Belanda menikmati abad Golden Age dengan mengeruk keuntungan dari perdagangan budak, tapi fakta sejarah ini tidak diajarkan di sekolah-sekolah.
Setiap kali muncul kabar adanya tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dilecehkan, disiksa, atau menghadapi hukuman mati akibat membunuh untuk membela diri, pemerhati sejarah kerap mengaitkan ke masa 300 tahun lalu-ketika Hindia Belanda menjadi salah satu negara pemasok budak ke pasaran dunia dan Belanda menjadikan Batavia sebagai pasar budak trans-Atlantik.
Memang terlalu berlebihan, tapi juga tidak keliru. Cerita tentang kekerasan terhadap TKI di Arab Saudi, Malaysia, dan negara-negara lainnya tidak berbeda dengan kisah para budak asal Lombok, Bali, Makassar, dan Ambon pada abad ke-16. Nuryahman SS, peneliti dari Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali, NTT, dan NTB, mengatakan, bahkan nasib TKI saat ini terkadang lebih buruk dari para budak abad ke-17.
Nuryahman tidak memberikan cukup bukti untuk mendukung klaimnya karena tidak ada catatan kolonialis Belanda mengenai perilaku para majikan terhadap budak-budak abad ke-17. Sedangkan, Markus Vink dalam The World's Oldest Trade: Dutch Slavery and Slave Trade in the Indian Ocean in Seventeenth Century, mencatat terjadinya sejumlah pemberontakan budak di Batavia yang dipimpin Kapten Jonker tahun 1689 dan pembakaran kapal serta pembunuhan kulit putih oleh para budak di Banda Neira tahun 1710.
Vink tidak memasukkan Pembantaian Tionghoa 1740, padahal peristiwa ini dipicu pemberontakan buruh perkebunan tebu di Ommelanden-kawasan selatan Batavia. Saat itu, buruh menyerang kastil Batavia. Khawatir dibokong dari belakang oleh pemukim Tionghoa di dalam kota, VOC memprovokasi penduduk kulit putih dari berbagai bangsa untuk membunuh semua penduduk kulit kuning.
Suka atau tidak, sejarah menempatkan Indonesia sebagai salah satu kawasan pemasok budak ke pasar dunia. Bahkan, ketika perbudakan dilarang di hampir seluruh dunia-kecuali di Afrika Selatan-praktik perbudakan baru benar-benar lenyap dari Indonesia tahun 1910 yang ditandai penghentian penjualan dan pengapalan budak dari Sumbawa.
Diingkari, dilupakan
Selama lebih satu abad, peran Belanda dalam perdagangan budak dunia terabaikan. Sejarawan Belanda lebih banyak memuji kehebatan nenek moyang mereka dalam perdagangan maritim sepanjang periode Golden Age. Mereka melupakan praktik busuk perdagangan budak-yang dilakukan VOC dan direstui Pemerintah Belanda-yang membuat mereka kaya raya.
Dr Susan le Gene, kurator Troppen Museum Amsterdam, mengatakan, "Di sekolah-sekolah, ketika subjek perdagangan budak mengemuka, para guru mengalihkan perhatian para murid ke perbudakan di Amerika Utara dan pedagangnya digambarkan sebagai orang Eropa." Ia juga mengatakan, para guru hampir tidak pernah secara spesifik menyebut bahwa Belanda juga ikut dalam bisnis itu.
Tidak seperti di Inggris dan AS, di Belanda-masih menurut Dr Susan le Gene-tidak ada kurikulum nasional. Memang ada rekomendasi untuk mengajarkan topik perbudakan, tapi terbatas pada pengalaman AS. Bahkan, tidak jarang sejarawan membantah keterlibatan VOC dalam perdagangan budak dan penggunaan budak dalam kegiatan produksi.
Pengingkaran itu tampaknya tidak berlangsung lama. Pada 1 Juli 2002, Ratu Beatrix meresmikan monumen untuk para budak yang menjadi korban dalam perdagangan manusia pada masa lalu. Mindy Ran dalam laporannya di freerepublic.com, monumen itu adalah ungkapan penyesalan mendalam atas keterlibatan Belanda dalam perdagangan budak.
Ini merupakan langkah pertama yang penting, tapi pekerjaan Komite Nasional Perbudakan-yang mensponsori pembangunan monumen ini-telah selesai bekerja. Belanda juga bukan satu-satunya negara yang secara resmi menolak perbudakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Spanyol, Inggris, dan Portugal juga bersikap sama.
Komite Nasional Perbudakan mendesak Pemerintah Belanda meminta maaf, memberikan kompensasi kepada negara-negara yang rakyatnya pernah dijadikan budak, dan membangun museum kekejaman perbudakan. Le Gene mengatakan, permintaan maaf mungkin penting, tapi lebih penting adalah Belanda mensponsori debat publik mengenai apa yang terjadi pada masa lalu.
"Kami harus berbagi pengetahuan sejarah soal perbudakan. Ini amat penting dalam hubungan Belanda dengan Suriname dan Dutch Antillen," ujar Le Gene.
Le Gene tidak menyebut Indonesia. Padahal, sejumlah wilayah Hindia Belanda; Ambon, Makassar, Banda Neira, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT), adalah penyuplai budak ke Batavia dan kota-kota kolonial bentukan Belanda di seluruh dunia, dan Batavia menjadi poros perdagangan budak lintas benua.
VOC dan WIC
Verenigde Oostindische Compangie (VOC) mengubah Batavia dari pelabuhan kecil menjadi poros sentral jaringan perdagangan pada 1610. Sembilan tahun kemudian, tergiur oleh keuntungan dari perdagangan budak yang dilakukan Spanyol, VOC mulai aktif di pasar budak. Keterlibatan VOC relatif kebetulan. Dutch Man-of-War, kapal VOC, membajak sebuah kapal Spanyol yang sedang membawa budak dari India Barat. Para budak dipindahkan dan dibawa ke Jamestown, Virginia, AS. VOC menjual 20 budak itu ke gubernur setempat dan pedagang.
Dua tahun kemudian, sejumlah pengusaha Belanda membentuk West Indische Compagnie (WIC). Dalam waktu singkat, Belanda menjadi pemain penting dalam perdagangan budak antara sepanjang pantai barat Afrika, Amerika, dan India Barat. WIC membeli dari para pedagang, menjualnya ke pasar AS. Studi terbaru, sejumlah sejarawan memperkirakan, WIC menyuplai lebih 550 ribu budak ke pasar selama kurun waku dua tahun.
Tahun 1624, WIC mulai memasok budak ke New Amsterdam, koloni Belanda yang kini bernama New York, untuk mengatasi krisis tenaga kerja di pertanian Hudson Valley. Empat belas tahun kemudian, akibat ramainya permintaan akan budak, lelang budak diadakan kali pertama di Jamestown. Budak pertama yang terjual di pasar lelang berharga 27 dolar Amerika. Memasuki paruh kedua abad ke-17, New Amsterdam menjadi pintu masuk para budak ke Amerika Utara. Setiap tahun, lebih 2.500 budak berlayar dari Afrika ke AS untuk dipekerjakan di tanah-tanah pertanian.
Di Asia, VOC aktif dalam perdagangan budak sepanjang abad ke-17. Mereka memperoleh budak dari negara-negara kecil dari India Barat, Arakan-Bengal, negara-negara kecil, atau wilayah tak bernegara. VOC, untuk memenuhi pasar Malaka, Batavia, Sri Lanka, mengisi perkebunan-perkebunan di Makassar dan Ambon.
Namun, ketika Dinasti Mughal merebut Chittagong dan mengubahnya menjadi Islamabad, pasokan budak dari India Barat menurun. Kondisi ini memaksa VOC merebut Malabar dari tangan Portugis. VOC mendapat banyak budak untuk memenuhi pasar Batavia. Pada saat yang sama, budak-budak dari Chochin, saat ini bernama Vietnam Selatan, memasuki pasar meski jumlahnya masih sedikit.
Selepas 1660, pasokan budak dari lingkar pertama Lautan India menurun drastis. Kondisi ini memaksa Belanda memasuki daerah suplai budak lingkar kedua menyusul kejatuhan Kesultanan Makassar. Sejak saat itu, suplai budak melibatkan poros Makassar dan Bali. Makassar menjadi pelabuhan transit bagi budak dari Kalimantan, Sulawesi, Buton, Bima, Lombok, Manggarai, dan Solor. Sedangkan, kerajaan-kerajaan Bali menjadi penyuplai independen budak ke pasar dunia dan menjadi perantara perdagangan budak dari Papua.
Markus Vink mencatat, antara 1653 sampai 1682, lebih 10 ribu budak diangkut jung-jung Cina ke Batavia. Rincinya, 41,66 persen berasal dari Sulwesi Selatan, 23,98 persen dari Bali, 12,07 persen dari Buton, 6,92 persen dari Bima, Lombok, Manggarai, dan Solor, 6,79 persen dari Maluku dan Banda Neira.
Budak-budak Indonesia tidak hanya masuk ke pasar Batavia, tetapi juga sampai ke Tanjung Harapan. Studi UNESCO memperkirakan, 1.400 budak asal Bali diekspor ke Cape Town, Afrika Selatan. Ketika perang sipil di Bali meletus, budak asal Bali meramaikan pasar Batavia dan kota-kota kolonial Belanda lainnya.
Bisnis budak VOC mengalami pukulan hebat ketika terjadi perang berkepanjangan, epidemi malaria, dan berbagai bencana alam yang menghantam Ambon antara 1618 dan 1681. Antara 1643 dan 1671, populasi Ambon; Hitu, Larike, Hitu Tenggara, dan Leitimor, anjlok sekitar 30 persen.
Di Banda, budak-budak yang bekerja di perkebunan-yang sedianya bisa mengisi pasar budak dunia-menurun drastis akibat kelaparan atau dibunuh tuannya. Mereka digantikan oleh perkenier-pemukim Eropa non-Belanda yang bekerja di perkebunan sebagai budak Belanda. Mereka mengerjakan tanah-tanah perkebunan yang telah dibagi-bagi dan disebut perken.
Di Batavia, perang melawan Banten dan ancaman serbuan Mataram membuat perdagangan budak tak lagi ramai. Antara 1676 dan 1677, populasi budak di Batavia menurun drastis dari 17.279 menjadi 15.776. Epidemi berbagai penyakit yang menghantam Batavia antara 1688 dan 1690 membuat populasi budak turun dari 12 ribu menjadi 11 ribu.
VOC masih terlibat aktif di perdagangan budak sampai dekade kedua abad ke-18, dengan Lombok dan Bali sebagai pemasoknya. Para lelaki Bali dipekerjakan di pabrik-pabrik dan perkebunan, dan wanitanya menjadi gundik orang-orang kaya Tionghoa, Eropa, dan para burgher.
Namun, keuntungan luar biasa yang diperoleh dari perdagangan budak tidak bisa menyelamatkan VOC dari kebangkrutan pada 1799. Sembilan tahun sebelumnya, WIC juga menghentikan perdagangan budak akibat kian maraknya gerakan abolisionis dan pemberontakan budak. Namun, perlu waktu lebih 25 tahun bagi Pemerintah Belanda untuk secara resmi melarang perdagangan budak.Adalah aneh jika Belanda, yang pernah dimakmurkan oleh perdagangan budak, mengingkari keterlibatannya dalam bisnis ini.
http://koran.republika.co.id/koran/203/145687/Ketika_Belanda_Mengingkari_Perdagangan_Budak
Setiap kali muncul kabar adanya tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dilecehkan, disiksa, atau menghadapi hukuman mati akibat membunuh untuk membela diri, pemerhati sejarah kerap mengaitkan ke masa 300 tahun lalu-ketika Hindia Belanda menjadi salah satu negara pemasok budak ke pasaran dunia dan Belanda menjadikan Batavia sebagai pasar budak trans-Atlantik.
Memang terlalu berlebihan, tapi juga tidak keliru. Cerita tentang kekerasan terhadap TKI di Arab Saudi, Malaysia, dan negara-negara lainnya tidak berbeda dengan kisah para budak asal Lombok, Bali, Makassar, dan Ambon pada abad ke-16. Nuryahman SS, peneliti dari Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali, NTT, dan NTB, mengatakan, bahkan nasib TKI saat ini terkadang lebih buruk dari para budak abad ke-17.
Nuryahman tidak memberikan cukup bukti untuk mendukung klaimnya karena tidak ada catatan kolonialis Belanda mengenai perilaku para majikan terhadap budak-budak abad ke-17. Sedangkan, Markus Vink dalam The World's Oldest Trade: Dutch Slavery and Slave Trade in the Indian Ocean in Seventeenth Century, mencatat terjadinya sejumlah pemberontakan budak di Batavia yang dipimpin Kapten Jonker tahun 1689 dan pembakaran kapal serta pembunuhan kulit putih oleh para budak di Banda Neira tahun 1710.
Vink tidak memasukkan Pembantaian Tionghoa 1740, padahal peristiwa ini dipicu pemberontakan buruh perkebunan tebu di Ommelanden-kawasan selatan Batavia. Saat itu, buruh menyerang kastil Batavia. Khawatir dibokong dari belakang oleh pemukim Tionghoa di dalam kota, VOC memprovokasi penduduk kulit putih dari berbagai bangsa untuk membunuh semua penduduk kulit kuning.
Suka atau tidak, sejarah menempatkan Indonesia sebagai salah satu kawasan pemasok budak ke pasar dunia. Bahkan, ketika perbudakan dilarang di hampir seluruh dunia-kecuali di Afrika Selatan-praktik perbudakan baru benar-benar lenyap dari Indonesia tahun 1910 yang ditandai penghentian penjualan dan pengapalan budak dari Sumbawa.
Diingkari, dilupakan
Selama lebih satu abad, peran Belanda dalam perdagangan budak dunia terabaikan. Sejarawan Belanda lebih banyak memuji kehebatan nenek moyang mereka dalam perdagangan maritim sepanjang periode Golden Age. Mereka melupakan praktik busuk perdagangan budak-yang dilakukan VOC dan direstui Pemerintah Belanda-yang membuat mereka kaya raya.
Dr Susan le Gene, kurator Troppen Museum Amsterdam, mengatakan, "Di sekolah-sekolah, ketika subjek perdagangan budak mengemuka, para guru mengalihkan perhatian para murid ke perbudakan di Amerika Utara dan pedagangnya digambarkan sebagai orang Eropa." Ia juga mengatakan, para guru hampir tidak pernah secara spesifik menyebut bahwa Belanda juga ikut dalam bisnis itu.
Tidak seperti di Inggris dan AS, di Belanda-masih menurut Dr Susan le Gene-tidak ada kurikulum nasional. Memang ada rekomendasi untuk mengajarkan topik perbudakan, tapi terbatas pada pengalaman AS. Bahkan, tidak jarang sejarawan membantah keterlibatan VOC dalam perdagangan budak dan penggunaan budak dalam kegiatan produksi.
Pengingkaran itu tampaknya tidak berlangsung lama. Pada 1 Juli 2002, Ratu Beatrix meresmikan monumen untuk para budak yang menjadi korban dalam perdagangan manusia pada masa lalu. Mindy Ran dalam laporannya di freerepublic.com, monumen itu adalah ungkapan penyesalan mendalam atas keterlibatan Belanda dalam perdagangan budak.
Ini merupakan langkah pertama yang penting, tapi pekerjaan Komite Nasional Perbudakan-yang mensponsori pembangunan monumen ini-telah selesai bekerja. Belanda juga bukan satu-satunya negara yang secara resmi menolak perbudakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Spanyol, Inggris, dan Portugal juga bersikap sama.
Komite Nasional Perbudakan mendesak Pemerintah Belanda meminta maaf, memberikan kompensasi kepada negara-negara yang rakyatnya pernah dijadikan budak, dan membangun museum kekejaman perbudakan. Le Gene mengatakan, permintaan maaf mungkin penting, tapi lebih penting adalah Belanda mensponsori debat publik mengenai apa yang terjadi pada masa lalu.
"Kami harus berbagi pengetahuan sejarah soal perbudakan. Ini amat penting dalam hubungan Belanda dengan Suriname dan Dutch Antillen," ujar Le Gene.
Le Gene tidak menyebut Indonesia. Padahal, sejumlah wilayah Hindia Belanda; Ambon, Makassar, Banda Neira, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT), adalah penyuplai budak ke Batavia dan kota-kota kolonial bentukan Belanda di seluruh dunia, dan Batavia menjadi poros perdagangan budak lintas benua.
VOC dan WIC
Verenigde Oostindische Compangie (VOC) mengubah Batavia dari pelabuhan kecil menjadi poros sentral jaringan perdagangan pada 1610. Sembilan tahun kemudian, tergiur oleh keuntungan dari perdagangan budak yang dilakukan Spanyol, VOC mulai aktif di pasar budak. Keterlibatan VOC relatif kebetulan. Dutch Man-of-War, kapal VOC, membajak sebuah kapal Spanyol yang sedang membawa budak dari India Barat. Para budak dipindahkan dan dibawa ke Jamestown, Virginia, AS. VOC menjual 20 budak itu ke gubernur setempat dan pedagang.
Dua tahun kemudian, sejumlah pengusaha Belanda membentuk West Indische Compagnie (WIC). Dalam waktu singkat, Belanda menjadi pemain penting dalam perdagangan budak antara sepanjang pantai barat Afrika, Amerika, dan India Barat. WIC membeli dari para pedagang, menjualnya ke pasar AS. Studi terbaru, sejumlah sejarawan memperkirakan, WIC menyuplai lebih 550 ribu budak ke pasar selama kurun waku dua tahun.
Tahun 1624, WIC mulai memasok budak ke New Amsterdam, koloni Belanda yang kini bernama New York, untuk mengatasi krisis tenaga kerja di pertanian Hudson Valley. Empat belas tahun kemudian, akibat ramainya permintaan akan budak, lelang budak diadakan kali pertama di Jamestown. Budak pertama yang terjual di pasar lelang berharga 27 dolar Amerika. Memasuki paruh kedua abad ke-17, New Amsterdam menjadi pintu masuk para budak ke Amerika Utara. Setiap tahun, lebih 2.500 budak berlayar dari Afrika ke AS untuk dipekerjakan di tanah-tanah pertanian.
Di Asia, VOC aktif dalam perdagangan budak sepanjang abad ke-17. Mereka memperoleh budak dari negara-negara kecil dari India Barat, Arakan-Bengal, negara-negara kecil, atau wilayah tak bernegara. VOC, untuk memenuhi pasar Malaka, Batavia, Sri Lanka, mengisi perkebunan-perkebunan di Makassar dan Ambon.
Namun, ketika Dinasti Mughal merebut Chittagong dan mengubahnya menjadi Islamabad, pasokan budak dari India Barat menurun. Kondisi ini memaksa VOC merebut Malabar dari tangan Portugis. VOC mendapat banyak budak untuk memenuhi pasar Batavia. Pada saat yang sama, budak-budak dari Chochin, saat ini bernama Vietnam Selatan, memasuki pasar meski jumlahnya masih sedikit.
Selepas 1660, pasokan budak dari lingkar pertama Lautan India menurun drastis. Kondisi ini memaksa Belanda memasuki daerah suplai budak lingkar kedua menyusul kejatuhan Kesultanan Makassar. Sejak saat itu, suplai budak melibatkan poros Makassar dan Bali. Makassar menjadi pelabuhan transit bagi budak dari Kalimantan, Sulawesi, Buton, Bima, Lombok, Manggarai, dan Solor. Sedangkan, kerajaan-kerajaan Bali menjadi penyuplai independen budak ke pasar dunia dan menjadi perantara perdagangan budak dari Papua.
Markus Vink mencatat, antara 1653 sampai 1682, lebih 10 ribu budak diangkut jung-jung Cina ke Batavia. Rincinya, 41,66 persen berasal dari Sulwesi Selatan, 23,98 persen dari Bali, 12,07 persen dari Buton, 6,92 persen dari Bima, Lombok, Manggarai, dan Solor, 6,79 persen dari Maluku dan Banda Neira.
Budak-budak Indonesia tidak hanya masuk ke pasar Batavia, tetapi juga sampai ke Tanjung Harapan. Studi UNESCO memperkirakan, 1.400 budak asal Bali diekspor ke Cape Town, Afrika Selatan. Ketika perang sipil di Bali meletus, budak asal Bali meramaikan pasar Batavia dan kota-kota kolonial Belanda lainnya.
Bisnis budak VOC mengalami pukulan hebat ketika terjadi perang berkepanjangan, epidemi malaria, dan berbagai bencana alam yang menghantam Ambon antara 1618 dan 1681. Antara 1643 dan 1671, populasi Ambon; Hitu, Larike, Hitu Tenggara, dan Leitimor, anjlok sekitar 30 persen.
Di Banda, budak-budak yang bekerja di perkebunan-yang sedianya bisa mengisi pasar budak dunia-menurun drastis akibat kelaparan atau dibunuh tuannya. Mereka digantikan oleh perkenier-pemukim Eropa non-Belanda yang bekerja di perkebunan sebagai budak Belanda. Mereka mengerjakan tanah-tanah perkebunan yang telah dibagi-bagi dan disebut perken.
Di Batavia, perang melawan Banten dan ancaman serbuan Mataram membuat perdagangan budak tak lagi ramai. Antara 1676 dan 1677, populasi budak di Batavia menurun drastis dari 17.279 menjadi 15.776. Epidemi berbagai penyakit yang menghantam Batavia antara 1688 dan 1690 membuat populasi budak turun dari 12 ribu menjadi 11 ribu.
VOC masih terlibat aktif di perdagangan budak sampai dekade kedua abad ke-18, dengan Lombok dan Bali sebagai pemasoknya. Para lelaki Bali dipekerjakan di pabrik-pabrik dan perkebunan, dan wanitanya menjadi gundik orang-orang kaya Tionghoa, Eropa, dan para burgher.
Namun, keuntungan luar biasa yang diperoleh dari perdagangan budak tidak bisa menyelamatkan VOC dari kebangkrutan pada 1799. Sembilan tahun sebelumnya, WIC juga menghentikan perdagangan budak akibat kian maraknya gerakan abolisionis dan pemberontakan budak. Namun, perlu waktu lebih 25 tahun bagi Pemerintah Belanda untuk secara resmi melarang perdagangan budak.Adalah aneh jika Belanda, yang pernah dimakmurkan oleh perdagangan budak, mengingkari keterlibatannya dalam bisnis ini.
http://koran.republika.co.id/koran/203/145687/Ketika_Belanda_Mengingkari_Perdagangan_Budak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar