Blog yang memuat aneka tulisan tentang sejarah, khususnya sejarah Indonesia dan Melayu. Mudah-mudahan bermanfaat.
Senin, 09 Mei 2011
Secangkir Teh Indonesia
Dengan populasi penduduk yang terbilang ‘gemuk’, Indonesia memang menjadi incaran banyak negara untuk memasarkan produk mereka, tak terkecuali termasuk produk teh.
Bila berjalan-jalan di supermarket atau pasar swalayan, selain produk-produk teh lokal yang sudah dikenal, kini mulai banyak dijumpai produk teh dari Cina, Sri Lanka, Jepang, Inggris bahkan teh dari Australia. Di pasar teh Indonesia, harga produk teh ini umumnya masuk kategori premium product.
Padahal Indonesia merupakan salah satu eksportir besar teh dunia. Anehnya, banyak penduduk negeri ini yang sampai hari ini tidak menyadari bahwa Indonesia, terutama Jawa dan Sumatera, memiliki sejarah panjang di industri teh dunia. Selama puluhan tahun, Indonesia telah menjadi salah satu eksportir besar teh dunia.
Meski kafe teh mulai banyak tumbuh di kota-kota besar, namun bila konsumen meminta kepada pramusaji untuk dibuatkan teh Indonesia, bisa dipastikan mereka akan menggelengkan kepala. Memang tidak ada teh Indonesia di gerai kafe teh modern di Indonesia! Sama halnya bila konsumen meminta dibuatkan jasmine tea, yang sering dianggap sebagai tipikal teh Indonesia, para pramusaji barangkali akan memberi jasmine tea ala Chinese Tea. Di tempat bergengsi semacam gerai teh modern siap saji, Jasmine tea ala Indonesia memang sulit ditemukan. Minuman yang sempat menjadi salah satu ikon kebudayaan ini, lebih banyak ‘tersimpan’ di warung-warung ala ‘javanese’ yang tersebar di sepanjang trotoar jalan raya di wilayah Jawa Tengah seperti Solo, Yogyakarta terutama di warung ‘serba ada’ yang dikenal sebagai Angkringan.
Di luar itu, barangkali konsumen akan disodori teh Tarik yang mulai banyak dijajakan di beberapa tempat minum siap saji di mal-mal. Ini minuman teh susu khas Melayu ‘pranakan’ India. Nama Teh Tarik adalah
jelas dari kosa kata bahasa Melayu, sementara penyajian teh susu ini sangat tipikal dengan bangsa India perantauan, yang sering menggunakan trik-trik akrobatik untuk menarik perhatian calon pembeli.
Setelah susu dimasukkan ke dalam minuman teh, maka proses pencampuran antara teh dan susu dilakukan dengan cara dituang bergantian pada dua gelas. Posisi gelas satu di atas dan satu lagi di bawah. Akibatnya air teh yang bercampur susu ini seakan-akan menjadi ‘benang yang bisa ditarik’ dan bisa dimainkan oleh penyeduh teh.
Teh susu juga populer di sebagian wilayah Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Di wilayah Sumatera, teh susu kadang dicampur dengan telor sehingga disebut “teh telor” atau bila ditambah rempah-rempah disebut teh Talua.
Teh hitam untuk ekspor
Teh hitam, merupakan produk yang sangat diminati oleh pasar teh Eropa dan Amerika. Cita rasa dan aroma yang kuat hasil dari proses fermentasi atau oksidasi enzimatis ini, telah membuat sebagian besar masyarakat dunia jatuh cinta pada jenis teh ini. Sebagai gambaran, sampai dengan tahun 1990an, sekitar 80% peminum teh di dunia minum teh hitam, begitu juga sekitar 90% peminum teh di Amerika minum teh hitam.
Tidak heran bila seluruh perkebunan teh yang dirancang Belanda di pulau Jawa dan Sumatera saat itu, diproyeksikan untuk memproduksi teh hitam. Hampir 80% produksi teh nasional berupa teh hitam dimana sekitar 90% produk kualitas terbaik (first grade) untuk pasar ekspor.
Ketika Belanda keluar dari Indonesia, negeri kincir angin itu meninggalkan sekitar 235 perkebunan teh yang tersebar di wilayah Jawa dan Sumatera. Selain meninggalkan perkebunan teh, Belanda juga meninggalkan pasar ekspor yang sudah mature bagi produk teh Indonesia. Seluruh perkebunan teh tersebut kemudian dikelola oleh pemerintah ke dalam Badan Usaha bernama PT Perkebunan Nusantara. Banyaknya perkebunan teh peninggalan Belanda itu, membuat Indonesia menempati posisi sebagai 5 besar eskportir teh dunia, bersama-sama dengan Kenya, Sri Lanka, India dan Cina.
Teh melati untuk lokal
Sejarah mencatat bahwa, politik tanam paksa yang diterapkan Gubernur Jenderal van de Bosch telah menuai banyak protes. Bersamaan dengan itu, di Eropa sedang berkembang gelombang liberalisasi. Hasil dari liberalisasi yang terjadi di Eropa tersebut, ternyata juga berimbas sampai di tanah jajahan di Hindia Belanda. Pada tahun 1863, Gubernur Jenderal Sloet van den Beele mulai membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk ikut mengembangkan tanaman teh di Hindia Belanda. Inilah yang mengawali kelahiran perkebunan teh swasta yang kemudian berkembang sangat pesat dan sebagian menjadi perkebunan teh rakyat.
Tahun 1872, Rudolf Edward Kerkhoven membawa bibit teh Assamica ke Indonesia dan mulai membuka lahan perkebunan teh di Gambung, wilayah Ciwidey, Bandung Selatan. Wilayah Ciwidey sampai Pengalengan ini kemudian lebih dikenal sebagai salah satu sentra perkebunan teh di tanah Pasundan.
Perkebunan teh swasta skala besar oleh pemerintah Belanda diarahkan untuk memproduksi teh hitam, sedang perkebunan teh rakyat selain memberi pasokan kepada perusahaan besar juga diolah menjadi teh hijau. Teh hijau dari perkebunan teh rakyat ini, kemudian diproses lebih lanjut menjadi teh wangi atau teh melati (jasmine tea) untuk konsumsi di dalam negeri. Inilah jenis teh yang sangat populer dan sempat dianggap mewakili tipikal teh Indonesia, karena menjadi minuman sehari-hari di sebagian besar keluarga Indonesia. Di luar jenis teh ini, masyarakat Indonesia waktu itu boleh dibilang memang tidak mengenal jenis teh lain.
Awal tahun 1980an, teh celup mulai memasuki pasar teh di Indonesia. Pada awal mula diperkenalkan, teh ini menawarkan sisi praktis dan ready to use dalam menyajikan teh. Meski teh celup ini merupakan representasi dari produk teh hitam, namun saat itu tidak ditawarkan sebagai teh hitam. Perkembangan teh celup di pasar teh nasional tampak sangat pesat. Sebagian besar keluarga di Indonesia mulai familiar dengan teh celup. Tidak hanya itu, ‘Warteg’ yang dulu banyak menyediakan teh melati dengan poci dan gula batu, kini juga mulai banyak yang beralih ke teh celup.
Sebagai bagian dari antisipasi atas situasi perubahan pasar teh di Indonesia, beberapa produsen teh melati seduh, saat ini mulai menggunakan teknologi teabags ini untuk membantu memasarkan produk teh melati agar tampil lebih praktis.
Cuma bedanya, kalau pada teh melati seduh bunga melati benar-benar masih sering tampil utuh, namun kalau teh melati jenis teabags, sebagian sudah mulai banyak yang menggunakan essence atau flavour.
Oleh Prawoto Indarto
Sumber: http://www.kulinologi.biz/index1.php?view&id=867
Label:
secangkir teh,
sejarah teh,
teh indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar