Blog yang memuat aneka tulisan tentang sejarah, khususnya sejarah Indonesia dan Melayu. Mudah-mudahan bermanfaat.
Senin, 16 Mei 2011
Sejarah Industri Rokok di Indonesia
“What is that thing you’re smoking, Sir?” tanya seorang tamu kepada Agus Salim dalam sebuah jamuan diplomatik di London. Pasalnya dari bibir Duta Besar pertama Indonesia untuk Kerajaan Inggris ini keluar asap putih tebal dengan aroma khas menusuk bagi mereka yang berada di sekitarnya. Dengan diplomatis Agus Salim menjawab, “is the reason for which the West conquered the world”. Waktu itu Agus Salim memang sedang menghisap rokok kretek, rokok khas Indonesia yang terkenal karena kombinasi bahan dan rasanya.
Kretek memang berbeda dengan jenis rokok lainnya. Disamping hanya menggunakan tembakau, kretek juga menggunakan dua unsur tambahan yang unik yakni cengkih dan saus. Perpaduan di antara unsur-unsur tersebut telah sukses memberikan makna baru bagi rokok khas Indonesia. Kini, kretek telah menjadi nama generik bagi semua jenis rokok yang beredar di Indonesia. Bahkan, sebagian besar orang tidak lagi mengetahui apa bedanya antara ”rokok” dan ”rokok kretek”. Masyarakat cenderung memandang keduanya identik; ketika membelinya di warung, seseorang tidak akan mengatakan bahwa ia membeli rokok kretek, namun cukup hanya rokok.
Namun jika ditanya rasanya, barulah konsumen memahami perbedaan di antara keduanya. Misalnya, antara Marlboro dan Dji Sam Soe. Mungkin hanya dibutuhkan satu hisapan untuk dapat mendefinsikan karakter rasa kedua merek tersebut, meskipun tetap sulit untuk mengungkapkannya dengan kata-kata.
Sejak pertama ditemukan di Kudus sekitar 200 tahun yang lalu, kretek kini telah berkembang menjadi sebuah entitas industri besar yang melayani tidak hanya konsumen lokal namun juga pasar luar negeri. Dibandingkan dengan komoditas lokal lain, seperti batik dan jamu, kretek adalah yang terdepan dalam hal skala industri dan kapitalisasi. Sejumlah perusahaan kretek besar yang tumbuh di Indonesia tercatat memiliki kontribusi signifikan bagi pendapatan negara. Sejak mulai marak berdiri awal abad 20, perusahaan-perusahaan kretek tersebut sudah memiliki peran besar dalam perjalanan negara terutama dalam hal penciptaan lapangan kerja. Terlebih, industri kretek memiliki basis bahan baku dan pasar di dalam negeri sehingga ia sedikit banyak merepresentasi keunggulan kompetitif negara dihadapan produk-produk impor sejenis.
Sekarang rokok menjadi pemandangan umum di ruang publik. Tidak perlu susah mencari untuk dapat menemukan adanya perokok kretek di sekitar Anda. Apakah itu di kantin ketika makan siang, di break room ketika suntuk dengan pekerjaan, atau di halte ketika sedang menunggu bus, asap putih dengan aroma khas nampak selalu hadir menyatu dengan udara. Kretek memang khas, ia ada di jari semua perokok, tapi kapan sebenarnya rokok jenis ini mulai ada di Indonesia? Seperti apa perjalanannya hingga bisa menjadi industri besar layaknya sekarang?
Untuk menjawabnya kita harus melihat lebih jauh ke belakang yakni ke era di mana rokok kali pertama ditemukan di Indonesia dan seperti apa evolusinya hingga akhirnya menjadi rokok kretek. Di bagian akhir tulisan, kita akan menemukan bahwa rokok—seperti juga teh dan jamu—bisa berkembang menjadi sebuah industri besar disebabkan akar kulturalnya yang dalam di masyarakat.
Sejarah
Kisah kretek bermula dari kota Kudus. Tak jelas memang asal-usul yang akurat tentang rokok kretek. Menurut kisah yang hidup dikalangan para pekerja pabrik rokok, riwayat kretek bermula dari penemuan Haji Djamari pada kurun waktu sekitar akhir abad ke-19. Awalnya, penduduk asli Kudus ini merasa sakit pada bagian dada. Ia lalu mengoleskan minyak cengkeh. Setelah itu, sakitnya pun reda. Djamari lantas bereksperimen merajang cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok.[1]
Kala itu melinting rokok sudah menjadi kebiasaan kaum pria. Djamari melakukan modifikasi dengan mencampur cengkeh. Setelah rutin menghisap rokok ciptaannya, Djamari merasa sakitnya hilang. Ia mewartakan penemuan ini kepada kerabat dekatnya. Berita ini pun menyebar cepat. Permintaan "rokok obat" ini pun mengalir. Djamari melayani banyak permintaan rokok cengkeh. Lantaran ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi "keretek", maka rokok temuan Djamari ini dikenal dengan "rokok kretek". Awalnya, kretek ini dibungkus klobot atau daun jagung kering. Dijual per ikat dimana setiap ikat terdiri dari 10, tanpa selubung kemasan sama sekali. Rokok kretek pun kian dikenal. Konon Djamari meninggal pada 1890. Identitas dan asal-usulnya hingga kini masih samar. Hanya temuannya itu yang terus berkembang.
Sepuluh tahun kemudian, penemuan Djamari menjadi dagangan memikat di tangan Nitisemito, perintis industri rokok di Kudus. Bisnis rokok dimulai oleh Nitisemito pada 1906 dan pada 1908 usahanya resmi terdaftar dengan merek "Tjap Bal Tiga". Bisa dikatakan langkah Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek di Indonesia.
Menurut beberapa babad legenda yang beredar di Jawa, rokok sudah dikenal sudah sejak lama. Bahkan sebelun Haji Djamari dan Nitisemito merintisnya. Tercatat dalam Kisah Roro Mendut, yang menggambarkan seorang putri dari Pati yang dijadikan istri oleh Tumenggung Wiroguno, salah seorang panglima perang kepercayaan Sultan Agung menjual rokok "klobot" (rokok kretek dengan bungkus daun jangung kering) yang disukai pembeli terutama kaum laki-laki karena rokok itu direkatkan dengan ludahnya.
Awal usaha Kretek
Nitisemito seorang buta huruf, putra Ibu Markanah di desa Janggalan dengan nama kecil Rusdi. Ayahnya, Haji Sulaiman adalah kepala desa Janggalan. Pada usia 17 tahun, ia mengubah namanya menjadi Nitisemito. Pada usia tersebut, ia merantau ke Malang, Jawa Timur untuk bekerja sebagai buruh jahit pakaian. Usaha ini berkembang sehingga ia mampu menjadi pengusaha konfeksi. Namun beberapa tahun kemudian usaha ini kandas karena terlilit hutang. Nitisemito pulang kampung dan memulai usahanya membuat minyak kelapa, berdagang kerbau namun gagal. Ia kemudian bekerja menjadi kusir dokar sambil berdagang tembakau. Saat itulah dia berkenalan dengan Mbok Nasilah, pedagang rokok klobot di Kudus.
Mbok Nasilah, yang juga dianggap sebagai penemu pertama rokok kretek, menemukan rokok kretek untuk menggantikan kebiasaan nginang pada sekitar tahun 1870. Di warungnya, yang kini menjadi toko kain Fahrida di Jalan Sunan Kudus, Mbok nasilah menyuguhkan rokok temuannya untuk para kusir yang sering mengunjungi warungnya. Kebiasaan nginang yang sering dilakukan para kusir mengakibatkan kotornya warung Mbok Nasilah, sehingga dengan menyuguhkan rokok, ia berusaha agar warungnya tidak kotor. Pada awalnya ia mencoba meracik rokok. Salah satunya dengan menambahkan cengkeh ke tembakau. Campuran ini kemudian dibungkus dengan klobot atau daun jagung kering dan diikat dengan benang. Rokok ini disukai oleh para kusir dokar dan pedagang keliling. Salah satu penggemarnya adalah Nitisemito yang saat itu menjadi kusir.
Nitisemito lantas menikahi Nasilah dan mengembangkan usaha rokok kreteknya menjadi mata dagangan utama. Usaha ini maju pesat. Nitisemito memberi label rokoknya "Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo" (Rokok Cap Kodok makan Ular). Nama ini tidak membawa hoki malah menjadi bahan tertawaan. Nitisemito lalu mengganti dengan Tjap Bulatan Tiga. Lantaran gambar bulatan dalam kemasan mirip bola, merek ini kerap disebut Bal Tiga. Julukan ini akhirnya menjadi merek resmi dengan tambahan Nitisemito (Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito).
Bal Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus. Setelah 10 tahun beroperasi, Nitisemito mampu membangun pabrik besar diatas lahan 6 hektar di Desa jati. Ketika itu, di Kudus telah berdiri 12 perusahaan rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil (gurem). Di antara pabrik besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe), H.M Muslich (merek Delima), H. Ali Asikin (merek Djangkar), Tjoa Khang Hay (merek Trio), dan M. Sirin (merek Garbis & Manggis).
Sejarah mencatat Nitisemito mampu mengomandani 10.000 pekerja dan memproduksi 10 juta batang rokok per hari 1938. Kemudian untuk mengembangkan usahanya, ia menyewa tenaga pembukuan asal Belanda. Pasaran produknya cukup luas, mencakup kota-kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan ke Negeri Belanda sendiri. Ia kreatif memasarkan produknya, misalnya dengan menyewa pesawat terbang Fokker seharga 200 gulden saat itu untuk mempromosikan rokoknya ke Bandung dan Jakarta
Ambruknya rokok kretek Bal Tiga dan Munculnya Pesaing
Hampir semua pabrik itu kini telah tutup. Bal tiga ambruk karena perselisihan di antara para ahli warisnya. Munculnya perusahaan rokok lain seperti Nojorono (1940), Djamboe Bol (1937), Djarum (1950), dan Sukun, semakin mempersempit pasar Bal Tiga ditambah dengan pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1942 di Pasifik, masuknya tentara Jepang, juga ikut memperburuk usaha Nitisemito. Banyak aset perusahaan yang disita. Pada tahun 1955, sisa kerajaan kretek Nitisemito akhirnya dibagi rata pada ahli warisnya.
Ambruknya pasaran Bal Tiga disebut sebut juga karena berdirinya rokok Minak Djinggo pada tahun 1930. Pemilik rokok ini, Kho Djie Siong, adalah mantan agen Bal Tiga di Pati, Jawa Tengah. Sewaktu masih bekerja pada Nitisemito, Kho Djie Siong banyak menarik informasi rahasia racikan dan strategi dagang Bal Tiga dari M. Karmaen, kawan sekolahnya di HIS Semarang yang juga menantu Nitisemito.
Pada tahun 1932, Minak Djinggo, yang penjualannya melesat cepat memindahkan markasnya ke Kudus. untuk memperluas pasar, Kho Djie Siong meluncurkan produk baru, Nojorono. Setelah Minak Djinggo, muncul beberapa perusahaan rokok lain yang mampu bertahan hingga kini seperti rokok Djamboe Bol milik H.A. Ma'roef, rokok Sukun milik M. Wartono dan Djarum yang didirikan Oei Wie Gwan.
Perusahaan rokok kretek Djarum berdiri pada 25 Agustus 1950 dengan 10 pekerja. Oei Wie Gwan, mantan agen rokok Minak Djinggo di Jakarta ini, mengawali bisnisnya dengan memasok rokok untuk Dinas Perbekalan Angkatan Darat. Pada tahun 1955, Djarum mulai memperluas produksi dan pemasarannya. Produksinya makin besar setelah menggunakan mesin pelinting dan pengolah tembakau pada tahun 1967.
Di era keemasan Minak Djinggo dan di ujung masa suram Bal Tiga, aroma bisnis kretek menjalar hingga ke luar Kudus. Banyak juragan dan agen rokok bermunculan. Di Magelang, Solo dan Yogyakarta, kebanyakan pabrik kretek membuat jenis rokok klembak. Rokok ini berupa oplosan tembakau, cengkeh dan kemenyan.
Perkembangan industri kretek
Kretek juga merambah Jawa Barat. Di daerah ini pasaran rokok kretek dirintis dengan keberadaan rokok kawung, yakni kretek dengan pembungkus daun aren. Pertama muncul di Bandung pada tahun 1905, lalu menular ke Garut dan Tasikmalaya. Rokok jenis ini meredup ketika kretek Kudus menyusup melalui Majalengka pada 1930-an, meski sempat muncul pabrik rokok kawung di Ciledug Wetan.
Sedangkan di Jawa Timur, industri rokok dimulai dari rumah tangga pada tahun 1910 yang dikenal dengan PT. HM Sampoerna. Tonggak perkembangan kretek dimulai ketika pabrik-pabrik besar menggunakan mesin pelinting. Tercatat PT. Bentoel di Malang yang berdiri pada tahun 1931 yang pertama memakai mesin pada tahun 1968, mampu menghasilkan 6000 batang rokok per menit. PT. Gudang Garam, Kediri dan PT HM Sampoerna tidak mau ketinggalan, begitu juga dengan PT Djarum, Djamboe Bol, Nojorono dan Sukun di Kudus.
Kini terdapat empat kota penting yang menggeliatkan industri kretek di Indonesia; Kudus, Kediri, Surabaya dan Malang. Industri rokok di kota ini baik kelas kakap maupun kelas gurem memiliki pangsa pasar masing-masing. Semua terutapa pabrik rokok besar telah mencatatkan sejarahnya sendiri. Begitu pula dengan Haji Djamari, sang penemu kretek. Namun riwayat penemu kretek ini masih belum jelas. Dan kisahnya hidupnya hanya dekrtahui di kalangan pekerja pabrik rokok di Kudus.
sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kretek
http://the-marketeers.com/archives/sejarah-industri-rokok-di-indonesia.html
Label:
indonesia,
rokok,
rokok kretek,
sejarah,
sejarah industri
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar