.
Yang menarik dikaji dan relevan untuk masa sekarang adalah pernyataan Ong bahwa korupsi yang merajalela pada era VOC bisa diminimalkan pada pada pemerintahan Hindia Belanda. Apakah dari sini dapat disimpulkan bahwa korupsi itu bukan ciri kebudayaan suatu bangsa, namun bisa dihabiskan atau dikurangi bila ada kemauan politik pemerintah?
****
Diluar kesarjanaan dan kecendikiawanannya, Onghokham adalah pribadi yang menarik. Dilahirkan pada tanggal 1 Mei 1933 di Surabaya, Onghokham tumbuh besar dalam lingkungan elite kelas menengah perkotaan yang dekat dengan segala sesuatu yang berbau barat (baca: Belanda) dan gagasan-gagasan liberal. Onghokham mengenyam pendidikan menengah di Surabaya, Hogere Burger School (HBS), yang mayoritas murid berkebangsaan Eropa. Dalam periode ini ketertarikannya terhadap sejarah muncul, melalui pembacaan terhadap kisah ratu Prancis Marie Antoniette yang mati di-goulletine dalam peristiwa revolusi Prancis (1789-1792). Dalam kaitan ini, pengetahuan mengenai dunia barat mungkin lebih baik dibanding lingkungan sekitarnya dalam pikiran Onghokham muda.
Revolusi Indonesia dan pendudukan Jepang memberikan orientasi baru dalam pikirannya mengenai ‘Indonesia’. Dalam perjalanan pengungsian dari Surabaya menuju Malang saat Belanda jatuh dan Jepang masuk Indonesia pada bulan Maret 1942, Onghokham menyaksikan sesuatu yang lain diluar lingkungan kecil keluarga, sekolah dan teman permainan: masyarakat pribumi dari beragam latar belakang sosial yang juga turut mengungsi. Ia juga menyaksikan para pemuda berambut gondrong yang menjadi kekuatan dinamik revolusi Indonesia. Sesuatu mengenai Indonesia, yang saat itu masih bergejolak dan kumuh, hadir dalam pemikiran Onghokham. Bentuknya lebih dari sekedar kesadaran intelektual, meliputi simpati dan pemihakan terhadap orang-orang kecil yang menjadi korban dari peristiwa-peristiwa besar. Kesadaran ini konsisten dengan minat dan perhatiannya sebagai seorang akademisi ketika belajar sejarah di Fakultas Sastra UI.
Meskipun saat kuliah ia telah banyak menulis soal-soal berkait dengan kedudukan masyarakat Tionghoa di Indonesia, tetapi subyek sejarah Indonesia yang serius tertuang dalam skripsi sarjana muda yang ditulisnya mengenai saminisme yang menggambarkan resistensi sebuah kelompok petani di Indonesia menghadapi sistem kekuasaan modern. Disinilah sosok pribadi Onghokham menjadi menarik. Onghokham berhasil keluar dari dunia kecil keluarga, latar belakang ras, dan kelas sosial untuk kemudian melihat dunia Indonesia yang luas. Sebuah keberhasilan yang mungkin jarang didapat dengan mudah oleh para intelektual lainnya di Indonesia. Secara personal hal ini tergambar dari pola pergaulan dewasa Onghokham yang dengan mudah berhubungan dengan kalangan elite sosial dan politik di Indonesia, termasuk kalangan diplomat asing dan teman-teman dari manca-negara. Pada saat sama berkenalan dan bercakap-cakap dengan orang kebanyakan dalam perjalanan di bis kota, saat berbelanja di pasar dan saat mengajar ilmu sejarah bagi para muridnya, dan termasuk hubungan dekat dengan para pembantunya.
Sumber: http://serbasejarah.wordpress.com/2009/06/06/mengenal-sejarawan-indonesia-ong-hok-ham-dan-sejarah-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar