Sejarah produksi film indonesia diawali tahun 1927/1928, kala itu film pertama diproduksi di Bandung oleh dua orang Eropa, G Kreugers dan Ph. Carli. Pada masa itu pembuata film masih dilatarbelakangi oleh motif hobi semata. Film karya Kreugers utamanya membahas kehidupan sehari, contohnya film Eulis Aceh dan Bang Amat Tangkap Kodok. Sedangkan film karya Carli lebih banyak memuat konflik sosial antara orang Indonesia dengan golongan Eropa seperti “De banden van het bloed”, “Sarinah”, dan “Karina’s zelfpoffering”. Dalam hal penggunaan aktor, Kreugers lebih banyak menggunakan aktor lokal, sedangkan Carli menggunakan orang-orang Indo-Belanda. Film yang mereka produksi merupakan film bisu.
Apabila pionir dalam pembuatan film adalah orang Eropa, maka orang Cina-lah yang mengembangkan perfilman pada tingkatan berikutnya. Mereka memasuki bidang sinema karena mereka melihat peluang bisnis bagus di dalamnya. Motivasi komersial ini kemudian menjadi bahan bakar dalam kemajuan perkembangan film yang ditandai dengan keberhasilan dalam mengimpor banyak film Amerika dan Cina ke Hindia Belanda. Film-film Cina sangat populer di kalangan orang Tionghoa, kisah-kisah yang ditampilkan biasanya seputar legenda-legenda masa lalu dan kehidupan keluarga para pendahulu mereka.
Orang-orang Cina di Hindia Belanda kemudian mengikuti jejak film-film Impornya dalam hal pengisahan kisah tradisi keluarga masa lalu dan memproduksi film sendiri berjudul “Lily of Java” yang dimainkan oleh orang-orang Tionghoa dan tidak lupa juga mereka menampilkan teks dalam bahasa melayu.
Tahun-tahun berikutnya merupakan masa keemasan bagi industri film Indonesia. Banyak perusahaan film didirikan. Kisah-kisah yang ditampilkan kemudian banyak mengadopsi kisah-kisah Cina legendaris seperti “The Eight Swordfighters”, “Sang Pek Eng Tay” Dll.
Di tahun1930, film bersuara pertama diperkenalkan oleh Tan & Wong Bros Co. Dengan hasil yang sangat baik. Perusahaan-perusahaan lain segera mengikuti langkah ini. Namun dalam hal produksi, film-film yang dihasilkan masih belum bisa dilepaskan dari pengaruh film-film Impor Cina.
Di Tahun 1935 merupakan puncak kesuksesan sejarah industri film di Indonesia. Di tahun ini, film “Pareh” diproduksi oleh seorang Belanda bernama Mannus Franken. Film ini berbeda dari film lainnya, karena berusaha menarik perhatian dari orang luar negeri terutama orang Belanda dalam hal kehidupan sehari-hari orang pribumi. Aktor utamanya diambil dari orang Indonesia yang telah mendapat pendidikan sekolah. Bahasa yang digunakan bukan lagi Cina-Melayu, melainkan sepenuhnya Melayu. Banyak adegan pemandangan Indonesia dimunculkan seiring penceritaan kehidupan sehari-hari masyarakat di daerah pedesaan.
Melalui film ini, elemen baru, yaitu elemen pemberian informasi mulai timbul di samping motif komersial. Film-film setelah “Pareh” kemudian mengikuti jejak ini dalam hal mengungkapkan kehidupan sehari-hari orang Indonesia, dan sepenuhnya dimainkan aktor lokal. Di sisi lain, film-film aksi yang diimpor dari Amerika mulai juga mempengaruhi produser film dalam negeri, sehingga muncullah beberapa film lokal yang mengadopsi film Holywood. Ambilah contoh film “Alang-alang dan Putri Rimba” yang merupakan imitasi dari film “Tarzan and The Jungle Princess (dimainkan oleh Dorothy Lamour”).
Di masa ini beberapa film juga meraih kesuksesan seperti “Terang Bulan” yang pemeran utamanya dimainkan oleh Raden Mochtar dan Rukijah. Film ini biproduksi tahun 1937 oleh Anif, sebuah perusahaan dengan modal Belanda. Tema utama yang diusung film ini adalah kehidupa sehari-hari Masyarakat dengan “adat” . Pemilihan aktor Indonesia sangat diperhatikan, terutama dipengaruhi oleh film “Pareh”. Untuk mengamankan kebebasan lebih banyak dalam produksi film, maka sang penulis skenario, Saerun-seorang jurnasil terkemuka, memutuskan untuk menciptakan suatu lingkungan imajiner.
Kesuksesan “Terang Bulan” menyebabkan produser-produser Cina mengubah target pasarnya kepada publik Indonesia. Karena itu selanjutnya perkembangan film Indonesia mengalami perkembangan cepat. Begitu pula dengan perusahaan-perusahaan perfilman.
Beberapa waktu sebelum terpecahnya perang Pasifik, sebuah film berjudul “Kartinah” diproduksi. Film ini berbeda dari film sebelumnya karena telah memperlihatkan adegan serangan udara dan penggunaan lain dari peralatan perang terbaru. Pada masa itu, Indonesia (Hindia Belanda) memang tengah bersiaga dalam menghadapi serangan Jepang . Sang sutradara film “Kartinah” berusaha mencuri perhatian publik dengan memunculkan situasi mencekam yang dialami kota-kota di Indonesia . Hasilnya sangat memuaskan, orang-orang berjubel di bioskop untuk bisa menyaksikan film ini.
http://sadnesssystem.wordpress.com/2010/10/29/sejarah-film-indonesia-bag-1-masa-kolonial/
Apabila pionir dalam pembuatan film adalah orang Eropa, maka orang Cina-lah yang mengembangkan perfilman pada tingkatan berikutnya. Mereka memasuki bidang sinema karena mereka melihat peluang bisnis bagus di dalamnya. Motivasi komersial ini kemudian menjadi bahan bakar dalam kemajuan perkembangan film yang ditandai dengan keberhasilan dalam mengimpor banyak film Amerika dan Cina ke Hindia Belanda. Film-film Cina sangat populer di kalangan orang Tionghoa, kisah-kisah yang ditampilkan biasanya seputar legenda-legenda masa lalu dan kehidupan keluarga para pendahulu mereka.
Orang-orang Cina di Hindia Belanda kemudian mengikuti jejak film-film Impornya dalam hal pengisahan kisah tradisi keluarga masa lalu dan memproduksi film sendiri berjudul “Lily of Java” yang dimainkan oleh orang-orang Tionghoa dan tidak lupa juga mereka menampilkan teks dalam bahasa melayu.
Tahun-tahun berikutnya merupakan masa keemasan bagi industri film Indonesia. Banyak perusahaan film didirikan. Kisah-kisah yang ditampilkan kemudian banyak mengadopsi kisah-kisah Cina legendaris seperti “The Eight Swordfighters”, “Sang Pek Eng Tay” Dll.
Di tahun1930, film bersuara pertama diperkenalkan oleh Tan & Wong Bros Co. Dengan hasil yang sangat baik. Perusahaan-perusahaan lain segera mengikuti langkah ini. Namun dalam hal produksi, film-film yang dihasilkan masih belum bisa dilepaskan dari pengaruh film-film Impor Cina.
Di Tahun 1935 merupakan puncak kesuksesan sejarah industri film di Indonesia. Di tahun ini, film “Pareh” diproduksi oleh seorang Belanda bernama Mannus Franken. Film ini berbeda dari film lainnya, karena berusaha menarik perhatian dari orang luar negeri terutama orang Belanda dalam hal kehidupan sehari-hari orang pribumi. Aktor utamanya diambil dari orang Indonesia yang telah mendapat pendidikan sekolah. Bahasa yang digunakan bukan lagi Cina-Melayu, melainkan sepenuhnya Melayu. Banyak adegan pemandangan Indonesia dimunculkan seiring penceritaan kehidupan sehari-hari masyarakat di daerah pedesaan.
Melalui film ini, elemen baru, yaitu elemen pemberian informasi mulai timbul di samping motif komersial. Film-film setelah “Pareh” kemudian mengikuti jejak ini dalam hal mengungkapkan kehidupan sehari-hari orang Indonesia, dan sepenuhnya dimainkan aktor lokal. Di sisi lain, film-film aksi yang diimpor dari Amerika mulai juga mempengaruhi produser film dalam negeri, sehingga muncullah beberapa film lokal yang mengadopsi film Holywood. Ambilah contoh film “Alang-alang dan Putri Rimba” yang merupakan imitasi dari film “Tarzan and The Jungle Princess (dimainkan oleh Dorothy Lamour”).
Di masa ini beberapa film juga meraih kesuksesan seperti “Terang Bulan” yang pemeran utamanya dimainkan oleh Raden Mochtar dan Rukijah. Film ini biproduksi tahun 1937 oleh Anif, sebuah perusahaan dengan modal Belanda. Tema utama yang diusung film ini adalah kehidupa sehari-hari Masyarakat dengan “adat” . Pemilihan aktor Indonesia sangat diperhatikan, terutama dipengaruhi oleh film “Pareh”. Untuk mengamankan kebebasan lebih banyak dalam produksi film, maka sang penulis skenario, Saerun-seorang jurnasil terkemuka, memutuskan untuk menciptakan suatu lingkungan imajiner.
Kesuksesan “Terang Bulan” menyebabkan produser-produser Cina mengubah target pasarnya kepada publik Indonesia. Karena itu selanjutnya perkembangan film Indonesia mengalami perkembangan cepat. Begitu pula dengan perusahaan-perusahaan perfilman.
Beberapa waktu sebelum terpecahnya perang Pasifik, sebuah film berjudul “Kartinah” diproduksi. Film ini berbeda dari film sebelumnya karena telah memperlihatkan adegan serangan udara dan penggunaan lain dari peralatan perang terbaru. Pada masa itu, Indonesia (Hindia Belanda) memang tengah bersiaga dalam menghadapi serangan Jepang . Sang sutradara film “Kartinah” berusaha mencuri perhatian publik dengan memunculkan situasi mencekam yang dialami kota-kota di Indonesia . Hasilnya sangat memuaskan, orang-orang berjubel di bioskop untuk bisa menyaksikan film ini.
http://sadnesssystem.wordpress.com/2010/10/29/sejarah-film-indonesia-bag-1-masa-kolonial/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar