Belanda kali tearkhir menggunakan budak saat menginvasi Bali.
Belanda secara resmi melarang perdagangan budak pada tahun 1818, tapi Hindia-Belanda baru benar-benar bebas dari bisnis jual beli manusia pada 1910. Akhir dari perdagangan budak di Hindia-Belanda ditandai dengan tidak adanya manusia yang dibawa paksa dari Sumbawa untuk dijual di Batavia dalam kurun waktu satu tahun.
Namun, apa yang terjadi selama kurun waktu 90 tahun sejak larangan resmi itu dikeluarkan dan siapa yang paling diuntungkan?
VOC menikmati kemakmuran dari perdagangan budak, namun perusahaan multinasional pertama di dunia itu juga bangkrut akibat bisnis jual beli manusia. Hampir semua keuntungan dari perdagangan budak dikorup karyawannya.
Kisah Rangton van Bali memberi banyak contoh akan hal itu. Seorang nahkoda kapal VOC lebih banyak berlayar untuk kepentingan bisnis pribadi, tentunya dalam perdagangan budak, dibanding untuk perusahaan.
Setiap nahkoda terlibat dalam pengiriman budak ilegal. Artinya, yang tercatat dalam manifes lebih rendah dari yang diturunkan di pelabuhan dan dijual di pasar-pasar budak di Cape Town, Batavia, dan Suriname.
Setelah West Indische Compagnie (WIC) menghentikan perdagangan budak dari Afrika dan VOC gulung tikar, perdagangan budak di Asia dijalankan orang-orang Tionghoa. Pemerintah Belanda tak melarang, tapi ikut menikmati rezeki yang berupa pajak.
Ketika pada 1818 Pemerintah Belanda melarang perdagangan budak, Hindia-Belanda belum bisa melepaskan diri dari praktik ini. Yang terjadi adalah pemerintahan Gubernur Jenderal GAG Ph van der Capellen menerapkan standar ganda.
Di satu sisi, untuk memuaskan atasan di Belanda, ia memburu pedagang budak di Bali dan NTT. Di sisi lain, populasi budak di Batavia terus meningkat dan pasar budak masih tetap ramai.
Penerimaan pajak dari perdagangan budak relatif telah menghidupi pemerintahan Van der Capellen. Ia juga tahu kebutuhan akan budak masih sedemikian tinggi. Para lelaki Tionghoa, misalnya, memburu wanita-wanita budak asal Bali untuk dijadikan gundik.
Perkebunan-perkebunan di pinggir Batavia membutuhkan budak-budak. Nyonya kulit putih atau istri-istri pembesar Belanda tidak serta-merta bisa melepaskan diri dari ketergantungan akan budak.
Larangan perdagangan budak juga menghantam perekonomian sejumlah wilayah. Bali, pemasok terbesar pasar budak di Batavia, amat terpukuk oleh larangan ini. Kerajaan-kerajaan kecil di Nusa Tenggara (Barat dan Timur) juga mengalami hal serupa.
Di Bali, sembilan kerajaan: Klungkung, Buleleng, Gianyar, Tabanan, Jembrana, Mengwi, Badung, Bangli, dan Karangasem, rela berperang selama lebih satu abad hanya untuk mendapatkan tawanan perang yang akan dijual sebagai budak.
Di Lombok, sistem kemasyarakatan-pemisahan tajam antara kelas penguasa dan masyarakat yang dikuasai-menyebabkan terjadinya perbudakan. Nuryahman SS, dalam Perdagangan Budak di Nusa Tenggara Sampai Abad ke-19, menyebut beberapa istilah untuk menggambarkan pemisahan tajam di dalam masyarakat.
Di Bali dan Lombok ada istilah panjak. Masyarakat Sumbawa menggunakan istilah tau ulin untuk menyebut kelompok masyarakat yang bisa dijadikan budak. Sedangkan, masyarakat Sumba-Timor menyebut ata hao.
Ada lagi istilah di Lombok untuk budak, yaitu jalma adol-adolan. Mereka dipandang rendah oleh masyarakatnya dan harus siap dijual ke mana saja tuan mereka suka.
Awalnya, perbudakan hanya terjadi antarpenduduk yang berkuasa atas individu dan individu yang dikuasai. Penguasaan atas individu bisa terjadi secara sederhana. Misal, tidak mampu membayar utang sampai waktu yang ditentukan, atau satu desa merampok desa lain yang lebih lemah dan memperbudak masyarakat yang dirampok.
Di Bali, menurut Prof Robert CH Shell, perbudakan antara satu dan lain individu bisa terjadi hanya karena persoalan sepele, misal gelas-atau barang-barang tertentu milik individu berkuasa-tersenggol oleh individu lainnya.
Sebelum VOC menaklukkan Makassar pada 1667 untuk mendapatkan budak demi memenuhi pasar internasional, aktivitas perdagangan budak telah berlangsung di Nusa Tenggara. Ketika VOC secara aktif memasuki pasar Nusa Tenggara, akibat minimnya pasokan budak dari India Barat, situasi semakin ramai.
Sejarawan Hsing ch'a Sheng mencatat saat itu telah ada 12 pelabuhan dengan komoditas budak di Pulau Timor pada 1436. Sumber Cina lainnya menyebutkan, pada 1618, raja-raja lokal selalu membawa gundik dan budak-budaknya jika bepergian.
Setelah VOC menguasai Makassar, kebutuhan akan tenaga kerja di galangan kapal, rumah-rumah pejabat, dan ketentaraan sedemikian tinggi. Itu hanya bisa diisi dengan mendatangkan budak.
Maka, bermunculan kampung-kampung budak di luar Batavia. Setiap kampung diberi nama sesuai asal budak, misalnya Manggarai dan Kampung Bali. Setiba di Batavia, para budak diisolasi di permukiman. Setelah itu dijual ke pasar budak.
Abdul Kadim, sultan Bima, meminta upeti berupa budak dari Manggarai. Permintaan ini atas desakan Belanda. Upeti berupa budak disebut teki mendi.
Arsip Belanda menyebutkan sepanjang abad ke-17, setiap tahun 2.000 budak dari Manggarai dijual ke pasar. Sebanyak 300 sampai 400 adalah budak yang diperoleh sultan sebagai teki mendi. Namun, jumlah ini tidak bisa dikonfirmasikan dan diragukan kebenarannya.
Manggarai bukan wilayah besar dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan tingkat kalahiran luar biasa besar. Terdapat bukti lain, budak-budak itu tidak selamanya berasal dari Manggarai, tapi dari Sumba.
Bersama orang-orang Ende, orang-orang Manggarai melakukan perampokan manusia di Pulau Sumba. Jika permintaan besar, orang Ende dan Manggarai melakukan penyerangan besar-besaran untuk mendapatkan barang dagangannya. Ada pula yang melakukan penculikan diam-diam. Biasanya ini dilakukan terhadap budak anak-anak dan wanita.
Tidak ada data akurat mengenai jumlah budak dari Nusa Tenggara dan destinasi mereka. Yang pasti, almarhum Rosihan Anwar pernah menemukan keluarga keturunan Nusa Tenggara di Afrika Selatan. Jumlah mereka cukup banyak dan turun-temurun menyatu dengan masyarakat Makassar yang datang bersama Syech Yusuf.
Di Pulau Timor, yang pada abad ke-18 telah dikuasai Portugis, terdapat sejumlah pelabuhan dengan komoditas budak. Salah satunya Atapupu, kata dalam bahasa Tetun. Kota ini kemudian berubah menjadi Atambua. Atan atau ata artinya budak.
Kecuali para budak, semua orang diuntungkan oleh perdagangan manusia. Orang Cina terlibat aktif dalam bisnis ini sampai satu abad lebih. Bahkan ketika Belanda mulai menarik diri dari perdagangan budak di Bali akibat pengkhianatan seorang raja Bali terhadap burgher, orang Cina mengambil peran sentral dalam bisnis ini.
Bahkan ketika Belanda mulai aktif memberangus perdagangan budak di Bali dan Nusa Tenggara, yang membuat raja-raja di kedua kawasan itu kehilangan penghasilan, orang Cina melihatnya sebagai peluang mendapatkan keuntungan besar dalam perdagangan budak ilegal. Mereka bersahabat dengan raja-raja dalam mendapatkan budak.
Di Kupang, misalnya, perdagangan budak dikuasai Cina. Orang Eropa sangat sedikit dan tidak terlalu berani berspekulasi. Pedagang dari Surabaya mulai aktif mencari budak dari Nusa Tenggara di pertengahan abad ke-19.
Arsip Belanda tahun 1850 menyebutkan, sekitar 70 budak dibawa dari Kupang dan Rote ke Batavia. Kolonial Verslag pada 1881 melaporkan masih adanya perdagangan budak di Timor. Para raja menjual budak-budak itu untuk mendapatkan barang keperluannya berupa opium dan senjata.
Pada 1910 tidak ada lagi budak-budak Nusa Tenggara yang dibawa ke Batavia. Namun, sejumlah laporan menyebutkan masih ada kelas hamba sahaya yang diperbudak di Sumbawa. Budak-budak itu memang tidak lagi dijual, tapi digunakan sendiri oleh orang yang tuannya.
Sejak pertengahan abad ke-19, Belanda intensif melakukan penghapusan perbudakan. Caranya, dengan menekan raja-raja penjual budak. Jika perlu dengan kekuatan senjata. Namun, Belanda juga menarik pajak jika terjadi transaksi budak.
Ketika Jawa terbuka bagi penanam modal swasta di sektor perkebunan, perbudakan di perkebunan masih belum hilang sama sekali. Hanya saja, bentuknya lebih lunak. Misalnya, jam kerja dibatasi dan pekerja diberi upah. Upah itu berupa koin yang bisa ditukar dengan bahan makanan di warung-warung milik tuan tanah. Koin itu tidak berlaku untuk membeli kebutuhan di pasar bebas.
Pasukan budak
Belanda terakhir kali diuntungkan oleh perdagangan budak ketika melakukan invasi militer ke Bali. Perang ini cukup panjang dan melelahkan karena Belanda harus menaklukkan satu demi satu kerajaan di Bali.
Banyak sumber menyebutkan, Belanda menggunakan budak-budak asal Bali untuk menyerang kerajaan-kerajaan itu. Mereka dilatih, dipersenjatai, dan berdiri di garis depan. Perang penyatuan Bali ke dalam Hindia-Belanda menjadi perang antarorang Bali.
Belanda mengatakan, perang ini adalah kesempatan bagi para budak Bali, yang kali terakhir dijual para raja-raja mereka, untuk balas dendam. Namun, tidak ada data pasti berapa banyak budak asal Bali yang terlibat dalam perang ini.
Penggunaan budak asal Bali terjadi sampai perang terakhir melawan Bangli dan Klungkung. Bangli lebih dulu ditundukkan. Klungkung diberangus pada 1908. Setelah itu Bali secara keseluruhan menjadi bagian Hindia-Belanda.
Pada akhirnya, Belanda pula yang diuntungkan oleh perdagangan budak. Belanda melihat orang Bali sebagai sumber daya militer paling mengesankan. Orang Bali adalah prajurit-prajurit tangguh yang dibentuk oleh konflik lokal seratus tahun lebih.
Belanda mendapat pelajaran langsung ketika menyerang Bali pada 1846 dan 1848. Saat itu Belanda kalah total. Setahun kemudian, Belanda mengerahkan 15 ribu pasukan dan kapal perang untuk menyerang Bali, tapi hanya mendapat kemenangan kecil.
Setelah 1914, arsip Belanda tidak lagi mencatat adanya kabar penjualan budak dari Bali dan Nusa Tenggara. Sebagai gantinya, orang-orang Jawa mulai memasuki pasar tenaga kerja. Mereka dikirim ke perkebunan-perkebunan di Sumatra dan mengisi pasar kerja sektor properti di Batavia.
Di rumah-rumah para tuan kulit putih terjadi perjongosan. Status sosial orang-orang kaya Belanda ditentukan oleh banyaknya jongos atau pelayan rumah. Ketiadaan wanita-wanita Bali membuat para tuan Tionghoa menyasar wanita-wanita sekitar Batavia sebagai gundik.
Kini, Bali bukan lagi penghasil budak, tapi berpotensi menjadi penyuplai tenaga kerja ke pasar dunia. Situs devari.org menulis, pekerja Bali kini tersebar di banyak negara. Kebanyakan mengisi kapal-kapal pesiar dan hotel-hotel di pinggir pantai di AS dan Eropa, baik legal maupun ilegal.
Mereka disukai para tuannya karena banyak hal, yakni jujur, penurut, ulet, tidak punya budaya komplain, selalu bersyukur, menerima tanggung jawab apa saja, dan kerap mengatakan: "Ini sudah takdir kami, ramah kepada siapa pun." Bahkan, tulis situs itu, binatang pun disapa. Lebih penting lagi, mereka fleksibel dan bersedia bekerja lebih dari waktu yang ditentukan.
sumber: http://koran.republika.co.id/koran/203/145689/Akhir_Perbudakan_di_Hindia_Belanda
Belanda secara resmi melarang perdagangan budak pada tahun 1818, tapi Hindia-Belanda baru benar-benar bebas dari bisnis jual beli manusia pada 1910. Akhir dari perdagangan budak di Hindia-Belanda ditandai dengan tidak adanya manusia yang dibawa paksa dari Sumbawa untuk dijual di Batavia dalam kurun waktu satu tahun.
Namun, apa yang terjadi selama kurun waktu 90 tahun sejak larangan resmi itu dikeluarkan dan siapa yang paling diuntungkan?
VOC menikmati kemakmuran dari perdagangan budak, namun perusahaan multinasional pertama di dunia itu juga bangkrut akibat bisnis jual beli manusia. Hampir semua keuntungan dari perdagangan budak dikorup karyawannya.
Kisah Rangton van Bali memberi banyak contoh akan hal itu. Seorang nahkoda kapal VOC lebih banyak berlayar untuk kepentingan bisnis pribadi, tentunya dalam perdagangan budak, dibanding untuk perusahaan.
Setiap nahkoda terlibat dalam pengiriman budak ilegal. Artinya, yang tercatat dalam manifes lebih rendah dari yang diturunkan di pelabuhan dan dijual di pasar-pasar budak di Cape Town, Batavia, dan Suriname.
Setelah West Indische Compagnie (WIC) menghentikan perdagangan budak dari Afrika dan VOC gulung tikar, perdagangan budak di Asia dijalankan orang-orang Tionghoa. Pemerintah Belanda tak melarang, tapi ikut menikmati rezeki yang berupa pajak.
Ketika pada 1818 Pemerintah Belanda melarang perdagangan budak, Hindia-Belanda belum bisa melepaskan diri dari praktik ini. Yang terjadi adalah pemerintahan Gubernur Jenderal GAG Ph van der Capellen menerapkan standar ganda.
Di satu sisi, untuk memuaskan atasan di Belanda, ia memburu pedagang budak di Bali dan NTT. Di sisi lain, populasi budak di Batavia terus meningkat dan pasar budak masih tetap ramai.
Penerimaan pajak dari perdagangan budak relatif telah menghidupi pemerintahan Van der Capellen. Ia juga tahu kebutuhan akan budak masih sedemikian tinggi. Para lelaki Tionghoa, misalnya, memburu wanita-wanita budak asal Bali untuk dijadikan gundik.
Perkebunan-perkebunan di pinggir Batavia membutuhkan budak-budak. Nyonya kulit putih atau istri-istri pembesar Belanda tidak serta-merta bisa melepaskan diri dari ketergantungan akan budak.
Larangan perdagangan budak juga menghantam perekonomian sejumlah wilayah. Bali, pemasok terbesar pasar budak di Batavia, amat terpukuk oleh larangan ini. Kerajaan-kerajaan kecil di Nusa Tenggara (Barat dan Timur) juga mengalami hal serupa.
Di Bali, sembilan kerajaan: Klungkung, Buleleng, Gianyar, Tabanan, Jembrana, Mengwi, Badung, Bangli, dan Karangasem, rela berperang selama lebih satu abad hanya untuk mendapatkan tawanan perang yang akan dijual sebagai budak.
Di Lombok, sistem kemasyarakatan-pemisahan tajam antara kelas penguasa dan masyarakat yang dikuasai-menyebabkan terjadinya perbudakan. Nuryahman SS, dalam Perdagangan Budak di Nusa Tenggara Sampai Abad ke-19, menyebut beberapa istilah untuk menggambarkan pemisahan tajam di dalam masyarakat.
Di Bali dan Lombok ada istilah panjak. Masyarakat Sumbawa menggunakan istilah tau ulin untuk menyebut kelompok masyarakat yang bisa dijadikan budak. Sedangkan, masyarakat Sumba-Timor menyebut ata hao.
Ada lagi istilah di Lombok untuk budak, yaitu jalma adol-adolan. Mereka dipandang rendah oleh masyarakatnya dan harus siap dijual ke mana saja tuan mereka suka.
Awalnya, perbudakan hanya terjadi antarpenduduk yang berkuasa atas individu dan individu yang dikuasai. Penguasaan atas individu bisa terjadi secara sederhana. Misal, tidak mampu membayar utang sampai waktu yang ditentukan, atau satu desa merampok desa lain yang lebih lemah dan memperbudak masyarakat yang dirampok.
Di Bali, menurut Prof Robert CH Shell, perbudakan antara satu dan lain individu bisa terjadi hanya karena persoalan sepele, misal gelas-atau barang-barang tertentu milik individu berkuasa-tersenggol oleh individu lainnya.
Sebelum VOC menaklukkan Makassar pada 1667 untuk mendapatkan budak demi memenuhi pasar internasional, aktivitas perdagangan budak telah berlangsung di Nusa Tenggara. Ketika VOC secara aktif memasuki pasar Nusa Tenggara, akibat minimnya pasokan budak dari India Barat, situasi semakin ramai.
Sejarawan Hsing ch'a Sheng mencatat saat itu telah ada 12 pelabuhan dengan komoditas budak di Pulau Timor pada 1436. Sumber Cina lainnya menyebutkan, pada 1618, raja-raja lokal selalu membawa gundik dan budak-budaknya jika bepergian.
Setelah VOC menguasai Makassar, kebutuhan akan tenaga kerja di galangan kapal, rumah-rumah pejabat, dan ketentaraan sedemikian tinggi. Itu hanya bisa diisi dengan mendatangkan budak.
Maka, bermunculan kampung-kampung budak di luar Batavia. Setiap kampung diberi nama sesuai asal budak, misalnya Manggarai dan Kampung Bali. Setiba di Batavia, para budak diisolasi di permukiman. Setelah itu dijual ke pasar budak.
Abdul Kadim, sultan Bima, meminta upeti berupa budak dari Manggarai. Permintaan ini atas desakan Belanda. Upeti berupa budak disebut teki mendi.
Arsip Belanda menyebutkan sepanjang abad ke-17, setiap tahun 2.000 budak dari Manggarai dijual ke pasar. Sebanyak 300 sampai 400 adalah budak yang diperoleh sultan sebagai teki mendi. Namun, jumlah ini tidak bisa dikonfirmasikan dan diragukan kebenarannya.
Manggarai bukan wilayah besar dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan tingkat kalahiran luar biasa besar. Terdapat bukti lain, budak-budak itu tidak selamanya berasal dari Manggarai, tapi dari Sumba.
Bersama orang-orang Ende, orang-orang Manggarai melakukan perampokan manusia di Pulau Sumba. Jika permintaan besar, orang Ende dan Manggarai melakukan penyerangan besar-besaran untuk mendapatkan barang dagangannya. Ada pula yang melakukan penculikan diam-diam. Biasanya ini dilakukan terhadap budak anak-anak dan wanita.
Tidak ada data akurat mengenai jumlah budak dari Nusa Tenggara dan destinasi mereka. Yang pasti, almarhum Rosihan Anwar pernah menemukan keluarga keturunan Nusa Tenggara di Afrika Selatan. Jumlah mereka cukup banyak dan turun-temurun menyatu dengan masyarakat Makassar yang datang bersama Syech Yusuf.
Di Pulau Timor, yang pada abad ke-18 telah dikuasai Portugis, terdapat sejumlah pelabuhan dengan komoditas budak. Salah satunya Atapupu, kata dalam bahasa Tetun. Kota ini kemudian berubah menjadi Atambua. Atan atau ata artinya budak.
Kecuali para budak, semua orang diuntungkan oleh perdagangan manusia. Orang Cina terlibat aktif dalam bisnis ini sampai satu abad lebih. Bahkan ketika Belanda mulai menarik diri dari perdagangan budak di Bali akibat pengkhianatan seorang raja Bali terhadap burgher, orang Cina mengambil peran sentral dalam bisnis ini.
Bahkan ketika Belanda mulai aktif memberangus perdagangan budak di Bali dan Nusa Tenggara, yang membuat raja-raja di kedua kawasan itu kehilangan penghasilan, orang Cina melihatnya sebagai peluang mendapatkan keuntungan besar dalam perdagangan budak ilegal. Mereka bersahabat dengan raja-raja dalam mendapatkan budak.
Di Kupang, misalnya, perdagangan budak dikuasai Cina. Orang Eropa sangat sedikit dan tidak terlalu berani berspekulasi. Pedagang dari Surabaya mulai aktif mencari budak dari Nusa Tenggara di pertengahan abad ke-19.
Arsip Belanda tahun 1850 menyebutkan, sekitar 70 budak dibawa dari Kupang dan Rote ke Batavia. Kolonial Verslag pada 1881 melaporkan masih adanya perdagangan budak di Timor. Para raja menjual budak-budak itu untuk mendapatkan barang keperluannya berupa opium dan senjata.
Pada 1910 tidak ada lagi budak-budak Nusa Tenggara yang dibawa ke Batavia. Namun, sejumlah laporan menyebutkan masih ada kelas hamba sahaya yang diperbudak di Sumbawa. Budak-budak itu memang tidak lagi dijual, tapi digunakan sendiri oleh orang yang tuannya.
Sejak pertengahan abad ke-19, Belanda intensif melakukan penghapusan perbudakan. Caranya, dengan menekan raja-raja penjual budak. Jika perlu dengan kekuatan senjata. Namun, Belanda juga menarik pajak jika terjadi transaksi budak.
Ketika Jawa terbuka bagi penanam modal swasta di sektor perkebunan, perbudakan di perkebunan masih belum hilang sama sekali. Hanya saja, bentuknya lebih lunak. Misalnya, jam kerja dibatasi dan pekerja diberi upah. Upah itu berupa koin yang bisa ditukar dengan bahan makanan di warung-warung milik tuan tanah. Koin itu tidak berlaku untuk membeli kebutuhan di pasar bebas.
Pasukan budak
Belanda terakhir kali diuntungkan oleh perdagangan budak ketika melakukan invasi militer ke Bali. Perang ini cukup panjang dan melelahkan karena Belanda harus menaklukkan satu demi satu kerajaan di Bali.
Banyak sumber menyebutkan, Belanda menggunakan budak-budak asal Bali untuk menyerang kerajaan-kerajaan itu. Mereka dilatih, dipersenjatai, dan berdiri di garis depan. Perang penyatuan Bali ke dalam Hindia-Belanda menjadi perang antarorang Bali.
Belanda mengatakan, perang ini adalah kesempatan bagi para budak Bali, yang kali terakhir dijual para raja-raja mereka, untuk balas dendam. Namun, tidak ada data pasti berapa banyak budak asal Bali yang terlibat dalam perang ini.
Penggunaan budak asal Bali terjadi sampai perang terakhir melawan Bangli dan Klungkung. Bangli lebih dulu ditundukkan. Klungkung diberangus pada 1908. Setelah itu Bali secara keseluruhan menjadi bagian Hindia-Belanda.
Pada akhirnya, Belanda pula yang diuntungkan oleh perdagangan budak. Belanda melihat orang Bali sebagai sumber daya militer paling mengesankan. Orang Bali adalah prajurit-prajurit tangguh yang dibentuk oleh konflik lokal seratus tahun lebih.
Belanda mendapat pelajaran langsung ketika menyerang Bali pada 1846 dan 1848. Saat itu Belanda kalah total. Setahun kemudian, Belanda mengerahkan 15 ribu pasukan dan kapal perang untuk menyerang Bali, tapi hanya mendapat kemenangan kecil.
Setelah 1914, arsip Belanda tidak lagi mencatat adanya kabar penjualan budak dari Bali dan Nusa Tenggara. Sebagai gantinya, orang-orang Jawa mulai memasuki pasar tenaga kerja. Mereka dikirim ke perkebunan-perkebunan di Sumatra dan mengisi pasar kerja sektor properti di Batavia.
Di rumah-rumah para tuan kulit putih terjadi perjongosan. Status sosial orang-orang kaya Belanda ditentukan oleh banyaknya jongos atau pelayan rumah. Ketiadaan wanita-wanita Bali membuat para tuan Tionghoa menyasar wanita-wanita sekitar Batavia sebagai gundik.
Kini, Bali bukan lagi penghasil budak, tapi berpotensi menjadi penyuplai tenaga kerja ke pasar dunia. Situs devari.org menulis, pekerja Bali kini tersebar di banyak negara. Kebanyakan mengisi kapal-kapal pesiar dan hotel-hotel di pinggir pantai di AS dan Eropa, baik legal maupun ilegal.
Mereka disukai para tuannya karena banyak hal, yakni jujur, penurut, ulet, tidak punya budaya komplain, selalu bersyukur, menerima tanggung jawab apa saja, dan kerap mengatakan: "Ini sudah takdir kami, ramah kepada siapa pun." Bahkan, tulis situs itu, binatang pun disapa. Lebih penting lagi, mereka fleksibel dan bersedia bekerja lebih dari waktu yang ditentukan.
sumber: http://koran.republika.co.id/koran/203/145689/Akhir_Perbudakan_di_Hindia_Belanda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar