Candi Mendut adalah sebuah candi berlatar belakang agama Buddha. Candi ini terletak di desa Mendut, kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa kilometer dari candi Borobudur.
Beberapa makhluk surgawi yang terkenal termasuk dalam bangsa dewata, antara lain apsara atau bidadari; gadis surgawi yang bertugas menguji keteguhan iman para pertapa, serta gandarwa; pria pemusik surgawi. Dewata seringkali muncul dalam kisah-kisah epik Hindu dan kisah suci Buddha. Pulau Bali terkenal dengan julukan sebagai "Pulau Dewata" karena kentalnya budaya Hindu, seperti banyaknya sesaji yang dipersembahkan untuk dewata penjaga di berbagai tempat di Bali.
Cerita yang dikisahkan dalam setiap Jataka adalah cerita fabel. Setiap kali sang Buddha yang menitis menjadi hewan atau bahkan pada sekali peristiwa sebuah pohon, dikisahkan. Setiap Jataka ditulis dalam bentuk prosa, namun pada akhir cerita, ditulis moral cerita dalam bentuk seloka bahasa Pali.
Cerita-cerita Jataka baik dalam bahasa Pali maupun dalam terjemahan lokal banyak diketemukan di Sri Lanka, Nepal, dan Tibet. Di Indonesia cerita Jataka tidak diketemukan dalam bentuk tekstual, namun banyak didapati cerita-cerita Jataka sebagai relief Candi Borobudur.
Ada kemungkinan cerita-cerita Jataka pada masa lampau diterjemahkan dalam bahasa Yunani dan menjadi dasar fabel Aesopus.
Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama wenuwana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.
Bahan bangunan candi sebenarnya adalah batu bata yang ditutupi dengan batu alam. Bangunan ini terletak pada sebuah basement yang tinggi, sehingga tampak lebih anggun dan kokoh. Tangga naik dan pintu masuk menghadap ke barat-daya. Di atas basement terdapat lorong yang mengelilingi tubuh candi. Atapnya bertingkat tiga dan dihiasi dengan stupa-stupa kecil. Jumlah stupa-stupa kecil yang terpasang sekarang adalah 48 buah.
Tinggi bangunan adalah 26,4 meter.
Kronologi penemuan
- 1836 – Ditemukan dan dibersihkan
- 1897 – 1904 kaki dan tub uh candi diperbaiki namun hasil kurang memuaskan.
- 1908 – Di perbaiki oleh Theodoor van Erp. Puncaknya dapat disusun kembali.
- 1925 – seju mlah stupa disusun kembali.
Tiga arca di dalam candi Mendut, arca Dhyani Buddha Wairocana diapit Boddhisatwa Awalokiteswara dan Wajrapani.
Hiasan yang terdapat pada candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa dewata gandarwa dan apsara atau bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda.
Dewa adalah istilah dalam ajaran Hindu dan Buddha untuk keberadaan spiritual yang memiliki kekuatan supranatural; sedangkan Dewata (Dewanagari: देवता), atau disebut tevoda (ទេវតា) dalam bahasa Khmer), adalah dewa dengan kedudukan yang lebih rendah daripada dewa-dewa utama. Istilah dewata juga berarti "Para Dewa" atau dewa dalam bentuk jamak. Dewata dapat berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Terdapat banyak jenis dewata sepeti: wanadewata (roh penjaga hutan, mungkin aslinya merupakan pemujaan terhadap roh-roh yang melambangkan kekuatan alam), gramadewata (dewa desa), dewata penjaga penyeberangan sungai, gua, gunung, dan tempat-tempat keramat lainnya. Dewata penjaga penjuru mata angin disebut Dewata Lokapala atau Dewata Nawa Sanga. Masing-masing kasta Hindu memiliki dewata pelindung, dan setiap aktivitas manusia memiliki dewata perwujudannya dalam ranah spiritual atau aspek rohani.Beberapa makhluk surgawi yang terkenal termasuk dalam bangsa dewata, antara lain apsara atau bidadari; gadis surgawi yang bertugas menguji keteguhan iman para pertapa, serta gandarwa; pria pemusik surgawi. Dewata seringkali muncul dalam kisah-kisah epik Hindu dan kisah suci Buddha. Pulau Bali terkenal dengan julukan sebagai "Pulau Dewata" karena kentalnya budaya Hindu, seperti banyaknya sesaji yang dipersembahkan untuk dewata penjaga di berbagai tempat di Bali.
Pada kedua tepi tangga terdapat relief-relief cerita Pancatantra dan jataka.
Pañcatantra adalah sebuah karya sastra dunia yang berasal dari Kashmir, India dan ditulis pada abad-abad pertama Masehi.
Pañcatantra ini mengisahkan seorang brahmana bernama Wisnusarma yang mengajari tiga pangeran dungu putra prabu Amarasakti mengenai kebijaksanaan duniawi dan kehidupan, atau secara lebih spesifik disebut ilmu politik atau ilmu ketatanegaraan. Ilmu pelajarannya terdiri atas lima buku, itulah sebabnya disebut Pañcatantra yang secara harafiah berarti “lima ajaran”. Lima bagian ini merupakan lima aspek yang berbeda dari ajaran sang brahmana ini. Bagian-bagian tersebut di dalam buku bahasa Sansekerta yang berjudulkan Tantrakhyāyika dan dianggap sebagai redaksi Pañcatantra yang tertua, adalah sebagai berikut:
- Mitrabheda (Perbedaan Teman-Teman)
- Mitraprāpti (Datangnya Teman-Teman)
- Kākolūkīya (Peperangan dan Perdamaian)
- Labdhanāśa (Kehilangan Keberuntungan)
- Aparīkṣitakāritwa (Tindakan yang Tergesa-Gesa )
Ciri khas Pañcatantra ini terutama ialah bahwa ceritanya dikisahkan dalam bentuk cerita bingkai dan banyak mengandung fabel-fabel. Cerita bingkai ini juga disebut dengan istilah kathāmukha dan cerita-ceritanya semua dianyam menjadi satu dengan yang lain. Setelah setiap cerita yang biasanya dalam bentuk prosa, moral cerita diringkas dalam bentuk seloka.
Cerita-cerita fabel Pañcatantra banyak yang berdasarkan cerita-cerita jataka.
Pañcatantra yang bentuk aslinya ditulis dalam bahasa Sansekerta ini, mungkin adalah satu-satunya karya sastra kuna yang paling luas penyebarannya dan paling banyak diterjemahkan serta digubah di seluruh dunia. Ada kurang lebih 200 versi dalam 50 bahasa. Versi-versi ini tersebar dari Indonesia di ujung timur sampai Islandia di ujung barat Dunia Lama. Sudah jelas tentunya karya sastra ini banyak mengalami perubahan-perubahan dalam proses alihbahasa dan penggubahan ini.
Cerita Pañcatantra juga dibawa ke timur, menuju ke Asia Tenggara. Versi-versi yang diketahui ada dalam bahasa Thai, bahasa Laos dan beberapa bahasa di Indonesia. Selain bahasa Jawa dan Melayu, ada juga versi dalam bahasa Bali, bahasa Madura dan kemungkinan bahasa Sunda (Kuna) . Versi-versi dalam bahasa Jawa Kuna serta bahasa Thai dan bahasa Laos banyak memperlihatkan persamaan secara struktural dengan sebuah gubahan Pañcatantra dalam bahasa Sansekerta dari India bagian selatan yang disebut Tantropākhyāna. Bahkan seloka-seloka yang ada dalam versi prosa Jawa Kuna banyak yang menunjukkan persamaan dengan yang ada di Tantropākhyāna.
Tantropākhyāna yang masih ada sudah tidak lengkap lagi. Cerita bingkai atau kathāmuka sudah tidak ada dan dari empat buku yang semestinya ada, cuma tersisa tiga. Meskipun naskah Tantropākhyāna yang ditemukan ini tidak lengkap lagi, tetapi setelah diperbandingkan dengan sebuah versi dalam bahasa Tamil dan versi-versi Asia Tenggara lainnya yang masih berkerabat bisa disimpulkan bahwa Tantropakhyāna ini strukturnya agak berbeda dengan Tantrakhyāyika yang disinggung di atas ini, cerita-ceritanya juga lain. Tantropakhyāna tidak terdiri atas lima buku tetapi terdiri atas hanya empat buku yang namanya juga lain pula:
- Nandakaprakaraṇa (cerita seekor lembu)
- Maṇḍūkaprakaraṇa (cerita si kodok)
- Pakṣiprakaraṇa (cerita para burung)
- Piśacaprakaraṇa (cerita para pisaca (semacam raksasa))
Lalu kathāmukha atau cerita bingkainya juga berbeda. Di mana dalam Tantrakhyāyika seperti disinggung di atas ini mengisahkan seorang brahmana yang ingin mengajarkan ilmu politik kepada tiga pangeran yang dungu, dalam versi-versi lain yang berkerabat dengan Tantropakhyāna, cerita bingkai ini mengisahkan seorang raja yang ingin menikah setiap malam, mirip dengan kisah cerita "1001 Malam". Di sini harus diberi catatan bahwa cerita bingkai ini dalam naskah tunggal Tantropakhyāna sudah tidak tersimpan lagi. Dalam Tantri Kāmandaka, begitulah sebutan teks ini dalam bahasa Jawa Kuna, kathāmukha ini disebut Wiwahasarga, atau arti harafiahnya ‘kisah pernikahan’.
Cerita-cerita dari Pancatantra juga banyak ditemukan dalam bentuk relief. Relief-relief ini banyak pula ditemukan di pulau Jawa.
Jataka atau Jātaka (जातक) adalah sebuah kumpulan cerita tentang kehidupan-kehidupan sang Buddha ketika masih berwujud hewan, sebelum beliau menitis menjadi Siddharta Gautama. Cerita-cerita ini jumlahnya kurang lebih ada 547 dan aslinya ditulis dalam bahasa Pali.Cerita yang dikisahkan dalam setiap Jataka adalah cerita fabel. Setiap kali sang Buddha yang menitis menjadi hewan atau bahkan pada sekali peristiwa sebuah pohon, dikisahkan. Setiap Jataka ditulis dalam bentuk prosa, namun pada akhir cerita, ditulis moral cerita dalam bentuk seloka bahasa Pali.
Cerita-cerita Jataka baik dalam bahasa Pali maupun dalam terjemahan lokal banyak diketemukan di Sri Lanka, Nepal, dan Tibet. Di Indonesia cerita Jataka tidak diketemukan dalam bentuk tekstual, namun banyak didapati cerita-cerita Jataka sebagai relief Candi Borobudur.
Ada kemungkinan cerita-cerita Jataka pada masa lampau diterjemahkan dalam bahasa Yunani dan menjadi dasar fabel Aesopus.
Dinding candi dihiasi relief Boddhisatwa di antaranya Awalokiteśwara, Maitreya, Wajrapāṇi dan Manjuśri. Pada dinding tubuh candi terdapat relief kalpataru, dua bidadari, Harītī (seorang yaksi yang bertobat dan lalu mengikuti Buddha) dan Āţawaka.
Di dalam induk candi terdapat arca Buddha besar berjumlah tiga: yaitu Dhyani Buddha Wairocana dengan sikap tangan (mudra) dharmacakramudra. Di depan arca Buddha terdapat relief berbentuk roda dan diapit sepasang rusa, lambang Buddha. Di sebelah kiri terdapat arca Awalokiteśwara (Padmapāņi) dan sebelah kanan arca Wajrapāņi. Sekarang di depan arca Buddha diletakkan hio-hio dan keranjang untuk menyumbang. Para pengunjung bisa menyulut sebuah hio dan berdoa di sini.
Di bawah ini pembicaran mendetail beberapa relief akan disajikan. Pada relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari Pancatantra atau jataka. Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini:
Maka adalah seorang brahmana yang datang dari dunia bawah dan bernama Dwijeswara. Ia sangat sayang terhadap segala macam hewan.
Maka berjalanlah beliau untuk bersembahyang di gunung dan berjumpa dengan seekor kepiting di puncak gunung yang bernama Astapada, dibawa di pakaiannya. Maka kata sang brahmana: “Kubawanya ke sungai, sebab aku merasa kasihan.” Maka iapun berjalan dan berjumpa dengan sebuah balai peristirahatan di tepi sungai. Lalu dilepaslah si kepiting oleh sang brahmana. Si Astapada merasa lega hatinya. Sedangkan sang brahmana beristirahat di balai-balai ini. Ia tidur dengan nikmat, hatinya nyaman.
Adalah seekor ular yang berteman dengan seekor gagak dan merupakan ancaman bagi sang brahmana. Maka kata si ular kepada kawannya si gagak: “Jika ada orang datang ke mari untuk tidur, ceritakan padaku, aku mangsanya.”
Si gagak melihat sang brahmana tidur di balai-balai. Segeralah keluar si ular katanya: “Aku ingin memangsa matanya kawan.” Begitulah perjanjian mereka.
Si kepiting yang dibawa oleh sang brahmana mendengar. Lalu kata si kepiting di dalam hati: “Aduh, sungguh buruk kejahatan si gagak dan ular. Sama-sama buruk kelakuannya.” Terpikir olehnya bahwa si kepiting berhutang budi kepada sang brahmana. Ia ingin melunasi hutangnya, maka pikirnya. “Ada siasatku, aku akan berkawan dengan keduanya.” Maka ujar si kepiting, “Wahai kedua kawanku, akan kupanjangkan leher kalian, supaya lebih nikmat kalau kalian ingin memangsa sang brahmana.” – “Aku setuju dengan usulmu, dengan segera.” Begitulah kata si gagak dan si ular keduanya. Kedua-keduanya ikut menyerahkan leher mereka dan disupit di sisi sana dan sini oleh si kepiting dan keduanya langsung putus seketika. Matilah si gagak dan si ular.
Pada relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari Pancatantra atau jataka. Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini. Namun cerita yang disajikan di bawah ini agak berbeda versinya dengan lukisan di relief ini:
Ada kura-kura bertempat tinggal di danau Kumudawati. Danau itu sangat permai, banyak tunjungnya beranekawarna, ada putih, merah dan (tunjung) biru.
Ada angsa jantan betina, berkeliaran mencari makan di danau Kumudawati yang asal airnya dari telaga Manasasara.Adapun nama angsa itu, si Cakrangga (nama) angsa jantan, si Cakranggi (nama) angsa betina. Mereka itu bersama-sama tinggal di telaga Kumudawati.
Maka sudah lamalah bersahabat dengan kura-kura. Si Durbudi (nama) si jantan, sedangkan si Kacapa (nama) si betina.
Maka sudah hampir tibalah musim kemarau. Air di danau Kumudawati semakin mengeringlah. [Kedua] angsa, si Cakrangga dan si Cakranggi lalu berpamitan kepada kawan mereka si kura-kura; si Durbudi dan si Kacapa. Katanya:
“Wahai kawan kami meminta diri pergi dari sini. Kami ingin pergi dari sini, sebab semakin mengeringlah air di danau. Apalagi menjelang musim kemarau.Tidak kuasalah kami jauh dari air. Itulah alasannya kami ingin terbang dari sini, mengungsi ke sebuah danau di pegunungan Himawan yang bernama Manasasana. Amat murni airnya bening dan dalam. Tidak mengering walau musim kemarau sekalipun. Di sanalah tujuan kami kawan.” Begitulah kata si angsa.Maka si kura-kurapun menjawab, katanya:
“Aduhai sahabat, sangat besar cinta kami kepada anda, sekarang anda akan meninggalkan kami, berusaha untuk hidupmu sendiri.
Bukankah (keadaannya) sama kami dengan anda, tidak bisa jauh dari air? Ke mana pun anda pergi kami akan ikut, dalam suka dan duka anda. Inilah hasil persahabatan kami dengan kalian.
Angsa menjawab: “Baiklah kura-kura. Kami ada akal. Ini ada kayu, pagutlah olehmu tengah-tengahnya, kami akan memagut ujungnya sana dan sini dengan isteriku. Kuatlah kami nanti membawa terbang kamu, [hanya] janganlah kendor anda memagut, dan lagi jangan berbicara. Segala yang kita atasi selama kami menerbangkan anda nanti, janganlah hendaknya anda tegur juga. Jika ada yang bertanya jangan pula dijawab. Itulah yang harus anda lakukan, jangan tidak mentaati kata-kata kami. Apabila anda tidak mematuhi petunjuk kami tak akan berhasil anda sampai ke tempat tujuan, akan berakhir mati.”Maka demikianlah kata angsa.
Lalu dipagutlah tengah-tengah kayu itu oleh si kura-kura, ujung dan pangkalnya dipatuk oleh angsa, di sana dan di sini, laki bini, kanan kiri.Segera terbang dibawa oleh angsa, akan mengembara ke telaga Manasasara, tempat tujuan yang diharapkannya. Telah jauh terbang mereka, sampailah di atas ladang Wilanggala.Maka adalah anjing jantan dan betina yang bernaung di bawah pohon mangga. Si Nohan nama si anjing jantan, si Babyan nama si betina. Maka mendongaklah si anjing betina, melihat si angsa terbang, keduanya sama menerbangkan kura-kura. Lalu katanya.“Wahai bapak anakku, lihatlah itu ada hal yang amat mustahil. Kura-kura yang diterbangkan oleh angsa sepasang!”Lalu si anjing jantan menjawab: “Sungguh mustahil kata-katamu. Sejak kapan ada kura-kura yang dibawa terbang oleh angsa? Bukan kura-kura itu tetapi tahi kerbau kering, sarang karu-karu! Oleh-oleh untuk anak angsa, begitulah adanya!” Begitulah kata si anjing jantan.
Terdengarlah kata-kata anjing itu oleh kura-kura, marahlah batinnya. Bergetarlah mulutnya karena dianggap tahi kerbau kering, sarang karu-karu.
Maka mengangalah mulut si kura-kura, lepas kayu yang dipagutnyam jatuhlah ke tanah dan lalu dimakan oleh serigala jantan dan betina.Si angsa malu tidak dipatuhi nasehatnya. Lalu mereka melanjutkan perjalanan melayang ke danau Manasasara.
Cerita ini mengenai dua orang sahabat anak para saudagar. Suatu hari Dharmabuddhi menemukan uang dan bercerita kepada kawannya Dustabuddhi. Lalu mereka berdua menyembunyikan uang ini di bawah sebuah pohon. Setiap kali mereka membutuhkan uang, Dharmabuddhi mengambil sebagian dan membagi secara adil. Tapi Dustabuddhi tidak puas dan suatu hari mengambil semua uang yang tersisa. Ia lalu menuduh Dharmabuddhi dan menyeretnya ke pengadilan. Tetapi akhirnya Dustabuddhi ketahuan dan dihukum.
Dua burung betet yang berbeda.
Relief ini melukiskan cerita dua burung betet bersaudara namun berbeda kelakuannya karena yang satu dididik oleh seorang penyamun. Sedangkan yang satu oleh seorang pendeta.
Arca Buddha sumbangan Jepang.
Persis di sebelah candi Mendut terdapat vihara Buddha Mendut. Vihara ini dahulunya adalah sebuah biara Katholik yang kemudian tanahnya dibagi-bagi kepada rakyat pada tahun 1950-an. Lalu tanah-tanah rakyat ini dibeli oleh sebuah yayasan Buddha dan di atasnya dibangun vihara. Dalam vihara ini terdapat asrama, tempat ibadah, taman, dan beberapa patung Buddha. Beberapa di antaranya adalah sumbangan dari Jepang.
http://sunudotcom.blogspot.com/2010/11/candi-mendut.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar